Share

Bab 2. Tragedi

Penulis: KiraYume
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-29 19:00:47

Dorongan itu datang begitu cepat, keras, dan tanpa peringatan. Bahu Alana terasa dihantam. Udara tercekat dari dadanya. Tubuhnya terhempas ke samping, melayang rendah dan keras, lalu jatuh menghantam tanah.

Sebelum Ia menyadari apa yang terjadi, terdengar suara decitan ban memekakkan telinga.

Lalu... hening.

Alana terbatuk. Tenggorokannya gatal, penuh debu dan ketakutan. Ia mencoba bangun, satu tangan menopang tubuh, tubuhnya masih gemetar. Sakit di bahu dan lengan hanya setitik dibanding kekacauan di kepalanya.

Pandangan matanya kabur, tapi perlahan menjadi lebih jelas.

Seseorang. Terbaring tak bergerak. 

“Chandra…enggak.”

Otaknya menolak memproses. 

“Tidak…Tolong Tuhan…Jangan.”

Alana menggeleng pelan. Bibirnya mulai bergetar. Ia mundur satu langkah, tubuhnya kehilangan kekuatan.

"Enggak... enggak mungkin..."

Alana mencoba berdiri. Tapi tubuhnya tidak merespons. Kakinya gemetar hebat, seolah semua ototnya menolak perintah. tapi ia tak bisa berhenti, ia memaksakan diri untuk merangkak.

Alana terus menyeret tubuhnya. Siku dan lututnya menyentuh permukaan keras berlapis kerikil. Gesekannya panas dan perih, meninggalkan rasa terbakar yang langsung menyebar.

Saat ia tiba di sisinya, realita menghantam lebih kejam dari apa pun. Itu memang Chandra.

"Chandra," bisiknya, suara itu nyaris tak terdengar.

"Chan..." tangannya meremas lembut bahu kekasihnya. "Sayang, bangun. Kumohon…"

Tubuh itu tetap diam.

Ia mengguncangnya sedikit. Lalu lebih keras. Berkali-kali.

"CHANDRA!"

Suaranya pecah, putus asa. Rasa takutmembuatnya tak peduli ia berteriak. Ia hanya ingin Chandra menjawab. Hanya satu gerakan kecil. Satu napas saja.

Ia mulai menyadari kehadiran orang-orang di sekitarnya, mendengar bisikan-bisikan. Pelan tapi tajam.

"Ya Tuhan, parah sekali."

"Jangan disentuh korbannya!"

Entah berapa lama ia terdiam dalam dunianya yang sedang terhenti, memeluk lengan Chandra yang tak bergerak. Sampai suara sirene itu datang, memecah keheningan dengan nada panjang yang melengking dan mendesak.

Ambulans berhenti. Ban menghentak aspal. Dua paramedis turun, membawa tandu dan kotak peralatan. Entah siapa yang memanggil mereka.

“Pak! Cepat! Tolong yang ini dulu!” Alana berteriak panik. 

Satu dari mereka berlutut di sisi tubuh Chandra. Yang lain mendekati Alana dan berbicara dengan nada lembut tapi tegas.

"Mbak, tolong beri kami ruang untuk bekerja."

Alana tidak menjawab. Tidak bergerak.

Tangannya mencengkeram lengan baju Chandra erat-erat.

"Tolong selamatkan dia," suaranya keluar sebagai tangisan, bukan perintah. "Berapapun harganya... tolong..."

Tangan paramedis yang lain membantu menarik Alana untuk memapahnya masuk ke dalam ambulans mendampingi Chandra yang tak berdaya di atas tandu.

Ia nyaris tidak bisa merasakan langkah kakinya sendiri. Napasnya pendek, pandangannya kabur oleh air mata yang tak henti mengalir.

"Tenang mbak, kami akan segera bawa dia ke rumah sakit. Mbak ikut dengan kami."

Tepat saat tubuhnya hendak naik ke dalam kendaraan itu, suara dari kerumunan kembali menembus kabut di telinganya.

"Masih ada korban di dalam mobil!"

Beberapa pria tengah berusaha membuka pintu samping yang penyok parah. Tangan-tangan menggenggam erat pegangan pintu, tubuh mereka bergoyang sekuat tenaga.

“Udah kebuka! Ayo cepat, evakuasi korban,” ujar salah satu dari mereka.

Seseorang ditarik keluar. Seorang pria dengan jas mahal yang sekarang tercabik di beberapa bagian, bercak darah di dada dan pelipis. 

Wajahnya tampak muda, dingin dalam ketidaksadaran. Ia tidak bergerak, tapi dadanya masih naik turun. Alana memperhatikan dengan napas tercekat.

“Dia masih hidup!”

Suara riuh kembali terdengar. Orang-orang berseru.

“Yang di belakang ini masih bernapas!”

“Tapi yang di kursi pengemudi... Tuhan...”

Polisi tiba tak lama kemudian. Dua petugas langsung menghampiri titik kecelakaan. Satu memeriksa kondisi pria berjas itu, yang sudah direbahkan di atas tandu cadangan. Yang lain melihat ke dalam kursi pengemudi yang penuh pecahan kaca dan genangan kecil darah.

Alana duduk membatu, tubuhnya setengah berguncang oleh guncangan emosi dan trauma. Tapi telinganya tajam menangkap tiap frasa yang keluar dari percakapan mereka.

“...dari kartu identitasnya, pengemudi sudah dikonfirmasi tewas. Namanya Anton.”

“Yang ini... masih napas, denyut lemah. Tapi stabil.”

“Identitasnya?”

Petugas lain menyerahkan dompet yang setengah basah oleh darah.

“Brian Ravenshade.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Yuli Darmono
Kasihan banget Alana, dari euforia kebebasan langsung jatuh ke mimpi buruk. Deskripsi dia merangkak ke Chandra itu menyakitkan sekali buat dibaca.
goodnovel comment avatar
rido alamsyah
Sudah kuduga ini sabotase. Pengemudinya tewas tapi Brian hidup. Skenario sempurna untuk membuat Alana merasa "diselamatkan" oleh Brian. Licik!
goodnovel comment avatar
kemal prasetya
PLOT TWIST MACAM APA INI?! Jadi yang nabrak itu mobilnya Brian Ravenshade sendiri?! Ini bukan kebetulan! Gila, gila, gila!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 179. Epilog : Cinta Yang Tak Pernah Mati

    Mobil hitam Alana meluncur pelan menuju Taman Kota, tempat yang sudah menjadi semacam ritual baginya selama setahun terakhir ini. Tempat di mana perjumpaan, cinta, penyesalan, dan perpisahan pernah bertemu dalam satu titik.Sesampainya di gerbang taman, ia menoleh pada Riana.“Riana, tolong biarkan aku sendiri kali ini,” ucapnya lembut.Riana sempat ingin menolak, tapi melihat tatapan mata majikannya, ia hanya mengangguk.“Kau yakin Alana, apa nggak sebaiknya aku temani aja?”“Nggak usah, Riana. Tolong, Aku lagi nggak mau diganggu, sebentar aja, sampai aku hubungi kamu lagi.”

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 178. Dia Telah Tiada

    Alana terhuyung mendekat, napasnya terengah-engah, tubuhnya masih bergetar setelah ledakan cahaya tadi. Di bawah pohon tua, ia melihatnya, tubuh Brian terbaring lunglai di atas rumput basah.“Tidak… tidak, tidak…” suaranya tertahan, hampir tidak bisa keluar.Dia menjatuhkan diri berlutut di sampingnya, tangannya gemetar saat menyentuh wajah yang dulu begitu asing, namun kini terasa paling dicintainya. Jemarinya mencari-cari, menekan lembut di sisi leher, berusaha merasakan denyut nadi. Kosong.“Tidak… kumohon…” Alana memindahkan tangannya, kali ini mendekat ke hidung, mencari sedikit hembusan napas. Hampa.Panik, ia menempelkan telinganya di dada bidang itu, menahan napas, berharap, hanya berharap, mendengar detak jantung yang samar. Tapi yang ia dapatkan hanyalah keheningan.Tubuh ini… wadah yang selama 77 hari terakhir menampung jiwa kekasihnya, kini betul-betul kosong. Jiwa itu telah pergi. Brian Ravenshade … telah tiada.Alana tidak melepaskan pelukannya sepanjang malam. Di bawah

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 177. AKU MENCINTAIMU!

    Alana menahan napas dan membanting setir ke kiri. BRAK! Mobilnya menghantam keras pembatas jalan, tubuhnya tersentak ke depan, hampir menghantam kemudi. Ban berdecit panjang, lalu berhenti mendadak.Truk itu melintas, klaksonnya masih meraung, pengemudinya berteriak marah dari balik kaca. Tapi suara itu hilang, tertelan oleh degup jantung Alana yang membahana di telinganya.Tangannya bergetar. Napasnya terengah-engah. Dunia seperti berputar.Tapi lalu matanya menangkapnya, deretan pepohonan hijau yang menandakan Taman Kota sudah sangat dekat.Dia tidak lagi peduli pada mobilnya yang penyok. Dengan gerakan putus asa, ia meraih tuas, membuka pintu, dan melompat keluar.Kakinya menghantam aspal, dingin dan keras, tapi ia tidak merasakannya. Ia langsung berlari, tubuhnya diterpa angin malam, langkahnya terhuyung-huyung oleh adrenalin yang membuncah.Melewati gerbang besi tua taman itu, ia berlari semakin kencang. Nafasnya tersengal-sengal, paru-parunya seperti terbakar, tapi ia tidak ber

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 176. Cahaya Putih

    “Cepat katakan padaku di mana dia!” desak Alana, suaranya bergetar antara ketakutan dan kemarahan.Nadia menatapnya lama, seolah sedang menimbang aturan tak tertulis yang mengikat dirinya. Sunyi sesaat terasa memanjang, lalu wanita itu menghela napas panjang.“Aku tidak bisa memberitahumu lokasi tepatnya,” katanya akhirnya. “Tapi… aku bisa memberimu petunjuk.”Alana menahan napas, tubuhnya tegang.“Dia akan pergi … di tempat di mana semuanya dimulai dan seharusnya berakhir. Tempat yang paling penting bagi kalian berdua.” Mata Nadia menatap lurus ke dalam jiwa Alana, seolah kalimat itu bukan sekadar petunjuk, melainkan sebuah kunci.Alana terpaku. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menyingkap kenangan satu per satu.“Tapi…” suara Nadia menggema rendah, seperti gema dari ruang tak kasat mata, “…waktunya hampir habis. Bahkan jika kau tahu di mana dia… kau mungkin tidak akan sampai tepat waktu.”“Aku tidak peduli,” jawab Alana tegas, tanpa ragu sedikit pun. “Aku tetap akan mencarinya.”

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 175. Giliranku Melindunginya

    Penyesalan itu menusuk dalam, seperti belati yang dipelintir berkali-kali di jantungnya. Alana baru menyadari ia telah menyia-nyiakan tujuh puluh tujuh hari bersama Chandra. Hari-hari yang ia habiskan dengan dingin, dengan kecurigaan, dengan jarak yang disengaja. Dan sekarang… waktu itu hampir habis.Panik merayap lebih cepat daripada air mata. Kesedihan yang tadi mencekik dadanya kini berubah menjadi kepanikan murni. Waktunya, berapa lama yang tersisa? Beberapa jam? Beberapa menit? Atau mungkin, ia bahkan sudah terlambat?Sambil masih terisak, ia bangkit berdiri dengan gerakan mendadak, kursi hampir terguling ke belakang. Nafasnya terengah, matanya merah, tapi tekadnya keras. Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi penolakan.Dia harus menemukannya. Dia harus memberitahunya.“Chandra…” bibirnya bergetar ketika menyebut nama itu, kali ini penuh dengan cinta yang selama ini ia tahan.Tanpa berpikir panjang, Alana berlari keluar dari ruang kerja, langkahnya terhuyung-huyung tapi tak ber

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 174. Semuanya Adalah Chandra

    Alana masih terduduk di lantai ruang kerja, tubuhnya gemetar. Jurnal itu terbuka di pangkuannya, lembar-lembar usang berisi coretan tangan Chandra yang begitu familiar. Ia baru saja menyelesaikan membaca entri tentang perjanjian mustahil dengan sosok bernama Nadia, dan kini pikirannya terasa seperti pecah berkeping-keping.Dia menggeleng keras, air mata memburamkan pandangannya.“Enggak… ini nggak mungkin,” bisiknya, suaranya parau, seolah ia memohon pada ruangan kosong agar menyangkal kenyataan itu. “Ini pasti… bohong kan?”Tapi tulisannya terasa begitu nyata. Terlalu pribadi. Terlalu Chandra.Dengan tangan gemetar, Alana membalik halaman. Satu lagi. Dan satu lagi. Setiap baris seperti menancapkan jarum di dadanya.Ia membaca entri tentang hari pernikahan mereka. Kata-kata Chandra begitu sederhana namun menghancurkan: bagaimana jantungnya berdebar ketika melihat Alana melangkah di altar, bagaimana harapannya runtuh saat Alana memalingkan wajah, menolak ciuman yang seharusnya menjadi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status