Share

Jodi Ruman
Jodi Ruman
Author: JihanMarc

KEBAKARAN

Dalam sebuah ruangan yang luas, terdapat tumpukan tabung komputer rusak di sudut dekat pintu. Beberapa kepala penghuninya membangun kelompok. Dua pemuda berseragam SMK membedah printer, tiga pria dewasa berkacamata melakukan cleaning CPU, dan sisanya sibuk memperbaiki trouble system pada PC all in one. Semua koloni itu mengicaukan topik yang berbeda. Sesuai dengan objek yang mereka 'bedah'.

Tiba-tiba terdengarlah suara benda keras yang menghantam lantai keramik. Suara menyedihkan itu tidak hanya mengarcakan seluruh penghuni ruangan, tapi juga melenyapkan kicauan mereka. Senyap seketika.

Seluruh atensi tertuju ke sisi kiri ruangan. Rupanya tiga buah casing printer berwarna gelap sudah tergolek kaku di lantai. Pelaku yang menyebabkan ketiga benda itu berguguran membuat salah satu pria berkacamata berceletuk, “Untung cantik. Coba kalau buluk, pasti  saya tendang kakinya.”

Pria berkacamata lainnya mengaminkan dan menambahkan. “Untung bos. Coba kalau anak magang, saya selepet kakinya. Bisa-bisanya nendang benda enggak berdosa.”

“Saya enggak lihat.”

Perempuan berseragam mustard membela diri. Rambutnya bergaya Ratu Cleopatra; hitam, lurus, berkilau, dan panjangnya sebahu. Poninya yang tipis menyamarkan lapangnya dahi dan tebalnya alis. Kulitnya seputih salju. Pipinya sedikit chubby. Hidungnya kecil, tapi lancip. Kelopak matanya monolid. Bola matanya tampak sendu setiap kali menatap. Bibirnya yang kecil dipoles dengan warna merah menyala. 

 “Lagian siapa, sih, yang naruh benda segede gini di depan pintu ruangan saya? Emangnya enggak ada space lain yang kosong?”

Bukannya menciptakan atmosfer menakutkan, Kepala Instalasi IT itu justru membuat anak buahnya meleleh. Suaranya yang tetap halus dan lembut meski dalam keadaan kesal tidak mengubah suasana menjadi tegang dan menyeramkan. 

Salah satu pria bergerak, membereskan dan memindahkan ketiga casing itu ke arena anak-anak SMK. Sebelum beranjak pria itu berpesan nyaring, “Lain kali jangan naruh barang di tempat yang bikin Bu Afi kesandung, ya. Jangan lupa, tinggi atau rendahnya nilai magang kalian bergantung sama mood beliau.”

“Siap, Pak.” Kedua anak magang itu menyahut serempak.

Perkara casing printer sudah selesai. Afi pun melenggang keluar markas sambil sesekali mengusap betisnya yang sedikit sakit. Benturan kecil dengan casing printer tadi ternyata meninggalkan goresan putih di kulit kakinya yang sedikit kering.

Sepanjang koridor Afi mengangguk sungkan setiap kali berpapasan dengan perawat, dokter, atau pun staf manajemen yang kenal dengannya. Dia berbelok ke kanan dan bergabung bersama orang-orang tak berseragam. Tujuan mereka sama, menunggu pintu lift terbuka.

Saat angka digital di atas pintu lift berjalan mundur dari dua ke satu, HP dalam saku baju sebelah kiri Afi berbunyi. ‘Pak RT’. Nama itulah yang tertera di layar gawainya.

Afi menjawab panggilan tepat saat penghuni lift sebelumnya keluar. “Halo, Pak!” sapanya pelan. Dia tidak ingin terlihat seperti ibu-ibu yang level pendengarannya sudah menurun—bersuara keras dan ber-hah-hah tak jelas.

Berbeda dengannya, di seberang sana Pak RT justru mengencangkan suara level maksimal. Tidak hanya itu, suara ribut orang-orang di belakang sambungan membuat Afi terpaksa sedikit menjauhkan HP dari telinga. “Astaga! Ribut banget, sih! Lagi demo kali, ya,” ringisnya sambil melimpir.

Afi batal masuk lift agar lebih fokus menajamkan pendengaran. Suara Pak RT dan orang-orang di belakangnya seperti sedang melakukan aksi demonstrasi.

“Awas, woy! Awas! Yang enggak berkepentingan jangan mendekat! Anak kecil juga enggak boleh ke sini! Bahaya!”

Begitulah peringatan yang sempat didengar Afi sebelum Pak RT berkata, “Rumah kamu kebakaran, Fi! Cepat pulang!”

Detik berikutnya, Afi hanya bisa menganga. Ritme jantung yang semula berjalan normal kini berubah cepat dan tidak karuan. Suhu tubuh yang semula terasa dingin efek AC ruangan yang masih membekas kini berubah hangat cenderung panas. Bahkan dia merasakkan adanya aliran panas yang berkumpul ke kepala.

Afi membutuhkan waktu lebih dari sepuluh detik hingga otaknya berhasil mengolah informasi yang diterima menjadi sebuah laporan. Output yang dihasilkan mulutnya saat itu adalah umpatan kesal. Dia menurunkan HP dari telinga meskipun panggilan belum terputus.

Afi berlari meliuk-liuk untuk menghindari tabrakan dengan pengunjung rumah sakit. Dia kembali ke basecamp. Sepanjang langkah otaknya terus saja memikirkan sebesar apa kobaran api yang mengepung rumahnya.

'Semoga enggak banyak yang kebakar. Semoga tetangga-tetangga bisa nyelametin barang-barangku. Batinnya berdoa.'

Sesampainya di markas, Afi kembali mengundang atensi anak buahnya. Mereka heran, mengapa Afi kembali dalam keadaan panik dan terburu-buru. Bahkan wanita itu hanya masuk ke ruangannya sebentar, lalu kembali muncul sambil memasang tas kecil bertali panjang.

“Kenapa, Bu?” tanya seorang karyawan yang duduk di depan PC all in one putih. Posisi mejanya berdempetan dengan tembok ruangan Afi.

Afi menggumam sambil menggaruk alis kirinya. Sesaat dia merasa ragu, apakah musibah yang menimpanya akan lebih baik diberitahukan kepada karyawannya atau tidak. Kemudian hatinya condong memilih jujur dengan pertimbangan pekerjaan yang harus dialihtangankan.

“Kalau ada situasi yang urgent, tolong bantu handle, ya. Saya izin pulang dulu. Rumah saya ... kebakaran.”

Semua penghuni ruangan memekikkan kalimat keterkejutan. Banyak yang mempertanyakan kenapa musibah itu bisa terjadi. Tentu saja Afi tidak bisa menjawab karena dia sendiri belum mendengar informasi selain rumahnya kebakaran.

“Perlu saya antar, Bu?” Seorang anak magang menawarkan bantuan.

“Heh! Jangan modus, ya! Anak kecil mending belajar aja. Tuh, masih banyak printer yang musti dibenerin,” tegur salah satu karyawan sambil menunjuk tumpukan printer di sudut ruangan.

Afi mengabaikan kedua orang itu. Dia meninggalkan ruangan selagi anak buahnya memberikan teguran. Dia berlari ke parkiran dan nyaris salah memilih mobil putih yang mirip dengan miliknya.

“Fokus, Fi! Fokus!” Afi memberikan sugesti pada diri sendiri. Dia menarik-ulur napas sebelum mencari mobil yang lupa diparkir di mana.

Begitu menemukan mobilnya, Afi bergegas tancap gas. Namun, kecepatan maksimal yang bisa dikemudikannya hanya sebatas 50 km/jam. Meskipun dalam keadaan urgent dia tidak bisa mengendarai mobil dalam kecepatan tinggi. Afi tidak ingin menambah masalah dan kerugian dengan menabrak pengendara lain, pembatas jalan, tiang tak berdosa, atau pohon tak berpenghuni.

Afi hanya bisa memarkirkan mobil di pinggir jalan depan komplek karena padatnya manusia dan pengendara roda dua. Sirine pemadam kebakaran dan keributan mulut manusia memenuhi telinga Afi saat keluar mobil.  Dia berusaha keras menembus kerumunan agar bisa melihat keadaan rumahnya.

Sesaat Afi berhenti menatap kepulan asap hitam yang merebak di langit. Asap itu datang dari tiga buah rumah berlantai dua yang hanya menyisakan kerangka hitam. Kedua kaki Afi terasa lunglai melihat salah satu bangunan yang lebih mirip disebut arang itu.

“Enggak boleh masuk, Mbak. Apinya belum padam,” kata seorang pria yang memblokade langkah Afi. Pria itu mengenakan pakaian pemadam kebakaran tanpa helm.

“Rumah yang kebakaran itu rumah saya, Mas. Saya mau lihat,” balas Afi. Setidaknya jika tidak bisa melihat ke dalam dia ingin melihat dari dekat keadaan rumah tercinta yang dibeli atas jerih payahnya.

Pemadaman kebakaran itu menatap rekan yang berdiri di sebelahnya. Tatapannya seolah meminta pendapat, apakah dia harus membuka jalan untuk Afi atau tidak. Begitu rekannya mengangguk, pria itu menurunkan kedua tangan yang merentang.

“Jangan dekat-dekat, ya, Mbak. Bahaya soalnya.” Pria itu memberikan peringatan sebelum Afi pergi.

Afi hanya bisa menganga melihat rumahnya masih disiram oleh pemadam dan warga yang bergotong-royong. Meski apinya sudah tidak kelihatan, hawa dan asap panas terasa membakar kulit. Afi tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan barang-barang berharganya. Pasti sudah menjadi arang dan abu.

'Habis udah jerih payahku.' Afi menggelengkan kepala. Kehilangan harapan. 12 tahun bekerja, membanting tulang mengumpulkan harta benda, sekarang lenyap dalam sekejap mata.

'Sekarang aku bisa tinggal di mana?'

---BERSAMBUNG---

Hai, Guys! Ini cerita pertamaku di GoodNovel. Please dukung, ya. Kasih komen yang buanyak. Hihi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status