Share

Belum Ingin Menyerah

Penulis: Mega Silvia
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-28 10:20:33

'Bagaimana kalau sampai Mbak Ayla menyalahkanku?' Cemas Pierre dalam hati.

Setelah cukup lama Pierre berusaha mengerahkan seluruh kekuatannya yang tersisa. Ia tak berniat selamanya di sini. Idenya masih sama, mencoba mengirim sinyal bantuan untuk pusat.

“Yapp!!" Tubuhnya sudah terangkat setengah, dengan bantuan kakinya ia akhirnya bisa memanjat. Sampai di atas, ia langsung berlari dengan nafas memburu. Matanya melirik mencari arah tempat awal mereka. Jujur karena berlari ia jadi tidak tahu di mana posisinya sekarang. Pierre hanya mengandalkan nalurinya supaya sampai di barak sementara mereka.

Dalam kepanikan ia berusaha mengingat dengan jelas. Setelah ia yakin. Segera Pierre pergi ke baraknya tanpa pikir panjang.

"Hahh!! Hah!" Nafas memburu, tangannya yang gelagapan mencari alat komunikasi serta bibirnya bergetar juga pucat, sebuah perpaduan yang bisa membuat seseorang menyerah apabila ia di tempatkan pada posisi yang sama dengannya. Jangan katakan apa yang Pierre lakukan adalah tindakan bodoh. Karena setiap manusia memiliki alasan untuk mengambil tindakan itu.

Ia cuma berfikir akan percuma jika ia maju seorang diri menyelamatkan Fawaz. Entah keputusan ini akan ia sesali nantinya atau tidak. Hanya Tuhanlah yang tahu

Ttuutt! Tttuut!

Suara sambungan dari mesin HT yang sangat ia harapkan bisa mendatangkan keajaiban untuk Fawaz mulai mengedar di telinganya.

'Tuhan, aku memang belum menyembah-Mu. Aku masih selalu terlena untuk mengingkari semua hidayah-Mu yang KAU tunjukkan padaku. Tapi lelaki yang tengah berjuang itu adalah hamba-Mu yang baik. Dengan segala kerendahan hati aku berharap ia bisa selamat,' rancau Pierre dalam hati begitu tulus.

"Halo!" suara seseorang berhasil mengangkat HT itu.

"Halo.., halo.., di sini dengan Letnan dua, Pierre Nasution. Saya ingin melaporkan jika Letnan satu Fawaz Omar hisyam hilang di titik koordinat 10.3 arah timur!" Bunyi pesan Pierre yang ia gaungkan penuh pengharapan.

"Halo." Pria yang di ujung telepon justru mengulang kalimat sapaannya lagi.

"Iyah.., halo, tolong kami. Kami dalam bahaya!" ulang Pierre tak lagi memakai cara lapor yang sesuai perintah atasan. Persetan dengan aturan. Nyawa Fawaz jauh lebih penting.

"Maaf tapi di sini kita tidak bisa mendengar apapun.

Kkrriiinngg!

HT itu berdengung seakan menulikan rungunya.

"Tolong, Tolong kami. Fawaz di kejar dua babi hutan," lirihnya memelas. Hatinya hancur, seakan tak ada lagi harapan untuknya menolong Fawaz.

"Lebih baik anda mencoba menghubungi kami lagi nanti!" Alat penghubung satu-satunya terputus. Itu artinya, putus juga harapannya.

Pierre tertunduk. Air matanya jatuh. Sedang tangannya mengepal kuat.

"Maafin aku, Mas!" Setelah mengatakan itu justru Pierre merasa semakin kuat. Ada sisi hatinya yang menolak untuk menyerah.

Ia menatap sebuah senapan. Tak perlu pikir panjang. Pierre keluar lagi dari baraknya membawa senapan itu untuk menembak mati kumpulan babi hutan. Saat ini semua hal sangat ingin ia kerahkan untuk Fawaz, untuk tawa yang begitu menyejukkan hatinya ketika memandang.

***

Sementara itu,

Setelah kawanan babi mengepungnya. Fawaz justru dengan nyali yang besar ikut mendekat dan menaiki tubuh babi yang jauh lebih kecil.

Pria itu langsung menancapkan pisaunya. Dan karena kulit babi itu keras, pisau belatinya justru tertancap tidak mau ditarik lagi. Amukan sang babi semakin tidak terkendali.

Saat itu Fawaz turun dan berlari sekencang-kencang. Ia belum bisa bernafas lega. Ada satu babi lagi yang mengejarnya dengan tatapan murka. Sepertinya yang Fawaz lukai adalah 'istrinya' dan setiap pejantan memang selalu memiliki insting untuk melindungi betinanya.

Fawaz mencoba bersembunyi di pohon besar. Kakinya terasa sakit karena saat ia turun dari badan sang babi ia malah terkena tancapan ranting pohon yang cukup besar.

Fawaz menarik ranting itu tanpa bantuan obat bius. Ia mengerang di dalam tenggorokannya karena tidak mungkin jika ia mengeluarkannya langsung.

Tetes demi tetes darah mengalir. Tapi Fawaz tidak ingin tubuhnya menjadi santapan si babi hutan itu. Jiwa primitif-nya mengatakan jika manusia selalu berada di rantai makanan teratas.

Jadi konyol baginya jika ia berakhir menjadi sajian lezat bagi para babi.

Krreekk! kreekkk!

Babi itu mendekat dan Fawaz merasa siap bertarung sekali lagi. Ia tidak mungkin melewati kehadiran babi itu.

Fawaz tidak mau kalau babi itu menemui kawanan temannya yang lainnya.

Fawaz memilih memutari pohon, berjalan sangat hati-hati dengan ranting runcing di tangannya.

'Bisa.., aku bisa menancapkan sekali lagi!' suara hatinya penuh keyakinan.

"Bismillah... Allahu Akbar!" Ranting itu sudah tertancap seiring gaungan kalimat tauhid dari bibirnya.

Fawaz melotot. Babi kali ini tidak langsung lemas seperti yang tadi. Ia malah semakin terlihat marah. Seperkian detik Fawaz tidak mampu mencerna saat si babi mengobrak-abrik tubuhnya dengan moncongnya yang berruncing. Ia hanya mampu mencoba memegangi perutnya yang perih, meremas darahnya yang keluar. Ooh, bukan lebih tepatnya ia sedang meremas isi perutnya yang terkoyak.

Darah keluar dari mulutnya. Entah luka apa yang Fawaz terima. Seluruh tubuhnya mati rasa. Matanya berkunang, tanpa sadar, ia merasa ingin pingsan.

Lima menit berlalu. Saat tidak ada lagi harapan hidup yang tersisa. Remang di saat ajal menjemput, diantara alam bawah sadarnya, Fawaz masih bisa mendengar bunyi seseorang menarik sebuah pelatuk.

Ddorr! doorr!

Disaat itu pula ia betul-betul tak sadarkan diri.

***

Selang tiga puluh menit dari tragedi berdarah itu. Pierre akhirnya menemui tempat kejadian. Ia terjongkok seraya meremas sisa kain dari baju yang Fawaz kenakan.

Hatinya luruh. Ia betul-betul gagal untuk menyelamatkan Fawaz, mungkin saja jenazahnya telah dibawa binatang liar itu ke habitatnya. Untuk bersama menikmati setiap daging Fawaz yang tersayat karena gigitan mereka.

"Huhuhu.... Mas Fawaz!" Pierre menjatuhkan kening ke tanah dengan senapan di sampingnya. Belum pernah ia merasakan dirinya sebodoh ini sampai tega meninggalkan Fawaz seorang diri. Kenapa tidak mati bersama saja?

Untuk apa dia berlari demi bertahan hidup? Bukankah dia berniat untuk mati cepat?

Khayalan Fawaz tergeletak lemah dengan kawanan babi mengelilinginya semakin membuat batinnya pedih.

Ahkk.., membayangkan saja membuat Pierre ingin bunuh diri. Sayang, ia baru tahu dari Fawaz. Jika kematian dengan cara seperti itu hanya akan mengenaskan di alam sana.

***

Langit semakin menyingsing cahaya mentarinya. Berganti pekat dengan cahaya bulan yang menerawang dari sela-sela dedaunan.

Pierre menghembuskan nafasnya. Seolah baru saja tersadar dari keterkejutannya. Berkali-kali ia menimbang ingin menempelkan senapan ke pelipisnya dan memuntahkan dua atau tiga peluru.

Tapi Pierre tahu, bunuh diri adalah hal yang dilarang agama. Lagipula Fawaz memberikannya mandat yang harus ia jalan,'kan.

Menjaga dan merawat anak dan istrinya. Ia merasa harus kuat. Lagipula tak ada ujian yang didatangkan dengan persetujuan orang tersebut terlebih dulu. Ini Qonnah-Nya dan ia harus menerima dengan tangan terbuka.

Pierre juga pernah dengar. Tuhan tidak mungkin memberikan beban di pundak yang salah dan itu artinya ia harus siap.

Ia memutuskan bangkit sambil membawa potongan baju Fawaz sebagai bukti kalau Fawaz telah gugur. Tidak ada lagi yang Pierre pikiran kecuali senyum Ayla yang sempat ia lihat sebelum mereka pergi. Mungkin itu adalah saat terakhir wanita itu tersenyum. Karena setelah ini hanya ada airmata, menangisi belahan jiwanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jodoh Pilihan Suamiku   Berharap Lebih

    Nimas sudah keluar hutan. Beruntung ia tidak mengalami banyak hambatan kecuali wajahnya lesu terlalu kelelahan. Karena dirinya mengitari jalan berbeda dari biasanya, ia tidak langsung bertemu jalan raya tetapi sungai kecil dengan air yang cukup deras itu menantinya dan mesti ia seberangi. Nimas berpegangan pada setiap batu besar, jemari kaki mencengkram kerikil sampai rasanya telapak kakinya linu.Semua itu tidak Nimas pedulikan. Ia sudah sampai di sini. Pantang untuknya kembali. Setelah melalui sungai, Nimas memanjat ke atas tepi jalan dan menunggu mobil yang lewat. "Sebentar lagi subuh." Ia merasa ada kemungkinan bertemu dengan mobil pengangkut hewan ternak yang biasa akan ke pasar dan bisa ia mintai tolong. Nimas menunggu tanpa memperdulikan penampilannya yang kucal. Tapi itu bagus, orang-orang tidak akan bisa mengenalinya apa lagi ini masih sangat gelap. Nimas hanya berharap bukan para penjahat yang ditemuinya.Setengah jam menunggu, terlihat lampu mobil dari ujung berlawanan

  • Jodoh Pilihan Suamiku   Segeralah Menikah Lagi

    Nimas menutup mata lekat. Tangannya ia letakkan di dada seraya merapal doa. Nimas tau, saat dirinya kabur. Artinya ia tidak bisa lagi bebas kembali ke makam ayahnya. Hal itu membuat air matanya jatuh tapi ia berusaha menahan sesenggukkan sampai rasanya dadanya sangat sesak. Sangat sakit bukan, tidak bisa mengunjungi makam orangtua saat rindu melanda. Tapi Nimas juga gak ingin menjadi istri kedua lelaki tua bangka. Tepat seperti dugaannya, beberapa orang terlihat mencarinya dengan tampang panik. Nimas yakin, mereka semua dimarahi oleh pak Rudi. Cepat ia memepet batang pohon. Berharap rindangnya dedauan dapat menutupi bayangannya. 'Apa aku naik saja ke atas?' Nimas ingin nekat panjat pohon. Tapi ia juga tidak begitu lihai, yang ada malah memancing keributan. Nimas mulai merapal doa. Ia sangat percaya, hanya doa yang bisa menyelamatkannya saat ini. Hasbunallah wa ni'mal wakiil(Cukuplah Allah menjadi penolong kami. Dan Allah adalah sebaik-baiknya pelindung)Doa yang terus ia lantun

  • Jodoh Pilihan Suamiku   Nimas Kabur

    Kesedihan masih membayanginya, dan kini Nimas kembali ditimpa masalah.Ditinggal sebatang kara di dunia yang belum puas ia kenali. Kekejaman ditunjukkan para warga, yang selama ini Nimas anggap sebagai saudara membuat ia putus asa. Namun, di tengah kegamangan yang Nimas rasakan. Pak Rudi memawarkan secercah sinar. Kabarnya lelaki itu punya sebidang tanah khusus makam keluarga. Di sana, Nimas diperbolehkan mensemayamkan jasad ayahnya."Alhamdulilah Ya Allah. Terima kasih, Pak." "Saya hanya membantu sebagai keluarga." Tanpa bertanya lebih lanjut, Nimas mengikuti setiap prosesi. Butuh satu jam untuk menyelesaikannya. Kini, ia terjongkok di samping papan nisan yang berdiri tegak seraya mengelusnya. "Abi gak perlu khawatirin aku. Aku pasti bisa mengurus diri aku sendiri." Gadis itu tersenyum, mencoba untuk kuat. Setelahnya, Nimas menghampiri pak Rudi demi menyampaikan rasa terima kasihnya sekali lagi. Habis itu Nimas berencana pulang lalu esoknya kembali menemani Ikhsan di rumah sakit

  • Jodoh Pilihan Suamiku   Bagaimana Caranya Balas Budi?

    Dengan berat hati Nimas memberi kabar ke para pemangku wilayah di daerah kampungnya tentang kepergiaan abi Majid.Sementara di rumah sakit, ia telah mengurus ijin kepulangan jenazah. "Terima kasih pak Said. Mohon dibantu mencarikan tanah kuburan buat abi." Nimas menelpon dari telepon rumah sakit. Menurut pak Said, ia akan menyiarkan berita duka ini ke semua warga dan mungkin tidak lama akan ada mobil yang menjemput mereka. "Kamu yang sabar, Nimas." Nimas tersenyum tipis. Kata-kata pak Said cukup menghiburnya, tapi ada yang ia pikirkan. Yaitu nasib pria yang ia tolong, salah satu kenangan perbuatan baik abinya semasa hidup.Bila Nimas kembali ke desa untuk waktu lama, lalu pria itu dengan siapa?!Akhirnya Nimas menitipkan Fawaz pada seorang suster tua. "... saya minta tolong Suster. Saya harus kembali secepatnya. Tapi saya juga kesulitan meninggalkannya." Nimas melirik ke arah Fawaz. Suster bernama Jihan itu ikut merasakan kegelisahan yang Nimas rasakan. Bisa dilihat, Nimas sangat

  • Jodoh Pilihan Suamiku   Kedudukan Anak Yatim

    "Hah! Mbak, benaran deh. Mbak gak bisa kayak gini. Mbak tau kan, seorang ayah bertanggung jawab menafkahi anak-anaknya. Meski mas Fawaz sudah gak ada, tapi dia punya harta peninggalan yang bisa diberikan ke Yusuf juga Balqis." Ayla yang menjalani musibah, Kia yang merasa tidak tahan. Melihat anak-anak Fawaz hidup hemat. Pun, Ayla yang mulai mencari pekerjaan sebagai penjaga toko.Katanya, selama menjaga toko roti itu Ayla boleh membawa Balqis. Gaji yang ditawarkan tidak besar. Tetapi Ayla begitu bersyukur masih bisa kerja.Kia menyentuh punggung tangan Ayla. "Mbak gak mau kan mas Fawaz gak tenang di sana karena mengabaikan anak dan istrinya." "Ki!" Ayla jadi tegas. Baginya, Fawaz tidak begitu. Ia tidak pernah mengabaikan keluarga. Malah, Fawaz selalu mengutamakan keluarga di atas segalanya. Tapi saat ini lelaki itu sudah habis kewajibannya. Giliran Ayla merawat kedua hatinya agar menjadi anak yang soleh dan soleha.Baru berharap demikian, ia mendengar keributan di luar."Mbak. Itu

  • Jodoh Pilihan Suamiku   Wanita Istimewa

    Hari ini giliran Pierre mengajar di taman bersama anak-anak, ia sama sekali tidak terlihat risih. Pierre sampai berpikir apa 'kelainan' yang ia idap perlahan menghilang? Atau hanya faktor cuaca cerah dan berkumpul di taman yang lega membuat perasaannya lebih tentram.Semua pertanyaan anak-anak itu Pierre jawab dengan suka cita."Om udah punya anak belom?" "Belum, Shafea," jawab Pierre tersenyum pada anak usia enam tahun itu. "Kok belom sih?" Shafea tidak sepenuhnya percaya. Gaya anak itu untuk mengintrograsi dirinya membuat Pierre terkekeh geli."Yah Om nikah aja belum... ." Sedetik ia bilang begitu, beberapa gadis remaja melirik ke Pierre. Spontan Wishaka tertawa keras.Apa yang Pierre katakan ibaratnya seperti memberi umpan untuk ikan kelaparan. Sebab kini mereka belajar di tengah kerumunan banyak orang. 'Aduh gawat nih!' Pierre menutup muka cepat. Rasa groginya timbul lagi.Ide belajar di luar kelas darurat sepertinya tidak berjalan dengan baik.Malam harinya, setelah ia seles

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status