Arya duduk di dalam mobil dengan gelisah. Matanya tak lepas menatap Jason yang berjalan mendekati kios tempat Widya berjualan.Kedua tangan Arya saling menggenggam erat di pangkuannya, menandakan kegundahan hatinya yang semakin memuncak. Pikirannya bercampur aduk ada kerinduan mendalam yang tak tertahankan pada Ibunya. Ingin rasanya ia segera memeluk tubuh wanita itu, merasakan kehangatan yang lama hilang.Sedang Jason yang kini sudah semakin dekat dengan kios Widya, merasakan detak jantungnya berpacu cepat. Bagaimana jika wanita tua itu masih ingat dirinya? Dari kecil, ia dan Arya sudah saling kenal, dan tak jarang Widya melihat mereka bermain bersama. Setiap langkah Jason terasa berat, diliputi rasa was-was, namun ia tetap melangkah hingga berada tepat di depan kios yang sederhana itu.“Ibu, jual sayur apa aja?” Tanya Jason berusaha santai sambil menatap ke deretan sayuran yang tersusun di meja.Namun tatapannya segera beralih ke wajah Widy, wanita yang begitu familiar di ingatanny
Jalanan mulai berbatu, dan lampu-lampu jalan semakin berkurang. Hanya sinar bulan yang memantulkan bayang-bayang di sekitar mereka, membuat suasana terasa semakin mencekam.Jason memperlambat laju mobilnya ketika mendekati persimpangan pasar kecil yang tampak masih sepi. Ia menatap Arya yang duduk di sampingnya dengan pandangan serius.“Kita gak bisa bawa mobil lebih dekat dari sini. Tempatnya terlalu terbuka. Kalau mereka melihat mobil masuk, mereka bisa curiga.” Ucap Jason.Arya mengangguk, menyetujui keputusan itu. “Benar, terlalu berisiko kalau kita masuk dengan mobil. Apalagi kalau mereka pasang pengintai di sekitar. Kita harus hati-hati.”Akhirnya mobil ditepikan di sebuah sudut gelap di dekat pasar. Mereka mematikan mesin dan lampu, membuat mobil itu menyatu dengan bayangan gelap.Pasar kecil itu kosong, hanya beberapa kios sayur dan meja kayu tua yang tampak tak terawat. Angin bertiup pelan, membawa suara-suara halus dari dedaunan di kejauhan.“Menurut orang suruhanku, Mama se
Setelah selesai mandi, Maudy mengenakan kaos longgar dan hotpants, lalu bergegas kembali ke dapur untuk melanjutkan masakan yang sempat tertunda.Arya dengan rambut masih sedikit basah, mengikuti istrinya ke dapur, mengenakan celana santai dan kaos yang sama longgarnya. la menyandarkan tubuhnya pada pintu dapur, memperhatikan bagaimana istrinya mulai sibuk dengan bahan masakan.Melihat Maudy yang begitu serius menyiapkan bumbu, Arya merasa hatinya hangat. Tanpa ragu, ia mendekat dan berdiri di belakang istrinya, memeluknya erat seperti yang selalu ia lakukan, “Mas bantuin ya...” bisiknya di telinga sang istri.Maudy tersenyum kecil, merasa geli dengan pelukan suaminya yang tiba-tiba. “Mas, nanti malah gak selesai masaknya kalau begini terus,” Ujarnya sambil mengangkat bahunya, mencoba melepaskan diri dari pelukan manja Arya.Namun, Arya hanya tertawa kecil, ia malah semakin mengeratkan pelukannya, lalu tangannya mulai bergerak membantu Maudy dengan talenan.Mereka bekerja bersama di d
~Dirgantara Group~Arya duduk bersandar di kursi kebesarannya, tatapannya begitu serius.Di depannya, Jason mempelajari setiap halaman yang penuh dengan catatan dan gambar rencana yang sudah disusun oleh Maudy. Mata Jason sesekali menyipit, tak percaya dengan detail dan strategi yang ada di hadapannya.“Ini rencana istrimu? Dia menyusun semua ini sendiri?” Tanya Jason, tak menyangka.Arya mengangguk, tatapan matanya menajam seiring pikirannya berkecamuk. “Iya... Maudy yang buat!” Jawabnya.Jason menghela napas panjang, lalu menatap Arya, “Ini detail banget. Setiap langkah dihitung, kemungkinan serangan dipertimbangkan, bahkan titik-titik pelarian udah direncanakan. Tapi...” Jason menggantungkan kalimatnya, seolah menimbang kata-kata yang tepat. “Apa kamu benar-benar yakin ini cukup aman?” Tambahnya.Arya terdiam sejenak, menatap lurus ke depan, mengingat segala hal yang telah terjadi.“Aku rasa rencana Maudy masih kurang aman!! Kita gak bisa bergantung pada perhitungan ini. Orang-oran
Merasakan sentuhan istrinya, hati Arya mulai kembali menghangat. Ia bahagia karena Maudy mulai berani memeluknya. “Udah berani peluk nih.” Godanya.“Ah... Nggak sengaja, Mas...” Jawab Maudy, sambil melepas pelukannya.“Sengaja juga gak apa-apa, sini duduk di pangkuan Mas!!” Pinta Arya. Sebenarnya bisa saja ia langsung mengangkat tubuh Maudy, hanya saja ia ingin istrinya sendiri yang duduk di pangkuannya.“Enggak ah, Mas. Nanti Azzam liat, bahaya!” Tolak Maudy. Bukan karena Azzam sebenarnya, tapi ia malu untuk melakukan hal itu.“Kalau Azzam bangun bakal kedengeran pintunya, jadi gak usah khawatir. Ayo buruan duduk sini!” Ajak Arya lagi, menepuk-nepuk pahanya.Walaupun malu, Maudy perlahan naik ke pangkuan Arya, gerakan tubuhnya ragu sejenak sebelum ia benar-benar duduk di sana.Seketika, Maudy merasakan kehangatan pria itu menyelimuti tubuhnya, dan pipinya memerah malu. Perasaan canggung berbaur dengan getaran aneh di dadanya, seperti gejolak yang sulit ia jelaskan.“Nah kalau kaya gi
Di sofa ruangan CEO. Arya, Maudy dan Azzam tengah duduk bersama. Di hadapan mereka, terhidang kue buatan Maudy yang baru saja dibuka. “Wah... Ini kue paling enak yang pernah aku makan. Kamu hebat, sayang...” Puji Arya sambil melirik ke arah Maudy dan memberikan kedipan nakal. Tingkah Arya membuat Maudy tersipu malu. Sementara Azzam, yang duduk di sebelah Maudy mengangguk bangga. “lya, Papa... Azzam juga bantu bikin loh.” Ucapnya. Arya tersenyum lebih lebar, kemudian mengulurkan tangan dan menarik Maudy lebih dekat. Dengan perlahan ia mengecup kening Maudy, “Istriku ini memang yang paling pintar. Setiap hari makin cantik, dan masakannya makin enak,” Ucapnya sambil menggoda istrinya. Melihat itu, Azzam segera menunjukkan wajah cemberut. la memeluk lengan Maudy erat-erat, seolah melindungi Ibunya dari Arya, “Papa! Jangan cium Mama terus. Mama itu punya Azzam!!” Protesnya terdengar tegas, wajahnya terlihat jelas cemburu. Arya tertawa kecil, senang melihat reaksi anaknya. la menatap A