Raka menghela napas lega, akhirnya ia bisa lolos dari kejaran wanita menor. "Tapi, aku harus kemana sekarang?" Tanyanya bergumam, mobil pick up mulai bergerak. Ia tidak bisa turun apalagi melompat. Namun itu juga menguntungkannya agar bisa pergi jauh dari Hartono.
Selama perjalanan yang cukup lama itu, mobil pick up tiba di sebuah pasar yang berada di perkampungan desa.Raka yang merasa pick up berhenti. Ia segera membuka terpal, ia sampai merasakan sesak karena oksigen yang di hirupnya terbatas."Astaga," Raka melihat sekeliling, ia terkejut dirinya berada di suatu tempat yang asing, tempat yang tidak pernah ia kunjungi."Aku dimana?" Raka bertanya bingung."Hey! Kau siapa?" Seorang pria memakai kaos coklat itu terkejur dengan kebaradaan Raka di belakang.Raka menoleh. "Maaf, aku hanya menumpang kendaraanmu," ucapnya merasa bersalah."Oh, jangan pikir hanya dengan menumpang kendaraanku, kau dapat tumpangan secara gratis, huh?" Pria itu memarahi Raka, ia merasa kesal.Ya, Raka sampai lupa kalau di dunia ini tidak ada yang gratis. Terpaksa ia mengambil dompet di saku celana dan memberikan uang 100 ribu."Apakah ini cukup untukmu?" Raka menatapnya. Ia harap uang 100 ribu cukup untuk ongkos menumpang pick up."Ya! Cukup sekali!" Ia merampas uang itu secara kasar dari Raka.Raka turun dari pick up, ia saat ini berada di sebuah pasar yang cukup ramai. Beberapa pedagang dan pembeli saling bernegoisasi. Ah, ia jadi mengingat kesederhanaan saat di tahun 2005 waktu itu. Tapi, di desa yang seperti ini tentunya pasar masih ramai dan di minati oleh masyarakat. Berbeda di kota tempat tinggalnya, sudah tidak ada pasar dan di gantikan dengan supermarket serta mall.Namun, tiba-tiba suara teriakan lantang wanita itu mengalihkan fokus Raka."Copet! Astaga! Hey! Kembalikan dompetku!" Teriakan lantang itu menarik perhatian semua orang yang ada di pasar.Raka segera mencari orang yang mengambil dompet tersebut.Setelah matanya berhasil menemukan seorang pria yang memakai jaket hitam dan bertopi coklat berlari tergesa-gesa."Berhenti!" Teriak Raka, saat ia mendekati pria berjaket, ia langsung menarik jaket itu dengan kuat sehingga langkah pria itu berhenti."Apa?" Ia menoleh dan menatap Raka sinis."Kau jangan coba-coba ikut campur urusanku," geramnya kesal. Ia mengepalkan tangannya seakan siap menghajar Raka."Kembalikan dompetnya," ucap Raka serius."Ini milikku," ia tersenyum puas.'Dia mau bermain-main denganku. Baiklah,' batin Raka, ia mengambil napas dalam-dalam dan bersiap melayangkan pukulan andalannya.Raka langsung memberikan pukulan namun pria itu berhasil menghindarinya."Kembalikan, atau aku laporkan kau ke polisi," desis Raka tajam. Ia memegang kedua tangan pencopet itu, lalu ia mengambil dompetnya."Lepaskan! Enak saja kau laporkan aku ke polisi," gerutunya kesal. Ia berusaha berontak dari cengkraman tangan Raka.Raka melepaskannya. Ia menatap datar pencopet yang tidak bisa melawannya. Ia mengerti pencopet itu takut babak belur."Nak! Kamu baik-baik saja?" Seorang wanita menghampiri Raka dengan raut wajah khawatirnya.Raka mengangguk. "Ini dompet anda?"Wanita itu tersenyum bahagia dan terharu. "Astaga, terima kasih ya, nak. Kalau tidak ada dirimu, mungkin aku kehilangan dompetku. Huh, tadinya aku ingin belanjar sayur dan garam karena stok di dapur sudah habis.""Sama-sama, lain kali jangan terlalu ceroboh dan abai dengan keadaan sekitar," ucap Raka, ia ikut lega bisa menyelamatkan wanita itu dari pencopet dompet.Pandangannya tak bisa beralih dari wajah tampan yang sempurna itu. 'Dia, ganteng banget. Alisnya tebal, bibirnya aduh merah muda gemesin. Rahangnya tegas. Matanya indah. Ganteng tenan cah lanang iki,' batinnya terpesona akan ketampanan Raka."Apa kamu belum nikah, nak?" Ia bertanya penasaran. Semoga saja belum, ia ingin menjodohkannya dengan anak perempuan semata wayangnya, Maya.Raka menggeleng. 'Tapi, aku hampir akan menikah dan ayah menjodohkanku dengan wanita yang seperti tante-tante menor,' jawab Raka dalam batinnya. Tapi beruntungnya ia bisa lolos dan tidak akan pernah bertemu dengan mereka lagi."Belum ya?" Wajahnya berseri bahagia. Akhirnya ada lampu hijau untuk menikahkan Maya dengan pria tampan di hadapannya sekarang ini."Siapa, namamu?""Raka. Nama anda siapa?" Mungkin nama panggilan saja cukup, menyebutkan nama lengkap tidak penting karena ada nama lengkapnya yang mungkin sebagian orang mengetahuinya jika ia adalah anak dari Hartono."Manda. Ayo, aku ingin memperkenalkanmu dengan anakku. Aduh, dia kesulitan mencari laki-laki. Umur 29 tahun sudah waktunya menikah. Tapi, Maya tetap saja, fokus kerja, mau cari duit yang banyak. Sampai lupa sama umurnya sendiri. Rasanya, sebagai ibu tidak nyaman kalau omongan tetangga bergosip buruk, Maya perawan tua lah, Maya tidak normal lah, aduhh. Pusing, ibu," keluh Manda, ia menggamit lengan Raka. Ia akan membawakan laki-laki tampan kepada Maya, pasti anak tirinya itu suka dan langsung jatuh cinta.Raka terdiam, ia akan di kenalkan dengan wanita yang berumur 29 tahun? Sedangkan dirinya saja 24 tahun. Jarak usinya cukup jauh dan selisih 5 tahun.Tiba di sebuah rumah kayu anyaman yang sederhana."Ayo masuk. Emm ... maaf ya, rumahnya begini, tapi tenang saja. Kamu pasti nyaman dan betah disini," Manda membuka pintunya dan mempersilahkan Raja masuk."Maya! Maya! Keluar kamu! Ada tamu spesial yang datang nih!" Manda berteriak memanggil Maya, di hari Minggu ini Maya libur bekerja. Dan Maya seharian selalu di rumah. Maya yang ada di dalam kamar baru saja bangun pun berdecak kesal. "Ibu, kenapa sih teriak-teriak? Aku masih mengantuk juga. Hari minggu begini, memangnya siapa bertamu ke rumah? Spesial, lagi," Maya melangkah lesu ke kamar mandinya. Ia membersihkan tubuhnya lebih dulu sebelum menemui tamu spesial.Saat keluar dari kamar dan melihat seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu bersama Manda, ibu tirinya.Kedua alis Maya mengernyit heran, siapa laki-laki itu? Ia bahkan tidak pernah mengenal dan melihatnya bertamu."Iya, Maya aku suruh nikah selalu jawabannya fokus kerja dulu. Nikah bisa nanti kalau jodohnya datang sendiri," Manda berbincang dengan Raka, tapi Raka tidak banyak berbicara dan hanya mendengarkan."Dia siapa? Maksud ibu aku bakal menikah sama dia?" Maya bertanya dan menunjuk Raka heran. Ia saja tidak kenal siapa dan darimana.Manda menoleh, ia mengangguk. "Ya, kamu bakal nikah sama dia. Besok, dia melamar kamu. Dia tersesat di pasar perkampungan desa kita, nak. Daripada dia hidupnya tidak tau arah, lebih baik menikah sama kamu dan menjalin rumah tangga bersama di rumah ini. Bagaimana ... ide ibu?"Maya menggeleng. "Maaf, aku tidak mau menikah dengan pria yang tidak aku kenal. Ibu yang benar saja sembarangan menjodohkanku? Memangnya ibu kenal dia siapa?""Halo, bagaimana dengan tugas yang aku berikan. Apa kamu sudah melaksanakannya?" Tanya Hartono dengan seseorang melalui telepon. Hartono berdiri menatap kaca yang menampilkan pemandangan kota, gedung pencakar langit dengan sedikit kabut yang menghalangi. Suara perempuan dari seberang telepon menjawabnya. "Sudah, aku menemukan keberadaan Raka. Tenang saja, aku sudah mengenalnya. Percayalah, Raka tidak akan bisa kabur lagi.""Kapan kamu memberikanku imbalan 50 juta?" Tanyanya dengan suara menggoda dan sedikit genit. Ya, Hartono memang menjanjikan imbalan 50 juta bagi siapapun yang berhasil menemukan Raka dan membawanya kenbali pulang ke rumah. "Aku minta kamu transfer sekarang. Aku harus shopping banyak, Mas," tuntutnya tak sabaran. Siapa yang tidak tergiur uang sebanyak itu. "Kamu, belum membawa Raka pulang. Aku tidak bisa mentransfer uangnya sekarang. Bekerjalah dengan becus," Hartono mengakhiri teleponnya, ia memijat pelipisnya yang terasa pusing. Sedangkan disisi lain, seorang
Disinikah, Raka. Sekolah TK yang ramai pedangang. Mata Raka hanya mencari sosok Manda. Raka melangkah perlahan, ia menatap satu persatu pedagang yang berjejer. Manda menjual pisang coklat. Ada pedangang cilok, cireng, sosis goreng, terambulan, dan crepes. Tapi ia tidak menemukan Manda. "Permisi, apa disini ada pedaganga baru?" Raka bertanya ke pedagang crepes. Pedangang yang letaknya berada di paling ujung sekolah TK. "Pedangang baru?" Pria berperawakan gagah dengan kumis tebal itu mengernyit. Ia berpikir sejenak dengan apa yang di cari Raka. "Sepertinya, tidak ada, Mas. Pedagang disini masih sama. Tidak ada kedatangan pedangang baru," ia menjawabnya. Sembari melayani pembeli anak-anak TK yang sedang beristirahat. "Oh, ya. Terima kasih," Raka tersenyum. Ternyata Manda tidak ada. Lalu, kemana Manda sekarang? "Sama-sama, Mas. Itu dua ribuan, nak. Ya, sebentar ya. Tunggu," ia melayani anak-anak TK dengan telaten dan sabar. Ia membuat crepes diatas teflon. Raka bingung, apakah Ma
Raka meneguk salivanya, yang benar saja menjadi pacar? Raka berusaha tetap tenang. "Kalau jadi pacar, kenapa?" Ia penasaran, mungkin ia sering di ajak jalan dengan Syila dan ia bisa membawa makanan bungkus untuk Maya dan Manda. Ah, tapi itu terlihat jahat. "Apapun yang Mas inginkan, aku kabulkan. Oh, dan ini penawaran satu kali. Tidak ada kesempatan kedua. Pikirkan baik-baik ya, Mas. Dan resikonya juga," Syila tersenyum penuh kemenangan, lihat saja Raka pasti lebih memilih menjadi pacarnya daripada kedoknya berselingkuh di ketahui oleh istrinya. "T-tapi, kamu berjanji tidak akan membocorkan ini?" Suara Raka gemetar ketakutan. Ia yang biasanya dingin kepada wanita, sekarang ia tak berdaya dan pasrah. Semua ini karena takdirnya yang berubah drastis usai di usir Hartono. Kekayaan, fasilitas mobil, dan uang di ATM tak bisa Raka memilikinya. Ia pergi dengan tangan hampa, dan sisa uang yang hanya bisa di tarik tidak banyak sebelum ATM-nya di batasi oleh Hartono. "Hmm," Raka bergumam ti
"Beristri? Aku tidak peduli. Siapa tau dia ingin menikah lagi dan mencari istri kedua, ya kan, Mas?" Syila mencolek dagu Raka. "Menjauhlah dariku," geram Raka, kesabarannya sudah habis. Ingin sekali ia mendorong perempuan itu, tapi ia tidak bisa berbuat kasar karena dia perempuan. Syila bukannya menjauh tapi semakin mengeratkan pelukannya. "Syila, hati-hati nanti di marahi Mbak Maya."Syila tak peduli. "Kamu kerja apa, Mas?" "Aku harus berangkat kerja sekarang. Jangan menahanku seperti ini, Syila," Raka memanggil nama Syila penuh penekanan"Wah, kamu memanggil namaku?" Syila membasahi bibirnya, ia tersenyum menggoda. Ia sama sekali tidak malu di perhatikan oleh orang-orang. Raka tersenyum miring. "Kamu mau aku panggil jalang? Ya, sebutan jalang lebih cocok untukmu," ia mengangguk, nama itu terlalu bagus untuk wajah nakal yang memendam sebuah hasrat itu. "Ssstt," Syila menempelkan jari telunjuknya di bibir Raka seakan memerintahkan laki-laki itu tidak bersuara terlalu keras. "Ak
Raka mengobati luka Maya dengan hati-hati. Ia membersihkannya dengan kapas. "Pelan-pelan, Raka! Sakit!" Maya meringis menahan sakit. Ia menatap Raka kesal. Sedangkan Manda yang tidak tau apa-apa mendengar itu pun sedikit curiga."Waduh, apanya yang pelan?" Tanyanya merasa penasaran. Ia meninggalkan dapur sejenak. Ia melangkah mengendap-endap menuju ke kamar Maya. Manda memasang telinganya baik-baik. Ia mendengarkan setiap suara desahan Maya yang terdengar sampai di luar kamar. "Ahh, Raka! Stop!" Manda membungkam mulutnya tak percaya. Mungkinkah mereka sedang melakukannya sekarang? "Wah, sebentar lagi. Aku bakal dapat seorang cucu," Manda menahan senyumannya. Perasaannya riang gembira. Inilah yang paling ia tunggu-tunggu selama ini. Karena sebelumnya ia tidak mendengar apapun dari kamar. Hanya keheningan malam sampai ia begadang dan tidur jam 1 pagi. "Sudah, masih perih?" Raka sudah menetestakan betadine di lutut Maya. Tidak ada lagi darah, ia tidak menutupi luka Maya dengan han
Raka yang merasakan Maya seperti ingin marah, ia mundur beberapa langkah. Ia sedikit takut. Maya mengambil piring itu, ia menyendok nasi dan menyuapkannya pada Raka. "Kamu saja yang makan. Aku belum lapar."Raka yang tidak siap menerima suapan dari Maya pun terbatuk-batuk. "Berhenti, aku tersedak. Tolong jangan memaksaku," pinta Raka memelas, ia menepuk dadanya, ia menelan paksa nasi suapan dari Maya. "Eh ... maaf," Maya dengan sigap meletakkan piring itu di meja nakas. Ia memijat tengkuk Raka. "Maaf banget ya?" Ia merasa bersalah. Melihat raut wajah Maya yang khawatir, hati Raka sedikit senang. Disaat ia sakit, Maya khawatir, tapi jika tidak sakit Maya bersikap ketus. Dengan ini, Raka memanfaatkan keadaan. "Pijat di pundak juga, ya? Aku masih capek. Tadi angkat-angkat semen dan genteng.""Hmm," Maya hanya bergumam. Ia memijat pundak Raka walaupun merasa tidak ikhlas. Ia tau pasti Raka modus dan ingin mencuri kesempatan romantis. "Aku tadi di tanya teman-teman kerjaku. Mereka tan