LOGIN“No, no, big no!” seru Lusi cepat sambil mengangkat tangan di depan wajah Nara. Dia merasa harus menghentikan arah pembicaraan sebelum menjadi lebih rumit. “Jangan pikirin hal itu lagi, Ra! Itu cuma bikin kamu makin kepikiran sama ucapan si bajingan itu!” katanya menegaskan.
Namun Wina malah bersandar santai di kursinya, menatap Nara dengan senyum menggoda.
“Ya tapi … emang seks nikmat, ‘kan?”
“Wina!” tegur Lusi refleks, menatap sahabatnya itu tajam.
“Apa?” Wina mengangkat alis. “Emang gue salah ngomong?” Dia menatap Lusi balik dengan agak menantang. “Atau… lo mau bilang kalau itu nggak enak?”
Lusi mendadak terdiam. Wajahnya memerah, sementara Wina terkekeh kecil, puas karena berhasil membuat sahabatnya bungkam.
“Udah, Lu. Aku nggak mau munafik di depan Nara, apalagi Nara udah gede. Dia tahulah yang mana yang bener, dan yang mana yang salah,” ujar Wina, nada suaranya berubah lebih lembut dan tenang. Kemudian, dia menatap Nara. “Dengar ya, Ra. Seks itu bukan cuma tentang dosa atau kenikmatan aja. Kadang, itu cara seseorang buat merasa dicintai… atau sekadar ngerasain kebutuhan dasar manusia. Keinginan untuk disentuh, buat ngerasa hangat, ngerasa… hidup.”
Nara menatap Wina terpaku. Kalimat itu terasa asing di telinganya, tapi juga menarik. Ia tak pernah mendengar seks dijelaskan dengan cara seindah itu.
Namun Wina melanjutkan, kali ini dengan nada lebih serius.
“Tapi, yang jelas… itu bukan alasan buat membenarkan perselingkuhan.”
Wina mengangkat gelasnya, meneguk isinya sedikit sebelum lanjut berkata, “Contohnya aku, misalnya. Aku sering tidur sama orang lain, dan aku tahu itu salah. Aku lakuin bukan karena cinta, tapi karena aku… ya, mungkin agak nggak waras aja.”
Lusi menatapnya prihatin, tahu ada cerita di balik kebiasaan buruk sahabatnya itu, tapi Wina hanya tersenyum miris.
“Sedangkan Lusi,” lanjutnya sambil menoleh ke arah sahabatnya, “mungkin beda. Dia dan pacarnya memang punya rencana menikah, kan? Jadi mungkin… mereka udah saling percaya?”
Lusi berdeham canggung mendengar itu, tapi dia hanya terdiam tanpa berkomentar, membuat Wina lanjut berkata, “Ya… intinya, seks itu beda-beda buat tiap orang. Ada yang cuma buat melampiaskan nafsu, ada yang buat ngerasain cinta, ada juga yang buat… nunjukin cinta. Nggak ada yang sepenuhnya benar atau salah. Termasuk kamu, yang milih buat nunggu sampai nikah. Itu juga bentuk cinta, bentuk penghargaan.”
Kata-kata itu membuat Nara terdiam lama. Ia tak menyangka di balik tindakan yang selama ini ia pandang tabu, ternyata ada penjelasan yang begitu manusiawi dan… indah. Untuk sesaat, pikirannya bimbang.
Namun ketenangan itu buyar ketika Wina tiba-tiba tertawa keras, menepuk meja sambil berseru,
“Tapi pada dasarnya sih, ya… emang enak aja! Hahaha!”
“Wina!” seru Lusi jengkel sambil mengetuk kepala sahabatnya cukup keras. “Jangan dengerin dia, Ra! Dia udah mabuk!”
“Gue nggak— mmp!” Wina menutup mulutnya sendiri dan tiba-tiba tampak pucat.
Lusi melotot. “Eh, jangan bilang lo mau—”
“Kayaknya… gue mo muntah…” gumam Wina pelan, wajahnya mulai menegang.
“Ya ampun, jangan muntah di sini, Win! Nanti kita ditegur!” seru Lusi panik.
Tanpa berpikir panjang, Lusi langsung berdiri dan membantu Wina bangkit dari kursinya. “Ra, tunggu di sini, ya. Aku bawa Wina ke toilet dulu!” Baru dua langkah berjalan, tiba-tiba Lusi menoleh lagi ke arah Nara. “Kalau ada yang nyamperin, inget aturan kita! Bilang aja kamu udah ada pacar, atau langsung cabut ke bouncer, oke?!”
Nara mengangguk pelan, lalu memerhatikan kedua sahabatnya yang berjalan ke arah toilet. Lusi tampak sedikit kesulitan karena Wina terus bergerak gelisah dan hampir terhuyung beberapa kali. Pemandangan itu sempat membuat Nara terkekeh kecil.
“Dua orang itu memang nggak pernah bisa diam,” gumamnya sambil tersenyum lemah.
Begitu kedua sahabatnya menghilang dari pandangan, Nara kembali duduk. Ia menggenggam gelas di hadapannya, membiarkan suara musik dan percakapan di sekelilingnya menjadi latar samar yang menenangkan.
Namun pikirannya justru kembali pada kata-kata Wina. Tentang seks. Tentang cinta. Tentang pengkhianatan.
Tanpa sadar, bayangan Abyan kembali muncul di benaknya. Bagaimana tubuh pria itu di atas wanita lain, gerakannya, suara napasnya, semuanya terputar jelas seperti mimpi buruk yang tak mau hilang.
Rasa jijik segera menyelinap, membuat perutnya bergejolak. Tapi di balik rasa itu, ada sesuatu yang lain.
Penasaran.
Nara ingat ekspresi wanita yang berada di bawah Abyan saat itu. Matanya terpejam, wajahnya tampak kehilangan kendali, seolah dunia di sekitarnya tak lagi ada, dan hanya kenikmatan yang menyelimutinya.
Nara menggigit bibir. Ia benci mengakuinya, tapi gambaran itu membuatnya bertanya-tanya.
Apa benar… perasaan seperti itu bisa membuat seseorang lupa segalanya?
Sadar akan arah pikirannya, Nara langsung menggeleng keras. “Astaga, aku kenapa sih!” gerutunya pelan seraya langsung meneguk isi gelas di depannya, berharap cairan itu bisa menenangkan pikirannya.
Namun, begitu rasa panas terbakar di tenggorokan, Nara tersentak selagi menatap gelas di tangan yang sudah kosong.
Itu … bukan minumannya! Melainkan milik Wina, yang kandungannya sangat tinggi dan keras!
Bisa merasakan panas alkohol cepat sekali menjalar, Nara gegas meraih gelas air putih dan meneguknya cepat-cepat, berharap efeknya bisa berkurang. Tapi… sudah terlambat! Pandangannya perlahan mulai buram, tubuhnya terasa ringan, dan dentuman keras mengetuk isi kepalanya dan membuatnya pening.
Nara berusaha berdiri. “Aku… harus nyusul mereka,” ucapnya pelan, mulai berjalan tertatih menembus kerumunan di bar yang semakin ramai, berusaha menuju arah toilet.
Pikir Nara, pun dia mabuk, tapi kalau bersama temannya, itu akan lebih aman dibandingkan sendirian!
Hanya saja, rencana lebih mudah dibuat dibanding dijalankan. Karena di tengah jalan, bahu Nara malah menabrak seseorang hingga gelas di tangan pria itu tumpah dan mengenai bajunya.
“Hei! Nggak bisa lihat, ya?!” bentak pria itu marah.
Nara buru-buru menunduk. “M-maaf, aku nggak sengaja!”
“Dasar—”
Tiba-tiba, pria itu menghentikan ucapannya begitu melihat wajah Nara. Tatapannya langsung berubah. Dari marah menjadi menilai. Bibirnya menyunggingkan senyum miring.
“Eh… kamu kan Nara Zoe, ‘kan? Anak teladan jurusan Arsitektur itu?!” tanyanya, sedikit bersemangat dan membuat Nara gugup.
Pria ini mengenalnya?
“I-iya?” jawabnya ragu.
Senyuman di bibir pria itu semakin merekah. “Wah! Nggak nyangka gue! Anak teladan bisa di tempat begini juga? Kenapa? Pusing pelajaran, jadi lagi mau main-main?” godanya dengan tatapan nakal selagi menilai pakaian Nara yang hari itu sederhana, tapi anggun, membuatnya semakin menarik untuk dilihat di antara para wanita berpakaian seksi di tempat tersebut.
Merasa ada yang tidak beres, dan juga karena efek alkohol membuat tubuhnya semakin kehilangan kendali, Nara pun langsung berkata, “Eh … maaf, aku permisi dulu. Harus ke— ah!”
“Eits! Jangan ke mana-mana dulu dong!” ucap si pria yang langsung menarik tangan Nara yang tadi ingin pergi. “Lo sendirian, ‘kan? Daripada sendirian, mending bareng gue malam ini!”
Nara mencoba melepaskan diri. “A-aku nggak sendirian. Aku sama teman-temanku!” Saat kalimat itu terucap, baru Nara sadar dia salah.
“Ya, sama teman perempuan, ‘kan? Mending sama gue dong. Gue bisa—”
Sebelum pria itu sempat berucap lebih jauh, sebuah tangan tiba-tiba mendorong tubuh pria itu dengan keras.
BRAK!
Pria itu jatuh menabrak kursi di belakangnya. Suara benturan menarik perhatian beberapa pengunjung di sekitar.
Nara terkejut. Tubuhnya ditarik ke belakang dan langsung jatuh ke dalam pelukan seseorang. Hangat. Kuat. Dan anehnya… terasa aman.
“Sial—” Baru saja ingin melontarkan makian, suara pria yang jatuh itu terputus begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Tatapan berani di matanya lenyap digantikan ketakutan yang jelas.
Nara, masih setengah mabuk, perlahan mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang menolongnya, dan sontak dia membeku.
Sosok pria itu berdiri tegap selagi memeluknya. Wajahnya dingin, sorot matanya tajam, dan garis rahangnya tegas. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi justru menambah kesan liar dan berbahaya.
“A-Aland …?”
Dipanggil, pria yang dikenal oleh orang-orang kampus sebagai anjing gila universitas ___ itu langsung menoleh.
“Nara Zoe,” panggil Aland dengan pancaran mata gelap. “Nggak seharusnya gadis teladan berada di tempat seperti ini.”
Detik itu, Nara merasakan jantungnya berdebar keras satu kali.
Kenapa, dari sekian banyak orang, dia harus bertemu teman masa kecilnya di sini? !
Deg! Nara melupakan bagian itu. Bagian dimana Aland memagut bibirnya untuk membuat Abyan yakin jika mereka berdua memiliki hubungan khusus. Tak terpikir olehnya jawaban dari ciuman itu. Aland sendiri menyebutnya trik. Ia melakukannya tanpa berpikir bagaimana perasaan Nara. Siapa yang tahu empat tahun pacaran Nara bahkan tak pernah bersentuhan bibir. Dan ciuman bersama Aland adalah kali pertama. Hal ini tidak boleh diketahui sahabatnya. Jika sampai mereka tahu first kiss itu milik teman kecilnya sendiri bisa hancur harga dirinya. “Eee... sebenarnya- itu, itu benar.” jawabnya lirih. “Apa?!” Wina histeris menanggapi.”Gila! Hebat kali ya si Aland itu, benar-benar badboy kelas kakap tahu nggak!” Nara pikir sahabatnya akan menanggapi dengan terkejut, marah, tapi malah kagum? “Kamu pasti malu banget ya Na, kamu nggak pa-pa kan?” tanya Lusi khawatir. Nara mengatur nafasnya sebaik mungkin, berusaha tenang dan lega. “Nggak pa-pa kok, Aland juga udah minta maaf atas perbuatannya. Tapi di
“Se-secepat itu Lus berita menyebar?” suara lemas Nara terdengar pasrah. Ia menengok ke arah Aland yang terlihat santai. Wajah Nara mulai memucat. Ia bisa bayangkan bagaimana orang lain menerka hubungannya dengan Aland.“Na? Katakan, itu nggak benar kan?” tanya Lusi terdengar menekan Nara untuk memberi jawaban sesuai pikirannya. Nara bingung menjawab, ia tergagap saat itu.”Na-nanti aku jelaskan Lus, aku tutup dulu telponnya. Dah!”Setelah menutup panggilan dari Lusi, ia terlihat meremas sebagian rambutnya. Pandangannya tajam menuju pada manusia disampingnya. Aland mencoba menenangkannya dengan mengelus pundaknya, namun Nara tampak makin geram dan menampilkan sentuhan Aland. “Semua ini gara-gara idemu tahu nggak?!”seru Nara.Aland melirik kanan kiri lalu menjawab,”Sudah terlanjur Na-.”“Iya terus gimana solusinya?”Pertanyaan Nara terdengar putus asa dengan kabar yang begitu cepat beredar. Yang ia khawatirkan bagaimana jika hal ini sudah terdengar oleh dosen-dosennya?Nara begitu ak
Bab 9 ‘‘Pa-pacar?’ Mendadak tubuh Nara kaku. Matanya membesar, sulit percaya dengan apa yang baru saja Aland katakan. Di sisi lain, wajah Abyan langsung memucat. Pernyataan Aland tadi menghantam harga dirinya tanpa ampun. Niat mempermalukan Nara malah berakhir berbalik mempermalukan dirinya sendiri! Seakan tidak cukup, dia juga menjadi sakit hati! Bagaimana bisa Nara tega meninggalkannya demi pria lain dengan begitu cepat seperti ini?! “Nara, kamu—” Dia ingin menuntut penjelasan, tapi setelah semua yang dia katakan, juga statusnya saat ini yang bukan lagi pacar Nara, Abyan merasa tenggorokannya tercekat. Di sisi lain, melihat Abyan terdiam, Nara gegas langsung mengambil kesempatan dengan berkata, “Jangan temui aku lagi.” Lalu, dia meraih tangan Aland dan menariknya pergi dari sana. ** BRAK! Suara tubuh yang menabrak mobil terdengar. Di saat bersamaan, tampak sosok Nara yang memojokkan sosok Aland ke mobil pria tersebut di area parkiran. “Apa itu tadi?!” Aland menaikkan al
“Siapa lo, hah?!” Abyan berdiri sambil mendongak, air hujan mengucur di wajah dan lehernya. Suaranya pecah, tapi cukup keras untuk memantul di antara gedung kampus yang mulai sepi. “Siapa lo sampai berani ikut campur? Ini urusan gue sama Nara!” lanjutnya, napas memburu. “Kami itu sepasang kekasih. Lo orang luar, nggak punya hak ikut campur apa pun!” Di sampingnya, tangan Nara masih digenggam Abyan erat, dingin dan licin oleh air hujan. Cengkeraman itu mulai terasa menyakitkan. Aland mendengus pelan. Payung di tangannya miring sedikit, cukup untuk tetap melindungi Nara, tapi membiarkan sebagian tubuhnya sendiri basah terkena hujan. “Yang lebih pantas dipanggil orang luar itu siapa, menurutmu?” tanyanya datar. “Kamu yang nggak tahu hubunganku dengan Nara sedekat apa… atau aku, yang tahu jelas kamu sama sekali tidak pantas untuk Nara?” “Kamu–!” “Cukup!” Suara Nara memotong kalimat Abyan dengan tegas. Lebih tegas dari biasanya, bahkan untuk dirinya sendiri. Abyan terhenyak, menol
“Tidur bareng?” Nara berbalik tanya membuat kedua sahabatnya melongo. “E...Iya sih, tidur bareng-” “APA?” Wina dan Lusi serentak dengan nada tinggi. “Kamu beneran tidur bareng sama Aland?! Gila kamu Na!” sentak Wina. “Win! Mulutmu!” hardik Nara dengan isyarat tangan. Seketika Wina membungkam mulutnya sendiri. Alih-alih takut orang lain akan mendengarnya dan salah paham. “Kalian tahu maksudnya tidur bareng nggak sih?” tanya Nara pelan. “Kita tuh sering kali, waktu kecil tidur bareng, dan semalam kita tidurnya ya tidur aja biasa aja, nggak ngapa-ngapain kok!” ungkapnya santai. Lusi menghela napas lega. Berbeda dengan Wina seolah tak terima, istilah tidur bareng baginya adalah merujuk pada hal intim. “Tidur biasa? Tanpa adegan dewasa maksudnya?” cecar Wina,”Mana mungkin?” logikanya nggak mungkin lelaki nganggurin gadis secantik Nara apalagi dalam kondisi mabuk. Namun penjelasan Nara agaknya buat Wina merasa sesuatu,“Tunggu-tunggu! kau bilang waktu kecil?” Wina mencoba berpikir d
Melihat Aland hanya terdiam, kepala Nara langsung dipenuhi sejuta pertanyaan. Bagaimana bisa dia begitu ceroboh dan tidur dengan Aland?! Pria itu adalah sahabat kecilnya! Bagaimana kalau Aland bilang ke orang lain? Bagaimana kalau Wina dan Lusi tahu? Dan yang paling membuatnya takut setengah mati adalah… bagaimana kalau seisi kampus tahu ini terjadi dan… reputasinya sebagai murid berprestasi terancam?!Beasiswanya akan dicabut! Di saat Nara pusing memikirkan semua hal itu, tiba-tiba— “Pfft….” Nara tersentak, lalu dengan cepat dia menoleh. Terduduk di sisinya, sosok Aland tampak tersenyum menahan tawa. “Kenapa kamu tertawa?!” Aland melirik Nara, masih tersenyum. Dia tidak menjawab segera dan hanya menyibakkan selimutnya sendiri dengan gerakan malas, lalu berdiri santai. “Nggak terjadi apa-apa,” ucap Aland akhirnya. Nara membeku. “Hah?” Aland meraih handuk dari gantungan dan berkata datar, “Kita cuma tidur bersama, tanpa melakukan hal lain.” Dia melanjutkan, “Kamu







