Share

Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku
Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku
Author: KiraYume

Bab 1. Pelarian

Author: KiraYume
last update Huling Na-update: 2025-06-29 17:00:10

“Sayang, kamu menangis?”

Alana yang berdiri di pojok ruangan langsung berlari ke dekapannya. Chandra dengan cekatan memeluknya, terheran karena bahu Alana berguncang hebat.

“Apa yang terjadi?”

Alana menatapnya sejenak. Wajahnya pucat. Matanya merah. Butuh beberapa detik sebelum Alana bicara.

"Ayah… Memberiku ultimatum semalam," suaranya nyaris seperti bisikan. “Valestra Group diambang kebangkrutan. Aku ga tahu sejak kapan, Tapi tadi Ia berkata ... satu-satunya cara menyelamatkan semuanya adalah dengan menjualnya ke Ravenshade.”

Chandra mendengarkan. Napasnya mulai berubah.

Alana melanjutkan. “Tapi mereka bukan cuma mau perusahaan. Mereka mau ... aku.” 

“Aku harus menjadi pendamping putra mereka, menikah dengan Brian Ravenshade sebagai bagian dari kesepakatan. Kalau nggak … Ratusan karyawan kehilangan pekerjaan.”

Alana menunduk. “Ayah bilang ini pengorbanan yang harus aku lakukan demi keluarga. Demi perusahaan. Demi semua orang.” Air matanya menetes. 

Chandra mengulurkan tangan, menggenggam jemari Alana yang dingin dengan kuat. 

“Alana, denger. Nggak ada siapa pun di dunia ini, yang punya hak mutusin hidup kamu,” katanya pelan, tapi pasti. “Aku ga akan ngebiarin mereka merebutmu gitu aja.”

Alana menarik napas panjang. Suaranya lebih tenang saat berkata, “Aku tahu. Kalau mereka bisa bikin keputusan seenaknya ... kita juga bisa.”

Chandra menatapnya dalam-dalam. “Apa maksudmu?”

Alana mengangguk kecil, lalu berbisik, “Kita pergi. Kita bangun hidup baru jauh dari mereka. Berdua. Kamu mau kan?”

Chandra tidak membalas dengan kata-kata. Ia hanya mengeratkan genggaman tangannya. Itu cukup.

Mereka tidak tahu ke mana atau bagaimana. Tapi yang pasti, mereka harus meninggalkan semua ini. Cinta mereka bukan bagian dari perjanjian bisnis mana pun.

Mereka tidak perlu menunggu lama, mereka segera menyusun pelarian.

“Kata ayah,” ujar Alana sambil membuka tabletnya, “Jet pribadi Brian Ravenshade dijadwalkan mendarat besok, jam dua siang. Penerbangan langsung dari Tokyo.”

Alana menatap layar tanpa benar-benar membaca isinya.

Chandra memotong. “Oke, kita pergi jam tiga sore. Saat semua perhatian mereka tertuju padanya.”

Ia menoleh, mencari reaksi Alana. “Kita jadikan ini sebagai ... simbol. Balasan atas kesemena-menaan mereka.”

“Kita ketemu dimana?” tanya Alana tegas.

Chandra tidak ragu. “Taman tempat aku nembak kamu.”

Alana mengangguk. Tidak ada pilihan yang lebih tepat. Di sana, kisah mereka bermula. Dan sekarang mereka akan memulai ulang lagi dari sana.

Malam itu Alana tidak tidur. Ia mengulang-ulang rencana di kepalanya, membayangkan setiap langkah, setiap kemungkinan. Tapi tidak sekalipun ia merasa ragu.

Pagi berikutnya, rumah terasa berbeda. Bagi Alana semuanya terasa lebih mencekam.

Ayahnya, Silvano Valestra sudah duduk di ruang makan, Ia sedang membahas detail penyambutan Brian dengan salah satu asisten yang berdiri di sisi meja. Nadanya lugas, formal, dan dingin.

Ibu dan adiknya juga ikut sarapan. Wajahnya tanpa cela, tapi mata mereka memindai Alana dari ujung rambut ke kaki.

“Tim penyambutan sudah siap di bandara,” kata Ayahnya sambil melipat koran. “Jet Brian akan mendarat tepat pukul dua siang sesuai rencana. Dia langsung ke hotel, baru kesini untuk makan malam bersama. Semuanya harus sempurna.”

Alana menahan mualnya dengan mengunyah perlahan. Ia hanya mengangguk pelan dan menelan rasa sesak yang menggumpal di dada.

Dina mengangkat wajah dari ponselnya, lalu menoleh ke arah ayahnya.

“Ayah yakin? Kak Alana kan ... sudah punya kak Chandra,” ucapnya pelan. “Kalau mau gadis Valestra, aku bersedia gantiin kakak … kalau itu bisa nyelamatin perusahaan.”

Keheningan sesaat mengisi ruang makan.

“Ini bukan tentang rela atau nggak,” kata Silvano akhirnya, “Ayah Brian sudah menyebut nama Alana sejak awal. Kita ga berada dalam posisi tawar.”

Ibunya menimpali tanpa menoleh ke siapa pun. “Lagipula ya, siapa sih Chandra? Arsitek lepas tanpa nama, masa depannya ga jelas. Dibandingkan Brian? Jauh banget lah.”

Setiap kata itu terasa menusuk Alana. Tapi juga memperkuat tekadnya.

Setelah selesai, ia berpamitan dengan alasan klien VIP ingin berkonsultasi langsung. Tidak seorang pun mempertanyakan, bahkan ayahnya hanya mengangguk sambil menatap layar ponselnya.

Ransel kecil berisi dokumen, uang tunai, dan beberapa potong pakaian sudah diselipkan ke dalam bagasi sebelumnya, lewat bantuan Riana, asisten pribadinya yang setia dan diam-diam membantu.

Alana melangkah keluar tanpa menoleh. Ia tidak menggunakan mobil pribadi. Taksi online yang ia pesan datang lima menit kemudian. Supirnya ramah, tidak banyak bicara.

Saat kendaraan itu melaju perlahan meninggalkan gerbang rumah besar yang selama ini mengurungnya, Alana tidak bisa menahan diri untuk menoleh.

Jantungnya berdebar kencang. Ada kecemasan yang tajam, menusuk, menekan.

Tapi di sela-sela itu, muncul rasa yang lain. Rasa yang belum pernah ia kenali sebelumnya. Sensasi ringan... hampir seperti terbang.

Kebebasan.

Tak lama, Sebuah pesan masuk. Alana membuka ponselnya dengan tangan gemetar yang tak ia sadari sejak tadi. 

"Aku udah jalan. Bentar lagi kita ketemu ya. Aku nggak sabar."

Ia menatap kata-kata itu beberapa detik lebih lama dari yang perlu. Sebuah penegas bahwa ia tidak sendiri. Bahwa keputusannya bukan keputusasaan, tapi keberanian.

Bangku kayu di bawah pohon rindang itu masih ada, tak berubah. Tempat itu dulu menyaksikan Chandra dengan tangan gemetar menyatakan cinta untuk pertama kalinya, dan Alana menerima dengan air mata bahagia. Kini, tempat yang sama akan menyaksikan permulaan baru mereka.

Ia duduk. Punggungnya tegak, napasnya pendek-pendek. Waktu di ponselnya menunjukkan pukul dua lima puluh lima. Lima menit menuju kebebasan.

Getaran kedua datang. Alana membuka layar.

"Aku udah sampai, tinggal nyebrang ke taman."

Alana langsung berdiri. Matanya menyapu jalanan di depannya. Lalu ia melihatnya.

Di seberang jalan, Chandra melambaikan tangan. Wajahnya teduh, lega. Pandangannya tertuju padanya, utuh. Ia melangkah pelan, bersiap menyeberang saat lampu lalu lintas berubah.

Alana mengangkat tangannya setengah, bibirnya mulai tersenyum. 

Tapi tiba-tiba, Suara decitan ban memecah keheningan. Tajam. Mendadak. Memekakkan.

Semua orang menoleh. Sebuah sedan melaju liar tidak terkendali. Mobil itu oleng ke arah kiri, langsung menuju trotoar tempat Alana berdiri.

Tubuh Alana membeku. Ia tidak bisa bergerak. Udara mendadak menghilang dari paru-parunya. Matanya terpaku pada mobil yang semakin mendekat. kepanikan menggulung cepat di dalam tubuhnya.

Dari seberang jalan, Chandra melihat semuanya. Sorot matanya melebar. Tangannya terangkat, dan dari jauh, berteriak.

“ALANA, AWAS!”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 6. Brian Ravenshade

    Langit Kaliandra baru saja kehilangan warna terakhirnya. Sisa cahaya jingga tenggelam di antara gedung-gedung tinggi. Di dalam butik Valestra Bridal yang kini mulai sepi, Alana sedang menyelesaikan catatan untuk tim penjahit ketika ponselnya bergetar.Pesan masuk. Dari Brian.“Aku sudah di depan Valestra Bridal.”Alana mengetik cepat tanpa banyak pikir. “Aku lagi tanggung. Tunggu dulu di lobi.”Ia menyimpan ponselnya lalu berdiri, mengambil jeda sejenak sebelum meninggalkan ruang kerjanya. Langkahnya menuju ruang tamu lantai bawah pelan tapi mantap, seolah tengah bersiap menuju panggung yang enggan ia pijak.Brian berdiri di depan jendela besar, siluet tubuh atletisnya terbingkai oleh cahaya lampu jalan dari luar. Tangannya diselipkan ke dalam saku celana, santai. Alana berhenti di ambang pintu, menyandarkan tubuhnya sejenak di kusen kayu putih."Aku tidak mau pergi," katanya pelan, tapi tidak ragu. Suaranya bening dan dingin.Brian menoleh. Sorot matanya tak menunjukkan keterkejutan.

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 5. Siapa Dia?

    Alana membuka mata perlahan. Cahaya pagi yang masuk dari celah tirai jatuh lurus ke sisi bantalnya, menyilaukan tapi tak menghangatkan. Ranjang di bawah tubuhnya empuk dan bersih, namun tak membuatnya tidur nyenyak.Dari luar pintu, ia mendengar suara pelan, langkah kaki. Brian sudah bangun. Ia bangkit dan berdiri sebentar, menyentuh permukaan meja rias dengan ujung jarinya.Ia tahu apa yang ingin ia lakukan pagi ini. Sesuatu kecil. Tapi cukup untuk mengingatkan siapa yang sebenarnya punya kuasa."Permainan akan segera dimulai, Tuan Ravenshade," bisik Alana sambil melangkah ke dapur.Ia membuka lemari dapur dengan gerakan perlahan. Tangannya bergerak cepat. Dua lembar roti dimasukkan ke pemanggang, lalu ia membuka selai kacang dari toples kaca mewah yang dibeli khusus untuk isi pantry mereka. Ia tahu pasti, Brian Ravenshade memiliki riwayat alergi ringan terhadap kacang. Tidak mematikan. Tapi cukup mengganggu.“Rasakan,” gumamnya sinis.Ia menyusun roti panggang di atas piring putih d

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 4. Pernikahan Paksa

    Sebulan kemudian. Di balik tirai ruang rias, Alana berdiri diam. Gaun pengantinnya jatuh dengan sempurna. Potongan leher sabrina memperlihatkan tulang selangkanya yang jenjang, sementara renda halus menjalar dari lengan hingga pergelangan tangan. Setiap detail pada gaun itu adalah rancangannya sendiri.Dina, berdiri di sampingnya, membenarkan kerudung tipis di atas kepalanya sambil tersenyum lebar.“Kak... kamu kelihatan cantik banget. Sempurna,” bisiknya. “Kalau aku Brian, aku pasti langsung jatuh cinta saat melihatmu.”Alana hanya menoleh sebentar. Bibirnya menarik garis senyum yang datar, tanpa makna.“Bagus…,” ucapnya lirih. “Kalau dia jatuh cinta. Akan lebih mudah menghancurkannya”Bunga-bunga putih menggantung dari langit-langit, membentuk lengkung sempurna di sepanjang lorong altar. Harumnya memenuhi ruangan, menyamarkan ketegangan yang merayap di antara tamu undangan. Di sisi kanan, keluarga Ravenshade duduk tegak dan dingin. Di sisi kiri, keluarga Valestra terlihat gelisah.

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 3. Cinta dan Dendam

    Alana tercekat. matanya membelalak. Nafasnya kembali terhenti. Nama itu. Dua kata yang membawa beban lebih berat dari apa pun dalam hidupnya.Brian. Nama itu kini Kini nama itu punya wajah.Dua tubuh. Satu tragedi. Tapi di dalam kepala Alana, segalanya sudah jelas.Satu korban. Satu pelaku.Di rumah sakit, Alana duduk diam, punggungnya menyentuh sandaran Kursi yang keras di koridor rumah sakit. Udara terlalu dingin, menusuk hingga ke tulang.Di sisi kanan, keluarga Valestra berkumpul dalam barisan senyap. Ayahnya duduk tegak, wajahnya datar, mulutnya terkunci rapat. Di sisi kiri, berkumpul keluarga Ravenshade. Lebih berjarak, lebih asing. Tak lama kemudian pintu ruang rawat terbuka.Seorang perempuan keluar. Langkahnya tenang, tak tergesa. Wajahnya bersih tanpa riasan, jas putihnya jatuh rapi sampai lutut, papan nama kecil di dada kanan menampilkan tulisan sederhana, dr. Nadia.Alana langsung berdiri. “Dokter... Nadia?” suaranya pelan. “Bagaimana keadaannya? Kondisi... Chandra?”Nad

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 2. Tragedi

    Dorongan itu datang begitu cepat, keras, dan tanpa peringatan. Bahu Alana terasa dihantam. Udara tercekat dari dadanya. Tubuhnya terhempas ke samping, melayang rendah dan keras, lalu jatuh menghantam tanah.Sebelum Ia menyadari apa yang terjadi, terdengar suara decitan ban memekakkan telinga. Lalu... hening.Alana terbatuk. Tenggorokannya gatal, penuh debu dan ketakutan. Ia mencoba bangun, satu tangan menopang tubuh, tubuhnya masih gemetar. Sakit di bahu dan lengan hanya setitik dibanding kekacauan di kepalanya.Pandangan matanya kabur, tapi perlahan menjadi lebih jelas.Seseorang. Terbaring tak bergerak. “Chandra…enggak.”Otaknya menolak memproses. “Tidak…Tolong Tuhan…Jangan.”Alana menggeleng pelan. Bibirnya mulai bergetar. Ia mundur satu langkah, tubuhnya kehilangan kekuatan."Enggak... enggak mungkin..."Alana mencoba berdiri. Tapi tubuhnya tidak merespons. Kakinya gemetar hebat, seolah semua ototnya menolak perintah. tapi ia tak bisa berhenti, ia memaksakan diri untuk merangka

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 1. Pelarian

    “Sayang, kamu menangis?”Alana yang berdiri di pojok ruangan langsung berlari ke dekapannya. Chandra dengan cekatan memeluknya, terheran karena bahu Alana berguncang hebat.“Apa yang terjadi?”Alana menatapnya sejenak. Wajahnya pucat. Matanya merah. Butuh beberapa detik sebelum Alana bicara."Ayah… Memberiku ultimatum semalam," suaranya nyaris seperti bisikan. “Valestra Group diambang kebangkrutan. Aku ga tahu sejak kapan, Tapi tadi Ia berkata ... satu-satunya cara menyelamatkan semuanya adalah dengan menjualnya ke Ravenshade.”Chandra mendengarkan. Napasnya mulai berubah.Alana melanjutkan. “Tapi mereka bukan cuma mau perusahaan. Mereka mau ... aku.” “Aku harus menjadi pendamping putra mereka, menikah dengan Brian Ravenshade sebagai bagian dari kesepakatan. Kalau nggak … Ratusan karyawan kehilangan pekerjaan.”Alana menunduk. “Ayah bilang ini pengorbanan yang harus aku lakukan demi keluarga. Demi perusahaan. Demi semua orang.” Air matanya menetes. Chandra mengulurkan tangan, mengge

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status