Share

Bab 2. Penolakan yang Menyakitkan

"Maksud Mama?" Raut wajah Dokter Adrian terlihat gusar. Seolah-olah dia baru saja mendengar kabar duka yang menghantam jiwanya.

Dengan kecemasan yang meningkat, aku menunggu jawaban dari Dokter Yasmin.

"Adrian, mamamu ini sebentar lagi sudah mau pensiun. Artinya apa? Mama sudah tua. Sudah waktunya Mama menimang cucu. Apa setelah ini, kamu lagi-lagi punya keinginan untuk menunda pernikahan? Mau berapa tahun lagi Mama harus menunggu?"

 

Hening tiba-tiba mengambil alih suasana ruangan yang dingin ini.

Setelah mendengar penjelasan ibunya yang penuh kelembutan itu, Dokter Adrian menyugar secara kasar rambut tebalnya ke belakang. Kemudian lelaki berbadan tegap itu menundukkan kepala dalam-dalam. Menunjukkan bahwa kecamuk rasa tengah bermain-main dalam batinnya.

Melihat situasi yang canggung antara ibu dengan anaknya seperti ini, rasa tak nyaman seketika mengungkung sanubariku.

 

"Bagaimana, Nak Saina? Apa Nak Saina bersedia?"

Aku terkesiap. Dokter Yasmin ternyata serius berkeinginan menjodohkanku dengan puteranya itu. Ingin melontarkan jawaban saat ini juga, tetapi lidah terasa kelu.

"Sa-saya--"

"Maaf, Ma ... Adrian enggak bisa!" Dokter Adrian dengan cepat memotong ucapanku. Seketika sebongkah hati di dalam sini seakan teremas oleh tangan tak kasat mata. 

Rasa sakit di dalam sini bukanlah karena cinta yang tak terbalaskan, melainkan sakit oleh cara penolakannya yang tegas dan tanpa memikirkan perasaan orang lain itu. Seolah menunjukkan bahwa diri ini memang tak layak untuk dipertimbangkan.

Kalau boleh jujur, sebenarnya aku pun ingin secara terang-terangan menolak. Namun, karena sempat melihat sorot penuh harap di mata Dokter Yasmin, nyaliku menjadi ciut. Hanya sekadar basa-basi saja rasanya tak kuasa.

"Adrian hanya mau menikah dengan Mika. Wanita yang Adrian cinta," imbuh lelaki yang kini tengah melirikku dengan tatapan ... entah. Membuat harga diri yang sempat terluka, kembali tergores sembilu.

Suasana kian membeku. Aku pun tak tahu cara mencairkannya.

 

"Kalau begitu, Adrian pamit dulu, Ma. Ada pasien yang sudah menunggu." Dokter Adrian beringsut berdiri. Kemudian badannya membungkuk untuk mengecup kening ibunya yang tengah menggeleng pelan itu. "Adrian sayang Mama," imbuhnya setengah berbisik.

"Kalau sayang sama Mama, segeralah menikah. Jangan sampai Mama sudah ditanam dalam tanah, baru kamu menyesal."

 

"Ma ...," protes Dokter Adrian seraya berdiri tegak.

"Ya, sudah. Sana pergi! Keburu pasienmu menunggu." Dokter Yasmin berucap halus sembari menepuk-nepuk punggung tangan Dokter Adrian dengan sayang.

Tanpa sadar aku mengulum senyum samar. Ternyata, Dokter Adrian mempunyai sisi lain yang menggelikan. Di hadapan anak kecil, dia bisa bersikap menyenangkan. Sementara di hadapan ibunya, dia pun masih bersikap kekanak-kanakan.

Mungkinkah cinta yang membuatnya begitu?

 

Setelah Dokter Adrian benar-benar meninggalkan ruangan, aku mengembus napas lega. Seakan-akan beban yang memenuhi ruang dada langsung sirna saat ini juga.

"Maaf, ya, Nak, atas ketidaknyamanan tadi. Sikap Adrian memang seperti itu jika diajak membahas pernikahan. Belum selesai penjelasannya, dia selalu menghindar. Beralasan tidak mau menikah selain dengan Mika. Padahal umurnya sudah tiga puluh satu tahun. Seharusnya dia sudah punya anak tiga." Dokter Yasmin berujar panjang lebar, lantas terkekeh pelan. Menampilkan deretan giginya yang bersih dan rapi.

Tiba-tiba saja ada gelembung tanya yang muncul di angan.

Kenapa tidak dinikahkan saja dengan Mika?

Ada setitik keinginan untuk melontarkannya, tetapi naluriku memerintahkan supaya menyimpan saja dalam pikiran. Aku merasa tak berhak menerobos masuk ke dalam urusan pribadi dokter spesialis anak itu. Bagiku, tidak penting juga. 

 

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Dok." Akhirnya aku membuka suara setelah menimbang-nimbang sekian detik lamanya. "Lagi pula menurut sepengetahuan saya, jodoh memang tidak bisa dipaksakan. Kalau sudah tiba saatnya, pasti akan dipertemukan dengan orang yang tepat. Mungkin hanya butuh waktu sedikit lagi bagi Dokter Adrian untuk membawa seseorang yang spesial itu, ke hadapan Ibu Dokter," imbuhku berusaha mencairkan percakapan yang sempat beku.

Dokter Yasmin tampak antusias menyimak ucapanku. Tak ayal membuatku merasa tidak nyaman. Takut jika ternyata ada rentetan kata yang menyinggung perasaan.

 

"Tidak salah lagi. Nak Saina benar-benar pilihan yang tepat untuk anak saya."

 

Lagi-lagi aku dikejutkan oleh penuturan Dokter Yasmin yang benar-benar tak terduga itu. 

"M-maksudnya, Dok?" tanyaku benar-benar tak paham.

"Keputusan saya sudah bulat. Saya berharap, Nak Saina tidak menolak saya jodohkan dengan anak saya."

 

Aku mengernyit dahi. Tetap saja tak paham dengan apa yang dibicarakan wanita anggun yang kini bangkit dari duduknya itu.

 

"Anak saya ini ada dua. Laki-laki semua." Bu Yasmin menjeda ucapan seraya melangkah mendekatiku. Setelah sampai di ujung sofa panjang di sisiku, beliau duduk kembali.

 

"Coba perhatikan foto di sana!" Bu Yasmin menunjuk foto berukuran besar yang terpajang di dinding belakang meja kerjanya. 

 

Aku mengamati foto keluarga yang berbingkai emas itu dengan saksama. Ada dua anak kecil berjenis laki-laki berada di tengah-tengah pasangan suami istri yang tengah duduk di sofa panjang. Terlihat raut kebahagian terpancar di sana.

"Tepat di samping saya itu, Adrian. Sementara yang berada di samping suami saya itu, merupakan adiknya Adrian. Wafa namanya. Usia mereka hanya selisih satu setengah tahun."

Wafa?

Aku berpikir sejenak. Seolah nama itu, sudah tak asing lagi di telingaku.

 

"Wafa sudah menyimpan rasa kepada Nak Saina semenjak pertama kali bertemu. Dan hari ini, sebagai mamanya saya mau mengutarakan isi hati anak kedua saya itu, secara langsung kepada Nak Saina."

 

Aku terkejut kembali setelah mendengar pernyataan cinta dari Dokter Yasmin barusan. Maksudnya, pernyataan cintanya Wafa.

 

Siapa, sih, Wafa? Membuatku makin penasaran saja.

 

Tadinya sempat terlintas di benakku bahwa yang mau dijodohkan dengan diri ini, ya, si Adrian itu? Ternyata ....

Alhamdulillah  ... untungnya tadi aku enggak sempat kegeeran. Apa kabarnya Dokter Adrian yang tiba-tiba main tolak secara kekanak-kanakan tadi? Apakah jika nanti mengetahui yang sebenarnya, dia tidak merasa malu bertemu denganku?

Haha. Seketika ada yang menggelitik di ruang dadaku. Ingin sekali mentertawakan sikapnya yang menggelikan tadi. Namun, takut dosa. 

Mika ... i love you too. Heemm ... bucin sekali.

 

"Nak Saina lagi tidak berhalangan, 'kan?"

 

Lamunanku akhirnya tersadar oleh pertanyaan Dokter Yasmin.

"Apa setelah ini Nak Saina ada acara?" tanyanya lagi.

 

"Oh ... tidak, Dok. Saya sedang tidak berhalangan, juga tidak ada lagi acara lain. Hanya saja, setelah ini saya mau langsung pamit, mempersiapkan makanan untuk berbuka puasa."

"Ya, sudah kalau begitu. Mari ikut saya!" ajak Dokter Yasmin seraya beranjak berdiri.

Aku mengernyit, bingung. "Kalau boleh saya tahu, mau ke mana, Dok?" tanyaku mengikuti gerakan beliau, beringsut berdiri.

"Saya ada acara buka bersama di luar. Tolong temani saya, ya?"

Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku hanya bisa mengangguk pasrah. Lebih tepatnya, diri ini tak tahu caranya menolak.

***

 

Rasa canggung yang mengungkung jiwa, membuatku membisu di dalam mobil mewah berwarna silver ini. Bingung mau membahas basa-basi apa. Lagi pula, Dokter Yasmin juga terlihat sibuk berkutat dengan tab-nya. 

 

Merasa jenuh, aku memilih menatap ke luar jendela, memindai jalanan yang padat merayap. Rasa penat yang mendera karena seharian bekerja, membuatku memejamkan mata untuk sesaat.

 

"Nak Saina apakah punya pacar?"

 

Mendengar pertanyaan itu, seketika mataku terbuka lebar, lantas menoleh ke arah Dokter Yasmin yang sedari awal duduk di sisiku.

"Saya ... enggak pacaran, Dok." Merasa aneh dengan pembahasan itu, aku hanya menjawab apa adanya.

"Cocok kalau begitu." Dokter yang menggunakan gamis lebar sama sepertiku ini sedikit meninggikan suaranya. Sontak aku tersenyum sungkan. Lagi-lagi diri ini tak tahu harus merangkai kata apa lagi.

"Wafa juga tidak pacaran. Dia anak berhati lembut dan penurut. Cocok sama Nak Saina." Bu Yasmin tiba-tiba menggenggam telapak tanganku. Membuat tubuhku membeku.

"Oh ...." Hanya dua huruf itu yang bisa keluar dari mulut ini. Betapa gugupnya aku.

 

"Nak Saina, saya sangat berharap Nak Saina jadi mantu saya. Jadi, nanti tolong dipertimbangkan anak saya, ya? Saya bisa menjamin, Nak Saina tidak akan kecewa."

 

"In-insyaAllah, Dok," jawabku diselimuti ragu-ragu.

"Alhamdulillah ...." Dokter Yasmin seakan lega mendengar jawaban asalku. 

Ya, Allah ... bagaimana jika aku nanti malah mengecewakannya? Beliau orang yang baik. Namun, aku juga harus mempertimbangkan masa depanku dengan matang. Belum tahu juga anak yang dibangga-banggakan beliau itu aslinya seperti apa. Takutnya sama saja seperti kakaknya yang bucin itu. 

"Sebentar lagi kita sampai. Hati-hati nyeberangnya, Fa."

"Iya, Ma."

"Hah?" Tiba-tiba rasa terkejut menerjang jantungku.

 

Sontak aku mendongak, menatap pada kaca spion tengah mobil. Memastikan bahwa pendengaranku sedang bermasalah.

Apesnya, tatapanku malah beradu dengan lelaki di balik kemudi yang kini tengah melepas kacamata hitamnya tadi. Dia ... terlihat sangat tampan. Melihat senyum tipisnya membuat jantung ini berdebar-debar. 

 

Astagfirullah! Apa yang sedang aku pikirkan? 

Sejurus kemudian aku mengalihkan tatapan dari kaca spion. 

 

Hening. 

 

Kurasakan wajah yang dijalari panas. Keringat dingin pun mulai terasa menguasai kedua telapak tangan. Duh, betapa malunya aku. Saking pikiran tak fokus, sampai-sampai aku tak menyadari keberadaan putera Dokter Yasmin di sini. Kupikir, yang menyetir mobil ini merupakan sopir Dokter Yasmin biasanya.

 

Haruskah aku minta diturunkan saja di sini? Atau sebaiknya ... aku lompat saja dari mobil? Oh, tidak! 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
semoga berjodoh dg wafa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status