Tujuanku melajukan motor ke arah Masjid memang sudah tepat. Sebab tak lama kemudian Azan Zuhur berkumandang.
Dulu, jika kupunya waktu ke tempat ini, posisiku selalu berada di barisan belakang, di wilayah perempuan. Sekarang, kutempati barisan terdepan di belakang Imam. Bagaiamana rasanya? Jelas berbeda. Dekat dengan Imam seperti orang yang paling beruntung. Salat jadi lebih fokus.
Menyenangkan juga jadi lelaki. Apalagi yang jadi imam Pak Haji Ramdan, ayah dari lelaki yang dulu pernah membuatku
kesengsem.
Anak beliau namanya Muzakka, sekarang gelarmya Lc. Dia lulusan dari Mesir.
Waktu aku tsanawi di pesantren Muttaqien, ia juga sedang menimba ilmu di sana, tsanawi juga, beda tingkatan. Bangunan santriwati dan santriwan berbeda, jaraknya seratus meter. Kami tak saling bertemu.
Tiap kali pulang liburan, aku dijemput Ayah dan kami selalu diberi tumpangan di mobil Haji Ramdan.&
"Jangan, jangan lakukan itu," ucap Mas Abraham mulai merendahkan suaranya."Kau pikir hanya kau yang bisa poligami dan menghianati kepercayaanku. Aku pun bisa melakukannya," tantangku."Aku masih sangat mencintaimu, jangan ceraikan aku," mohonnya."Apakah dengan memoligamiku saat kondisi hamil dan menjual tanah warisan orang tuaku disebut cinta?" tanyaku mengejeknya."Itu ada alasannya. Aku ingin menjelaskan padamu tapi tak sedikit pun di beri kesempatan. Percayalah, aku melakukan semua itu karena kupikir itulah jalan terbaik bagi kita semua.""Jalan terbaik? Kita semua? Apakah kau pernah memikirkan perasaanku sedikit saja? Kita semua siapa? Hanya dirimu!""Aku tidak tahu soal perasaan wanita. Kupikir poligami diperbolehkan karena hal itu tidak menyakiti wanita. Wanita yang menolak hanya karena serakah ingin menguasai suaminya sendirian. Kupikir kau bukan wan
"Jangan sentuh bahuku." Entah mengapa rasanya kaku menerima perlakuan yang tak pernah kudapatkan. Syaraf-syaraf menegang menolak disentuh.Raga ini memang raga lelaki tapi jiwaku masih perempuan. Bagaiamana rasanya perempuan mendapatkan sentuhan dari sesama perempuan dengan suara yang mendayu seolah merayu? Ya, jijaylah. Aku pun begitu.Mas Abraham menghentikan pijatannya."Aku hanya mencoba menjadi istri yang baik, Mas. Kesempatan yang tadi diberikan agar bisa mendapatkan maaf darimu tidak akan aku sia-siakan. Aku, Ulfa akan memberikan pelayan terbaikku," ujar suamiku masih dengan suara mendayu.Nah, sekarang kisah kami sudah berubah dalam segi panggilan. Sejak hari ini jam segini di rumah sini, ia mungkin akan terus menanggilku Mas hingga maut memisahkan, eh, bukan, tapi hingga kami kembali ke raga masing-masing.Harap fokus, aku akan senantiasa memanggilnya Ulfa, Adek at
Hari itu pikiranku berkecamuk hebat. Dalam satu hari banyak sekali informasi yang kudapat. Sedih, kecewa dan entah apalagi perasaan yang bersarang di hati.Aku kembali ke rumah pukul sebelas malam. Hal itu dikarenakan sikap Mas Abraham yang berubah, sehingga membuatku tak nyaman jika ia masih belum tidur.Soal kunci rumah, kami punya dua. Satu memang selalu ada di rumah, satulagi menyatu dengan kunci motor.Biasanya dulu, jika Mas Abraham pulang larut ia tak perlu membangunkan aku untuk sekedar membukakan pintu.Sebelum sampai rumah, mesin motor sudah kumatikan, sehingga aku menuntunnya untuk masuk ke halaman. Bukan karena hemat bensin tapi agar Mas Abraham tidak terbangun saat aku tiba di rumah.Aku benar-benar berusaha untuk meredam suara. Terutama saat memutar kunci. Sudah kayak maling saja tingkahku. Bahkan saat memasuki rumah, aku berjalan dengan ujung telapak
Pukul lima lebih lima belas menit, aku baru pulang dari masjid. Istriku, eh Mas Abraham sudah menghadang di depan pintu sambil berkacak pinggang, macam warok lagi nantangin duel."Kenapa jam segini baru pulang. Pasti TP di depan Muzakka, ya, 'kan?" tuduhnya.Kalian tahu TP? Kalau tidak tahu mari kuberi tahu. TP itu singkatan dari Tebar Pesona. Nah, kira-kira, nih, dengan ragaku sebagai laki-laki terus aku tebar pesona ke Mas Muza, apa bisa si doi tertarik, 'kan tak mungkin. Ngawur, Mas Abraham itu. Huh!"Deeek! Kalau ngomong dipikir lagi, ya. Muzakka itu normal bukan turunan kaum Luth." Aku membantah tuduhannya."Terus, kenapa baru pulang. Biasanya salat Subuh kurang dari jam lima sudah selesai.""Ada kajian subuh," jawabku sambil meninggalkannya di depan pintu, sedang mulutku tak henti menggerutu, "huh! Gitu aja curiga."Jam tujuh pagi.
"Apa?""Mereka Pak Lurah. Para preman eksekusi kampung sebelah.""Astaghfirullah!""Ayo, Ham. Kita ke sana!""Baik, Pak."Kami berkendara sekitar lima menit. Ketika tiba di tempat, beberapa orang membawa alat pukul menyeret warga di pinggir jalan."Woooy, tunggu!" teriak Pak Lurah."Apa?! Mau menghalangi truk penambang juga?!""Sama sekali tidak, saya mau bicara," seru Pak Lurah setelah memarkir motor.Semakin dekat, aku semakin tak kuat menyaksikan kondisi salah satu warga yang babak belur dianiaya. Mataku berkunang-kunang dan terasa mual.Aku tak bisa melihat pemandangan sadis. Segera kualihkan pandangan dan menarik napas kuat-kuat agar suplay oksigen ke otak cukup sehingga terhindar pingsan.Jika aku tak sadarkan diri ada dua hal yang ditakutkan. Pertama bikin repot
Dari sudut mataku, Arina sepertinya memperhatikanku. Apakah dia menyukai sosok Mas Abraham sedemikian rupa sampai curi-curi pandang. Aku menoleh padanya, ia segera mengalihkan pandangan. Huh, dasar.Sebenarnya, dia punya rasa tidak terhadap Mas Abraham. Aku jadi ingin tahu."Rin, duduk sini," pintaku sambil menunjukkan kursi di depan mejaku."Ada apa, Mas?" tanya Arina sopan."Antara ingat dan tidak aku ingin memastikan padamu, apakah aku pernah memintamu untuk jadi istri keduaku?" tanyaku setenang mungkin padahal jantungku deg-degan takut dia menjawab iya."Oh, yang percakapan dua minggu yang lalu. Pernah, sih. Tapi kupikir Mas Abraham bercanda. Jadi tak kuanggap serius.""Memangnya kamu mau menikah dengan lelaki beristri?""Dari pada menikah dengan preman, Mas. Mending jadi istri kedua Mas Abraham."Sampai sini aku
Usai salat Magrib aku benar-benar mengajak Mas Abraham dan Maryam ke warung Bang Joli.Jika menjelang sore sampai malam. Bang Joli tidak lagi menjual nasi pecel tapi yang ia jual sate dan gulai."Eh, Pak Carik, tumben ngajak Bu Ulfa. Pesen apa?"Kok, Bang Joli bilang gitu, ya. Apa selama ini Mas Abraham sering kemari kalau malam. Pantesan di rumah makan cuma dikit. Ternyata nambahnya di kedai ini."Sate ayam, Bang. Tiga porsi yang satu buat Maryam tampa sambal."Kami bertiga pun duduk di kursi panjang yang tersedia di situ. Maryam duduk di tengah antara aku dan Ulfa. Sementara sebelah kananku kosong.Sementara Bang Joli sedang membakar sate, aku bercakap-cakap dengan Mas Abraham setengah berbisik."Fa, kamu biasanya jajan di sini, ya?" tanyaku."Kadang, Mas. Soalnya porsi makanku sebagai laki-laki banyak, butuh menutr
Pagi ini, tak terdengar suara Ulfa memasak. Ada apa dengan istriku. Untung ini hari minggu jadi aku tak perlu khawatir terlambat.Semenjak raga kami tertukar, aku tak berani tidur di kamar yang sama dengan istriku. Selalu istirahat di kamar almarhum ayah dulu.Jadi, karena kami tidur terpisah, aku bangun untuk memastikan apa yang dilakukannya.Di dapur, ia tak ada. Di ruang tamu dan kamar mandi pun juga tidak terlihat.Pasti di kamar."Fa, sudah jam segini, kok, masih meringkuk. Apa tak masak? Nanti Maryam makan apa?""Aku sakit, Mas. Perutku rasanya begah.""Biasa itu, Fa. Orang hamil muda memang begitu.""Apa dulu kamu pas hamil kayak gini rasanya. Tidur tengkurap tak bisa padahal punggung rasanya mau patah.""Ya, iyalah kayak gini masak kayak gitu. Itu belum seberapa. Tunggulah nanti usia lima