Share

Jodoh Terbaik Sang Dokter
Jodoh Terbaik Sang Dokter
Penulis: Triyani Yuliana

Bab 1. Tiba-Tiba Dilamar

"Kamu ini anak kampung yang miskin. Enggak jelas bapakmu siapa. Sok-sokan punya cita-cita jadi dokter segala. Ngaca dulu sana! Kamu itu pantesnya jadi babu. Babunya kita-kita. Setuju, nggak, sih, teman-teman? Haha." Karin si ketua geng di kelas IPA menudingku dengan tatapan penuh kebencian.

 

"Betul itu. Nih, bawain tasku!" timpal Deva yang badannya langsing bak model papan atas.

 

"Sekolah elit kita ini, nggak pantas dimasukin gembel kayak kamu ini," sahut Novi tak kalah pedas.

 

"Yuk, kita bikin dia nggak betah sekolah di sini! Biar tahu rasa!"

 

Aku terngiang kembali dengan ucapan teman-teman SMA sekitar sembilan tahun yang lalu. Masih tersimpan rapi lontaran caci maki yang sudah menjadi makanan sehari-hari di kala itu.

 

Iya, aku memang hidup miskin. Ibuku hanyalah seorang buruh. Terkadang menjadi buruh nyuci, buruh tani, buruh bersih-bersih rumput di halaman rumah orang, maupun buruh nyetrika. Intinya, pekerjaan apa saja yang terpenting halal, ibu rela mengerjakannya. Hidupku berbeda jauh seratus delapan puluh derajat dengan teman-teman sekolahku yang kebanyakan orang tuanya kaya. Ada yang merupakan anak seorang pengusaha, seorang anak dari pegawai negeri, bahkan ada yang anaknya seorang pejabat.

 

Ketika aku mengadu kepada ibu bahwa di sekolah diri ini selalu mendapat cemoohan karena bisa diterima sekolah menggunakan jalur beasiswa tak mampu, ibu selalu menyemangatiku supaya bertahan dan lebih giat lagi dalam belajar. 

 

"Enggak usah dengerin kata orang yang menjatuhkan, Nduk. Yang terpenting kamu fokus menggapai cita-citamu. Buktikan bahwa kamu bisa. Niat dengan ikhlas, menuntut ilmu karena Allah Ta'ala. Supaya ilmunya berkah, berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Wes, pokoke kamu belajar yang rajin. Jangan lupa berdoa. Minta kemudahan sama Allah."

 

Hingga tekad kuat disertai doa orang tuaku satu-satunya itu akhirnya mampu mengantarkanku pada posisi sekarang ini. Bekerja di salah satu rumah sakit swasta ternama yang berada di Kota Jakarta.

 

"Permisi, Dok!"

 

Tiba-tiba ada yang mengetuk, kemudian membuka pintu. Membuat bayangan masa laluku membuyar seketika.

 

Aku mendongak, memastikan siapa yang mau bertemu denganku saat jam praktik telah usai. Ternyata Rani, sahabatku di sini. Perempuan berusia satu tahun di atasku itu merupakan salah satu perawat di rumah sakit ini.

 

"Iya, Ran. Ada apa?" tanyaku kemudian. 

 

"Dokter Saina, diminta Dokter Yasmin ke ruangan beliau," jawab Rani yang telah berdiri tepat di hadapanku. 

 

"Nggak usah formal gitu kalau cuman ngomong berdua. Kayak sama siapa aja," protesku.

 

"Nggak enak kalau ada yang dengar," ucap Rani setengah berbisik.

 

"Iya, udah. Terserah kamu, deh. Oh, iya. Tadi gimana? Serius, nih, aku dipanggil Dokter Yasmin?" tanyaku untuk memastikan pendengaran.

 

"Iya. Sekarang, Na!" 

 

"Sekarang? Beneran?" Aku terheran-heran. Masih belum percaya lebih tepatnya. Tak biasanya dokter senior sekaligus pemilik rumah sakit itu memanggilku untuk datang ke ruangannya. Jangan-jangan ....

 

"Iya, Na, Nona. Seribu rius."

 

"Nona apaan? Nona manis, asam, atau nano-nano?" Aku berkelakar, berupaya mengalihkan gelembung penasaran yang menguasai angan.

 

"Serius! Buruan ke sana, Dokter Cantik! Ntar malah akunya yang dipecat."

 

Aku mengernyit dahi, lantas melipat kedua tangan di atas perut. "Kok, kamu malah yang dipecat? Apa hubungannya coba?"

 

"Iya, siapa tahu Dokter Yasmin mengira aku yang nggak menyampaikan amanah dengan cepat gara-gara kamu datangnya terlambat."

 

"Iya-iya! Bentar, aku beres-beres dulu." Aku pun mulai memasukkan barang berharga ke dalam tas selempangku.

 

"Iya, udah kalau gitu. Aku permisi dulu, Na. Semangat!" Rani memamerkan kepalan tinju tangan kanannya ke udara. Membuatku membekap mulut, menahan tawa.

 

"Hei, tunggu! Kira-kira ada perlu apa, ya, Dokter Yasmin memanggilku?" Aku menahan kembali langkah Rani yang mau meninggalkan ruangan.

 

"Kalau aku tahu, pasti sudah kasih tahu dari tadi." Rani melambaikan tangan ke atas seraya membalik badan, membelakangiku.

 

"Enggak mau ngasih tempe sekalian?" tanyaku menanggapi ucapannya dengan candaan garing.

 

"Ish! Buruan! Siapa tahu mau dijodohkan sama anaknya yang ganteng itu."

 

"Ngaco!"

 

"Siapa tahu, kan?" Rani kembali menoleh ke arahku, kemudian menaikturunkan sebelah alisnya. Sementara tangan kanannya memegang handle pintu.

 

"Buruan!" perintahnya lagi.

 

"Iya, iya. Bawelnya ngalahin emak-emak."

 

"Memang sudah emak-emak, kan? Kamunya aja yang belum nikah-nikah."

 

"Iya, iya, percaya ... mentang-mentah udah punya pasangan halal aja sombong." Aku pura-pura merajuk.

 

Rani mengacungkan tangan, membentuk jari telunjuk dan tengahnya menyerupai huruf V. "Semoga kamu segera menemukan jodoh, ya? Hihi."

 

Tanpa sadar, bibirku melengkung ke atas. Ada rasa syukur yang menyelinap dalam hati karena telah dipertemukan dengan orang baik seperti dia. Meskipun ... terkadang sengklek juga. Hehe.

 

Sesaat gadis berkerudung putih itu menghilang dari balik pintu, aku bergumam. "Aamiin Yaa Robbal 'Alamiin. Semoga saja dipertemukan dengan jodoh terbaik." Aku meyakini dalam hati bahwa Allah telah menyiapkan jodoh yang tepat bagi diri ini. Entah siapa itu, aku pun tak tahu. Jodoh benar-benar misteri Illahi.

 

Mengingat kembali panggilan dari Dokter Yasmin, aku segera menyelesaikan membereskan meja. Juga merapikan berkas penting yang sempat berserakan di meja. 

 

***

 

Bergegas aku keluar dari ruangan praktikku, kemudian melangkah memasuki lift yang pintunya baru saja terbuka. Belum sempat menekan tombol ke lantai tujuan, seseorang dengan langkah terburu-buru menyusul masuk dan berdiri di sampingku.

 

Aku memutar wajah, melirik sekilas ke arah sosok lelaki yang menjulang tinggi. Menyadari siapa yang masuk, aku pun terkesiap. Dokter Adrian?

 

Mau menyapa, tapi ragu. Hingga akhirnya aku memutuskan mengunci suara saja. Pura-pura tak peduli dengan kehadiran dokter muda yang populer itu.

 

"Mau ke lantai berapa, Dok?" Dokter Adrian akhirnya membuka suara. Membuatku tertegun untuk sesaat. 

 

Kemudian aku menjawab pertanyaannya dengan tegas. "Lantai dua belas, Dok."

 

"Oh, kebetulan tujuan kita sama." Dia tampak sedikit terkejut. Mungkin dalam benaknya bertanya-tanya untuk apa aku menginjakkan kaki di lantai khusus dewan direksi. Dokter spesialis anak yang merupakan anak sulung Dokter Yasmin itu, melangkah maju, kemudian menekan tombol menuju lantai lima.

 

Aroma parfum Dokter Adrian yang maskulin terasa menyusup indera penciumanku. Membuat diri ini seketika menahan napas. 

 

Pintu lift akhirnya tertutup sempurna. Dalam diam aku menatap lurus ke depan. Beberapa detik telah berlalu. Suasana terasa canggung bagiku. Sejenak kulirik sekilas ke arah Dokter Adrian, kini dia berdiri santai. Posisiku yang sedikit mundur di sampingnya membuat kedua netra mampu menangkap jelas gerak-geriknya. Sesekali lelaki itu menyugar rambut hitamnya ke belakang. Dan sesekali dia membenarkan letak jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Hingga tak berselang lama, dia pun sibuk dengan ponselnya, mengangkat panggilan telepon yang baru saja menyapa telinga.

 

"Halo, Mika."

 

"...."

 

"Malam Minggu?"

 

"...."

 

"Baiklah. Tunggu, ya, Sayang? Aku pasti jemput kamu."

 

"...."

 

"Aku juga rindu kamu, Sayang."

 

"...."

 

Aku bergeming. Ingin menggaruk kepala yang tak gatal, tetapi takut disangka kutuan. Entah mengapa ... aku serasa mengalami momen akward di lift ini. Seolah menjadi obat nyamuk yang berada di antara dua orang yang lagi dimabuk kasmaran. Apa Dokter Adrian enggak malu, mengumbar kata mesra seperti itu di hadapanku? Mana bulan puasa lagi. Atau jangan-jangan ... lelaki berkemeja abu-abu ini enggak menganggapku ada?

 

"Oke, bye, Mika. Love you too. Mmuach."

 

Panggilan singkat itu akhirnya berakhir.

 

Aku tersenyum miris sembari menggeleng pelan. Ah, zaman sekarang memang zaman penuh kebebasan. Mengatasnamakan cinta, hingga lupa segalanya. Lupa dosa. Lupa tempat. Mungkinkah cinta benar-benar segila itu?

 

Fix, kekagumanku terhadap dokter yang katanya ramah dan viral di sosial media atas segala prestasinya itu berkurang 25 persen kadarnya. Padahal tadinya cuman ngefans 30 persen saja. Haha.

Suara denting lift akhirnya menyelamatkan hatiku dari segala prasangka. Aku segera melangkah keluar, menuju ruangan Dokter Yasmin yang merupakan direktur utama rumah sakit ini. Menyadari seperti ada yang membuntuti, sontak aku menghentikan langkah. Kemudian, membalik badan.

Rupanya Dokter Adrian juga ingin menemui ibunya. Seolah tidak menghiraukanku, lelaki yang masih fokus berkutat dengan ponselnya itu berjalan santai mendahuluiku, mengetuk pintu sesaat, kemudian memasuki sebuah ruangan yang baru saja dibukakan oleh seorang perempuan berhijab. Kutahu dia merupakan asisten Dokter Yasmin. 

 

Aku menggigit bibir, haruskah aku masuk sekarang juga? Rasanya malas sekali seruangan dengan dokter ganteng yang ternyata kelewat bucin itu.

 

"Dokter Saina!" Dokter Adrian kembali keluar, memanggilku. Membuat jantungku terlonjak seketika.

 

"Iya?"

 

"Nama kamu dokter Saina, kan?"

 

"Iya, Dok."

 

Oh, rupanya dia tak mengenali namaku. Ke mana saja dia selama dua bulan ini? Aku memang terhitung orang baru di sini. Baru mulai bekerja sekitar dua bulan yang lalu. Jadi maklumlah, kalau orang yang super sibuk karena sering diundang siaran langsung di televisi itu tak mengenaliku.

 

"Sudah ditunggu Mama di dalam."

 

"Oh, iya, Dok."

 

Setelah mengucap salam, aku melangkah masuk.

 

"Selamat sore, Dok." Aku mengulas senyum sopan kepada wanita paruh baya yang tengah duduk di kursi putar kebesarannya.

 

"Selamat sore, Dokter Saina. Mari silakan duduk!" Dokter Yasmin menyapaku hangat. Beliau bangkit dari singgasananya itu, kemudian melangkah anggun menuju sofa tamu berwarna putih yang menampilkan design elegan.

 

"Mari, silakan duduk di sini, Dok."

 

Aku menelan ludah mendengar permintaan kedua oleh wanita berkharisma itu. Haruskah aku juga duduk di sana?

 

Kulirik sekilas, Dokter Adrian yang telah menempati sofa panjang di samping ibunya itu menatapku penuh kerutan di dahi. Seolah mempertanyakan segala tingkahku.

 

Menepis ragu, aku pun melangkah perlahan. Lantas diri ini menduduki sofa single yang berhadapan langsung dengan dokter cantik yang berkhimar maroon itu.

 

Hening beberapa saat. Ketika diri ini ingin membuka tanya, Dokter Adrian telah lebih dulu memulai.

 

"Ada perlu apa, Ma?"

 

Dokter Yasmin mengulas senyum yang menawan. "Mama hanya ingin mengucapkan selamat atas pencapaian kalian berdua."

 

Aku ternganga. Maksudnya pencapaian? Bukankah aku baru saja bekerja di sini dua bulan?

 

"Berkat kinerja kalian berdua yang sangat baik, banyak komentar positif yang masuk ke rumah sakit ini." Dokter Yasmin kembali melanjutkan perkataannya. Sedangkan aku hanya menyimak saja. Tak tahu harus menanggapi apa. 

 

"Dokter Saina, berapa usia kamu, Nak?"

 

Tak urung aku terkejut mendengar panggilan Nak yang ditujukan padaku. 

 

"Mmm ... usia saya dua puluh lima tahun, Dok."

 

"Masih muda, ya?" 

 

Aku hanya menanggapi dengan senyuman.

 

"Sudah siap nikah?"

 

"Hah?" Aku meremas telapak tangan yang telah basah oleh keringat dingin. Kenapa Dokter Yasmin bertanya begitu kepadaku?

 

"Kalau sudah siap, InsyaAllah saya mau menjodohkan Nak Saina dengan anak saya. Apakah Nak Sania bersedia?"

 

Deg! Jantung di dalam sini seolah berhenti berdetak untuk sesaat. Kemudian detaknya berubah sangat kencang. Hingga membuat dadaku serasa meledak.

 

Apa kata Dokter Yasmin tadi? Mau menjodohkanku dengan anaknya? M--maksudnya dengan Dokter Adrian yang bucin itu? Ah, tidak mungkin! Tidak tidak tidak. Tanpa sadar aku menggeleng-geleng. 

 

"Nak Saina?" Panggilan Dokter Yasmin yang lembut itu mampu membuyarkan batinku. 

 

"Eh? Iya, Dok!" Aku tersenyum canggung. 

 

Ya, Allah ... rasa apa ini? Kenapa aku jadi gugup begini? Seluruh wajahku terasa panas sekali. Apakah Dokter Yasmin saat ini tengah menggodaku? 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
seruh thoer ku tunggu up nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status