Jantungku tersentak mendengar celotehan Eda. Suaranya cukup keras. Aku khawatir Bapak yang ada di luar bisa mendengarnya. “Jangan ngomong begitu, Eda. Dia tetap bapakku bagaimanapun juga.”
“Dia nggak punya peran dalam hidupmu dan membantu dalam masa-masa sulit. Kamu juga cerita kalau bapakmu sudah nikah lagi setelah meninggalkan keluargamu. Terus mana istri barunya? Katanya dia punya anak tiri, ‘kan? Kok nggak keliatan batang hidungnya?”
Suasana yang tadi sempat tenang kini berubah tegang. Dulu sebelum aku membawa Bapak, Eda cukup tenang dan jarang protes meski penghasilanku sedikit. Semenjak ada Bapak, Eda berubah drastis. Setiap hari mengeluh dan protes terus.
“Aku sudah kasih lebih banyak dari biasanya, Eda. Kamu harusnya bersyukur. Allah bisa persempit rezeki kita kalau kita kufur.”
“Kurang bersyukur apa aku, Bang! Aku bersyukur dikasih dua anak dan suami yang baik seperti kamu, tapi baktimu ke bapakmu membuatku tersiksa setiap hari. Kamu yang harusnya bersyukur karena aku nggak pernah kasih kamu pilihan ‘aku atau bapakmu’.
Aku merawat bapakmu setiap hari, menceboki dia, menggantikan popok dan memandikannya. Apalagi yang kurang? Aku cuma ngeluh karena gaji kamu yang semula memang kurang jadi tambah kurang karena harus membeli obat, popok, dan susu untuk Bapak. Di mana salah aku?”
Aku bukannya tidak mengerti perihal perjuangan Eda selama ini dalam mengurus Bapak, tapi perkataannya soal Bapak sungguh menyakitkan sampai aku merasa marah.
“Sendainya nggak ada aku, kamu bisa merawat bapakmu sambil cari duit?”
Aku terdiam parau. Lagi-lagi Eda benar.
Eda kembali melipat pakaian sembari memalingkan mukanya dariku. Bibirnya menipis dan wajahnya mengeras. Itu membuat dadaku terasa sangat sesak.
“Sudah kukasih saran untuk nitipin Bapak ke kerabat atau keluarga jauhmu, tapi kamu menolak.”
“Kamu tau sendiri, Da. Sejak dulu kami ini orang kecil. Kerabat Bapak orang berada dan nggak sudi menengok kami. Nggak ada yang datang waktu pemakaman Ibu. Cuma ada aku dan adikku.”
“Ya sudah, ke adikmu saja!”
Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Hatiku terasa seperti tusuk ribuan jarum. Pedih sekali. Sebagai seorang anak, aku tak mampu memberikan yang terbaik untuk orang tuaku yang masih hidup. Aku merasa rendah diri dan menyedihkan.
“Unur fokus kuliah. Aku nggak bisa bikin konsentrasinya terganggu.”
“Oh gitu? Gimana dengan konsentrasi aku sebagai ibu dari anak-anakmu? Nggak apa-apa terganggu? Kamu pikir gampang mengurus dua anak sambil urusin rumah dan juga bapakmu?”
Jantungku mengeras. Mata ini terasa pedih. Kutarik napas sepanjang mungkin lalu mengangkat badan dan berdiri. “Lalu Bapak harus ke mana? Jangan bikin aku serba salah, Eda. Tolonglah suamimu ini sedikit lagi.”
“Ke panti jompo bisa! Dia aja ninggalin kamu dan biarin kamu berjuang sendirian, kenapa kamu nggak bisa?”
Aku terhenyak. Kata-kata Eda menusuk tepat di relung hatiku. Perasaan ini campur aduk. Aku tak bisa menghadapi Eda untuk saat ini. Kubuka jaket hijau kebanggaanku itu dan menggantungnya di pintu kamar. Mengusap wajah yang terasa pekat lalu keluar rumah, meninggalkan ruang tengah yang hanya diisi sofa buluk dan televisi kecil.
Bapak ada di teras, menatap langit lurus-lurus. Sore ini tidak begitu cerah dan tidak mendung pula. Dari belakang, sosok Bapak sangat rapuh. Telah menghilang Bapak yang begitu tegar saat meninggalkan kami di usia dini. Sekarang Bapak menderita demensia dan diabetes. Harus sering check up ke rumah sakit dan minum obat.
Kendati omongan Eda benar adanya, bahwa Bapak meninggalkanku untuk berjuang sendirian sampai sekarang, bukan berarti aku bisa dengan tega membuang Bapak begitu saja.
Bagaimana bisa seorang anak membuang orang tuanya sendiri?
Bapak memang tidak menemaniku berjuang dan aku merasa kesal dengan kenyataan itu, tapi tidak sampai hati ini menitipkan Bapak ke orang lain, apalagi membuangnya. “Bapak sedang apa?” Kuhampiri beliau. Dari samping, kulihat mata Bapak berkedip sayu memandang langit. Wajahnya semakin mengurus.
“Pak, maafin Amar, ya?”
Sekilas Bapak menoleh dan memberiku senyuman tipis yang penuh arti. Senyuman yang berbeda seperti biasanya. Mata Bapak menjadi fokus dan terlihat normal. Saat itu juga jantungku berdegup kencang. Apa Bapak mengerti semua yang dikatakan Eda?
“Amar nggak pernah dendam sama Bapak, jadi Bapak nggak usah khawatir.” Aku menunduk kalut. “Bapak adalah harta berharga buat Amar, penopang, dan penunjuk jalan buat Amar. Amar selalu membutuhkan Bapak di sisi Amar.” Kugenggam tangan kurus yang bertengger di atas paha itu. “Bapak adalah pahlawan untuk Amar.”
Kupikir aku tidak akan menangis di hadapan Bapak. Mata yang sejak tadi terasa perih kini meneteskan air. Aku tak sanggup menahannya. Air mataku menetes di sarung Bapak.
Bapak memang pernah meninggalkan kami dan menikah lagi, tapi sampai sekarang Bapak tetaplah sosok yang selau kuanggap sebagai pahlawan.
Tanpa kuduga, aku merasakan tangan yang lemah tengah mengusap pelan kepalaku, terasa hangat dan menembus masuk ke hati. Sambil menunduk, kuusap air mata untuk kemudian mendongak dan memberikan senyum pada Bapak.
Aku mengambil tangan Bapak yang kurus kering dan menciumnya. “Aku pernah bikin kita jatuh dari sepeda. Kaki Bapak luka kena standar sepeda, sampai sekarang masih berbekas.” Kusentuh bekas yang menghitam di kaki kanan Bapak. “Bapak malah menggendongku duluan dan memasangkan handiplas.”
Waktu itu Bapak sama sekali tidak memarahiku. Keningnya berlipat penuh kekhawatiran sambil berlari mencari warung untuk membeli plaster luka.
“Aku juga pernah bikin ban sepeda Bapak copot dan jatuh ke selokan Mbok Yum.” Aku tertawa lalu menularkannya ke Bapak. Entah Bapak mengerti atau tidak.
“Seng rumah juga pernah jatuh karena kulempari batu untuk menjatuhkan mangga. Bapak terpaksa naik ke atas dan memperbaikinya. Ah, uang Bapak pernah kuhilangkan juga. Itu penghasilan selama dua hari narik dan angkutin barang orang.”
Bapak mengangguk sambil tersenyum senang. Barangkali juga ikut bernostalgia saat masa-masa kami bersama dulu.
“Kesalahanku lebih banyak daripada Bapak, tapi Bapak nggak pernah menyinggungnya lagi sampai sekarang.” Kubawa tangan Bapak ke kening. “Tapi satu kesalahan Bapak menjadi kesalahan yang selalu saja dibahas sampai sekarang. Menjadi alasan agar Amar membuang bakti untuk Bapak.”
Seperti Bapak yang selalu saja memaafkan setiap kesalahanku, aku pun memaafkan kesalahan Bapak yang satu itu. Sebab terlalu banyak kenangan kecil bersama Bapak yang sulit untuk dilupakan. Karena penyesalan saat aku membuang Bapak akan terasa lebih sakit.
Satu pertanyaan yang selalu kutanyakan pada diri sendiri. Jika aku membuang Bapak, apakah hati ini akan terasa lega?
“Amar, hari ini jajan ciloknya seribu aja, ya? Yang tiga ribunya kita bawa pulang buat ibu dan adekmu.”Aku mengangguk. Diriku yang masih kecil dan lugu menuruti omongan Bapak. Usia sepuluh tahun adalah kenangan yang paling banyak kuingat bersama Bapak. Bapak punya kebiasaan. Dia selalu tertawa dengan suara renyah dan lembut lalu mengacak rambutku. “Adek umur berapa sih, Pak?” tanyaku. “Tiga tahun.”“Emang udah bisa makan cilok.”Bapak tertawa lagi. “Bisa. Yang penting jangan pedis-pedis, nanti perutnya meletus kayak gunung merapi.”Aku tertawa, Bapak pun begitu. Lalu aku bertanya apa itu gunung merapi, seperti apa bentuknya dan kenapa bisa meledak. Bapak menjelaskannya sambil membentuk gunung dengan lengannya. Di tepi jalan yang dipenuhi asap kendaraan, kami duduk dengan sepeda Bapak yang berdiri sambil menunggu penumpang. Cuaca tidak begitu panas. Di tanganku ada setusuk cilok yang kecapnya menetes ke kerikil. Di sore hari menjelang Maghrib, Bapak mengayuh sepeda untuk membawak
Aku berpindah ke kamar Bapak. Ruangan itu dua kali lebih sempit dari kamarku dan Eda. Hanya ada kasur yang sudah lembek, lemari plastik kecil, dan meja kecil untuk meletakkan obat-obatan serta barang yang lain.Bapak tertidur pulas sampai mendengkur. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur. Aku tidak tahu apa saja yang dialami Bapak sejak pergi meninggalkan kami. Bapak menghilang sejak umurku 15 tahun dan kami baru bertemu enam bulan yang lalu.Ah, ternyata selama itu kami tidak pernah bertemu. Dua puluh tahun berpisah dengan Bapak membuatku terkejut hebat ketika kutemukan Bapak yang berbaring lemas di samping truk pembuangan sampah di pinggir jalan.Bapak punya riwayat sakit jiwa yang menurun dari orang tuanya. Terkadang dia linglung dan seperti orang yang kehilangan ingatan. Sampai akhirnya suatu hari, Bapak tiba-tiba menghilang dan meninggalkan utang yang banyak.
“Mau diangkutin barangnya, Bu? Kayaknya banyak banget ini.”Seorang ibu berjilbab cokelat dan kewalahan membawa tiga kardus yang cukup besar menurunkan barang bawaannya. “Capek banget ini, Mas. Tukang angkut, ya?” Ibu dengan tahi lalat besar di hidung itu menunjukku.Aku tersenyum ramah. “Iya, Bu. Sampingan habis ngojek.”Si ibu mengusap peluh di keningnya sambil mengerutkan hidung. “Saya mau diangkutin, Mas. Berapa ongkosnya?”“Kalau segini goceng bisa, Bu.”“Tiga ribu aja, ya? Duit saya di dompet sisa ongkos angkot sama tiga rebu itu.”Aku menghela napas tanpa memudarkan senyum. Itu adalah rezeki pertamaku sebagai buruh angkut. “Boleh, Bu. Sini saya bawain semua.” Total ada t
Motor yang sudah butut ini mengelilingi jalan poros, masuk ke gang-gang, dan mencari alamat sana-sini. Aku hanya mengandalkan ingatan puluhan tahun yang lalu soal letak rumah kerabat-kerabat Bapak yang dulu sering meminjam uang dan tidak dikembalikan.Sarung yang kuikat di punggung agar Bapak tidak terjatuh kulepas lalu membantunya turun dari motor. Kugendong Bapak di punggung lalu menyusuri lorong perumahan yang bersih. Setiap rumahnya bercat hijau dengan pagar hitam yang cukup tinggi. Sepertinya kerabat Bapak hidup sangat layak setelah memanfaatkan semua tabungan Bapak.Sambil menenteng tas berisi pakaian Bapak, aku mengingat-ingat nomor rumah Bik Ntun, salah satu sepupu jauh Bapak yang dulu meminjam uang cukup banyak. Aku bisa menitipkan Bapak dengan jaminan utang itu. Mudah-mudahan Bik Ntun masih tinggal di sekitar sini.“Permisi, Bu!” Aku melihat gerombolan i
“Sudah kujamu kau, kusambut dengan baik, tapi ternyata niatmu tidak bagus.” Mata Bik Ntun melotot. Segala keramahan yang tadi diperlihatkannya langsung sirna. “Mak, sudah. Nanti dadanya sakit lagi.” Nunu mengurut dada Bik Ntun sambil menatap kami penuh peringatan.“Tampaknya kau tak ikhlas membantu aku dulu, itu pun kau anggap utang, Kazim.”Aku menghela napas kasar. Bukan tak ikhlas, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengurus Bapak selama beberapa hari saja. Bukan maksudku mengungkit, aku berharap Bik Ntun mengingat segala kebaikan Bapak. Jika tak ingin dilunasi, tak apa. Aku perlu menitipkan Bapak saja ke mereka. “Bapak saya sudah seringkali dihutangi, Bik Ntun. Uang dipinjam itu Bapak ambil dari tabungannya. Hampir tidak ada yang membayar sampai Bapak rugi besar. Kami pun anaknya jadi sengsara.” Dada Bik Ntun naik turun dengan cepat.“Bukan maksud saya menagih utang, saya ikhlas. Ambil saja untuk Bik Ntun, tapi tolong Bapak saya juga perlu bantuan. Dibantu sedikit saja.”“Mem
Aku tertegun. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Bapak selama ini. Jantungku berdenyut keras, dipenuhi harapan yang sangat besar, bahwa Bapak bisa sembuh. Bapak akan kembali sehat seperti dulu.Langsung kuambil tangan Bapak dan menggenggamnya erat. “Bapak bilang apa tadi?”“Pha pha!” Bapak membuka dan menutup bibirnya dengan keras sampai mengeluarkan bunyi letusan-letusan kecil.Aku semakin antusias meski kali ini Bapak bermain-main. “Pak, ayo kita ke rumah sakit. Kita bilang ke dokter kalau Bapak sudah bisa bicara.”“Jangan lebay kamu, Bang. Bapak itu cuma asal ngeluarin suara. Mau habis-habisin duit beli obat lagi? Bensin kamu kepenuhan?!” Eda berkacak pinggang.Semangatku merosot seketika. “Beli obat untuk Bapak
Setelah meninggalkan toko, aku kepikiran ucapan Pak Nurman. Selama ini Bapak tidak pernah meminta sesuatu padaku. Apa pun yang kubawakan untuknya, senyum Bapak selalu lebar layaknya anak kecil yang menerima mainan baru.Dalam perjalanan pulang, aku menoleh ke sana kemari. Apa yang bisa kubawakan untuk Bapak? Ini hari ulang tahunnya. Meski hanya hadiah kecil, aku ingin melihat tawa Bapak yang lebar.Mataku menangkap seorang anak kecil yang berdiri di pinggir jalan, membawa banyak topi dalam gantungan kecil. Beberapa tergantung di leher dan pundaknya.Aku menepikan motor. “Topinya berapa, Dek?”Anak laki-laki kecil berkaos gombrong yang kerahnya sudah robek-robek itu menatapku polos. “Sepuluh ribu, Bang.” Suaranya cempreng. Kutaksir usianya sepantaran Radit.Apa dia tidak bersekolah?&l
Hari ini aku keluar subuh-subuh ke pasar, mendatangi beberapa pedagang yang sedang mengangkat barang mereka untuk dijual hari ini. Aku menawarkan diri untuk membantu.“Ini, Mas. Nggak banyak. Sebenarnya kita ada pegawai, kok.” Pemilik toko retail di tengah pasar itu memberiku uang 30 ribu. Aku tahu dia hanya kasihan saat menerima tawaranku karena memang anak buahnya banyak.“Ah, iya. Makasih ya, Pak.”“Iya sama-sama, Mas.”Pundakku ditepuk sekali. Aku menatap dua lembar uang itu dengan penuh rasa syukur. Tak membuang waktu, aku kembali berlari dan membantu pedagang sayuran yang sedang mengangkat beberapa keranjang besar sendirian.“Saya bantu ya, Pak!”“Oh iya, Mas. Kebetulan saya se