Share

4. Jika Aku Membuang Bapak

“Kita nikah pun dia nggak datang dan nggak nyumbang duit sepeser pun. Kita gelar resepsi dari hasil tabungan kamu dan sebagian lagi minjam di bank. Setelah nikah, kamu malah nyusahin diri sendiri dan nyusahin aku juga.”

Jantungku tersentak mendengar celotehan Eda. Suaranya cukup keras. Aku khawatir Bapak yang ada di luar bisa mendengarnya. “Jangan ngomong begitu, Eda. Dia tetap bapakku bagaimanapun juga.”

“Dia nggak punya peran dalam hidupmu dan membantu dalam masa-masa sulit. Kamu juga cerita kalau bapakmu sudah nikah lagi setelah meninggalkan keluargamu. Terus mana istri barunya? Katanya dia punya anak tiri, ‘kan? Kok nggak keliatan batang hidungnya?”

Suasana yang tadi sempat tenang kini berubah tegang. Dulu sebelum aku membawa Bapak, Eda cukup tenang dan jarang protes meski penghasilanku sedikit. Semenjak ada Bapak, Eda berubah drastis. Setiap hari mengeluh dan protes terus. 

“Aku sudah kasih lebih banyak dari biasanya, Eda. Kamu harusnya bersyukur. Allah bisa persempit rezeki kita kalau kita kufur.”

“Kurang bersyukur apa aku, Bang! Aku bersyukur dikasih dua anak dan suami yang baik seperti kamu, tapi baktimu ke bapakmu membuatku tersiksa setiap hari. Kamu yang harusnya bersyukur karena aku nggak pernah kasih kamu pilihan ‘aku atau bapakmu’. 

Aku merawat bapakmu setiap hari, menceboki dia, menggantikan popok dan memandikannya. Apalagi yang kurang? Aku cuma ngeluh karena gaji kamu yang semula memang kurang jadi tambah kurang karena harus membeli obat, popok, dan susu untuk Bapak. Di mana salah aku?”

 

Aku bukannya tidak mengerti perihal perjuangan Eda selama ini dalam mengurus Bapak, tapi perkataannya soal Bapak sungguh menyakitkan sampai aku merasa marah.

“Sendainya nggak ada aku, kamu bisa merawat bapakmu sambil cari duit?”

Aku terdiam parau. Lagi-lagi Eda benar. 

Eda kembali melipat pakaian sembari memalingkan mukanya dariku. Bibirnya menipis dan wajahnya mengeras. Itu membuat dadaku terasa sangat sesak.

“Sudah kukasih saran untuk nitipin Bapak ke kerabat atau keluarga jauhmu, tapi kamu menolak.”

“Kamu tau sendiri, Da. Sejak dulu kami ini orang kecil. Kerabat Bapak orang berada dan nggak sudi menengok kami. Nggak ada yang datang waktu pemakaman Ibu. Cuma ada aku dan adikku.”

“Ya sudah, ke adikmu saja!”

Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Hatiku terasa seperti tusuk ribuan jarum. Pedih sekali. Sebagai seorang anak, aku tak mampu memberikan yang terbaik untuk orang tuaku yang masih hidup. Aku merasa rendah diri dan menyedihkan. 

“Unur fokus kuliah. Aku nggak bisa bikin konsentrasinya terganggu.”

“Oh gitu? Gimana dengan konsentrasi aku sebagai ibu dari anak-anakmu? Nggak apa-apa terganggu? Kamu pikir gampang mengurus dua anak sambil urusin rumah dan juga bapakmu?” 

Jantungku mengeras. Mata ini terasa pedih. Kutarik napas sepanjang mungkin lalu mengangkat badan dan berdiri. “Lalu Bapak harus ke mana? Jangan bikin aku serba salah, Eda. Tolonglah suamimu ini sedikit lagi.”

“Ke panti jompo bisa! Dia aja ninggalin kamu dan biarin kamu berjuang sendirian, kenapa kamu nggak bisa?”

Aku terhenyak. Kata-kata Eda menusuk tepat di relung hatiku. Perasaan ini campur aduk. Aku tak bisa menghadapi Eda untuk saat ini. Kubuka jaket hijau kebanggaanku itu dan menggantungnya di pintu kamar. Mengusap wajah yang terasa pekat lalu keluar rumah, meninggalkan ruang tengah yang hanya diisi sofa buluk dan televisi kecil. 

Bapak ada di teras, menatap langit lurus-lurus. Sore ini tidak begitu cerah dan tidak mendung pula. Dari belakang, sosok Bapak sangat rapuh. Telah menghilang Bapak yang begitu tegar saat meninggalkan kami di usia dini. Sekarang Bapak menderita demensia dan diabetes. Harus sering check up ke rumah sakit dan minum obat. 

Kendati omongan Eda benar adanya, bahwa Bapak meninggalkanku untuk berjuang sendirian sampai sekarang, bukan berarti aku bisa dengan tega membuang Bapak begitu saja. 

Bagaimana bisa seorang anak membuang orang tuanya sendiri?

Bapak memang tidak menemaniku berjuang dan aku merasa kesal dengan kenyataan itu, tapi tidak sampai hati ini menitipkan Bapak ke orang lain, apalagi membuangnya. “Bapak sedang apa?” Kuhampiri beliau. Dari samping, kulihat mata Bapak berkedip sayu memandang langit. Wajahnya semakin mengurus. 

“Pak, maafin Amar, ya?” 

Sekilas Bapak menoleh dan memberiku senyuman tipis yang penuh arti. Senyuman yang berbeda seperti biasanya. Mata Bapak menjadi fokus dan terlihat normal. Saat itu juga jantungku berdegup kencang. Apa Bapak mengerti semua yang dikatakan Eda?

“Amar nggak pernah dendam sama Bapak, jadi Bapak nggak usah khawatir.” Aku menunduk kalut. “Bapak adalah harta berharga buat Amar, penopang, dan penunjuk jalan buat Amar. Amar selalu membutuhkan Bapak di sisi Amar.” Kugenggam tangan kurus yang bertengger di atas paha itu. “Bapak adalah pahlawan untuk Amar.”

Kupikir aku tidak akan menangis di hadapan Bapak. Mata yang sejak tadi terasa perih kini meneteskan air. Aku tak sanggup menahannya. Air mataku menetes di sarung Bapak. 

Bapak memang pernah meninggalkan kami dan menikah lagi, tapi sampai sekarang Bapak tetaplah sosok yang selau kuanggap sebagai pahlawan.

Tanpa kuduga, aku merasakan tangan yang lemah tengah mengusap pelan kepalaku, terasa hangat dan menembus masuk ke hati. Sambil menunduk, kuusap air mata untuk kemudian mendongak dan memberikan senyum pada Bapak.

Aku mengambil tangan Bapak yang kurus kering dan menciumnya. “Aku pernah bikin kita jatuh dari sepeda. Kaki Bapak luka kena standar sepeda, sampai sekarang masih berbekas.” Kusentuh bekas yang menghitam di kaki kanan Bapak. “Bapak malah menggendongku duluan dan memasangkan handiplas.”

Waktu itu Bapak sama sekali tidak memarahiku. Keningnya berlipat penuh kekhawatiran sambil berlari mencari warung untuk membeli plaster luka. 

“Aku juga pernah bikin ban sepeda Bapak copot dan jatuh ke selokan Mbok Yum.” Aku tertawa lalu menularkannya ke Bapak. Entah Bapak mengerti atau tidak. 

“Seng rumah juga pernah jatuh karena kulempari batu untuk menjatuhkan mangga. Bapak terpaksa naik ke atas dan memperbaikinya. Ah, uang Bapak pernah kuhilangkan juga. Itu penghasilan selama dua hari narik dan angkutin barang orang.”

Bapak mengangguk sambil tersenyum senang. Barangkali juga ikut bernostalgia saat masa-masa kami bersama dulu. 

“Kesalahanku lebih banyak daripada Bapak, tapi Bapak nggak pernah menyinggungnya lagi sampai sekarang.” Kubawa tangan Bapak ke kening. “Tapi satu kesalahan Bapak menjadi kesalahan yang selalu saja dibahas sampai sekarang. Menjadi alasan agar Amar membuang bakti untuk Bapak.”

Seperti Bapak yang selalu saja memaafkan setiap kesalahanku, aku pun memaafkan kesalahan Bapak yang satu itu. Sebab terlalu banyak kenangan kecil bersama Bapak yang sulit untuk dilupakan. Karena penyesalan saat aku membuang Bapak akan terasa lebih sakit. 

Satu pertanyaan yang selalu kutanyakan pada diri sendiri. Jika aku membuang Bapak, apakah hati ini akan terasa lega?

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status