LOGINAland.
Nama itu sudah lama tidak Nara dengar, apalagi ucapkan.
Akan tetapi, nama tersebut menyimpan begitu banyak kenangan lama terpendam yang sekarang dipaksa untuk keluar.
Sejak ayah Nara meninggal karena kecelakaan konstruksi, Aland, teman sekolah sekaligus tetangga sebelah rumahnya, menjadi satu-satunya sosok yang selalu ada di sisinya.
Saat anak-anak lain menjauhi Nara karena dianggap pembawa sial, Aland justru menemaninya bermain, menenangkannya setiap kali ia menangis, dan melindunginya dari ejekan anak-anak sekitar yang memanggilnya “anak yatim.”
Keluarga mereka pun menjadi dekat. Ibu Nara, Laudya, seorang direktur pemasaran yang sibuk dan jarang di rumah, sering menitipkan Nara di rumah keluarga Dashiel. Sebaliknya, Ibu Aland yang lembut dan penyayang memperlakukan Nara seperti putrinya sendiri.
Hari-hari mereka diisi dengan tawa, belajar bersama di teras rumah, saling bertukar bekal, hingga mimpi besar yang mereka ucapkan dengan polos di bawah langit senja.
“Tunggu saja, Nara,” ujar Aland waktu itu dengan nada percaya diri khas anak kecil. “Aku akan bangun rumah yang kuat dan kokoh supaya kamu nggak perlu takut kehilangan lagi.”
Kalimat kecil itu selalu diingat Nara. Sederhana, tapi pada masa itu terasa seperti janji paling tulus yang pernah ia dengar.
Namun, hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Karena seiring mereka beranjak dewasa, Aland perlahan berubah. Dia menjadi sosok yang dingin dan juga menutup diri, seakan tidak suka kalau ada orang mendekat dan mencoba mengerti dirinya, bahkan kalau orang itu adalah Nara. Walau demikian, Nara tetap bertekad untuk menjaga hubungan dengannya.
Sampai akhirnya, satu malam itu terjadi dan menghancurkan segalanya.
Nara masih ingat, saat itu ia baru saja masuk kuliah dan mulai tinggal di asrama. Namun, karena masih ada beberapa pakaian yang tertinggal di rumah, Nara memutuskan untuk pulang demi mengambil barang-barangnya. Kebetulan, di waktu yang sama, Irene—ibu Aland—meminta tolong padanya untuk mengantarkan beberapa barang milik Aland yang juga tertinggal.
“Maaf Tante merepotkan ya, Nara ….”
“Nggak masalah, Tante. Toh, apartemen Aland dan asramaku juga dekat,” ucapnya, merasa itu hanya hal kecil bila dibandingkan dengan betapa besar utangnya terhadap Irene yang sudah ikut mengurusnya selama ini.
Setelah itu, Nara pun langsung pergi dengan titipan Irene untuk Aland, yang kini tinggal sendirian di apartemen barunya.
Namun, begitu sampai di depan pintu apartemen Aland, Nara malah disambut suara desahan aneh dari dalam apartemen.
“Aland, jangan terus menolak ….”
“Buka bajumu ….”
Langkah Nara pun langsung terhenti. Dia mengangkat pandangan, dan terbelalak melihat pemandangan di dalam dari celah pintu apartemen yang terbuka.
Nara bisa melihat seorang perempuan asing menindih tubuh Aland yang setengah tidak sadar di sofa, tangannya sibuk menanggalkan kemeja pria itu sambil tertawa kecil.
Refleks, Nara langsung menerobos masuk dan berseru, “Berhenti! Menjauh darinya!” Dia menarik tubuh wanita itu dengan kasar, membuatnya memekik kaget. Lalu, Nara pun beralih pada sahabatnya yang setengah tidak sadarkan diri itu. “Aland, bangun!” serunya, mencoba menyadarkan Aland dengan menampar pipinya.
Saat mata Aland terbuka, dia menautkan alis. “Nara …?”
Bau alkohol menguar dari mulutnya, membuat Nara mengernyit. Bukannya malam ini seharusnya Aland mengikuti acara penyambutan murid baru oleh para senior, kenapa dia malah jadi minum sebanyak ini?!
Nara pun menoleh dan melihat wanita yang baru saja berdiri merapikan diri dengan wajah kesal. Seketika, dia yakin kalau wanita asing itu adalah salah satu senior yang berusaha menjebak Aland!
Marah melihat temannya hampir terjerumus hal terlarang, Nara pun langsung berseru, “Silakan keluar dari tempat ini!”
“Hei! Apa-apaan?!” seru senior itu.
Namun, baru saja Nara hampir berhasil mendorong senior tersebut keluar dari ruangan, mendadak sebuah tangan mencengkeramnya.
Nara menoleh, lalu melihat itu Aland. Dan berbeda dari biasanya, pancaran mata pria itu gelap, asing.
“Kenapa kamu di sini?” tanyanya dengan suara rendah yang mengerikan.
“Aku … ibumu memintaku mengantarkan barangmu yang tertinggal. Tapi, aku malah melihat wanita itu—”
“Berhenti ikut campur dalam hidupku!” potong Aland tajam, mengejutkan Nara. “Kamu pikir kamu siapa terus-menerus melakukan itu? Bagian dari keluargaku?”
Kalimat itu menusuk hati Nara lebih dalam dari apa pun. Dia memang bukan keluarga, tapi … bukankah dia teman kecil Aland?
Berpikir Aland mabuk, Nara berusaha menghadapinya dengan tenang. “Aland, aku cuma—”
“Keluar.” Tatapan mata Aland dingin. “Mulai hari ini, berhenti ikut campur urusanku. Aku muak melihatmu terus menempel padaku hanya karena kamu kesepian!”
Hening.
Nara menatapnya beberapa detik, tak percaya dengan apa yang baru ia dengar.
Lalu, tanpa berkata apa pun lagi, ia meletakkan tas berisi titipan Irene di atas meja, berbalik, dan melangkah pergi.
Sejak malam itu, Nara tidak pernah datang lagi ke apartemen Aland.
Tidak ada pesan, tidak ada sapaan. Hubungan mereka terputus begitu saja.
Nara memutuskan untuk fokus pada kuliahnya, mengejar prestasi, dan membangun reputasi baru tanpa bayang-bayang masa lalu.
Sementara dari kejauhan, ia hanya mendengar kabar tentang Aland yang berubah semakin liar. Berkelahi, berpesta, memukul senior, bahkan disebut-sebut dekat dengan banyak perempuan.
Namun, Nara memilih untuk tidak peduli.
Ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa Aland Dashiel hanyalah orang asing baginya. Persis seperti yang pria itu inginkan.
Setidaknya, begitu pikirnya.
Sampai malam ini.
Pria yang sudah lama ia anggap seperti orang asing itu kembali berdiri di hadapannya, membantunya dengan tatapan yang sama, tapi aura yang berbeda.
“Aland, aku—"
Baru saja ingin bicara, tapi kalimat Nara terpotong oleh pria yang tadi berusaha menggodanya.
“Apa sih masalah lo?!” gerutunya pada Aland. “Gue lagi PDKT sama dia. Jangan ikut campur!”
Aland menatapnya datar. “PDKT?” Ia menoleh ke Nara sejenak, lalu kembali menatap pria tadi. “Mustahil murid teladan kebanggaan kampus mau berurusan dengan sampah kelas bawah.”
Ucapan itu membuat beberapa orang yang menonton langsung bergumam. Pria itu tersentak, jelas tersinggung berat. Rahangnya mengeras.
“Kalau gue disebut sampah kelas bawah, lo apa, hah?!” geram pria itu. “Kalau bukan karena duit bokap lo, lo udah ditendang dari kampus sejak lama! Semua orang tahu lo cuma hidup dari nama keluarga dan sikap lo yang murahan! Profesor aja ditidurin, dasar gigolo!”
Deg! Nara melupakan bagian itu. Bagian dimana Aland memagut bibirnya untuk membuat Abyan yakin jika mereka berdua memiliki hubungan khusus. Tak terpikir olehnya jawaban dari ciuman itu. Aland sendiri menyebutnya trik. Ia melakukannya tanpa berpikir bagaimana perasaan Nara. Siapa yang tahu empat tahun pacaran Nara bahkan tak pernah bersentuhan bibir. Dan ciuman bersama Aland adalah kali pertama. Hal ini tidak boleh diketahui sahabatnya. Jika sampai mereka tahu first kiss itu milik teman kecilnya sendiri bisa hancur harga dirinya. “Eee... sebenarnya- itu, itu benar.” jawabnya lirih. “Apa?!” Wina histeris menanggapi.”Gila! Hebat kali ya si Aland itu, benar-benar badboy kelas kakap tahu nggak!” Nara pikir sahabatnya akan menanggapi dengan terkejut, marah, tapi malah kagum? “Kamu pasti malu banget ya Na, kamu nggak pa-pa kan?” tanya Lusi khawatir. Nara mengatur nafasnya sebaik mungkin, berusaha tenang dan lega. “Nggak pa-pa kok, Aland juga udah minta maaf atas perbuatannya. Tapi di
“Se-secepat itu Lus berita menyebar?” suara lemas Nara terdengar pasrah. Ia menengok ke arah Aland yang terlihat santai. Wajah Nara mulai memucat. Ia bisa bayangkan bagaimana orang lain menerka hubungannya dengan Aland.“Na? Katakan, itu nggak benar kan?” tanya Lusi terdengar menekan Nara untuk memberi jawaban sesuai pikirannya. Nara bingung menjawab, ia tergagap saat itu.”Na-nanti aku jelaskan Lus, aku tutup dulu telponnya. Dah!”Setelah menutup panggilan dari Lusi, ia terlihat meremas sebagian rambutnya. Pandangannya tajam menuju pada manusia disampingnya. Aland mencoba menenangkannya dengan mengelus pundaknya, namun Nara tampak makin geram dan menampilkan sentuhan Aland. “Semua ini gara-gara idemu tahu nggak?!”seru Nara.Aland melirik kanan kiri lalu menjawab,”Sudah terlanjur Na-.”“Iya terus gimana solusinya?”Pertanyaan Nara terdengar putus asa dengan kabar yang begitu cepat beredar. Yang ia khawatirkan bagaimana jika hal ini sudah terdengar oleh dosen-dosennya?Nara begitu ak
Bab 9 ‘‘Pa-pacar?’ Mendadak tubuh Nara kaku. Matanya membesar, sulit percaya dengan apa yang baru saja Aland katakan. Di sisi lain, wajah Abyan langsung memucat. Pernyataan Aland tadi menghantam harga dirinya tanpa ampun. Niat mempermalukan Nara malah berakhir berbalik mempermalukan dirinya sendiri! Seakan tidak cukup, dia juga menjadi sakit hati! Bagaimana bisa Nara tega meninggalkannya demi pria lain dengan begitu cepat seperti ini?! “Nara, kamu—” Dia ingin menuntut penjelasan, tapi setelah semua yang dia katakan, juga statusnya saat ini yang bukan lagi pacar Nara, Abyan merasa tenggorokannya tercekat. Di sisi lain, melihat Abyan terdiam, Nara gegas langsung mengambil kesempatan dengan berkata, “Jangan temui aku lagi.” Lalu, dia meraih tangan Aland dan menariknya pergi dari sana. ** BRAK! Suara tubuh yang menabrak mobil terdengar. Di saat bersamaan, tampak sosok Nara yang memojokkan sosok Aland ke mobil pria tersebut di area parkiran. “Apa itu tadi?!” Aland menaikkan al
“Siapa lo, hah?!” Abyan berdiri sambil mendongak, air hujan mengucur di wajah dan lehernya. Suaranya pecah, tapi cukup keras untuk memantul di antara gedung kampus yang mulai sepi. “Siapa lo sampai berani ikut campur? Ini urusan gue sama Nara!” lanjutnya, napas memburu. “Kami itu sepasang kekasih. Lo orang luar, nggak punya hak ikut campur apa pun!” Di sampingnya, tangan Nara masih digenggam Abyan erat, dingin dan licin oleh air hujan. Cengkeraman itu mulai terasa menyakitkan. Aland mendengus pelan. Payung di tangannya miring sedikit, cukup untuk tetap melindungi Nara, tapi membiarkan sebagian tubuhnya sendiri basah terkena hujan. “Yang lebih pantas dipanggil orang luar itu siapa, menurutmu?” tanyanya datar. “Kamu yang nggak tahu hubunganku dengan Nara sedekat apa… atau aku, yang tahu jelas kamu sama sekali tidak pantas untuk Nara?” “Kamu–!” “Cukup!” Suara Nara memotong kalimat Abyan dengan tegas. Lebih tegas dari biasanya, bahkan untuk dirinya sendiri. Abyan terhenyak, menol
“Tidur bareng?” Nara berbalik tanya membuat kedua sahabatnya melongo. “E...Iya sih, tidur bareng-” “APA?” Wina dan Lusi serentak dengan nada tinggi. “Kamu beneran tidur bareng sama Aland?! Gila kamu Na!” sentak Wina. “Win! Mulutmu!” hardik Nara dengan isyarat tangan. Seketika Wina membungkam mulutnya sendiri. Alih-alih takut orang lain akan mendengarnya dan salah paham. “Kalian tahu maksudnya tidur bareng nggak sih?” tanya Nara pelan. “Kita tuh sering kali, waktu kecil tidur bareng, dan semalam kita tidurnya ya tidur aja biasa aja, nggak ngapa-ngapain kok!” ungkapnya santai. Lusi menghela napas lega. Berbeda dengan Wina seolah tak terima, istilah tidur bareng baginya adalah merujuk pada hal intim. “Tidur biasa? Tanpa adegan dewasa maksudnya?” cecar Wina,”Mana mungkin?” logikanya nggak mungkin lelaki nganggurin gadis secantik Nara apalagi dalam kondisi mabuk. Namun penjelasan Nara agaknya buat Wina merasa sesuatu,“Tunggu-tunggu! kau bilang waktu kecil?” Wina mencoba berpikir d
Melihat Aland hanya terdiam, kepala Nara langsung dipenuhi sejuta pertanyaan. Bagaimana bisa dia begitu ceroboh dan tidur dengan Aland?! Pria itu adalah sahabat kecilnya! Bagaimana kalau Aland bilang ke orang lain? Bagaimana kalau Wina dan Lusi tahu? Dan yang paling membuatnya takut setengah mati adalah… bagaimana kalau seisi kampus tahu ini terjadi dan… reputasinya sebagai murid berprestasi terancam?!Beasiswanya akan dicabut! Di saat Nara pusing memikirkan semua hal itu, tiba-tiba— “Pfft….” Nara tersentak, lalu dengan cepat dia menoleh. Terduduk di sisinya, sosok Aland tampak tersenyum menahan tawa. “Kenapa kamu tertawa?!” Aland melirik Nara, masih tersenyum. Dia tidak menjawab segera dan hanya menyibakkan selimutnya sendiri dengan gerakan malas, lalu berdiri santai. “Nggak terjadi apa-apa,” ucap Aland akhirnya. Nara membeku. “Hah?” Aland meraih handuk dari gantungan dan berkata datar, “Kita cuma tidur bersama, tanpa melakukan hal lain.” Dia melanjutkan, “Kamu







