Share

Bab 4. Meminta Waktu

Jantungku kembali berdetak kencang ketika Wafa, eh, maksudku Kak Wafa mengajakku menaiki tangga yang menjadi penghubung antara dua gazebo segi enam berlantai dua. Letak gazebo yang berada di tengah-tengah restoran membuatku semakin tak nyaman dengan tatapan orang-orang di sekeliling.

"Jangan melamunkan saya terus, Saina!" ucap Kak Wafa santai seraya berhenti dan bersandar pada pegangan tangga. Dia menoleh ke arahku, lalu melipat tangan di depan dada dengan senyuman ... memesona. Membuatku terpana untuk sesaat.

"Saya pulang saja, ya?" pintaku sambil beralih menatap guci besar dan tinggi yang posisinya berada di sisi kiri tangga. Diri ini mencoba mengurai rasa gugup yang mendera jiwa dan raga oleh ucapan dia yang melantur itu.

Sejenak hening, tiba-tiba ....

"Aduh!"

Aku menoleh seketika, kemudian memperhatikan dia yang tengah meringis sambil memegang dada kirinya.

"Kak Wafa sakit?" tanyaku diliputi rasa khawatir.

"Apanya yang sakit?" tanyaku lagi seraya memangkas jarak, hingga menyisakan jeda tiga anak tangga dengannya. Tentu saja hanya untuk memeriksa kondisi dia yang terlihat kesakitan. 

Tangga kayu ini sebenarnya muat untuk dilalui dua orang. Akan tetapi, harus dalam posisi saling berdempetan. Jadi, untuk menjaga diri dari bersentuhan, aku memilih berjalan setelahnya.

"Sepertinya jantung saya yang bermasalah, Dok," jawabnya kemudian. 

Aku terkejut dengan keluhannya. Hingga rasa kemanusiaan yang ada di dalam sini membuatku harus cepat-cepat melakukan tindakan.

Pada saat kaki ingin melangkah menaiki satu anak tangga lagi, dia malah menghentikanku secara tiba-tiba. "Jangan dekat-dekat, Dok!"

Sontak aku mematung, menatapnya penuh khawatir dan tanda tanya.

"Coba ulurkan tangannya saja!" pintaku tak paham dengan jalan pikirannya itu. Dia pikir, aku mau ngapa-ngapain gitu?

Melihat dia diam begitu saja seraya menghindari tatapan ini, aku pun memicingkan mata. Mulai mencurigai sesuatu.

Atau jangan-jangan ... dia takut diperiksa?

"Masih sakit enggak?" tanyaku kemudian.

Lagi-lagi tak mendapat respon darinya.

Perlahan aku memundurkan diri, kembali menuruni dua anak tangga. Barangkali, dia memang tak nyaman dekat-dekat denganku.

Pada akhirnya lelaki berhidung mancung itu menoleh, menatapku lekat-lekat. "Masih sakit, Dok." Dia berucap datar. Seolah benar-benar sudah tak tahan dengan rasa sakitnya.

"Bagian mana yang sakit?" Aku bertanya lagi dengan diliputi kecemasan. 

Hening. 

"Jantung saya, Dok. Nyeri sekali." Kak Wafa berujar dengan nada serius.

Kubalas tatapannya itu untuk mencari suatu tanda kebohongan. Namun, tak kutemukan sama sekali. Sepertinya dia benar-benar sakit dan segera butuh pertolongan. 

"Dari tadi detaknya cepat sekali, Dok. Sampai-sampai membuat dada saya rasanya sakit. Dokter juga ngerasain enggak?"

Tiba-tiba aku menelan ludah gugup. Jujur, aku pun merasakan detak jantung yang berdebar tak normal. Sampai-sampai terdengar memekakkan telinga sendiri. Namun, tak sampai sesakit itu, sih.

"Ka-Kak Wafa punya riwayat sakit jantung? Ayo, saya antar ke rumah sakit saja jika enggak mau saya periksa! Atau Kak Wafa mau diperiksa sama Dokter Yasmin?" Pada akhirnya aku mengeluarkan rentetan kalimat tanpa sempat memberi jeda sama sekali.

Sedangkan dia malah semakin menatapku dalam-dalam, membuatku membalasnya dengan serius. 

"Obatnya hanya satu, Dok."

"Apa obatnya?" tanyaku seperti orang bodoh.

Hening lagi. 

Dengan kekhawatiran yang membumbung tinggi, aku berusaha bersabar menunggu jawaban dari bibirnya itu.

"Obatnya ... Saina bersedia menjadi istri Kak Wafa." 

"Ap-apa?" Aku pun terkesiap. Jantung di dalam sini seakan mau lepas begitu saja. Tiba-tiba seluruh wajahku terasa panas membara.

Sementara dia malah terkekeh-kekeh enggak jelas. 

Menyadari bahwa dia hanya mengerjaiku, aku mendengkus sebal. Dalam hati bertekad, enggan menanggapi ucapannya lagi. Kalau diterus-teruskan bakalan tidak baik bagi kesehatan jantung dan hati. Lagi pula, berduaan seperti ini jelas-jelas mengundang hawa nafsu setan. Apalagi ini bulan puasa, aku tak ingin menambahi dosa-dosa yang sudah menggunung. Astagfirullah ... ampuni hamba-Mu yang khilaf ini, Ya Robb ....

Sejurus kemudian lelaki yang tersenyum puas itu kini memutar badan, meneruskan langkahnya ke atas hingga memasuki gazebo. Sedangkan aku masih berdiri mematung di anak tangga tempat terakhirku berpijak. Masih terpana, terheran-heran, malu, menyesal, campur aduk rasanya.

Setelah langkahku sampai di ujung tangga, kecamuk rasa kembali menghantam dada. Antara siap dan tak siap bertemu dengan papanya Kak Wafa. Apalagi mengingat diri ini belum memiliki pengalaman sama sekali yang berhubungan dengan percintaan dan perjodohan. Atau lebih baik aku balik saja?

Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku seperti orang linglung. Benar-benar gugup, deg-degan dan ... entah. 

"Ini nah, Pa. Calon istrinya Wafa."

Aku tercengang. Ucapan Dokter Yasmin barusan benar-benar membuatku jantungan.

Sejurus kemudian aku menatap penuh selidik pada lelaki menyebalkan yang tengah duduk di samping papanya itu. Apa-apaan ini, Kak? Tolong jelaskan!

Seolah tak merasa berdosa sedikit pun, Kak Wafa hanya mengedikkan bahu seraya melempar senyum manis. Ish!

"Sini, Nak, duduk!" Dokter Yasmin lantas menepuk-nepuk tempat duduk yang kosong di sebelahnya.

Aku mengangguk ramah seraya mengucap salam. Setelah mendapat jawaban, lantas aku beringsut melangkah memasuki gazebo yang mereka tempati. 

Posisiku yang kini berhadapan langsung dengan Kak Wafa, membuatku mengalihkan wajah darinya. Kedua mata ini lebih memilih memindai ke luar pembatas gazebo. Mengamati sekeliling restoran yang benar-benar di-design indah sedemikian rupa. 

"Ini ... yang kata Mama dokter baru itu?"

"Iya, Pa."

Aku hanya menyimak perbincangan antara pasangan suami istri itu. 

"Namanya siapa, Dok?" tanya pria paruh baya berkacamata itu kepadaku.

Lidah yang tiba-tiba terasa kelu berusaha keras untuk kugerakkan. "Nama saya Saina, Pak."

"Oh, Dokter Saina," gumamnya seraya mengangguk-angguk. Kemudian beliau kembali berucap, "Kenalkan, saya Adi papanya Wafa dan Adrian,"

"Salam kenal kembali, Pak," jawabku singkat seraya mengurai senyum tipis serta menangkup kedua tangan di dada.

Sejenak beliau tampak berpikir, membuat rasa cemas di dalam sini kembali meningkat.

"Kalau tidak salah dengar, Dokter Saina ini wisudawan termuda dan lulusan kedokteran terbaik di yayasan rumah sakit Islam itu bukan?" tanyanya lagi.

Aku sempat terkejut dengan pertanyaan papanya Kak Wafa itu. Namun, aku segera menguasai diri dengan baik. "Benar, Pak."

"Dokter Saina ini benar-benar calon istri idaman 'kan, Fa?" Dokter Yasmin seketika membuat tenggorokanku tercekat.

"Alhamdulillah, Ma. Minta restu dan doanya saja, ya, Ma, Pa."

Aku tercengang lagi. Jawaban Kak Wafa yang terdengar santai dan sungguh-sungguh itu membuatku benar-benar syok. Apa-apaan ini? 

Tanpa sadar aku meremas gamis yang kupakai. Tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku benar-benar terjebak dalam situasi yang rumit.

"Oh, iya. Bagaimana kalau kita segera menentukan tanggal pernikahan mereka berdua, Pa? Lebih cepat lebih baik bukan?"

Hah? Aku tercengang bukan main. 

"Papa setuju, Ma. Niat baik harus disegerakan. Apalagi sudah ada calonnya di depan mata."

"Ap-apa?" Aku terkejut lagi. Jantung di dalam sini benar-benar hampir jatuh dari tempatnya. Dokter Yasmin beserta anak bungsunya itu seperti telah bersekongkol mau merontokkan seluruh isi dadaku. Gawat! Benar-benar gawat!

Pada akhirnya aku hanya bisa diam dalam keterkejutan. Hanya untuk memastikan bahwa jantung di dalam sini selamat dari hal-hal yang tak diinginkan. 

***

Seusai makan bersama, aku bergegas pulang menggunakan jasa taksi online. Selain beralasan ingin segera Salat Tarawih di kost-an, aku ingin cepat-cepat membersihkan diri. Dokter Yasmin sebenarnya sempat memaksaku supaya diantar pulang oleh Kak Wafa, tetapi aku langsung menolak halus. Dalam hati memutuskan untuk tak ingin lagi berdua-duaan dengan lelaki itu. Sebelum diri ini benar-benar dihalalkan.

Penerimaan keluarga Kak Wafa yang tulus itu akhirnya berhasil menggerus keraguanku. Dilihat juga dari bagaimana Kak Wafa memperlakukan kedua orangtuanya, membuat hatiku berangsur luluh. Setitik keyakinan menyinari sanubari, bahwa dia merupakan calon imam yang bisa mengisi kekosongan hati dan mampu membimbingku ke arah yang lebih baik. 

Mengingat saat ditanya kesediaanku untuk menikah dengan Kak Wafa, aku meminta waktu seminggu untuk menunaikan Salat Istikharah. Aku berharap mendapat petunjuk dari Allah sebelum benar-benar memutuskan. Jangan sampai memilih pasangan hidup karena terburu-buru oleh nafsu semata. Seperti kata ibu, aku harus melibatkan segala urusanku kepada-Nya. Terlebih, ini merupakan hal penting yang menyangkut dengan ibadah terpanjangku. Terkadang apa yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Allah. Pun sebaliknya. Apa yang menurut kita buruk, belum tentu buruk di mata Allah. 

***

Malam kian merangkak tua. Setelah menunaikan Salat Istikharah dan bermunajat, aku pun segera melepas penat dengan beristirahat. Sebelum benar-benar memejamkan mata, aku berharap masa depan cerah dan dipenuhi berkah menyambutku di setiap harinya. Seperti halnya harapan ibuku dalam setiap sujud-sujud panjangnya semasa dulu, ketika aku menuntut ilmu.

Hingga tiba-tiba ... bayangan sosok ibu semakin memenuhi ceruk memoriku. Nyanyian rindu kian menyergap sanubari ini. Membuatku sepi. Semakin sepi dalam kesendirian. 

Ibu ... Saina rindu pelukanmu. Saina rindu akan belai kasih sayangmu. Saina rindu tutur katamu yang lembut. Saina rindu kehadiranmu di setiap langkah-langkah hidupku. Saina rindu semua yang ada padamu, Ibu. 

Tanpa terasa bulir bening sudah membasahi pipi ini. Lagi-lagi merasakan kerinduan yang tak bertepi. 

Dengan jiwa yang bergetar, batinku kembali bermunajat kepada Allah. 

Duh Allah ... hamba mohon ampuni dosa-dosa ibu. Terimalah segala amal ibadahnya. Dan tempatkanlah ibu di dalam surgamu. Aamiin.

Di tengah-tengah kekhusukanku berdoa, tiba-tiba saja bayangan senyum yang penuh pesona itu kembali berkelindan di benak. Lantas batin pun merutuki diri. 

Duh, Kak Wafa! Kenapa kehadiranmu yang tiba-tiba itu berhasil memporak-porandakan hatiku? Bikin hari-hariku tak tenang saja. Apa kamu memakai pelet? Argh ... menyebalkan!

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Isabella
semoga berjodoh dg wafa. di saat bersamaan Adrian juga suka tapi telat
goodnovel comment avatar
Jusnah Tohar
lanjut up say
goodnovel comment avatar
Isabella
keren ku tunggu thoer
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status