“Indah! Tidakkkkk! Ya Allah! Bangun Indah! Indahhhhh!”
Zara, teman dekat Indah berteriak saat melihat tubuh Indah tergeletak berada di depan tangga darurat lantai 2. Ia memeluk tubuh sahabatnya yang masih terlihat napasnya, pelan. “Cepat hubungi ambulans Pak! Tolong! Cepat Pak, hikss....,” tangis Zara meraung-raung dengan terus memeluk tubuh sahabatnya yang dalam keadaan tak sadarkan diri atau koma. Disaat ia menangis, dilihatnya seorang wanita diam berjongkok memandang ke arah Zara dan terlihat dua orang pria yang tak lain Dimas dan seorang satpam menuruni tangga darurat menuju tempat Zara bersimpuh memangku tubuh Indah yang berlumuran darah pada bagian kepalanya. Zara yang berfokus pada diri Indah hanya mampu menangis dan berusaha menyadarkan sahabatnya dengan kata-kata yang menyayat hati bagi orang yang mendengarnya. “Indah..., bangun sayang. Indah jangan tinggalkan aku seperti ini. Kenapa kamu ke kantor ini sendirian? Siapa yang melakukan ini padamu, Indah...., bangun sayang..., ingat Indira dan bayi lelakimu ini, hikss..., siapa yang melakukan ini padamu?” ucapnya sembari menghapus darah yang mengalir pada bagian kepala sahabatnya dan mengelus perut sahabatnya yang masih bergerak-gerak. “Indah! Bangun sayang..., bangun. Jangan tinggalkan kami,” ujar Dimas yang telah berada di sisi tubuh Indah. Sementara itu, di tempat yang berbeda…. Seorang gadis muda berusia 25 tahun tengah beradu mulut dengan ibunya pada sebuah rumah yang berada dalam kompleks perumahan dekat rumah sakit Dharma Husada. “Ibu..., aku perlu uang sepuluh juta untuk ke tempat ulang tahun sahabatku. Cepat Bu! Aku harus beli hadiah buat dia dan beli baju untuk ke pestanya,” pinta Elvira pada seorang wanita paruh baya yang menutupi pintu utama rumah itu. “El ... Mulai sekarang Ibu nggak akan mengizinkan kamu keluar lagi! Lingkungan pergaulan kamu udah semakin nggak baik. Ibu nggak mau kamu terkena pergaulan bebas!” larang Maharani pada putri semata wayangnya, Elvira seraya menggelengkan kepala. “Jangan larang aku untuk melakukan apa yang aku mau! Harusnya Ibu larang ayah untuk jangan menikahi temanku! Pokoknya hari ini aku harus keluar bersama temanku. Cepat ambilkan uang Buu!” paksa Elvira. “Kenapa semua kesalahan ayahmu dilimpahkan ke Ibu? Padahal, kamu yang mengajak teman kuliahmu itu terus menginap di rumah. Kalau saja temanmu nggak kamu ajak ke rumah ini. Mungkin ayah kamu masih bersama kita. El, Ibu sudah nggak ada uang sama sekali. Setiap hari kamu terus minta uang dan uang. Pokoknya Ibu melarang kamu keluar!” larang Maharani dengan hati terluka saat Elvira menyalahkannya. “Coba kalau masih ada ayah, pasti kita nggak kekurangan uang. Dasar bodoh! Urus suami aja nggak becus. Pantas aja ayah lebih memilih pelacur itu!” cerca Elvira. Mendengar caci maki dari putrinya sendiri membuat Maharani naik pitam dan menampar putri kesayangannya. PLAK ! PLAK ! “Anak kurang ajar!” teriak Maharani pada putri yang dikasihinya. Elvira terkejut bukan kepalang atas tindakan Maharani, ibunya. Karena selama ini ia sama sekali tidak pernah menerima perlakuan kasar dari kedua orang tuanya. Dengan air mata berlinang, Elvira meraih kunci mobil sport hadiah ulang tahun dari sang ayah beberapa bulan lalu. Dengan emosi memuncak, Elvira mendorong tubuh Maharani dan keluar dari rumah dengan air mata yang mengalir deras penuh kecewa. "El! Jangan pergi...! El...!" teriak Maharani yang masih duduk terjerembab akibat di dorong oleh putrinya. Sesaat kemudian, Elvira masuk ke dalam mobil sport miliknya tanpa memedulikan ibundanya yang terus memanggil namanya dan keluar dari kompleks perumahan tersebut. Elvira memacu kencang mobil sportnya. Dengan hati sedih dan hancur, Elvira meraih botol minuman keras yang selalu ada di mobilnya dan meneguk tak tersisa. Wanita muda yang dalam kondisi emosi itu pun, kian memacu mobil yang dikendarainya, akibat minuman keras yang membuatnya mabuk berat. Sampai akhirnya, mobil yang dikendarai Elvira hilang keseimbangan menabrak sebuah pohon asem yang cukup besar. BRAKKK! Mobil sport yang dikendarai Elvira pun, hancur. Beberapa orang yang berada di jalan berteriak histeris dan berhamburan ke lokasi kecelakaan saat mendengar benturan cukup keras.
Tiga tahun kemudian, Indah yang kini menjadi istri Sean, sudah terbiasa menjalani kesehariannya menjadi seorang istri dokter. Dimana, ada saja tetangga dan pasien yang pernah di tolong ke rumahnya. Indah dalam jiwa Elvira sangat bahagia menjadi istri seorang dokter.Sementara itu, Indira putri dari Dimas telah berusia 8 tahun. Ia sangat menyangyangi Sean layaknya sebagai papanya sendiri. Sedangkan memorinya tentang sosok Dimas baginya adalah sebagai seorang papa yang menakutkan. Hal itu terkait dengan peristiwa penculikan yang dilakukan Dimas.Untuk Elvino, bocah laki-laki tampan yang kini berusia 3,5 tahun sama sekali tidak pernah melihat papa kandungnya. Bocah lelaki tampan itu sangat akrab dan selalu minta ditemani tidur oleh Sean. Jelas hal itu membuat kebahagiaan luar biasa untuk Indah.Sampai akhirnya, pada satu kesempatan, usai Sean menunaikan kewajiban sebagai suami di pagi hari dalam serangan fajar yang sering dilakukan. Ia pun, menanyakan pada Indah perihal alasannya tidak b
Sementara itu, di sebuah kampung terlihat Mardiah duduk di ruang keluarga pada kursi terbuat dari bambu dan berbicara di depan ketiga anaknya, usai pemakaman neneknya Dimas. “Kalian tahu? Akhirnya, Indah menikah lagi. Pantas saja dia mau secepatnya cerai dari putraku!” ucapnya geram.“Dari mana Ibu tahu?” tanya ketiga anak Mardiah.“Dari mana lagi kalau nggak dari adikmu yang durhaka itu! Dia lebih baik ikut di pesta pernikahan Indah dari pada ke pemakaman nenekmu!” sungut Mardiah.“Dasar pengkhianat! Awas aja kalau dia udah nggak dibutuhkan sama si Indah. Pasti akan balik Bu!” ujar Dina memandang ke arah Dimas yang mengusap wajahnya.“Sudahlah kita nggak usah ikut campur urusan mereka. Saya nggak di penjara saja udah syukur. Sekarang ini, saya mau melupakan semuanya. Saya hanya sedih dan menyesal sudah berlaku seperti itu sama Indira. Ingin sekali, saya meminta maaf sama Indira, Bu,” ungkap keinginan Dimas.“Kak Dimas itu, nggak salah. Yang salah itu, Dinda! Coba kalau Dinda nggak
Empat bulan kemudian, akhirnya pernikahan kedua Indah dilaksanakan di sebuah hotel berbintang 5. Namun, kabar pernikahan Indah dengan Sean didengar oleh keluarga Mardiah. Mereka tahu pernikahan Indah pada saat Dinda dihubungi oleh Mardiah untuk diminta pulang ke kampung, karena neneknya meninggal dunia. Tetapi, Dinda yang saat itu sudah berada di acara resepsi Indah menolaknya.“Dinda! Kamu harusnya pulang. Apa kamu nggak mau lihat nenekmu untuk terakhir kali?!” pinta Mardiah pada putri ketiganya.“Bu! Nggak bisa saya pulang. Disini sedang ada acara. Nggak mungkin Bu. Juga, kalaupun bisa besok malam saya ke kampung naik bis atau kereta,” ungkap Dinda.“Masa kamu nggak bisa hari ini ke kampung! Minta Indah belikan tiket pesawat! Ibu yakin sejahat-jahatnya dia, pasti akan membelikan tiket pesawat kamu! Udah sana cepat! Siapa tahu dia juga ngasih uang untuk biaya penguburan nenekmu!” desak Mardiah.“Nggak bisa Bu! Jangan terlalu memaksa seperti itu,” tolak Dinda menuju toilet agar tidak
Setelah itu, mereka bertiga melanjutkan makan bersama. Mereka berbicara tentang masa SMA dan kuliah. Jelas hal itu membuat Indah dalam jiwa Elvira tidak bisa mengikuti alur perbincangan mereka. Usai makan, Zara berpamitan pada Indah dan Sean.“Indah, Sean, aku pamit duluan. Kalian Ngobrol aja masalah hari H kalian,” ujar Zara.“Santai aja, Ra. Juga aku kan harus melewati masa Idah,” tutur Indah tersenyum malu.“Lumayan, ada waktu 3 bulan untuk pacaran. Ya, nggak Sean?” senyum mengembang Zara seraya beranjak dari kursinya.“Ra! Biar nanti aku yang bayar,” ujar Sean ikut berdiri memandang ke arah Zara.Zara yang melihat raut bahagia pada wajah Sean, langsung menjawab, “Iyalah, kamu yang bayar. Apalagi aku tadi sempat jadi obat nyamuk kalian."“Obat nyamuk? Maksudnya?” tanya Indah bingung.“Udahlah, malas dibahas. Emang aku nggak tahu kalau tanganmu dibawah meja dipegang sama Sean....”“Hahahahaha ... Anjay! Liat aja.” Ujar Sean dan Indah bersamaan.“Byee, pasangan yang sedang berbahagia
Dua minggu kemudian, Jaya pengacara Indah ke rumah untuk membawakan hasil sidang putusan perceraian. Dimana, pada putusan tersebut, disebutkan status janda yang kini disandang Indah tanpa ia mengikuti sidang lanjutan, sesuai dengan arahan Jaya selaku pengacaranya.Walaupun, pihak Dimas mengajukan gugatan harta gono gini setelah gugatan cerai. Namun, itu tidak membuat Indah gentar. Memang, untuk sidang pembagian harta gono gini, dilakukan usai terjadinya ketok palu keputusan cerai.“Selamat Indah, akhirnya keputusan kamu untuk melempar lelaki jahat itu berhasil,” ucap Jaya menyalami Indah dengan menyerahkan berkas keputusan perceraian tersebut.“Terima kasih, Om. Akhirnya selesai sudah satu masalah,” jawab Indah memandang Jaya dengan wajah penuh bahagia.Indah membaca surat keputusan perceraian tersebut dan bergumam dalam hatinya, ‘Indah, aku sudah menceraikankamu dari lelaki brengsek itu. Semoga kamu tenang di alam baka....’“Indah, mengenai gugatan harta gono gini yang diminta, akan
Sementara itu, di rumah kontrakan Dimas. Terlihat, Mardiah tengah mengajari putranya untuk membiasakan diri memakai kaki palsu yang telah dibeli olehnya. Namun, beberapa kali terdengar keluh kesah Dimas atas kondisi dirinya dengan berteriak saat teringat kakinya diamputasi dan harus menggunakan kaki palsu untuk berjalan.“Sial! Semua gara-gara Indah! Harusnya sudah sejak lama aku bunuh saja dia! Aku dan Angel kehilangan masa depan karena dia! Keparat!” teriak Dimas mencoba melangkah dengan kaki palsu usai selama seminggu di rumah sakit dan sudah satu minggu ini lelaki itu mencoba kaki palsunya.“Dimas, sudah jangan teriak seperti itu. Nggak ada yang bisa membalikkan keadaan. Justru akan membuat teras semakin berat. Ibu mau, besok kamu kuat dan bisa berjalan menuju pengadilan! Ibu mau kita permalukan Indah dengan lelaki yang kini selalu bersamanya,” tutur Mardiah menepuk-nepuk bahu putranya.“Bu, jangan paksa saya ke pengadilan lagi. Biarkan saja cerai. Saya terima semua apa yang jadi