Share

Jadi Menikah?

"Jadi menikah?" tanya sang Ibu—Lizy, menyambut Aluna yang baru pulang dari pertemuannya dengan Bima.

Aluna mendesah kesal. "Aku baru pulang, Mah."

"Tapi, kalian udah ngobrol? Udah ada kabar bagus?" Lizy kemudian menengok ke arah depan rumah. "Tadi pulang diantar Bima? Kok dia enggak mampir?"

"Yeah dia sibuk."

Aluna duduk di sofa single, dia memintal jemarinya saking gugupnya. Apa yang harus dia katakan sekarang? Berkata jujur bahwa pertemuannya dengan Bima berakhir buruk?

Namun, kenapa rasanya dia tak tega menyaksikan senyum sang Ibu luruh karena kecewa?

"Kami belum memutuskan, lagipula ini baru pertemuan pertama," jawab Aluna netral.

Hanya itulah yang bisa dia katakan sekarang.

"Berarti kalian janji bertemu lagi?" seru Lizy antusias. Tangannya menangkup paha Aluna. Begitu lembut jemari mungil yang sudah keriput itu bergerak mengelus. "Jangan lama-lama ya Al, ayah kamu udah tua. Katanya mau ngasih dia cucu?"

Sang Ayah, yang duduk di sebelah Wira melayangkan protes.

"Jangan jadikan itu sebagai beban," kata Satria—sang Ayah, menimpali.

"Tapi kan kenyataanya memang begitu," seru Lizy.

Aluna menatap layar datar televisi yang menayangkan acara sepak bola sebagai pengalihan pikiran. Sungguh, pembicaraan soal usia dan cucu adalah hal yang membuatnya terbebani.

Deadline usia ini memang benar-benar nyata. Tahun depan, bukan hanya usianya saja yang bertambah tetapi usia sang ayah juga. Ayahnya yang menikah cukup matang saat itu, membuat jarak usianya dan Al sangat jauh.

Bulan depan, usia ayahnya tepat 65 tahun. Usia yang cukup senja dan cukup ironis karena belum menimang cucu.

Sebagai anak pertama, Aluna menyadari hal itu adalah kesalahannya. Wira yang sudah punya pacar sejak lama menahan diri agar tidak melaju ke lantai pernikahan karena menghargai Aluna.

"Bima udah setuju mau langsung serius, tapi aku ragu."

Ucapan Al membuat Lizy, Satria dan Wira menatap perempuan itu dengan tatapan beragam. Lizy yang antusias ke kalimat pertama bahwa Bima sudah ingin serius, sementara Satria dan Wira lebih fokus ke kalimat terakhir.

"Kalau ragu jangan dilakuin, pernikahan kan sakral," timpal Wira.

"Masih banyak waktu untuk memutuskan," sahut Satria.

"Lho jangan begitu! Bima itu laki-laki yang udah kita ketahui seluk beluknya. Kesempatan ini jangan diabaikan begitu saja Al!" seru Lizy berada di jalan yang bertentangan dengan suami dan putranya.

Lizy menatap Aluna dan meyakinkan putrinya tersebut lewat tatapan.

"Al dengerin Mamah Nak, setiap manusia yang pindah ke tahap kehidupan yang lebih serius, selalu ada rasa khawatir. Mau kamu menikah sama lelaki yang kamu kenal sekilas maupun yang udah kamu kenal puluhan tahun juga rasa cemas itu bakalan tetap ada," kata Lizy penuh keyakinan.

"Udahlah, jangan mempengaruhi Aluna, dia bisa memilih seperti apa suaminya nanti," kata Satria menegur sang Istri yang mempengaruhi Aluna agar menerima tawaran Bima tuk menikah.

Mendengar ucapan sang Ayah, Aluna otomatis menatap ayahnya tersebut. Wajah ayahnya sudah termakan usia, kulitnya sudah keriput pun dengan rambutnya yang memutih.

Sampai 33 tahun usianya, Satria selalu berada di pihak Aluna. Dia akan mendukung apapun yang membuat Aluna bahagia.

Bahkan saat Aluna terancam kesulitan memiliki anak karena rahimnya dikejar deadline usia, sang ayah masih setia berada di sisinya.

Hal ini secara tak langsung memukul otak yang mengendalikan kebebasan di dalam diri Aluna.

Dia adalah perempuan pertama yang menjadi tumpuan keluarga tuk meneruskan keluarga, kenapa pula menahan diri tuk tetap single?

Abimanyu Basudewa telah datang menawarkan diri. Meskipun niat lelaki itu begitu buruk, bukankah bibit bebet dan bobot Bima adalah hal yang terpenting? Selain itu, Bima juga tak punya riwayat kegagalan dalam hal percintaan sehingga Aluna punya 'kartu garansi' bahwa Bima tidak akan menyakitinya.

Dengan privillage sebagus itu, kenapa Aluna masih saja ragu?

Jika ucapan sang Ibu benar, bahwa pernikahan tak melulu soal perasaan dan sudah cukup dengan bahan komitmen dan tanggungjawab, maka Bima barangkali adalah solusi agar Aluna berguna di keluarganya ini. 

Memejamkan mata, Aluna tahu dia akan berada di situasi sesulit ini. Pilihannya hanya dua; sekarang atau nanti. Kedua-duanya tetap memaksa dia membuat keputusan sulit.

"Jangan memaksa diri sendiri Al," kata Satria dengan sorot mata bertolak belakang dengan ucapannya.

"Aku ... mungkin akan menerima lamaran Bima," ucap Aluna terdistraksi oleh ucapan ayahnya yang sangat tulus.

"Kamu serius?" tanya Satria dengan mata menyipit curiga.

Aluna tak pernah seserius ini sebelumnya. Dia pikir, jika keputusan ini adalah hal keliru di hidupnya, setidaknya dia sudah berbakti dengan memberi pernikahan kepada orang tuanya.

Mata runcing Aluna menatap adiknya—Wira, yang juga sudah memiliki kekasih yang memintanya lekas melamar. Jika Aluna menikah, maka dipastikan Wira juga bisa segera menikah.

Ah, keputusan ini terasa sangat menguntungkan, kendati Aluna tak tahu, pernikahan macam apa yang akan menaungi dirinya dan Bima kelak.

"Ya, aku serius."

***

Beberapa hari kemudian, di pertemuan keluarga yang resmi, Aluna mengutarakan jawaban atas keinginan Bima tuk mempersuntingnya. 

Keluarga Bima sangat bahagia mendengarnya.

Mereka pastinya lega karena putra pertama yang mereka banggakan akhirnya memutus rantai keterpurukan dengan menikah setelah bertahun-tahun mengurung diri pasca ditinggal meninggal calon istrinya.

Di pertemuan itu pula, tanggal dan lokasi pernikahan mulai ditentukan.

Aluna menahan nafas ketika Satria menyetujui bulan Oktober sebagai tanggal pernikahannya.

Bulan depan, gumam Aluna merunduk dan memintal ujung gaunnya. Dia akan menikah bulan depan, dengan Bima—yang mengaku tak tertarik lagi dengan perempuan.

Perasaan ragu itu datang lagi. Namun Aluna berusaha menepisnya demi sebuah senyum kedua orang tuanya.

Begitu pertemuan itu disudahi dan Aluna mengantar Bima dan keluarganya yang hendak pulang sampai gerbang, Aluna menatap calon suaminya yang begitu menawan dengan kemeja slim fit dan celana bahan berwarna hitam.

"Bim?" panggil Aluna.

Bima berhenti melangkah, sehingga dia bisa menatap Aluna. "Ya?"

"Pernikahan macam apa yang akan kamu tawarkan?"

"Kenapa tanya begitu?"

"Karena ... karena kamu mengaku enggak tertarik dengan perempuan selain almarhumah calon istri kamu."

"Pernikahan yang akan aku tawarkan tanpa kontrak perjanjian Al, jangan bayangkan ini seperti novel dan sinetron. Aku serius ingin berumah tangga. Akan kupenuhi semua kewajiban seorang suami terhadap istrinya, mungkin satu hal yang enggak bisa aku berikan yaitu hatiku."

Aluna mendengkus. "Gimana mungkin kita bakal jadi suami istri sungguhan kalau bertemu saja bisa dihitung?"

"Nanti juga terbiasa," kata Bima. "Mungkin langkah awal, kamu harus membiasakan diri dengan kehadiranku."

"Caranya?"

Bima mengulurkan tangan. Aluna menatap tangan itu dengan mata menyipit.

"Ayo cium tangan calon suamimu!" kata Bima dengan raut datar.

Terasa geli ketika melakukannya, sebab Bima lebih muda beberapa bulan dibanding Aluna. Namun ketika punggung tangan lebar yang dingin itu Aluna kecup dengan serampangan, jantung Aluna tiba-tiba berdebar.

Oh, jangan terlena Al! Lelaki ini sudah mengatakan tidak akan mencintainya, maka Aluna juga harus melakukan hal serupa!

Aluna tidak boleh terbuai dengan ketampanan Bima.

"Jangan lupa besok jam 7 aku jemput, kita ngukur baju pengantin," kata Bima menaruh tangannya di bahu Aluna dan dengan canggung mengelusnya naik turun.

***

Singkatnya jarak menuju hari pernikahan membuat persiapan dilakukan secara cepat. Mereka menyesuaikan semuanya berdasar waktu, sehingga terpaksa mengadakan acara sederhana.

Memakai adat Sunda, Aluna gugup bukan main saat perias pengantin membantunya memakai kebaya modern yang cukup longgar.

Ini bukan karena ukuran bajunya kebesaran tetapi karena tubuh Aluna menyusut lebih kurus karena tertekan membayangkan hidup baru bersama lelaki sepelik Bima.

"Harusnya kalau ragu, kita pindah aja ke Jerman. Disana mungkin enggak ada orang-orang sok tahu yang ngomongin rahim punya expired date ... ck, mana calon suaminya jelek lagi. Diskip harusnya."

"Jelek banget pake kebaya."

Dua kalimat penghinaan itu berasal dari Kalis—sepupunya, dan juga Pras—sahabat Kalis yang mendeklarasikan diri sebagai pemuja Aluna. Mereka berdua sering muncul bersama dan cukup tidak sopan sampai menerobos kamar pengantin dan menyaksikan Aluna di-make up.

"Mending balapan motor, yu?" ajak Pras. "Ck, jelek banget seriusan. Mbak itu bulu matanya kegedean, nanti Alku enggak bisa ngedip."

"Lho, ini kenapa ada laki-laki disini?" seru Lizy menjewer kuping Kalis dan Pras.

Kepergian mereka menyisakan lubang menganga di hati Aluna. Namun kenyataannya dia tetap harus berada di acara ini sebagai pengantin perempuan.

Ketakutan yang bercokol di jantung Aluna menguap jadi serpihan kesedihan ketika Satria menyerahkan dirinya kepada Bima. Sang Ayah yang menjaganya dengan sangat baik selama 33 tahun sekarang meminta Bima meneruskan amanat dengan menjaganya.

Aluna rasanya tak terima sebab Bima seperti pusaran air; terasa sangat menarik tetapi menenggelamkan. Bima mengaku sendiri tak akan memberinya cinta di pernikahan ini.

Lantas, bagaimana mungkin Aluna bisa hidup bahagia seperti dirinya yang dicurahi cinta dan kasih sayang oleh ayahnya?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Endah Setyawati
huuuaaaa kaanggen Satriaaaa....
goodnovel comment avatar
MaMa INa
yakin sih aq nih cerita bakalan bikin greget. keluarga mantan calonnya Bima kan toxic banget ya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status