LOGINBukan pergi ke perusahaan, diskotik atau kemanapun yang membahayakan. Pagi ini, Sam pergi mengunjungi rumah sakit jiwa tempat dia pernah dirawat.
Sejenak pria ini memandang depan ruangan tempat ia dirawat dulu sembari menggenggam ponsel yang sejak tadi tak berhenti bergetar. Hingga akhirnya terlihat seorang wanita yang dikenalnya, Sam memanggil. Thalia sontak menoleh dengan mata yang menyipit. "Bukannya itu??" Thalia yang terkejut lantas pergi keluar ruangan. Pria ini masih berdiri di depan sana. Thalia pun lekas mendekati. "Tuan Sam?" "Suster Thalia. Apa kabar?" Tanya Sam datar. Wajah kaku dengan mata yang hampa membuat Thalia memberikan senyuman. "Baik sekali. Aku yakin ada masalah hingga membuatmu mampir kemari. Kalau begitu tunggulah." Thalia masuk lagi ke dalam ruangan dan tak lama keluar. "Ayo kita ke kantin. Apa Tuan sudah sarapan?" Sam menggeleng dengan mata yang sekarang terlihat sayu. Thalia datang mendekat dan meneliti wajah tuan muda ini. "Tuan mabuk dan tidak tidur semalaman, ya?" Tebaknya. "Apa begitu terlihat?" Thalia tersenyum seakan memberikan ketenangan. "Kita ke kantin dulu." Sam mengikuti langkah Thalia sampai ke kantin. Disana, Thalia memesan air jeruk hangat untuk pria ini. Tak lupa sepiring sarapan. "Minum ini, untuk menghilangkan rasa tak enak di dadamu." Sam menatap minuman hangat itu lalu mengambilnya. Ia mengesapnya perlahan. "Kamu bisa menceritakannya kalau mau." "Apa aku mengganggumu?" "Kalau mengganggu, tidak mungkin aku mengajakmu kemari. Kamu bisa menceritakan semuanya padaku." Sam menarik nafas panjang dan memandang wanita ini lekat. Tampak jika Thalia seperti perhatian pada kisah hidupnya. "Aku masih mengingatnya sampai saat ini.. kenapa hati ini masih begitu sakit ketika mengingatnya?" Tanya Sam sedih. Thalia mengangguk. "Itu karena Tuan masih mengalami fase berduka. Tidak terima akan kehilangan yang dialami. Oleh karena itulah namanya masih menetap disana. Karena setiap mengingat wanita itu maka akan meninggalkan rasa sakit. Tidak masalah jika Tuan ingin bersedih, karena memang sudah tahapnya begitu.. tapi.. Jangan terlalu larut, Tuan. Jangan mau terperosok dalam lubang yang terlalu dalam. Aku sudah pernah mengatakan sebelumnya, kan? Jadikan kehilangan itu sebagai motivasi untuk bangkit. Karena setiap kedukaan yang kamu jalani, maka akan ada kebahagiaan yang menanti." "Apa benar masih ada bahagia itu?" Thalia tertawa. "Tuan meragukannya? Tenang saja! Rencana Tuhan lebih indah. Mungkin saja Tuan dipisahkan dari wanita itu karena dia tidak akan memberikan kebahagiaan padamu. Bayangkan saja! Kamu adalah calon CEO ternama. Latar belakangmu luar biasa! Harusnya kamu mendapatkan wanita lebih dari itu!" Apa-apaan ini? Kenapa Sam jadi teringat sesuatu ketika mendengar Thalia mengatakan itu. Ia jadi teringat Mahendra yang selalu menjelekkan Nadya. Wanita tak berpendidikan! Hanya seorang anak yatim piatu! Masa depan tidak cerah! Oh, Benarkah ini rencana Tuhan untuk menjauhkan dirinya dari Nadya? Karena perempuan itu memang tak pantas untuknya. Sam menarik nafas panjang dan menundukkan wajahnya. "Tidak masalah jika tidak bisa melupakannya sekarang. Tuan bisa belajar pelan-pelan.." ucap Thalia lembut. Sam menegakkan kepalanya, menatap inti wanta itu dan tersenyum tipis. "Apa suster mau membantuku melupakan wanita itu? Sejujurnya, setiap ucapanmu selalu membuatku tenang." "Benarkah? Kalau begitu jangan ragu untuk meminta bantuanku." Ucap Thalia sambil tersenyum penuh arti. Di seberang sana, Julia bisa bernafas lega ketika mendapatkan laporan jika Sam pergi ke rumah sakit jiwa untuk bertemu seseorang. Ya, Julia bisa menebak jika itu Thalia. Nama wanita itu sempat berkali-kali disebutkan oleh Samudera sebagai suster baik hati dan sabar saat merawatnya. Mungkin kedatangan Sam kesana untuk menenangkan dirinya. Sekitar siang hari ini, Sam pulang ke rumah. Wajahnya tak sekusut pagi tadi. Dugaan Julia benar, kondisi hati anaknya sedikit membaik setelah berbicara pada Thalia. Butuh satu hari beristirahat dan mengisi energi, Sam akhirnya kembali bekerja. Hari ini mereka akan mengadakan pertemuan dengan perusahaan internasional. Seperti yang diharapkan, Sam bisa menguasai medan dan tenang seperti biasa. Ia bisa mengambil hati sang manajer perusahaan asing itu hingga akhirnya mau bekerja sama dengan Guardian. "Sam! Setelah pertemuan nanti, papa ingin bicara denganmu." Sam hanya berdeham tanpa menoleh. Tiba saatnya mereka bicara, Mahendra mengajak pria itu ke ruang kerjanya. "Papa tahu kamu masih memikirkannya." "Langsung saja ke intinya. Aku menolak perjodohan itu." Ucap Sam dingin. Mahendra menghela nafas kasar. "Kenapa? Apa kurangnya Monica sampai kamu berani menolaknya?" "Karena dia tak memiliki kekurangan itulah yang membuatku menolaknya. Aku masih ingin fokus bekerja, pa." "Tapi usiamu sudah 28 tahun, apa kamu tidak mau menikah?" "Apa memang menikah muda adalah target papa? Kalau begitu aku akan menikah dan berhenti bekerja." Mahendra sampai kesal mendengarnya, jika bukan putranya sendiri ingin sekali ia menyumpal mulutnya. "Baiklah, papa tidak akan menjodohkan kamu dengan wanita itu. Tapi, papa mohon kamu harus melupakan Nadya. Wanita itu tak pantas bersanding denganmu!" "Jangan khawatir soal itu!" Ucap Sam sembari mengambil ponsel yang ada di sakunya. Ia lalu tersenyum ketika mendapatkan pesan. Alis Mahendra sampai terangkat. Terbit sebuah senyum di bibir anaknya, nah.. ulah siapakah itu? Mahendra jadi penasaran. "Apa ada lagi yang ingin papa bicarakan? Kalau tidak ada, aku ingin kembali bekerja." "Ya. Pergilah!" Samudera kembali bekerja namun pada pukul 2 siang, ia meninggalkan kantor untuk menemui seseorang. Mobil berwarna hitam ini melaju ke parkiran rumah sakit. Ia lalu keluar dan menuju ke sebuah ruangan. Sontak saja penampilan Samudera menyita perhatian, apalagi bagi perawat yang pernah merawat pria itu. "Bukankah dia Tuan Sam, anak CEO dari Guardian?" Tanya seorang satpam pria pada perawat wanita. "Benar! Astaga.. dia tampan sekali!" Memakai jas rapi diselingi oleh dasi. Jas mewah yang bahkan tak terhitung jumlah nol dibelakangnya. Jam tangan mahal dengan aroma parfum yang semerbak. Astaga! Dari sekian meter saja harumnya masih tertinggal. Para wanita yang melihat Sam sampai meleleh dibuatnya. Tapi pria ini masih menampilkan ekspresi dinginnya. Sampai akhirnya ia menemukan tujuannya. Sam menerbitkan senyum simpul. "Tuan Samudera.." panggil Thalia terperangah. Hampir saja dia tidak mengenali pria yang sedang menunggunya itu. "Suster Thalia." Thalia tersenyum ketika Sam memberikan sebuah senyuman. "Aku pikir kamu cuma bercanda mau menjemputku." "Kebetulan aku sedang tidak ada pekerjaan. Mari ikut aku. Hari ini aku senang sekali, aku ingin mentraktirmu makan." "Senang sekali?" Thalia sampai takjub mendengarnya. "Apa yang membuat tuan begitu senang?" "Hari ini kami bisa bekerja sama dengan perusahaan internasional." "Wah! Selamat kalau begitu! Kamu memang hebat, Tuan." Seru Thalia. "Itu semua karena motivasi darimu. Jika tidak ada suster, mungkin aku masih terpuruk dalam kesedihan." Ucap Sam memandang lekat. Thalia kembali memamerkan senyum patennya. "Kalau begitu, bagaimana kita tingkatkan saja hubungan kita? Tidak perlu menganggapku sebagai suster. Panggil nama saja. Aku ingin berteman denganmu." Thalia lalu mengulurkan tangannya. "Perkenalkan aku, Thalia." Sam memandang tangan itu sejenak. Selama ini, dia tak memiliki teman wanita karena hidupnya yang selalu didedikasikannya pada Nadya. Tapi, sekarang.. Thalia kembali memberi kode dari matanya agar pria ini tidak takut dan ragu. Segera Sam menerima uluran tangan itu. "Aku Samudera, cukup panggil Sam saja." "Apa kamu mau berteman denganku?" Sam lalu tersenyum. "Mari kita berteman."Baik Julia maupun Nadya bergantian melihat Sam dan Mahendra yang sama-sama beradu pandangan. Tak bisa Julia biarkan jika seperti ini. Apa mereka lupa kalau memiliki hubungan darah?Oh, Julia tak mau hubungan antara ayah dan anak ini merenggang. Apalagi akan ada cucu yang menjadi pelengkap keluarga mereka."Duduk disini, Sam!" Belum saja Julia mengeluarkan suara rupanya Mahendra lebih dulu."Kita bicara sebentar."Sam mengusap lengan Nadya pelan, ia lalu mengajak istrinya duduk di sofa yang ada di ruang kerja. Begitu juga Julia yang mengambil tempat."Mau bicara apa?" Tanya Sam dingin."Mamamu benar. Dua bulan lagi istrimu akan melahirkan. Tolong pikirkan apakah tempat ini pantas untuk menerima seorang bayi? Ini tempat kerja bukan rumah.""Lalu apa mau papa? Menyingkirkan anakku?" Sam akan mengamuk jika hal itu terjadi.Mahendra berusaha untuk tenang menghadapi kemarahan anaknya. Ia mengerti sikap Sam begini juga karena ulahnya."Pulanglah ke rumah. Ajak istrimu.""Ke rumah siapa? Rum
Nadya melenguh ketika baru saja terbangun dari rasa kantuknya. Samar-samar dia melihat lampu kamar yang redup, hanya ada lampu tidur yang menyala. Sementara diluar dipastikan masih gelap. Sore tadi Nadya yang kelelahan langsung tertidur lelap.Namun bukan itu yang membuat Nadya terkaget melainkan Sam yang menurunkan kepalanya sejajar di perut Nadya."Geli, mas.." dahi Nadya mengkerut ketika Sam mengecupi perut Nadya yang membukit itu.Sam memeluk pinggang Nadya sembari menghadiahkan kecupan kasih sayang untuk calon buah hatinya yang berada di dalam sana."Kita ke dokter malam ini. Aku ingin melihatnya." Sam mendongak agar bisa menatap mata Nadya.Nadya setuju akan saran itu. Pukul 8 malam, keduanya pergi ke sebuah praktek dokter kandungan yang terkenal di kota ini. "Usia kandungannya sekitar 20 minggu." Ucap dokter pria bernama Chandra tersebut sambil memeriksa perut Nadya dengan alat usgnya."Lihat ini kepalanya sudah terbentuk, ini jari tangan dan kakinya."Sam dan Nadya menatap mo
Nadya menyeka keringatnya perlahan. Di atas sana matahari seakan menyengat kepalanya yang tertutup topi. Ia sampai memundurkan langkahnya dan kembali ke halte tempat dimana para pedagang asongan berkumpul.Wanita ini duduk di antara mereka sambil menghela nafas panjang. Semakin siang semakin terik hingga membuat Nadya merasa sesak. Ia sampai berkali-kali menata nafasnya."Istirahat aja kalau nggak sanggup." Tegur seseorang dari belakang.Nadya menoleh dan tersenyum. Wanita yang menegurnya adalah Rika, teman satu dagangnya.Selama tiga bulan pelarian, Nadya bersembunyi di terminal pemberhentian bus. Bergabung dengan pedagang asongan lainnya. Ini dilakukan karena Nadya yang sudah buntu akal.Ia ingin melarikan diri sangat jauh. Tapi dia tak memiliki apapun yang bisa dibawa kecuali perutnya sendiri. Dan untuk menyambut kehadiran calon buah hatinya, setidaknya Nadya harus punya pegangan untuk melahirkannya."Nanti aja, bentar lagi." Ucap Nadya tersenyum letih.Tak lama sebuah bis berhenti
Tiga bulan selanjutnya menjadi hari kebebasan untuk Sam. Hari ini dia resmi menceraikan Thalia.Wanita itu sempat menolak, bahkan mengemis ingin kembali pada Sam.Tapi setelah semua yang terjadi, Sam baru sadar jika yang diinginkan Thalia sejak awal hanyalah hartanya. Terbukti ketika Sam menghilang bahkan dinyatakan meninggal dunia, bukannya bersedih, Thalia malah menjual aset milik Sam.Julia dan Mahendra pun setuju atas perpisahan ini. Sekarang pria renta itu menyadari bahwa perempuan dengan pendidikan yang tinggi saja tidak cukup. Setidaknya wanita harus memiliki budi pekerti yang baik hingga dianggap layak untuk masuk ke keluarganya.Mahendra yang dulu arogan dan sombong kini termakan oleh penyakit. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia harus menjaga kesehatannya karena bisa jadi serangan jantung ini berulang bisa mengenainya. Dan sebagai istri yang baik, Julia selalu setia mendampingi."Sam nggak pulang lagi semalam?" Tanya Mahendra."Nggak. Mungkin sibuk di kantor."Mahendra mengambil p
Berkali-kali Sam memukul setir kemudinya. Wajahnya yang memerah, matanya yang berair sudah cukup menjelaskan betapa menyesalnya Sam saat ini."Andai waktu itu aku mendengarkannya.." lirih Sam. Air mata itu akhirnya mengalir dengan deras. Dia merutuki kebodohannya sendiri.Nadya yang tersiksa lahir batin karenanya. Sam yang meyakini jika wanita itu bersalah memberikan banyak luka pada Nadya. Entah sudah tak terhitung berapa kali Sam menghajarnya. Bukannya berlari ketika Sam pergi, tapi Nadya malah datang untuk menyelamatkannya.Dan sekarang.. Nadya memutuskan pergi ketika kehadirannya tak dibutuhkan. Dan terparahnya, ia pergi dalam kondisi berbadan dua.Andai nasib bisa ditukar, maka Sam lebih baik mengajak Nadya kawin lari saja. Dengan begitu, tak akan ada drama kebenciaan dari Mahendra dengan menjerat Nadya sebagai pelaku utamanya.Mobil ini akhirnya tiba di kantor polisi, Sam membuat laporan dan meminta mereka untuk mencari keberadaan Nadya. Bahkan jika perlu membayar, maka dia bers
Tanpa banyak berkata, Sam pergi dari rumah dan memutar mobilnya menuju jalan raya. Mencari di sekeliling kota apakah ada Nadya yang mungkin masih meninggalkan jejak.Sampai Sam teringat, ia memutuskan pergi ke restoran tempat istri keduanya bekerja. Ya. Gara-gara pengusiran Thalia waktu itu, Sam tak tahu dimana Nadya selama ini tinggal. Bertanya saja tidak sempat.Akhirnya sampai, tanpa berbasa basi Sam menanyakan Nadya. Wanita yang tadi siang ditemuinya ternyata masih bekerja."Tidak ada. Bukannya anda tadi yang membawa Nadya dari sini?" Wanita itu keheranan.Sam berdeham. "Benar. Tapi dia pergi tanpa pamit. Saya pikir dia kemari. Atau begini saja, tolong beritahu aku dimana alamat tempat tinggalnya."Dahi senior wanita ini mengernyit. Tadi siang pria ini kan mengaku sebagai suaminya Nadya. Tapi kenapa sekarang malah menanyakan alamatnya?Mengerti akan kecanggungan situasi ini, Sam menyelipkan beberapa lembar uang di tangan wanita itu."Saya mohon bantuannya.."Melihat beberapa lemba







