Beranda / Romansa / Jingga di Kota Cinta / Saya Siap Tante Om...

Share

Saya Siap Tante Om...

Penulis: Tutur K. S
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-15 00:11:57

Bandara Charles de Gaulle seperti kabut tipis di kepala Kirana. Semua terasa bergerak cepat: derap langkah Haris di depannya, suara konfirmasi tiket di ponsel, papan jadwal keberangkatan yang berganti-ganti. Semalam mereka tertawa di balkon, sekarang ia berdiri di antrean check-in dengan perut mual, pikiran penuh gambar rumahnya, dan suara tetangga yang masih bergema di telinga: kecelakaan… rumah sakit… kritis.

Haris memegang paspornya sambil bicara dengan petugas, nada suaranya tegas tapi tetap sopan. “Kita harus terbang malam ini,” katanya, lalu menoleh ke Kirana. “Lo mau duduk dekat jendela atau lorong?”

Kirana hanya menggeleng. Pilihan kursi terasa tidak penting. Haris menekan jemari Kirana sebentar, sekilas, tapi cukup membuatnya ingat untuk bernapas.

Di pesawat, dunia menyusut menjadi deru mesin dan dinginnya udara kabin. Kirana menatap kosong ke awan, mencoba mengikat pikirannya pada satu hal yang pasti: harus sampai. Haris menyelimutinya, membukakan botol air, bahkan memindahk
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Jingga di Kota Cinta   Waktunya Untuk Pulang Ke Suami

    Dua bulan sudah setelah upacara singkat itu, Paris seperti menahan napas untuk Kirana. Rue Carducci yang biasanya riuh pelan oleh suara roda koper dan tawa mahasiswa kini terdengar lebih tipis, seolah semua orang berbisik saat melewati jendela apartemennya. Di dalam, jam dinding murah berdetak terlalu jelas, mengisi celah-celah hening yang dulu tak pernah ia perhatikan.Kirana sering terbangun sebelum subuh. Ia duduk di kursi dekat jendela kecil, memeluk lutut, menatap atap batu bangunan seberang yang disapu cahaya lampu jalan warna madu. Matanya tidak selalu basah, tapi dadanya seperti disangga sesuatu yang berat dan tak bernama. Ada hari-hari ia ingin bercerita panjang pada kedua orang tuanya—soal kuliah, soal proyek “Healing Through Memory”, soal Haris. Ada juga hari-hari ia hanya ingin diam dan membiarkan napasnya keluar masuk, menandai bahwa ia masih di sini."Pagi sayang...", ucap Haris seraya mengecup pipi Kirana begitu dia bangun."Pagi suamiku...", jawab Kirana dengan senyum

  • Jingga di Kota Cinta   Sah!

    Haris maju setengah langkah. Nafasnya dalam, tapi suaranya tetap mantap.“Pak, Bu…saya mau jagain Kirana, mulai sekarang, sampai akhir nanti. Kalau Bapak dan Ibu ridha, saya mau menikahi dia hari ini… di sini.”Ruang rawat VIP itu terasa terlalu luas untuk sekadar menampung dua ranjang dan bunyi detak monitor. Bau antiseptik menusuk, bercampur samar aroma bunga lili di meja sudut. Kirana berdiri di antara dua dunia: satu dunia yang sedang ia genggam erat, dan satu lagi yang perlahan-lahan melepaskan diri.Haris berdiri di sebelahnya, tegap namun rahangnya mengeras. Tatapannya ke arah ayah Kirana, lalu ke ibunya yang terbaring lemah. Di mata mereka ada sesuatu yang sama—desakan waktu.“Ibu…” suara Kirana bergetar. Tangannya membelai punggung tangan ibunya yang dingin. Mata ibu Kirana basah. Ada senyum tipis, seperti sisa cahaya di langit senja yang sebentar lagi padam. Ayah Kirana mengangguk pelan, lalu menoleh ke putrinya. “Nak…ibu tenang kalau kamu sama Haris… Bapak juga setuju. Sem

  • Jingga di Kota Cinta   Saya Siap Tante Om...

    Bandara Charles de Gaulle seperti kabut tipis di kepala Kirana. Semua terasa bergerak cepat: derap langkah Haris di depannya, suara konfirmasi tiket di ponsel, papan jadwal keberangkatan yang berganti-ganti. Semalam mereka tertawa di balkon, sekarang ia berdiri di antrean check-in dengan perut mual, pikiran penuh gambar rumahnya, dan suara tetangga yang masih bergema di telinga: kecelakaan… rumah sakit… kritis.Haris memegang paspornya sambil bicara dengan petugas, nada suaranya tegas tapi tetap sopan. “Kita harus terbang malam ini,” katanya, lalu menoleh ke Kirana. “Lo mau duduk dekat jendela atau lorong?”Kirana hanya menggeleng. Pilihan kursi terasa tidak penting. Haris menekan jemari Kirana sebentar, sekilas, tapi cukup membuatnya ingat untuk bernapas.Di pesawat, dunia menyusut menjadi deru mesin dan dinginnya udara kabin. Kirana menatap kosong ke awan, mencoba mengikat pikirannya pada satu hal yang pasti: harus sampai. Haris menyelimutinya, membukakan botol air, bahkan memindahk

  • Jingga di Kota Cinta   Ayo Kita Pulang

    Pagi tiba pelan, seperti selimut tipis yang ditarikkan rapi ke atas kota kecil di tepi laut. Tirai goni memerangkap cahaya keemasan; debur ombak yang jauh terdengar seperti napas yang diatur baik-baik. Kirana membuka mata lebih dulu. Kamar penginapan mereka sederhana: dinding batu yang mengekspos tekstur, lantai kayu yang kadang berderit, jendela kecil yang menghadap jalan setapak menuju pantai.Ini semua hasil keputusan spontan Haris yang mengajak Kirana tiba-tiba pergi ke stasiun kereta dan mengambil kereta mana saja yang tercepat datang.Haris tertidur di sofa, miring, satu tangan menyilang di dada, satu lagi terkulai menyentuh lantai. Semalam mereka kebablasan ngobrol. Kirana menatapnya beberapa detik, mencoba menyimpan pemandangan itu ke ruang ingatan yang ingin ia jaga: Haris yang apa adanya.Ia bangkit pelan, meraih sweater, lalu ke dapur mungil di sudut. Ketel diletakkan di atas kompor gas; bau kopi bubuk memenuhi udara. Ia juga menyiapkan the untuknya.“Wangi banget,” suara H

  • Jingga di Kota Cinta   Kita Pelan-Pelan Ya...

    Apartemen Kirana sore itu terasa seperti sedang bernafas pelan. Jendela kecil di Rue Carducci memantulkan sisa cahaya emas, menghangatkan ruang mungilnya. Rambut Kirana setengah kering, wangi sampo bercampur tipis dengan aroma daun jeruk yang baru saja ia remas di dapur. Jantungnya sibuk tanpa alasan logis—atau mungkin ia sudah tahu tamunya kali ini datang membawa lebih dari sekadar bahan masakan.Dua ketukan di pintu. “Masuk,” ucapnya, mencoba terdengar santai.Haris masuk, tote bag kanvas di tangan, jaketnya sedikit basah oleh gerimis. Ia menaruhnya di sandaran kursi, lalu mengeluarkan isi tas—serai, daun jeruk, santan, udang, tempe, bawang merah, seikat kecil kemangi.“Serius lo cari kemangi di Paris?” Kirana mengangkat alis.“Demi lo, sayang.” Tatapan lurus itu membuat Kirana menunduk sambil tersenyum geli, menutupi pipi yang mulai hangat. Ia masih belum terbiasa dipanggil begitu oleh Haris. Kejadian semalam masih kerasa kaya mimpi. Ia bahagia.“Masak apa kita hari ini?” “Laksa a

  • Jingga di Kota Cinta   Mulai Hari Ini Kita Pacaran

    Paris mulai dingin. Udara pagi membawa aroma roti dan kopi dari kafe-kafe di Rue Mouffetard, tapi Kirana terlalu sibuk memikirkan daftar pekerjaan hari itu. Sejak kembali dari Strasbourg, ritme di studio Healing Through Memory makin padat. Prof. Thérèse ingin pameran mini internal dalam dua minggu, dan semua tim bergerak cepat. Kirana memasuki studio proyek terasa lebih hangat sore itu, padahal AC masih di angka yang sama. Kertas-kertas konsep menempel di dinding; potongan dialog, sketsa ruang ingatan, dan peta alur interaktif memenuhi papan. Kirana berdiri di depan whiteboard, spidol menari pelan. Ia menuliskan: Checkpoint 3 — “Pintu yang Pernah Tertutup.”“Kalau di titik ini, player harus milih untuk masuk ke kamar lama atau putar balik ke tangga,” gumamnya. “Masuk itu artinya dia siap menghadapi memori yang nggak enak, tapi… kita mesti kasih pegangan supaya nggak terasa menghakimi.”Haris duduk di tepi meja, memperhatikan. “Pegangan bisa bentuknya benda—kayak surat kecil, atau reka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status