Share

Keadaan Fawaz

"Kamu siapa. Kenapa bisa terluka seperti ini?" desis Nimas. Ia melirik ke handuk kecil yang ada di tangannya. Mungkin ia bisa membasuh debu dan helaian daun yang masih menempel di wajah si pria.

Nimas melakukan niatan. Jujur perasaannya berdebar karena pertama kali menyentuh pria-walau sebetulnya handuk itulah yang mengenai kulit pria malang itu.

Nimas terpaku dengan wajah pria itu. Sudah pasti ia pria tampan. Nimas mengakuinya. Bulu matanya lentik dengan hidung bangir. Aura maskulin juga terlihat meski kini ia masih terbaring lemah. Bibir pucat tidak mengurangi sisi kelakian Fawaz.

Nimas bertanya dalam hati. Siapakah nama lelaki itu. Apa gerangan hajat si pria sampai ia berada di hutan ini.

Tidak ada tanda-tanda yang bisa ia dapati di tubuh Fawaz. Karena, Fawaz kebetulan sedang tidak memakai seragamnya.

Nimas menggeleng setelahnya. Ia tahu, bukanlah waktunya mengurusi semua itu. Tapi gadis itu tetap terpaku. Menyaksikan dalam diam semua kejadian di luar nalar meski kini ia menatap korban langsung.

"Eeuuhh..!" rintihan keluar dari sudut bibir si pria. Nimas gugup, ia mengambil handuk itu lagi dan menekan diluka pria itu.

"Sakit,ya. Tunggu sebentar. Abi sedang mencarikan obat buat kamu," tutur Nimas resah. Tak tahu harus melakukan apa. Nimas menggengam tangan si pria itu erat. Pun pria itu membalas pegangan Nimas. Ia mencengkram tangan Nimas seakan mencari pegangan dari rasa sakitnya.

"Sakit... Ahk, sakit!" Fawaz meraung dengan mata terpejam. Dalam tidur menyakitkan itu, ia melihat Ayla menangis di sudut ruang. Ingin sekali Fawaz memeluk sang istri tapi punggung pria lain seolah menghalangi.

"Sakit. Ahk!" jeritnya makin kencang dan serak. Bahkan kuku-kukunya menancap di tangan kecil Nimas. Nimas mengeratkan gigi merasa sakit, tapi anehnya ia tidak bisa menarik tangannya begitu saja.

Nimas tahu, lelaki itu hanya mengekspresikan rasa sakit. Dan ia rela tangannya terluka demi mengurangi rasa sakit itu.

"Kamu kuat. Aku tahu, kamu bisa bertahan!" Semua kata semangat Nimas ucapkan kepada pria yang baru ia kenal.

Tak lama suara langkah kaki menginjak rating kering terdengar. Nimas spontan menoleh. Ia sangat takut jika itu bukan langkah Pak Majid.

"Nimas. Abi sudah mendapatkannya."

Nimas bisa bernafas lega karena ternyata benar abinya. Secepat kilat Nimas menarik tangan dan berdiri.

"Nimas. Tolong tumbuk dedauan ini semua,ya. Dicampurkan. Cepat, Nak."

Nimas menjalani titah sang ayah tanpa banyak tanya. Ia pergi ke dapur dan sebentar saja dedauan herbal itu sudah remuk sehingga siap dipakai.

"Abi. Kok dia bisa kayak gini, sih?" Nimas sekalian menyerahkan ramuan tanaman itu ke tangan ayahnya.

Sembari membalurkan ke luka Fawaz, Pak Majid menceritakan pengalamannya mengapa bisa bertemu pria malang itu.

"Gini, Ndok. Tadi Abi lagi mengitari hutan area timur. Lantas Abi mendengar suara bising. Untung saja Abi membawa senapan. Apa yang Abi takutkan terbukti. Ada seseorang yang sedang diterkam babi hutan. Langsung saja Abi menghunuskan senapan dan menembak mati babi itu. Dan pria malang ini, Abi bawa ke rumah kita."

"Masya Allah, Bi. Jadi dia terluka karena serangan babi hutan?" ulang Nimas tidak percaya. Pantas saja, keadaannya sangat mengenaskan. 

Ya Nimas. Babi-babi itu sangat brutal sekali. Mungkin karena massa kawin atau karena pria ini mengganggu otoritas mereka. Tapi untungnya Abi belum terlambat. Kau tahu, Nimas. Satu menit saja Abi tidak sampai sana. Pria ini sudah dipastikan tinggal tulang saja."

Nimas membulatkan netranya. Kepalanya menggeleng spontan. "Abi jangan bilang gitu. Aku yakin dia bisa selamat, Bi. Mungkin saat ini keluarganya sedang sibuk mencari dia. Dan tugas kita menjaga dia sampai ditemukan," tutur Nimas jadi dewasa. Pak Majid mengangguk maksum. Nimas benar, tak seharusnya dia berputus harapan sementara Yang Maha Penentu bukanlah dirinya.

Namun, sekali lagi Nimas benar. Keluarga Fawaz memang sedang mencarinya. Tepatnya kini sedang terpukul atas berita menghilangnya Fawaz.

******

Meski regu, Pierre dan yang lain belum kembali ke Ibukota. Tetapi, kabar yang Ayla terima sudah sampai ke telinga orangtua Fawaz, Amena.

"Ya Allah, Aa' Fawaz!" Zulaekah terus menangis seraya menyebut nama abang kandungnya.

Sedang ibu mereka-tak lain mertua Ayla pingsan setelah mendengar berita itu.

Beliau dibawa ke kamar dan didatangkan dokter keluarga. Ingin Ayla menemani ibu mertuanya itu. Tetapi, kehadirannya saja di keluarga ini adalah satu kesalahan.

Bertahun-tahun menikah dengan anak pertamanya tak membuat hati wanita itu terbuka untuk menyayangi Ayla. Terkadang, Ayla merasa kedatangannya tak pernah diharapkan. Bahkan kelahiran Yusuf dan Balqis tidak mampu meluruhkan dinding beton di hati wanita yang telah melahirkan suaminya. Amena tetap merasa bila Ayla membawa sial untuk hidup Fawaz dan kini, dugaan itu semakin terbukti.

Perih itu kini bertambah. Tanpa Fawaz di sisinya. Ayla merasa cacat! Kehampaan menggerogoti naluri. Meski kedua telapaknya memegang tangan Yusuf dan Balqis tapi rasanya masih kurang. Ayla tidak tahu kapan mereka akan menyudutkannya atas hilangnya Fawaz.

Dia seperti berjalan di dinding es yang tipis. Sewaktu-waktu bisa pecah kapan pun hingga menenggelamkannya ke dasar. Meski semua juga bukan salahnya. Apa pernah, Ayla berharap sang suami hilang ketika pergi bertugas. Malah, tiada malam yang dia lalui tanpa bermunajat meminta perlindungan Allah agar Fawaz selamat sampai tujuan. Cuma, karena Ayla terlalu hafal dengan tabiat Zulaekah. Dia yakin sebentar lagi gadis belia itu meronta dan melemparkan kesalahan di bahu Ayla.

Baru saja Ayla terpejam. Zulaekah sudah mendekatinya, menatap nanar ke arah Ayla. Tangannya terkepal siap merenggut hijab yang Ayla gunakan. "Lo tuh, ya! Dasar sialan---"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status