Mahendra mendengkus ketika mencoba jas miliknya. Julia pun tak dapat menahan tawanya ketika melihat ekspresi dari sang suami.
"Kamu serius memakaikanku jas seperti ini?" "Memangnya kenapa? Ini bagus, sayang. Kamu terlihat seperti seorang raja." "Ah!" Mahendra hanya geleng-geleng kepala. Terlebih dilihatnya Nadya yang masih betah memakai gaun pengantin dengan banyak rumbai itu. "Kamu tampan dengan pakaian itu. Jadi jangan banyak protes!" Julia tahu betul watak suaminya yang sedikit cerewet ini. Jadi, lebih baik ucapan Mahendra langsung ditangkis saja. Selesai melakukan fitting, ketiganya makan bersama di sebuah restoran bintang lima. Kali ini, Nadya harus meneguk ludahnya berkali-kali ketika harus duduk satu meja dengan Mahendra. Biasanya ada Sam yang akan menenangkannya ketika gugup, tapi sekarang.. Nadya merasa sedang uji nyali di medan perang. "Sejauh mana persiapan pernikahan?" Tanya Mahendra sembari membelah steaknya. "85%. Tinggal menyebarkan undangan dan menunggu komentar Sam mengenai pakaian pengantinnya. Sisanya ada WO yang mengurus." Jawab Julia. "Tugasmu begitu berat setelah mereka menikah nanti. Kamu harus mendidik gadis itu." Julia tersenyum sembari menatap Nadya yang sedang duduk di hadapannya. Wanita itu tampak memakan makanannya perlahan, takut jika cara makannya akan dikoreksi oleh Raja dan Ratu ini. "Tenang saja. Nadya sudah punya modalnya. Dia cantik dan juga pintar. Dia sangat pantas menjadi pendamping dari Samudera." "Ya. Kita lihat saja nanti!" Nadya tersenyum senang mendengar pujian dari Julia. Walau nantinya setelah menikah tugasnya akan berat. Selain melayani suaminya, ia juga harus dituntut menjadi istri seorang CEO yang berkelas. Seperti Julia. Oleh karena itu, Nadya akan belajar banyak dari calon ibu mertuanya. Bunyi ponsel terdengar, rupanya ada panggilan masuk ke ponsel Julia. "Dari WO. Tunggu sebentar." Ucap Julia. Ia memilih mengangkat teleponnya di toilet karena suasana restoran yang cukup ramai. Nah, sekarang tinggal Mahendra dan Nadya saja di meja makan ini. Nadya sendiri jadi salah tingkah. Ingin membuka suara takut dianggap kurang ajar, tapi jika diam saja dia bisa dicap wanita tak tahu diri. "Terima kasih sudah merestui hubungan kami, Tuan." Akhirnya Nadya tahu apa yang harus ia ucapkan. "Perjalananmu masih panjang. Jangan ucapkan terima kasih sekarang." Mahendra menghentikan makannya dan menatap tajam Nadya. Dia sampai heran apa yang membuat putranya sampai jatuh hati. Wanita yang disebrangnya ini hanya wanita biasa. Dia cantik tapi tidak istimewa. Tak ada aura bangsawan ataupun berkelas pada wanita ini. Terlebih lagi, Mahendra tahu jika Nadya bekerja sebagai pelayan. Memalukan citra Mahendra sebagai pemilik dari perusahaan besar. "Walau begitu.. saya masih bersyukur karena Tuan mau menerima saya di keluarga anda. Saya benar-benar terharu." Mahendra langsung tersenyum miring. "Menerimamu? Kita lihat saja nanti." Sekitar 15 menit, Julia muncul setelah menerima telepon dari WO. "Maaf, lama menunggu. Tadi sedikit ada masalah dengan dekorasinya." Ucap Julia sembari memandang Nadya yang tertunduk. Wajah wanita itu tampak memerah. "Kamu kenapa, Nadya?" "Dia menangis." Jawab Mahendra. "Kamu yang membuatnya menangis, mas?" "Bukan." Sela Nadya cepat. "Saya hanya terharu karena Tuan dan tante menerima saya sebagai calon menantu kalian." "Astaga.." Julia sampai tertawa. "Aku pikir karena apa tadi. Kalau sudah selesai makannya lebih baik kita pulang saja. Hari mulai malam." Tak terasa kini berlalu menjadi dua minggu menjelang pernikahan. Samudera dengan gagahnya memakai jas pengantin yang akan dipakainya kelak. Ditemani oleh Nadya, ia melakukan fitting pakaian. "Bagaimana menurutmu?" "Tampan.. sangat tampan." "Dan kamu lebih cantik lagi." Sam mengulurkan tangannya yang diterima oleh Nadya. Mengecup tangan itu dan mengajaknya berdansa. Melalui kibasan tangannya, Sam menyuruh dua pelayan yang berjaga keluar dari ruang fitting ini karena dia ingin bermesraan dengan kekasihnya. "Apa kamu ingin berdansa di resepsi pernikahan kita nanti?" Tanya Nadya. "Iya. Aku ingin berdansa denganmu." Sam memutar tubuh Nadya dengan lengannya. Keduanya berdansa bersama dengan beberapa kali Nadya yang tak sengaja menginjak kaki calon suaminya. "Oh, maaf!" Nadya tertawa yang dengan cepat dibungkam oleh Sam dengan sebuah ciuman. "Mas, cukup! Kamu nggak sabar banget sih!" "Aku memang tidak sabar lagi untuk menunggu malam pengantin kita. Apa boleh dipercepat?" Nadya tertawa lagi. "Jangan, sayang. Tahan nafsumu. Setelah menikah, aku akan menjadi milikmu selamanya.." "Benar juga. Aku akan menahannya demi dirimu." Sam memberikan kecupan di dahi sebagai hadiahnya. "Sayang.. apa kamu percaya padaku?" Tanya Nadya memandang lekat. "Jelas, aku percaya padamu." "Jika aku berbohong, apa kamu tetap percaya?" Sam lalu menepikan anak rambut Nadya ke belakang telinga. "Untuk apa kamu berbohong? Aku tahu betul siapa dirimu." Nadya tersenyum mendengar jawaban calon suaminya. "Jika aku pergi.. apa kamu akan mencariku?" "Memangnya kamu mau kemana?" Dahi Sam sampai mengernyit. "Mungkin saja, jika ajal lebih dulu menjemputku sebelum pernikahan kita." "Hey.. kenapa harus membicarakan kematian di hari bahagia kita, sayang?" "Aku cuma berandai-andai, mas." Jawab Nadya dengan suara serak menahan tangisnya. "Dengarkan aku. Jikapun maut memisahkan kita, maka aku akan menyusulmu. Jika kita tidak bisa bersama di dunia, maka kita bisa bersama di surga." Air mata Nadya terjatuh mendengar ketulusan dari Sam. Ia pun memeluk calon suaminya dengan erat. "Aku sangat mencintaimu, mas." "Aku juga sama.. jangan pikirkan hal aneh lagi. Sekarang fokus saja pada pernikahan kita." Sahut Sam sembari membelai punggung kekasihnya. Tak terasa dua minggu berlalu, hari ini adalah hari yang ditunggu oleh Sam. Dimana hari ini ia akan resmi menjadi suami dari wanita yang begitu dicintainya. Para keluarga, kolega serta tamu undangan yang lain telah tiba dan duduk manis di kursi tamu yang tersedia. Begitu juga dengan pendeta yang sudah menunggu di altar pelaminan. Sahabat Sam yaitu Andri, Gery dan Richard mendampingi calon pengantin pria menuju altar yang sudah menunggunya. Keempatnya bersahabat sejak sekolah menengah. Tiga pria itu juga mengenal Nadya dengan baik. Jelas saja pernikahan mereka ini menjadi kabar bahagia bagi mereka. "10 menit lagi calon istrimu akan datang." Bisik Gery menepuk bahu sahabatnya. Ia lalu duduk di kursi tamu meninggalkan Sam yang berdiri di depan pendeta. 10 menit terasa satu jam, jantung Sam sampai berdebar tak karuan. Ia terus menghitung waktu dari detik ke menit untuk mengusir rasa gugup di hatinya. Hingga 10 menit berlalu, pintu yang terbuka itu masih terlihat kosong. Petugas yang menunggu di depan hotel pun belum mengabarkan kehadiran sang mempelai wanita. Benar-benar menjadi satu jam, kini Sam tak sabar karena Nadya yang tak kunjung datang. "Richard. Coba kamu cari tahu apa yang terjadi dengan Nadya. Aku takut terjadi sesuatu padanya." Pinta Sam. Tiba-tiba saja perasaannya tak enak, seperti sesuatu yang besar akan terjadi. Ia takut ucapan Nadya yang mengatakan ajal menjemput itu berubah kenyataan. Oh, Sam tak bisa membayangkan apa yang terjadi. Richard mengangguk dan pergi meninggalkan ballroom, ketika dia datang kembali, dia membawakan sebuah surat dan diberikannya pada Sam. "Petugas hotel bilang ada kurir yang mengantarkan ini untukmu." "Apa ini?" Tanya Sam. Richard tertunduk dan tak mau menjawab. Biarlah sahabatnya sendiri yang membukanya. Sam mengambil surat tersebut dan membacanya. Sebuah ukiran tulisan dari Nadya. "Nadya.." lirih Sam berkaca-kaca. Nadya mengirimkan surat perpisahan.Baik Julia maupun Nadya bergantian melihat Sam dan Mahendra yang sama-sama beradu pandangan. Tak bisa Julia biarkan jika seperti ini. Apa mereka lupa kalau memiliki hubungan darah?Oh, Julia tak mau hubungan antara ayah dan anak ini merenggang. Apalagi akan ada cucu yang menjadi pelengkap keluarga mereka."Duduk disini, Sam!" Belum saja Julia mengeluarkan suara rupanya Mahendra lebih dulu."Kita bicara sebentar."Sam mengusap lengan Nadya pelan, ia lalu mengajak istrinya duduk di sofa yang ada di ruang kerja. Begitu juga Julia yang mengambil tempat."Mau bicara apa?" Tanya Sam dingin."Mamamu benar. Dua bulan lagi istrimu akan melahirkan. Tolong pikirkan apakah tempat ini pantas untuk menerima seorang bayi? Ini tempat kerja bukan rumah.""Lalu apa mau papa? Menyingkirkan anakku?" Sam akan mengamuk jika hal itu terjadi.Mahendra berusaha untuk tenang menghadapi kemarahan anaknya. Ia mengerti sikap Sam begini juga karena ulahnya."Pulanglah ke rumah. Ajak istrimu.""Ke rumah siapa? Rum
Nadya melenguh ketika baru saja terbangun dari rasa kantuknya. Samar-samar dia melihat lampu kamar yang redup, hanya ada lampu tidur yang menyala. Sementara diluar dipastikan masih gelap. Sore tadi Nadya yang kelelahan langsung tertidur lelap.Namun bukan itu yang membuat Nadya terkaget melainkan Sam yang menurunkan kepalanya sejajar di perut Nadya."Geli, mas.." dahi Nadya mengkerut ketika Sam mengecupi perut Nadya yang membukit itu.Sam memeluk pinggang Nadya sembari menghadiahkan kecupan kasih sayang untuk calon buah hatinya yang berada di dalam sana."Kita ke dokter malam ini. Aku ingin melihatnya." Sam mendongak agar bisa menatap mata Nadya.Nadya setuju akan saran itu. Pukul 8 malam, keduanya pergi ke sebuah praktek dokter kandungan yang terkenal di kota ini. "Usia kandungannya sekitar 20 minggu." Ucap dokter pria bernama Chandra tersebut sambil memeriksa perut Nadya dengan alat usgnya."Lihat ini kepalanya sudah terbentuk, ini jari tangan dan kakinya."Sam dan Nadya menatap mo
Nadya menyeka keringatnya perlahan. Di atas sana matahari seakan menyengat kepalanya yang tertutup topi. Ia sampai memundurkan langkahnya dan kembali ke halte tempat dimana para pedagang asongan berkumpul.Wanita ini duduk di antara mereka sambil menghela nafas panjang. Semakin siang semakin terik hingga membuat Nadya merasa sesak. Ia sampai berkali-kali menata nafasnya."Istirahat aja kalau nggak sanggup." Tegur seseorang dari belakang.Nadya menoleh dan tersenyum. Wanita yang menegurnya adalah Rika, teman satu dagangnya.Selama tiga bulan pelarian, Nadya bersembunyi di terminal pemberhentian bus. Bergabung dengan pedagang asongan lainnya. Ini dilakukan karena Nadya yang sudah buntu akal.Ia ingin melarikan diri sangat jauh. Tapi dia tak memiliki apapun yang bisa dibawa kecuali perutnya sendiri. Dan untuk menyambut kehadiran calon buah hatinya, setidaknya Nadya harus punya pegangan untuk melahirkannya."Nanti aja, bentar lagi." Ucap Nadya tersenyum letih.Tak lama sebuah bis berhenti
Tiga bulan selanjutnya menjadi hari kebebasan untuk Sam. Hari ini dia resmi menceraikan Thalia.Wanita itu sempat menolak, bahkan mengemis ingin kembali pada Sam.Tapi setelah semua yang terjadi, Sam baru sadar jika yang diinginkan Thalia sejak awal hanyalah hartanya. Terbukti ketika Sam menghilang bahkan dinyatakan meninggal dunia, bukannya bersedih, Thalia malah menjual aset milik Sam.Julia dan Mahendra pun setuju atas perpisahan ini. Sekarang pria renta itu menyadari bahwa perempuan dengan pendidikan yang tinggi saja tidak cukup. Setidaknya wanita harus memiliki budi pekerti yang baik hingga dianggap layak untuk masuk ke keluarganya.Mahendra yang dulu arogan dan sombong kini termakan oleh penyakit. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia harus menjaga kesehatannya karena bisa jadi serangan jantung ini berulang bisa mengenainya. Dan sebagai istri yang baik, Julia selalu setia mendampingi."Sam nggak pulang lagi semalam?" Tanya Mahendra."Nggak. Mungkin sibuk di kantor."Mahendra mengambil p
Berkali-kali Sam memukul setir kemudinya. Wajahnya yang memerah, matanya yang berair sudah cukup menjelaskan betapa menyesalnya Sam saat ini."Andai waktu itu aku mendengarkannya.." lirih Sam. Air mata itu akhirnya mengalir dengan deras. Dia merutuki kebodohannya sendiri.Nadya yang tersiksa lahir batin karenanya. Sam yang meyakini jika wanita itu bersalah memberikan banyak luka pada Nadya. Entah sudah tak terhitung berapa kali Sam menghajarnya. Bukannya berlari ketika Sam pergi, tapi Nadya malah datang untuk menyelamatkannya.Dan sekarang.. Nadya memutuskan pergi ketika kehadirannya tak dibutuhkan. Dan terparahnya, ia pergi dalam kondisi berbadan dua.Andai nasib bisa ditukar, maka Sam lebih baik mengajak Nadya kawin lari saja. Dengan begitu, tak akan ada drama kebenciaan dari Mahendra dengan menjerat Nadya sebagai pelaku utamanya.Mobil ini akhirnya tiba di kantor polisi, Sam membuat laporan dan meminta mereka untuk mencari keberadaan Nadya. Bahkan jika perlu membayar, maka dia bers
Tanpa banyak berkata, Sam pergi dari rumah dan memutar mobilnya menuju jalan raya. Mencari di sekeliling kota apakah ada Nadya yang mungkin masih meninggalkan jejak.Sampai Sam teringat, ia memutuskan pergi ke restoran tempat istri keduanya bekerja. Ya. Gara-gara pengusiran Thalia waktu itu, Sam tak tahu dimana Nadya selama ini tinggal. Bertanya saja tidak sempat.Akhirnya sampai, tanpa berbasa basi Sam menanyakan Nadya. Wanita yang tadi siang ditemuinya ternyata masih bekerja."Tidak ada. Bukannya anda tadi yang membawa Nadya dari sini?" Wanita itu keheranan.Sam berdeham. "Benar. Tapi dia pergi tanpa pamit. Saya pikir dia kemari. Atau begini saja, tolong beritahu aku dimana alamat tempat tinggalnya."Dahi senior wanita ini mengernyit. Tadi siang pria ini kan mengaku sebagai suaminya Nadya. Tapi kenapa sekarang malah menanyakan alamatnya?Mengerti akan kecanggungan situasi ini, Sam menyelipkan beberapa lembar uang di tangan wanita itu."Saya mohon bantuannya.."Melihat beberapa lemba