LOGINMalam itu sunyi, hanya terdengar suara kipas angin dan detak jam dinding yang pelan. Anaya sudah tertidur nyenyak di ranjang, memeluk Raya yang tampak terlelap di boks bayi. Tapi tiba-tiba, suara tangisan bayi pecah dari kamar.
Raka yang sedang duduk di sofa terkejut setengah mati.
“Astaga! Sayang… Raya nangis!” serunya panik, matanya melebar. Ia langsung berlari ke kamar, hampir menabrak meja samping.
Anaya terbangun, menguap lelah, lalu menatap Raka dengan mata setengah terpejam.
“Mas… tenang, dia cuma lapar atau popoknya basah,” ucapnya sambil meregangkan tubuh.
Raka hampir tidak mendengar. Ia sudah menggendong Raya dari boks dengan penuh antusias… tapi salah posisi.
Bayi mungil itu menggeliat, menjerit semakin keras, dan kepalanya nyaris menempel ke dada Raka yang tegang.
“Mas! Mas… itu bukan gendong karung beras!” Anaya berteriak sambil bangkit duduk.
Matanya bersinar antara panik dan geli. Ia sigap mengambil posisi di sis
Suasana pagi itu di rumah Raka–Anaya begitu riuh. Aroma kue basah dan masakan khas keluarga menyebar di seluruh rumah, berpadu dengan tawa riang anak-anak yang berlarian kesana-kemari.Hari ini bukan hari biasa; ini adalah hari syukuran kelahiran Raya, bayi mungil yang baru saja hadir membawa kebahagiaan tak terhingga bagi seluruh keluarga.Raka berdiri di ruang tamu, tampak gagah mengenakan kemeja putih bersih, tapi wajahnya menunjukkan antusiasme dan sedikit gugup.“Semua siap ya? Raya harus mendapatkan sambutan paling hangat dari keluarga besar,” ujarnya sambil tersenyum lebar.Anaya duduk di kursi goyang, Raya tidur nyenyak di gendongan Opa Hartono. Matanya bersinar melihat semua orang bersemangat hadir untuk memberikan cinta kepada putrinya.“Mas… lihat deh… semua pada senyum-senyum sendiri,” bisik Anaya sambil menepuk tangan kecil Raya.Opa Hartono, yang tampak paling heboh, berteriak lantang
Malam itu, rumah Raka Anaya terasa hening.Lampu kamar bayi masih redup, hanya cahaya lembut dari lampu tidur yang memantul di dinding. Raya, bayi mungil yang baru lahir, tampak tenang di dalam boksnya, sesekali menggerakkan tangan mungilnya, seakan ingin memeluk dunia.Raka duduk di sofa, mata tak lepas dari putrinya. Ia masih merasa tegang, takut sesuatu terjadi pada Raya. Anaya duduk di sampingnya, tangan memegang perutnya, tersenyum melihat suami yang begitu protektif itu.Tiba-tiba, suara langkah kecil namun pasti terdengar dari arah pintu. “Hei, apa kalian berdua lagi ngapain? Kenapa papa nggak boleh ikut jagain Raya?” terdengar suara khas Opa Hartono, penuh semangat. Raka dan Anaya menoleh kaget.“Eh… Opa?! Malam-malam begini… ngapain?” tanya Raka setengah panik, setengah heran.Opa masuk dengan senyum lebar, membawa selimut dan kursi goyang mini yang sepertinya khusus untuk menimang bayi.“
Malam itu sunyi, hanya terdengar suara kipas angin dan detak jam dinding yang pelan. Anaya sudah tertidur nyenyak di ranjang, memeluk Raya yang tampak terlelap di boks bayi. Tapi tiba-tiba, suara tangisan bayi pecah dari kamar.Raka yang sedang duduk di sofa terkejut setengah mati.“Astaga! Sayang… Raya nangis!” serunya panik, matanya melebar. Ia langsung berlari ke kamar, hampir menabrak meja samping.Anaya terbangun, menguap lelah, lalu menatap Raka dengan mata setengah terpejam.“Mas… tenang, dia cuma lapar atau popoknya basah,” ucapnya sambil meregangkan tubuh.Raka hampir tidak mendengar. Ia sudah menggendong Raya dari boks dengan penuh antusias… tapi salah posisi.Bayi mungil itu menggeliat, menjerit semakin keras, dan kepalanya nyaris menempel ke dada Raka yang tegang.“Mas! Mas… itu bukan gendong karung beras!” Anaya berteriak sambil bangkit duduk.Matanya bersinar antara panik dan geli. Ia sigap mengambil posisi di sis
Raka dan Anaya kompak melotot, wajah mereka sama-sama memerah setengah kesal, setengah geli.“Ihh… sebel banget!” seru mereka bersamaan, menatap Opa Hartono yang masih santai tersenyum di sofa.“Jadi selama ini aku korban konspirasi keluarga, ya?” Raka pura-pura marah, tapi matanya tetap berbinar.Dalam hati, ia justru senang karena tanpa semua itu, mungkin ia tak akan pernah bertemu Anaya, istrinya yang kini menjadi segalanya.Anaya menepuk tangan Raka sambil tertawa kecil,“Iya… bener-bener gila, Mas. Dari ide Opa yang katanya mau bayar cicilan rumah, sampai akhirnya kita… ya, lihat sendiri! Kita sekarang lengkap, bahagia, dan… punya Raya.”Raka menatap putri kecil mereka yang sedang terlelap di gendongan Anaya.“Ya ampun… kalau dipikir-pikir, semua drama keluarga ini ternyata bikin aku dapat hadiah terbesar. Istri cantik, bayi lucu, dan keluarga yang&helli
Rumah yang biasanya terasa lengang kini tampak hidup dan berwarna.Sejak pagi, Bik Onah dan beberapa staf rumah tangga sibuk menata bunga, menggantung balon warna pastel bertuliskan Welcome Baby Raya, serta menyiapkan kue kecil berbentuk botol susu.Begitu mobil Raka berhenti di depan gerbang, sorak sorai kecil terdengar dari dalam rumah.“Surpriseeee!” teriak semua orang serentak.Anaya yang masih duduk di kursi penumpang tersenyum haru. Di pangkuannya, bayi mungil yang baru berusia beberapa hari tidur pulas, dibalut kain lembut warna krem.Wajahnya tenang, mirip perpaduan antara Raka dan dirinya hidungnya mancung seperti sang ayah, tapi bibir mungil itu persis Anaya kecil.Raka menatap pemandangan itu dengan dada penuh rasa bangga. Ia turun duluan, membuka pintu untuk istrinya dengan hati-hati, lalu menunduk untuk menggendong Raya.“Pelan-pelan, ya. Princess kecil kita lagi mimpi indah.”
Ruang keluarga di rumah besar keluarga Hartono sore itu terasa lebih hidup dari biasanya.Tirai putih bergoyang lembut diterpa angin, dan aroma minyak telon bercampur wangi bunga melati memenuhi udara.Di tengah ruangan, Raya, bayi mungil yang baru beberapa hari lahir, menjadi pusat perhatian semua orang.Tentu saja, pemandangan paling mencolok adalah Raka yang mondar-mandir gelisah, sementara Opa Hartono duduk dengan ekspresi puas di kursi goyangnya menimang cicit kecilnya yang sudah tertidur pulas di pelukannya.Opa menggumam pelan, suaranya lembut seperti lullaby klasik.“Tidur ya, cicit cantikku… nanti Opi beliin permen banyak… eh, tapi belum boleh makan permen yaaa…”Raka menghela napas panjang, berusaha bersabar.“Opa, boleh gantian nggak? Udah satu jam lebih tuh Opa gendongnya.”Opa menatap tanpa rasa bersalah.“Baru juga sebentar. Nih an







