Share

Bab 3. Aku Terjebak dengan Lelaki Memesona

Mobil yang kutumpangi akhirnya berhenti di parkiran sebuah restoran Chinese halal yang sangat terkenal di Kota Jakarta. Selain tempat makan ini memiliki kecantikan dan kemewahan design interior beserta arsitekturnya, makanan yang disediakan pun berbeda dengan restoran Chinese yang lain. Di sini menyediakan Chinese food kombinasi Japanese food. 

 

Kenapa aku bisa tahu se-detil itu? Karena informasi tersebut sempat beredar dan hangat dibicarakan oleh perawat di setiap sudut ruang rumah sakit. Hingga mau tak mau telingaku menangkapnya kemudian mentransfer ke memori.

 

"Mama turun dulu, ya, mau ke toilet sebentar. Kamu langsung ke lokasi saja sama Nak Saina!"

 

Aku terperanjat seketika. Dokter Yasmin benar-benar menempatkanku dalam posisi yang tak terduga.

 

"Iya, Ma." Anak bungsunya itu berucap santai seraya mematikan mesin mobil.

 

"Nak Saina masuk sama Wafa, ya? Maaf, saya buru-buru." Dokter Yasmin beralih memohon kepadaku seraya menepuk bahu kiri ini dengan pelan.

 

"Eh, t-tapi, Dok--" 

 

"Ndak apa-apa. Jangan khawatir, Nak Saina! Wafa enggak bakalan nyulik kamu, kok. Hihi."

 

Aku ingin memprotes, tetapi wanita yang awet muda dan cantik itu seolah tak memberi kesempatan kepadaku. Apa memang beliau sengaja mengerjaiku? Ah, jangan susudzan, Saina! Siapa tahu Dokter Yasmin memang benar-benar kebelet.

 

"Kita bertemu di dalam, ya, Nak."

 

Dengan tergesa-gesa Dokter Yasmin meninggalkan kami begitu saja. Seketika aku menganjur napas lesu. Benar-benar terpaksa pasrah.

 

"Mari turun, Dok." Wafa membuka pintu mobil dan keluar terlebih dahulu.

 

"Oh, iya." Aku meremas ujung jilbab yang kupakai, menarik napas dalam-dalam, kemudian melepaskannya dengan kasar. Selama hidup aku belum pernah segugup ini jika berhadapan dengan lelaki. Iya, karena aku memang selalu menjaga jarak dengan pria mana pun yang mau mendekati.

 

Pada saat ingin membuka pintu, lagi-lagi aku terkejut. Pintu tiba-tiba saja dibuka dari luar oleh Wafa. Aku merutuki dirinya dalam hati. Betapa berbakat sekali membuat jantung orang lain copot. 

 

Sepersekian detik pandanganku beradu dengannya. Membuat wajahku tiba-tiba dihantam rasa panas. 

 

"Silakan, Dok." Senyumnya yang menawan seolah mampu mengalihkan duniaku. Aku pun segera menunduk, menyelamatkan hati yang semakin salah tingkah.

 

"Terima kasih." Aku mengangguk kecil seraya keluar dari mobil. Lantas memegang dada yang berdebar luar biasa.

 

Ya, Allah ... kenapa seluruh organ dalam tubuhku jadi bersikap aneh begini? 

 

***

 

Semua mata orang-orang yang berada di tempat parkir tertuju padanya. Hingga rasa tak nyaman yang menyelimuti hati membuatku melangkah kaku. Menyisakan jarak sekitar satu meter di samping lelaki berwajah oriental itu. 

 

Sementara aku merasa canggung dengan situasi ini, Wafa malah berkebalikan denganku. Dia berjalan begitu santai dengan wajah menatap lurus ke depan. Penampilannya yang maskulin dan berkelas, membuatku terpikir untuk menyamakannya dengan seorang artis. 

 

Iya, bagiku dia lebih mirip dengan artis Korea yang mau bertemu dengan penggemarnya.

 

"Selamat sore, Pak," sapa seorang pegawai yang bertugas menyambut tamu di depan.

 

"Sore."

 

"Mau saya antar ke dalam?"

 

Wafa menolak halus dengan isyarat lambaian tangan.

 

Hampir mirip dengan Dokter Adrian, kuamati sekilas sikap Wafa juga ramah dengan siapa saja. Dia menjawab ramah sambutan hormat dari para pegawai yang menurutku berlebihan.

 

Melewati pintu masuk, lagi-lagi semua mata tertuju padanya. Para koki yang tengah memasak di dapur terbuka juga menghentikan aktifitasnya seketika. Mereka membungkukkan badan, kemudian setelah Wafa berlalu, mereka kembali melanjutkan memasak.

 

Pada saat dia berhenti di tengah-tengah dapur, dan mengajak salah satu koki berbicara, aku tertegun seketika. Tiba-tiba otakku terbersit sesuatu.

 

Wafa.

 

Bukankah nama owner restoran yang menghebohkan para perawat itu juga bernama Wafa? Kalau enggak salah ... Wafa Wijaya.

 

Astagfirullah!

 

Lagi-lagi otakku terhubung dengan sesuatu.

 

Adrian Wijaya dan Wafa Wijaya.

 

Jadi, restoran ini milik lelaki yang tengah berbincang dengan para koki itu? Lelaki yang katanya menyukaiku? Oh, tidak mungkin! Ini pasti mimpi.

 

Aku menelan ludah gugup. Hidupku akhir-akhir ini benar-benar dipenuhi oleh kejutan.

 

"Dok!" 

 

Aku terkesiap. Lamunanku pun buyar ketika mendengar panggilan dari lelaki yang tengah mengusik pikiran.

 

"Mari, Dok, ke arah sini!" Wafa kembali meneruskan langkah dan menunjukkan jalan kepadaku.

 

Diselimuti setengah ragu, aku pun mengikuti gerakannya. 

 

Di tengah-tengah restoran, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan ini begitu luas. Design oriental yang terkesan mewah dan megah begitu terasa ketika semakin tenggelam ke dalamnya. Uniknya, tempat duduk di sini terdiri dari pondok-pondok bertingkat yang menyerupai bangunan di Jepang. Kulihat ada pengunjung yang sudah duduk di tempat lesehan pada bagian bawah, ada pula yang tengah berjalan menuju ke atas.

 

"Sudah pernah ke sini, Dok?"

 

Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, sontak aku menoleh ke arah sumber suara. Siapa lagi kalau bukan Wafa.

 

"Belum," jawabku kemudian.

 

"Mau saya temani berkeliling? Untuk melihat-lihat mungkin." 

 

Aku tercengang. Apakah sedari tadi dia melihatku mengamati interior di sini? Duh, betapa memalukan sekali!

 

"Mmm ...." Aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang ajakannya terlebih dahulu.

 

"Masih ada waktu sekitar setengah jam untuk berbuka puasa," ucapnya seraya melihat waktu yang tertera pada arloji yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya.

 

"Enggak usah, Pak Wafa. Kasihan Dokter Yasmin. Pasti beliau sudah menunggu Pak--"

 

"Wafa," sahutnya tiba-tiba.

 

"Hem?" Aku menatapnya penuh tanya. 

 

"Panggil saja Wafa, Dok! Saya pikir ... panggilan itu bisa membuat kita lebih akrab," ucapnya disusul dengan senyuman   tulus yang membuat kedua matanya menyipit.

 

Aku menggigit bibir bawah, lagi-lagi wajahku terasa dihantam panas.

 

"Oh ... begitu. Tapi, saya pikir ... terkesan kurang sopan. Saya panggil Pak Wafa saja, ya?" Aku memulai bernegoisasi.

 

"Mmm ... kalau Kak Wafa saja gimana?" tanyanya dengan nada santai seraya mengangkat sebelah alisnya.

 

"Ap-apa?" Aku tergagap-gagap seketika. Semburat rasa malu terasa menyirami jiwaku. Ya, Allah ... aku selalu bisa mengontrol hati ketika menghadapi pasien laki-laki. Kenapa sekarang jadi aneh begini?

 

Akhirnya aku hanya menanggapi dengan senyuman. 

 

Bisa dikatakan ... senyuman palsu mungkin.

 

***

 

Kami akhirnya memutuskan berjalan-jalan. Melihat-lihat ke sekeliling restoran sambil menunggu waktu berbuka. Ketika tadi aku sempat menolak ajakannya dengan alasan bahwa Dokter Yasmin telah menunggu, Wafa langsung meminta izin kepada mamanya itu. Dan tentu saja langsung diizinkan, karena katanya suami Dokter Yasmin juga sudah menemani di dalam.

 

Kini, kami tengah sampai di depan masjid restoran. Design dan arsitekturnya tak kalah indah. Letaknya di samping taman restoran, menghadap ke arah jalan raya.

 

"Berarti benar, restoran ini milik Pak Wafa?" tanyaku memastikan padanya.

 

"Kak Wafa," sahutnya cepat. Rupanya dia tak pantang menyerah begitu saja.

 

"Iya, deh." Akhirnya aku terpaksa mengalah. Daripada enggak kelar-kelar urusannya.

 

"Iya, apanya, Dok?" tanyanya diiringi senyuman lebar. Puas sekali sepertinya.

 

"Sudahlah! Enggak selesai-selesai membahas itu," jawabku dengan nada kesal. Tepatnya menutupi segala rasa yang bergelung di dada.

 

"Makanya, nurut!" celetuknya tiba-tiba.

 

Sontak aku mengernyit dahi. "Belum apa-apa sudah nyuruh-nyuruh," omelku.

 

"Belum apanya, Dok?" tanyanya serius. 

 

"Belum ...."

 

Jleb!

 

Dan ternyata ... aku pun terjebak.

 

Oh, tidak!

 

Aku mengembus napas kasar, kemudian menatapnya sekilas.

 

"Kita langsung ke tempat Dokter Yasmin saja!"

 

Wafa terlihat terkejut dengan ajakanku. Seolah dihantam rasa bersalah, dia pun hanya menjawab dengan anggukan lemah. 

 

"Maaf, Dok," ucapnya kemudian. 

 

Hening tiba-tiba menguasai pembicaraan.

 

Melihat rautnya yang berubah dingin, tiba-tiba saja relung jiwaku diselimuti rasa bersalah. 

 

Hingga aku berpikir, aku harus segera melakukan sesuatu. Kalau tidak, bisa-bisa dia mengadu ke mamanya itu. Terus, takutnya aku langsung dipecat. Kan malah jadi repot?

 

"Kak Wafa, panggil saja Saina! Puas?"

 

Setelah berucap begitu, lagi-lagi hatiku meringis. Malu.

 

Kulirik dengan ekor mata, raut wajah Wafa kembali cerah. Dia menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Memamerkan ceruk di kedua pipinya itu seraya bergumam. "Manis." 

 

Ish, dasar! 

 

Aku pun bergegas melangkah lebar-lebar, meninggalkannya.

 

"Hei, Saina! Bukan ke situ!" Panggilnya dengan menaikkan suara. 

 

"Bodo amat!" sahutku tak peduli.

 

Bukan ke situ katanya tadi? 

 

Bodo!

Eh? Tunggu!

Langkahku terpaku seketika, menyadari sesuatu.

 

Mengabaikan rasa malu, aku membalik badan, menatapnya penuh kekesalan.

 

Sementara lelaki, yang meminta dipanggil Kak Wafa itu mengarahkan jari telunjuk tangan kirinya ke jalan yang berada di sisinya, seraya terkekeh-kekeh enggak jelas. Minta diapakan tuh orang? Menyebalkan!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
sama Wafa aja setuju
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status