Share

Jeratan Hubungan Tanpa Status
Jeratan Hubungan Tanpa Status
Author: Aryanti

Bab 0001

Setelah mengalami pergumulan yang sengit, tubuh Yuna tampak kelelahan dibalut semburat rona yang tipis.

Wano memeluknya erat, sementara jarinya yang ramping dengan jelas menelusuri wajahnya.

Dalam mata cokelat pekatnya, terpancarlah rasa kasih yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

Meskipun Yuna mengalami penyiksaan yang hebat.

Namun pada saat ini, Yuna merasakan bahwa dia dicintai dengan sangat dalam.

Namun, sebelum hasratnya mereda sepenuhnya, ponsel Wano tiba-tiba berdering.

Setelah melihat nomor pada panggilan masuk, Yuna merasakan gejolak di dalam hatinya.

Sembari memeluk lengan Wano lebih erat, Yuna menatapnya dari bawah, "Nggak usah diangkat, ya?"

Telepon itu dari Qirana. Dia adalah sosok wanita yang penting bagi Wano.

Kurang dari sebulan setelah kembali ke negaranya, dia telah mencoba bunuh diri beberapa kali.

Bagaimana mungkin Yuna tidak menyadari bahwa Qirana memang sengaja melakukannya.

Namun, Wano tidak memedulikan perasaannya.

Wano mendorongnya dengan kasar, tanpa menunjukkan kelembutan seperti yang dia lakukan sebelumnya.

Wano buru-buru menjawab panggilan tersebut.

Yuna tidak mengetahui apa yang mereka bicarakan dalam panggilan tersebut.

Yuna hanya melihat bahwa mata Wano tengah dipenuhi gelombang emosi yang mendalam, bahkan rasanya terlihat lebih dalam daripada suasana malam di luar jendela.

Setelah menutup telepon, dia bergegas mengenakan pakaian, "Qirana lagi-lagi mengancam mau bunuh diri, aku akan pergi melihatnya."

Yuna duduk di tepi tempat tidur dengan kulit yang memerah dan dipenuhi bekas ciuman.

Yuna menatap pria itu dengan tajam, "Hari ini adalah ulang tahunku dan kamu berjanji untuk merayakannya bersamaku. Ada hal penting yang ingin kukatakan padamu."

Wano sudah berpakaian lengkap dan rapi. Kemudian, dengan alisnya yang menukik tajam, dia menatap Yuna dengan dingin.

"Sejak kapan kamu jadi begitu sembrono? Nyawa Qirana sedang terancam."

Sebelum Yuna bisa bereaksi, pintu kamar sudah tertutup dengan keras.

Tak lama kemudian, terdengar deru mesin mobil dari lantai bawah.

Yuna mengambil sebuah kotak kecil yang cantik dari bawah bantal.

Dia menundukkan kepala untuk melihat dua cincin di dalamnya, matanya berkaca-kaca.

Tiga tahun yang lalu, dia dicegat oleh penjahat di depan gang. Wano yang mencoba menyelamatkannya malah terluka di bagian paha.

Dengan inisiatif, Yuna menawarkan diri untuk tinggal dan merawatnya.

Suatu ketika, mereka akhirnya memadu kasih setelah minum bersama.

Pada saat itu, Wano menawarkan untuk menjalin hubungan dengannya. Akan tetapi, dengan syarat bahwa dia tidak dapat menjanjikan pernikahan kepada Yuna.

Yuna pun langsung menyetujuinya tanpa berpikir panjang.

Semua itu karena Yuna telah diam-diam mencintai Wano selama empat tahun.

Sejak saat itu, Yuna menjadi sekretaris wanita yang cerdas dan kompeten bagi Wano di siang hari. Namun pada malam hari, dia menjadi teman tidur yang lembut dan begitu mematuhinya.

Dengan polosnya, hal itu membuatnya yakin bahwa Wano memang mencintainya.

Alasan bahwa Wano tidak bisa menikahinya adalah pengaruh dari keluarga besar Wano.

Yuna menghabiskan seharian penuh untuk merencanakan sebuah pernikahan. Dia bahkan berniat melamar Wano terlebih dahulu dan membantunya mengatasi hambatan yang ada di hatinya.

Namun, telepon dari Qirana benar-benar membuatnya sadar.

Wano mungkin bukannya tidak ingin menikah, tetapi orang yang diinginkannya untuk menikah bukanlah dirinya.

Yuna mengulas senyum pahit sambil menyimpan cincin tersebut.

Dia membongkar semua dekorasi persiapan di balkon dengan tangannya sendiri.

Lalu, dia pergi mengemudi seorang diri.

Namun, baru saja mobil itu melaju beberapa meter, dia merasakan nyeri yang menusuk di perut bagian bawah.

Setelah itu, ada aliran hangat yang mengalir turun di sepanjang paha.

Yuna menundukkan kepala dan melihat bahwa jok kulit berwarna putihnya sudah berubah menjadi merah karena darah.

Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Dia segera menelepon Wano.

"Wano, perutku sakit sekali, bisakah kamu datang menjemputku?"

Wano menjawab dengan gusar, "Yuna, kamu boleh marah, tapi tunggu waktu yang tepat!"

Yuna semakin takut saat melihat darah yang mengalir semakin banyak, dia pun menangis dengan histeris, "Wano, aku nggak bohong. Perutku sangat sakit dan juga ... aku juga ...." Pendarahannya semakin banyak.

Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, suara dingin dan tanpa belas kasihan seorang pria terdengar dari seberang telepon.

"Yuna, nyawa Qirana sedang dalam bahaya, tapi kamu malah ingin mengacau!"

Yuna terdiam karena kata-kata tersebut.

Butuh beberapa detik baginya untuk bereaksi.

Dia pun tersenyum pucat dan tak berdaya.

"Apa kamu pikir aku sengaja membuat masalah tanpa alasan?"

"Bukannya memang begitu?"

Suara pria itu terdengar bosan dan dingin, terasa begitu menusuk hati Yuna.

Yuna menggertakkan giginya dengan kuat. Dia memegang ponselnya dengan erat, lalu mengutuk dengan seluruh tenaga yang dimilikinya, "Wano, kamu memang berengsek!"

Yuna begitu kesakitan hingga membuatnya berkeringat dingin.

Dia ingin membuat panggilan darurat, tetapi jarinya terasa lemah dan tidak berdaya.

Akhirnya, penglihatannya menjadi gelap dan dia pun pingsan.

Ketika terbangun lagi, dia sudah terbaring di ranjang rumah sakit.

Seseorang yang duduk di sebelahnya adalah sahabatnya, yaitu Zanny.

Ketika dia bangun, Zanny segera bangkit dan memandanginya dengan penuh kasih sayang, "Yuna, bagaimana keadaanmu? Apakah masih sakit?"

Yuna menatapnya dengan penuh tanda tanya, "Aku kenapa?"

Zanny ragu sejenak sebelum menjawab, "Kamu hamil, dokter bilang kalau dinding rahimmu tipis, ditambah dengan gerakan kasar Wano, akhirnya kamu mengalami pendarahan dan keguguran."

Yuna menatapnya dengan tidak percaya, matanya terbelalak lebar.

Pikirannya hanya dipenuhi fakta bahwa dirinya telah hamil, tetapi sekarang dia telah kehilangan janinnya.

Janin itu adalah anaknya bersama Wano.

Meskipun masa depan hubungan antara dia dan Wano masih tidak pasti, tetap saja itu adalah anak pertamanya.

Yuna menggenggam erat jari-jarinya. Air matanya pun mengalir dari sudut matanya.

Melihat Yuna yang tampak menderita, Zanny tak tahan untuk memeluknya dan menghiburnya dengan penuh kasih.

"Kamu baru saja menjalani operasi, jadi nggak boleh menangis, oke? Nanti, ketika kamu pulih, aku akan mencari anjing liar dan membiarkan mereka menggigit pria biadab itu!"

"Wano itu memang kurang ajar, dia hampir saja membuatmu kehilangan nyawa. Lalu sekarang, dia selingkuh di depanmu. Dia nggak takut mendapat karma, ya?!"

Hati Yuna terasa begitu sakit, seolah-olah ribuan panah yang menembus jantungnya pun tak bisa menandinginya.

Tangan kecilnya memeluk Zanny dengan erat. Dengan suara yang tercekat oleh tangis, dia semakin kesulitan untuk bicara.

Teringat anaknya yang baru saja terbentuk namun sudah gugur. Selain itu, dia juga teringat pria yang telah dia cintai selama tujuh tahun.

Membuatnya tidak mampu menenangkan diri.

Setelah beberapa saat berlalu, Yuna akhirnya mulai berbicara.

"Kamu melihatnya?"

Zanny mengangguk, "Dia ada di lantai empat bersama Qirana. Ketika kamu sedang dioperasi, aku mencoba meneleponnya dengan ponselmu memintanya datang untuk menandatangani dokumen, tapi pria itu bahkan nggak menjawab panggilannya sama sekali."

Yuna memejamkan mata karena rasa sakit yang terasa.

"Zanny, bawa aku melihat mereka."

"Kamu baru saja operasi, jadi jangan marah-marah."

"Aku nggak bisa mengambil keputusan tanpa melihatnya dengan mata kepalaku sendiri."

Zanny tidak bisa menolaknya, jadi dia membawa Yuna menuju ke lantai empat.

Yuna berdiri di luar pintu, dia melihat Wano dengan lembut membujuk Qirana untuk minum obat.

Sorot matanya yang lembut, suaranya yang merdu, terasa menusuk hati Yuna dengan tajam.

Namun, ketika Yuna melihat wajah Qirana yang sedikit mirip dengannya, dia seolah-olah mengerti segalanya dalam sekejap.

Yuna tersenyum getir.

Dia menoleh ke Zanny dan berkata, "Bawa aku kembali."

....

Yuna bertemu kembali dengan Wano dua hari kemudian.

Dia berbaring di tempat tidur, diam-diam menatap pria yang dulunya sangat dicintainya.

Ketika tiba saatnya mengambil keputusan, hatinya masih terasa sangat sakit.

Wano mungkin menyadari kalau Yuna terlihat kesal, jadi dia bertanya dengan suara yang dalam, "Sudah dua hari, kok bisa masih sakit?"

Wano mengira dia hanya mengalami sakit perut karena menstruasi, biasanya itu hanya berlangsung selama satu hari.

Mata Yuna terasa memanas, tetapi dia berusaha menahan emosi di dalam hatinya.

Tidak ada sepatah kata pun yang terucap.

Wano duduk di tepi tempat tidur dengan wajah tampannya yang terlihat dingin.

Telapak tangannya yang hangat menyentuh dahi Yuna, suaranya menjadi sedikit serak ketika berbicara.

"Aku sudah membelikan tas yang kamu sukai terakhir kali. Tasnya ada di sofa, ayo keluarlah dan lihat!"

Yuna menatap Wano dengan tenang.

"Aku sudah nggak menyukainya."

"Kalau begitu, biar kuganti mobilmu saja. Mau Verari atau Porsjhe?"

Melihat Yuna tidak merespon untuk beberapa saat, Wano pun sedikit mengernyit.

"Kalau begitu, kamu maunya apa?"

Mungkin baginya, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan uang.

Yuna memegang baju tidurnya dengan erat.

Matanya yang jernih dan terang, diam-diam melirik Wano.

Bibir pucatnya tiba-tiba terbuka.

"Aku mau menikah denganmu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status