Sedari tadi Nico hanya bisa terdiam memandang gadis yang kini duduk di hadapannya dengan lingerie yang sangat menggoda. Tidak bisa ia pungkiri, ia begitu terpesona akan wujud gadis yang kini telah menjadi istrinya. Ia memandang lagi dari ujung kepala hingga ke ujung kuku kaki gadis itu, benar benar cantik, itulah yang ada di benak Nico. Ia tak menyangka adik Barack Adhinata secantik itu. Ya, memang Nico pernah bertemu dengannya saat mereka masih kecil dan adik Barack memang sangatlah cantik tapi ini benar-benar di luar ekspektasi Nico.
Kini pandangan Nico fokus ke wajah Raihan, di telusurinya wajah jelita tanpa cacat sedikit pun. Mata, jidat, alis, hidung, terutama bibir seksinya yang merona, Nico bisa membayangkan bagaimana nikmatnya menyantap bibir bawah sintal milik gadis yang duduk di hadapannya saat ini.
Raihan menaikan sebelah alisnya. “Kenapa kau diam saja?” tanyanya, memecah keheningan di ruangan itu dan menyadarkan Nico dari kekagumannya.
“Aku… “ Nico mulai bersuara namun terdengar ragu, “aku hanya tidak menyangka saja istriku seperti ini…”
Kening Raihan mengerut, “seperti ini? Memangnya aku seperti apa?”
“Aku... hanya tidak menyangka kau secantik ini.”
“Cantik? Maksudmu aku cantik?” Raihan tampak kebingungan, baru kali ini ada pria memujinya secara terang-terangan.
“Iya, kau sangat cantik,” ucap Nico jujur.
Setelah mengatakan itu, Nico bisa merasakan wajahnya memerah karena malu. Ia juga tak mengerti mengapa ia bisa sejujur itu tapi Nico harus akui betapa memesonanya Raihan. Gadis itu memang begitu cantik.
“Um… terima kasih…” Raihan yang tak kalah tersipunya memalingkan pandangannya ke arah lain dan itu membuatnya semakin terlihat manis.
Suasana kembali diam beberapa menit. Setelah memuji Raihan, Nico merasakan atmosfer di ruangan itu benar-benar canggung. Ia bingung bagaimana memulai malam pertamanya dengan Raihan. Sebenarnya, ini bukanlah pengalaman pertamanya menghabiskan malam bersama dengan wanita tapi Nico tidak tahu bagaimana harus bersikap karena ia bukanlah tipe pria yang agresif pada wanita.
“Maaf… aku… hanya tidak tau saja bagaimana memulai.”
Raihan yang mendengar pernyataan Nico barusan tertegun lalu beberapa detik kemudian ia malah tertawa geli. “Kenapa kau harus bingung?” tanyanya, “sekarang aku adalah istrimu, kau bisa bebas melakukan apa saja pada diriku,” lanjutnya dengan tatapan tajamnya yang menantang.
“Kau bilang… aku bisa bebas melakukan apa saja pada dirimu? Apa kau mengijinkannya?”
“Ya, tentu saja,” jawab Raihan, “kita sekarang adalah suami istri, kenapa aku tidak boleh mengijinkanmu?”
Nico yang seakan mendapat lampu hijau dari Raihan tiba-tiba saja maju dan memeluk Raihan seperti hewan liar yang menyergap mangsanya. Raihan yang terkejut seperti tidak bisa berbuat apa-apa, tubuh langsingnya terasa ringkih di pelukan tubuh Nico yang cukup atletis.
“Tu-tunggu…!” Raihan menahan dada Nico, mencoba menghentikan Nico yang tampak tak sabaran.
“Kenapa?” tanya Nico menatap bingung ke mata Raihan, “bukannya aku bebas melakukan apa saja?”
“Iya, tapi…” sahut Raihan, ekspresi wajahnya sedikit ketakutan “bisakah kita melakukannya pelan-pelan?”
“Seperti apa?”
“Mungkin… kita bisa memulainya… dengan ciuman…”
Nico menatap dalam mata tajam indah milik Raihan. Seakan membaca maksud istrinya, ia mulai sedikit melonggarkan pelukannya dan pelan-pelan mendekatkan bibirnya ke bibir Raihan hingga kedua bibir itu menempel satu sama lain. Di awali oleh ciuman lembut lalu berubah menjadi lumatan dan isapan. Kedua tangan Raihan melingkar ke leher Nico saat ciuman mereka semakin dalam. Ciuman Nico kini turun ke dagu lalu ke leher.
“…Nic… hhhh…”
Raihan melenguh seakan terbuai oleh ciuman Nico. Wajahnya mendongak saat Nico begitu menikmati leher milik Raihan. Cium, jilat, isap, Raihan hanya bisa mendesah dan membiarkan Nico bermain di leher sensitifnya. Raihan pun tak mengerti dengan apa yang ia rasakan, rasanya darahnya semakin berdesir saat bibir Nico mengabsen tiap inci kulitnya, belum tangan Nico yang mulai bergerilya meraba pahanya. Sejujurnya, ini pertama kalinya Raihan merasakan sentuhan intim dari seorang pria dan juga ia tak bisa menafikan bahwa ia menikmatinya walau ia sebenarnya cukup malu mengakuinya.
Tok tok tok
Tok tok tok
“Nico!” Raihan meminta Nico menghentikan aksinya.
“Ya? Kenapa?”
“Kau tidak mendengar suara ketukan pintu?”
Mereka berdua terdiam saling berpandangan lalu terdengar suara ketukan pintu lagi. Nico melepaskan Raihan dan beranjak untuk melihat siapa gerangan yang mengganggunya saat ia baru saja memulai malam pertamanya melalui lubang intip pintu.
“Siapa?” tanya Raihan.
“Kakakmu…”
Nico segera membuka pintu dan sosok pria berwajah dingin itu berdiri persis di depan pintu bersama ajudannya yang terus setia berdiri di belakang pria itu..
“Kak Barack…”
Barack memberikan isyarat pada Raihan. Raihan yang langsung mengerti lalu masuk ke dalam kamar.
“Bisakah kita bicara sebentar?” tanya Barack.
Nico mengambil cardlock sebelum menutup pintu kamarnya. “Apa?” tanyanya, jujur ia merasa sangat terganggu oleh kedatangan Barack. Padahal dengan susah payah dia berhasil memulai untuk lebih intim dengan istrinya bahkan ia kini memulai untuk melakukan malam pertamanya.
“Maaf kalau aku mengganggu,” kata Barack tanpa merasa salah sama sekali, “aku hanya mau memberitahumu, bisakan kau membiarkan Raihan istirahat malam ini?”
Nico mengernyit tak paham. “Maksudmu?”
“Sebelum pernikahan kalian berlangsung, Raihan baru saja pulang dari perjalanan jauh… dia pasti lelah,” terang Barack, “untuk malam ini saja…”
Nico mengerti maksud Barrack. “Baiklah,” ucap Nico terpaksa, “Ada lagi?”
“Tidak ada,” jawab Barack, “Baiklah, hanya itu yang mau aku sampaikan…”
Barack berbalik dan akhirnya pergi meninggalkan Nico.
***
Kini Nico duduk di bar. Menikmati alunan musik jazz yang lembut dan segelas minuman. Jas putih yang ia kenakan di pernikahannya masih melekat di tubuhnya. Jam menunjukkan hampir pukul dua subuh. Ya, di malam pengantinnya ia menghabiskan waktu di bar itu. Bukan maksudnya ia meninggalkan Raihan sendiri di kamar hotel namun ia tak akan bisa menahan hasratnya untuk bercinta bila ia kembali ke kamar mereka. Raihan begitu menggoda hasrat kelaki-lakiannya, belum lagi lingerie yang dikenakannya mampu membuat milik Nico terasa sesak dibalik celananya.
“Nico, apa yang kau lakukan di sini?” tiba-tiba terdengar suara Jeremy. Jeremy yang juga menginap di hotel yang sama dengan Nico langsung menghampiri Nico. Ia heran melihat kehadiran sahabatnya di bar itu, bukannya malah menghabiskan malam pengantin bersama istrinya.
“Seperti yang kau lihat… minum dan menikmati musik…”
“Bukan itu maksudku,” sanggah Jeremy yang masih menatap bingung ke arah sahabatnya, “maksudku, ini adalah malam pertamamu bersama istrimu. Kenapa kau malah meninggalkannya dan minum di sini?”
“Yeah, karena aku tidak akan bisa menahan untuk tidak bercinta dengannya.”
“What?” Jeremy terperangah sambil tertawa mendengar jawaban Nico yang mulai kacau, entah karena mulai mabuk atau mengantuk karena waktu sudah mendekati subuh. “Bagaimana istrimu, apa dia cantik?”
“Ya, dia sangat cantik.”
“Benarkah?”
“Ya, dia gadis terindah yang pernah kutemui.”
“Wow, sepertinya kau sudah melupakan Olive rupanya.”
“Ck…” Nico mendecak jengkel.
Tiba-tiba Nico teringat Olive tapi sebenarnya ia cukup heran, begitu terpesonanya ia akan kecantikan Raihan hingga ia melupakan Olive. Sejenak ia berpikir, apakah dengan menikahi Raihan adalah jalan ia untuk bisa melupakan Olive dan itu pertanda ia memang tak akan berjodoh dengan Olive? Tapi, Nico tak bisa membohongi perasaannya, hatinya masih milik Olive saat ini.
Aish, Nico menggerutu dalam hati. Andaikan saja Jeremy tidak menyebut nama Olive, ia tak akan mengingat gadis itu. Sahabatnya itu benar-benar tidak bisa memahami dirinya. Mengapa Jeremy sering membahas Olive apalagi malam ini adalah malam pengantin untuk Nico.
Nico meneguk minumannya, musik jazz yang slow semakin mengoyak perasaannya. Tatapannya semakin sendu tiap kali mengingat kebersamaannya dengan kekasih hatinya. Ia merenung, apakah memang sampai di sini jodoh dia dan Olive? Nico menggeleng, ia menyadari bahwa ia sudah kehilangan Olive ketika gadis itu memutuskan untuk memilih pria lain untuk bertunangan dengannya.
“Aku sudah melupakan Olive,” kata Nico berusaha membohongi Jeremy, “sudah lama aku tidak memikirkannya.”
Jeremy memicingkan mata memandang Nico, seakan tak percaya akan ucapan Nico namun akhirnya ia mencoba untuk menghargai Nico. “Yah, baguslah kalau begitu,” kata Jeremy, “akhirnya kalian menemukan jodoh kalian dan itu bagus untuk kalian. Oh iya, jangan lupa nanti kenalkan aku dengan istrimu, aku penasaran ingin bertemu dengannya.”
“Ya, tentu saja…” kata Nico. Ia meneguk minumannya dengan sekali tegukan hingga habis lalu ia turun dari kursi dan berjalan meninggalkan Bar.
“Kau mau kemana?”
“Kembali ke kamar…” jawab Nico tanpa menoleh ke arah Jeremy, “aku sudah mau tidur…”
“Jiah… belum juga aku pesan minuman, sudah cabut aja dia…” gerutu Jeremy, lalu ia mengangkat tangannya ke arah pelayan dan memesan segelas minuman.
***
Ceklek…
Lampu ruang tamu langsung menyala begitu Nico menaruh cardlock di tempatnya. Ruangan itu sepi, tidak ada suara Raihan sama sekali. Nico melepas dasi dan jasnya lalu melemparnya ke sofa, ia juga melepas beberapa kancing kemejanya lalu ikat pinggangnya dan membiarkannya jatuh ke lantai. Nico lalu masuk ke kamar, di sana hanya lampu tidur yang menyala dan Raihan rupanya sudah tertidur di ranjang dengan ujung lingerienya tersingkap ke atas hingga sebagian lekuk tubuh indahnya terlihat jelas di mata Nico. Pelan-pelan Nico mendekati dan memandang istri yang belum sempat ia jamah.
Melalui cahaya remang, Nico memandang wajah cantik Raihan yang kini tertidur lelap, istrinya. Begitu cantik, mulus dan seksi, ia merasa sangat beruntung menikah dengan gadis secantik Raihan. Walau mungkin cinta belum sepenuhnya tumbuh namun Nico yakin bahwa tak sulit untuk mencintai istrinya.
Lama menatap Raihan membuat darahnya mulai berdesir. Tadinya ia ingin membangunkan istrinya dan memintanya untuk melayaninya walaupun sekedar dengan handjob mungkin. Namun, Nico mengenyahkan pikiran kotornya itu jauh-jauh. Nico memperbaiki posisi lingerie Raihan yang tersingkap ke atas, menarik selimut untuk menutupi tubuh Raihan lalu ia berbaring di samping Raihan dan membelakanginya sebagai bentuk usaha ia menahan hasrat bercintanya tiap memandang istri cantiknya.
.
TBC
Nico terbangun dari tidurnya ketika sinar matahari pagi menembus masuk saat Raihan membuka dan mengikat gorden ke samping. Nico mengerjap-ngerjapkan matanya, berupaya beradaptasi dengan cahaya matahari yang menyorot matanya lalu dipandanginya istrinya yang sudah bersiap-siap. Dress cheongsam berwarna hitam dengan motif bunga yang membalut tubuh istrinya membuatnya terlihat sangat elegan ditambah rambut sebahu yang disanggul sehingga menampilkan leher jenjangnya yang putih. “Oh, kau terbangun? Maaf, ya!” kata Raihan saat ia menoleh ke arah Nico yang kini duduk di ranjang. Nico masih mengumpulkan nyawanya. Sebenarnya, ia masih mengantuk karena ia baru bisa tidur saat menjelang subuh. Ya, lelaki siapa yang bisa menahan hasratnya ketika tidur bersampingan bersama gadis cantik yang mengenakan lingerie seksi? “Kau mau kopi atau teh?” tanya Raihan. “Um… kopi…” “Baiklah, akan kubuatkan.” Raihan lalu meninggalkan kamar itu dan menuju dapur. Nic
Nico yang sedari tadi mencari Raihan, melangkah keluar karena melihat pintu menuju balkon terbuka. Di sana ia menemukan Raihan yang kini berdiri di balkon, menyandarkan tangannya di pembatas balkon seraya melihat pemandangan pantai. Suara ombak terdengar menderu namun menenangkan hatinya yang sendu. Hawa malam yang dingin menyengat tubuh mungil yang hanya berbalut lingerie namun ia tetap bergeming di sana seakan tak merasakannya. Nico melingkarkan tangannya ke pinggang Raihan dari belakang, menyandarkan dagunya ke bahu istrinya. “Apa yang kau pikirkan…?” bisiknya. Raihan menghela napas. “Nico… menurutmu, bagaimana dengan pernikahan kita?” “Bagaimana kenapa?” “Yah… tiba-tiba kita dijodohkan seperti ini… Apa kau bahagia? Apa kita bisa menjalaninya?” Nico tersenyum, sesekali ia menghirup
Raihan menggeleng lagi, ia menatap mata Nico yang tak tega melihat ia kesakitan. Ia lalu melumat bibir Nico dengan lembut. Beberapa saat Nico hanya diam merasakan lumatan lembut bibir Raihan lalu ia membalasnya dengan lumatan yang lebih bergairah, seakan memberi jawaban bahwa ia mengerti maksud istrinya. Perlahan Nico menyatukan tubuhnya dengan tubuh Raihan semakin dalam. Raihan memejamkan matanya, air matanya spontan menetes bukan hanya karena menahan sakit namun ia kini menyerahkan kesuciannya pada orang yang sebenarnya tidak ia cintai. Tapi, pria itu adalah suaminya dan ia pun harus mengikuti alur pernikahan senormal mungkin termasuk menyerahkan tubuhnya untuk Nico. Raihan hanya bisa merintih kesakitan saat milik Nico menggesek tiap inci dinding dari liang milik Raihan di bawah sana dengan tempo yang semakin cepat. Tubuhnya menegang dan tidak bisa menikmati percintaan mereka walaupun
Alangkah terkejutnya Raihan melihat Bily yang kini berada di bawah gedung apartemen, sambil melemparkan tatapan yang tak gentar atas penolakan wanita yang kini menjadi status istri dari putra keluarga Kuiper. Raihan tidak menyangka, mengapa pria yang tengah menelponnya berada di sana? Bagaimana pria itu tahu keberadaan Raihan? Dan, mau apa pria itu ingin menemuinya di apartemen milik suaminya? Untuk apa pria itu datang setelah Raihan menikah dengan pria lain? Apa dia tidak puas menyakiti hati Raihan lalu mengganggunya yang kini mulai membenah kembali hidupnya bersama pria yang kini menjadi suaminya? Benar-benar gila! Batin Raihan. Kini tatapan keterkejutan Raihan berubah menjadi tatapan yang penuh amarah dan kebencian. Ia mendengus lalu mematikan panggilan pria itu dan berbalik kembali masuk ke kamarnya. Raihan melempar handphone-nya ke ranjang dan dengan kesal ia beranjak turun ke bawah. Sambil menggeram marah Raihan mel
Nico merasa aneh, di halaman kantornya begitu tenang bahkan nyaris tak ada orang yang berlalu lalang apalagi berkumpul. Seperti di jam kerja pada umumnya dimana orang-orang berkutat dengan pekerjaannya masing-masing di ruangan mereka. Berbeda dengan yang ia bayangkan bahwa para pekerjanya kini berkumpul di halaman gedung kantor, membawa spantuk sambil berteriak mengeluarkan protes dan umpatan kepadanya, serta Jeremy yang kewalahan menjelaskan ini itu ke para karyawan mereka. Nico lalu berlari menuju lift dan langsung mencari Jeremy di ruangan sahabatnya itu. Malah terdengar alunan musik jazz yang lembut saat Nico membuka pintu di ruangan Jeremy “Di mana karyawan-karyawan itu? Katamu, mereka mau demo…” tanya Nico panik ketika memasuki ruangan Jeremy yang kini sedang duduk bersandar di kursi kerjanya sambil menatap ke arah jendela. Jeremy membalikkan kurs
Raihan tak bisa menyembunyikan ekspresi keterkejutannya ketika melihat sosok yang kini duduk di sofa dan menatapnya tajam. Sejenak tubuhnya mendadak kaku tak berkutik namun ia segera berusaha menenangkan dirinya, ia melirik barang belanja yang dibawanya, seharusnya Nico pasti mempercayainya, pikirnya. “Darimana saja kamu?” tanya Nico dengan nada curiga. “Seperti yang kau lihat… aku keluar untuk belanja…” jawab Raihan sewajar mungkin sambil mengangkat kantong belanjaannya, “kulkasmu tidak ada bahan makanan jadi aku keluar mencari makanan…” Nico melirik belanjaan Raihan. “Aku menelponmu daritadi, kenapa tidak diangkat?” “Aku lupa bawa hape-ku… kalau kau tidak percaya, hape-ku ada di atas ranjang.” Nico diam sejenak, sorot matanya tampak menyelidik. “Tadi aku melihatmu di jalan, turun da
Raihan mulai mendesah saat kecupan Nico menjamah tiap senti di kulit lehernya, makin lama makin liar. Wajahnya mendongak, memperluas akses Nico bermain-main di sana, menikmati permainan suaminya. Tangan Nico mulai meraba-raba lekukan tubuh Raihan, sesekali ia meremas titik-titik sensitif Raihan. Nico menghentikan aksinya sejenak, menatap mata Raihan yang kini tampak sayu karena terbakar gairah. Tangan Raihan menyentuh wajah Nico, jari-jarinya menyelusuri rahang Nico yang tegas. Nico mengecup jari-jari lentik milik Raihan saat jari-jari itu menyentuh bibirnya. Kembali Nico menatap mata Raihan, mencoba meyakinkan Raihan yang menatapnya takut. Tapi, Raihan belum melupakan bagaimana sakitnya saat tubuh mereka menyatu untuk pertama kalinya. “Nico… aku masih merasa sa-” “Sstt…” potong Nico sembari menaruh telunjuknya di atas
“Jadi, kau menyerahkan proyek itu ke orang baru itu?” tanya Nico, wajahnya terlihat serius menatap Jeremy yang duduk di hadapannya. “Ya, dia berpengalaman dan memiliki track record yang bagus dalam menjalankan proyek di perusahaan tempat dia kerja sebelumnya,” sahut Jeremy. Nico mengernyit, “apa tidak terlalu cepat? Dia kan baru di sini…” “Ya, dia memang baru tapi kemampuan dia seperti profesional, dia sudah tau apa yang harus dia lakukan.” “Lalu, bagaimana perkembangan proyek baru itu?” “Cukup mengejutkan dan sepertinya clien kita puas.” “Hm….” Nico tampak berpikir, “bisakah aku melihat informasi tentang orang baru itu?” “Ya, tentu saja…” Jeremy meraih telpon dan menghubungi sekretarisnya, “Stefani, tolong beritahu