"Sabar," jawabku saat ia mengeluh selepas dari kamar mandi."Kapan kita bisa kembali ke raga masing-masing. Sudah enam bulan tak ada titik terangnya." Ia kembali mengeluh."Kau beruntung bisa mengeluh padaku. Dan aku mau mendengarkanmu. Kau ingat dulu, betapa cueknya dirimu saat aku mengaduh.""Iya, aku ingat. Kupikir kau hanya berlebihan. Ternyata memang lelah luar biasa dan bikin stressssss!"Aku tersenyum mendengarnya. Semoga tak ada lagi di dunia ini yang menuduh istrinya di rumah cuma ongkang-ongkang kaki. Apa yang dikerjakan dan dirasakan oleh wanita itu tak terlihat mata hasilnya. Padahal meletihkan.Andaikan semua yang dilakukan oleh wanita dihargai dengan uang. Aku yakin mereka pantas diberi nafkah lebih banyak dari ART yang merangkap sebagai baby sitter sekaligus sebagai koki bahkan lebih dari itu.Usia kandungan mulai menginjak sembilan bulan aku mengajaknya untuk USG terakahir kalinya."Buat apa? Buang-buang uang lagi pula aku malu jika harus dilihat lagi. Ini aurot," tola
Sehari sebelum kelahiran, Mas Abraham memegangi perutnya."Perutku sekit sekali, lihatlah!" keluhnya sambil menunjukkan telapak tangannya yang gemetar, mungkin karena menahan rasa sakit. Tak lama kemudian tangannya menggenggam kencang dengan wajah yang meringis, keringat dahinya bercucuran.Kupikir mungkin ia sedang mengalami kontraksi, tapi aku yakin bahwa ia tak tahu kalau akan segera melahirkan."Sudah berapa lama sakit kayak gitu?" tanyaku santai."Habis subuh tadi pas rakaat kedua. Saking sakitnya aku lanjutkan shalat sambil duduk. Terus waktu salam sakitnya ilang terus sekarang sakit lagi. Ini kenapa, ya. Dalam perut rasanya ada tangan yang meremas-remas bagian dalamnya. Apa janinnya tidak mati remuk.""Hus, remuk-remuk, kayak roti kering diremat saja. Ke bidan, yok. Periksa kenapa bisa gitu. Kali aja dikasih obat pereda sakit," ajakku. Tak ingin kukatakan padanya bahwa ia sudah harus bersiap. Takutnya keluar bandelnya minta di SC.Kalau berdasarkan dengan penuturannya ada jara
"Pembukaannya sudah sempurna. Sekarang tarik napas dalam-dalam!"Mas Abraham menarik napas sesuai arahan, pipinya tampak menggelembung besar.Aku menahan tawa dengan menakupkan tangan ke mulut karena ia sampai menyimpan udara di pipi."Kau, ke-ter-laluan mener-ta-wakanku," ucapnya tebata-bata di sela rintihannya yang menyayat jiwa.Mendengar ucapannya, aku segera memasang wajah serius."Mulai! Dorong!" perintah Bu Bidan.Ia mendorong sekuat tenaga seperti orang wasir yang ingin buang hajat tapi kotoran tak kunjung keluar karena kesangkut di ambiennya."Yeah! Dorong, dorong, dorong," kataku dengan mulut komat-kamit tanpa suara di belakang bidan tapi menghadap wajah Mas Abraham. Kedua tangan kuangkat sambil mengepal dan menggerakkan siku ke atas ke bawah seperti yel-yel."Bu, Bi-sa ge- ser, auuuuh!" Ia memohon Bu Bidan geser sambil merintih. Suaranya mirip lolongan serigala, ups.Karena Bu Bidan geser ke bawah aku jadi maju sedikit dekat kakinya. Tak disangka dengan cepat kakinya yang t
"Aku ingin memberi tahumu bahwa bulan depan akan menikahi Arina anak almarhum Kahunan, mantan lurah," ucap Mas Abraham, suamiku.Tanganku yang sedang menyuapi si Sulung seketika berhenti di udara.Lelaki itu sama sekali tak sadar bahwa apa yang baru saja dikatakannya bisa menghancurkan duniaku. Yang dia tahu, istrinya ini sangat mengerti bahwa poligami diperbolehkan. Ya, benar memang boleh, tapi ia tak akan tahu semenyakitkan apa bagiku.Mungkin ia tak ingin disalahkan jika menikahi Arina secara sirri. Ia takut dibilang tak berakhlak lantaran melakukannya sesuatu yang dihalalkan secara sembunyi-sembunyi. Itu sebabnya Abraham memberi tahu sebelum terlaksana ijab qabul.Aku sangat mengerti betul watak suamiku yang selalu menjaga harga diri dan wibawanya di masyarakat umum.Semua orang mengenalnya lelaki paling baik di kelurahan Walang Sangit ini.&n
Sambil meringis pura-pura kesakitan kulirik raut wajahnya yang memerah menahan kejengkelan. Akan tetapi, ia tak bisa melampiaskan kemarahanya. Tentu saja karena kondisi yang kualami."Makanya, hati-hati," ucapnya lalu mengulurkan tangan agar aku berdiri."Perutku, Mas! Aku takut keguguran," rintihku mencoba mencuri belas kasihannya."Sakit? Nanti pergilah ke bidan. Mau diantar atau pergi sendiri?" tanya lelaki mirip Roy Sortin, bintang film tahun sembilan puluhan. Tolong jangan dibantah penialianku, jangan pula salahkan namanya kalau agak meleset."Mana bisa nyetir motor kalau perutku seperti ini," kataku pura-pura lemahLelaki di depanku berdecak kesal."Aku ganti baju dulu. Nanti kuantar. Jalan hati-hati lantai masih basah. Awas jatuh!"Inilah kebaikan yang dimilikinya. Ia masih mau mengantar jika melihatku kondisi darurat.
Aku tak ingat tentang detail yang terjadi sore itu.Ketika pertama kali membuka mata, yang terlihat olehku hordeng biru menjadi sekat yang mengelilingi ranjang tempat tidur."Sudah siuman, Pak?" tanya seseorang berbaju putih khas seragam petugas medis rumah sakit.Matanya jelas mengarah padaku. Tentu saja aku bingung. Dia memanggil "Pak" kepada siapa?Di sini hanya ada aku dan dia. Sedang aku bukan seorang bapak. Aneh bukan?"Apa yang dirasakan, Pak? Apakah kepala pusing?" tanya perawat itu lagi. Seolah ia mengerti aku kebingungan."Suster tanya pada saya?" tanyaku menunjuk ke dada.Eh, tunggu kenapa suaraku berubah seperti lelaki. Ngebas banget."Eergh, hem. Haloo, ... tes ...tes." Aku berusaha menghilangkan suara aneh ditenggorokan. Akan tetapi tetap saja yang keluar suara laki-laki.
Dompet Mas Abraham sudah kutemukan di laci meja dekat ranjang pasien, sesuai dengan petunjuk Mbak Fatma Kumala.Kartu ATM suamiku ada tiga. Apa semuanya berisi uang?Yang mana, yang akan kupakai untuk membayar tagihan rumah sakit ini nanti. Aku tercenung menatap isi dompet suamiku.Selembar uang senilai sepuluh ribu ada di tangan. Nanti jika diizinkan pulang oleh dokter aku mau menengok Maryam. Tadi kata Mbak Fatma Maryam dititipkan pada tetanggaku.Setidaknya aku beruntung punya tetangga yang baik hati. Hubungan kami simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Jika darurat, saya bisa titip Maryam padanya dan dia jika butuh sayur mayur segar bisa memetik di kebun belakang rumahku, halal. Apalagi saat harga cabai meroket, dia akan bersyukur sekali kuperbolehkan memetik di kebunku.Aduuh! Aku kebelet pipis. Panggilan alam membuatku menghentikan lamunan.D
Kuambil KTP yang tadi dipinta oleh CS Bank. Kuperhatikan tiap detail tanda tangan Mas Abraham. Lumayan rumit. Kusut kayak rambut nenek.Lah, ya, paraf coret-coretan gini aja, bagaiamana bisa diangkat carik. Harusnya kayak tanda tanganku yang simpel dan elegan, tinggal sat set, jadilah mirip logo petir. Sudah keren, mudah pula."Mbak, saya coba dulu dikertas coretan, ya.""Silakan."Setelah berkutat selama bermenit-menit, akhirnya aku bisa meniru tanda tangan suamiku. Dengan bangga kupersembahkan pada CS tanda tangan yang diminta.Tak berapa lama, pegawai bank tersebut menyerahkan padaku alat elektronik mungil entah apa namanya aku lupa. Ia menyuruhku mengetik enam angka sebagai PIN baru."Baik, selanjutnya ketik ulang, ya, Pak."Taraaa, PIN ATM suamiku sudah kurenovasi siap melakukan invasi dana miliknya.Keluar