Khania berlari menyusuri lorong rumah sakit. Ia begitu terburu-buru dan hatinya sangat tidak tenang. Beberapa kali ia bertabrakan dengan orang-orang yang sedang berlalu lalang di lorong itu, tapi ia sama sekali tidak peduli.
Di ujung lorong, Khania melihat ibu Astika yang sedang menangis histeris. Menyadari kedatangan Khania, matanya langsung mengeluarkan tatapan membunuh.Khania tertegun saat melihat orang yang selama ini sangat membencinya menatap dia dengan tatapan itu. Namun, Khania berusaha untuk berani. Tanpa menghiraukan tatapan itu, Khania berjalan menghampiri orangtua Albi. Namun ...PLAKKKKK!!Ibunya Albi menampar keras pipi Khania, sampai menyebabkan Khania terhuyung dan nyaris jatuh."Dasar wanita sialan! Ini semua gara-gara kamu! Gara-gara kamu, anak saya jadi meninggal! Kembalikan anak saya! Kembalikan dia!!" teriaknya lalu menarik Khania dan memukul-mukul tubuh Khania dengan brutal.Pak Erwin, ayah dari Albi yang melihat Khania kesakitan mencoba menahan istrinya agar dia tidak semakin menyakiti Khania."Lepas, Pi! Biar Mami hajar wanita pembawa sial itu sampai mati!" Ibu Astika memberontak dan mencoba melepaskan diri dari Pak Erwin untuk bisa menghajar Khania lagi."Cukup, Mi! Anak kita meninggal bukan karena Khania. Ini semua sudah takdir Tuhan. Kita tidak boleh menyalahkan Khania." ucap Pak Erwin mencoba menenangkan istrinya itu."Kenapa Papi bela dia?! Sudah jelas-jelas anak kita meninggal gara-gara wanita sialan itu! Dia wanita pembawa sial, Pi! Seharusnya dia saja yang mayi, bukan anak kita!" Ibu Astika meraung-raung di depan pintu UGD."Mi, jangan teriak-teriak, ini di rumah sakit!" ucap Pak Erwin lagi pada istrinya. Dia merasa tidak enak dengan orang-orang yang sedang menatap mereka."Biarin, Pi!! Biar semua orang tau kalau wanita itu yang sudah menyebabkan anak kita meninggal! Pergi kamu dari sini! Saya tidak sudi .elihat wajahmu itu! Pergi!"Di kejauhan, lelaki yang tadi membawa Albi ke rumah sakit hanya diam menyaksikan perkelahian itu. Melihat kejadian itu, dia bisa menyimpulkan kalau wanita yang berpenampilan kacau itu adalah istrinya Albi.Khania lalu bersimpuh di kaki ibunya Albi. Dia memohon agar dia bisa bertemu dengan Albi walaupun sebentar, dan tentu saja ibu Astika tidak mengizinkan Khania melihat Albi. Ibu Astika mendorong Khania dengan begitu kasar sampai Khania jatuh tersungkur di lantai."Khania, lebih baik kamu pergi saja dari sini. Maaf, bukannya Papi ingin mengusir kamu, tapi ini semua demi kebaikan kamu dan juga Mami." ucap pak Erwin pada Khania dengan lembut. Sebenarnya dia kasihan juga terhadap Khania, namun apalah daya jika sang istri sudah berkehendak dia pun tak bisa berbuat apa-apa.Khania dengan terpaksa melangkah pergi dari sana dengan hati yang sakit. Khania tidak pernah menyangka jika lelaki yang baru saja menikahinya beberapa jam yang lalu telah meninggalkannya seorang diri. Andai saja kalau dia tadi mencegah Albi untuk pergi keluar, sudah pasti dia sekarang masih berada di sisinya, ah, tidak, andai saja dia menolak menikah dengan Albi, pasti semua ini tidak akan terjadi.Khania tidak menyadari, ketika ia berjalan pergi dari rumah sakit, ada seseorang yang terus mengamatinya.**Setibanya di rumah, Khania menangis sejadi-jadinya sambil terduduk di lantai kamar. Seharusnya sekarang adalah malam pertama untuk dia dan Albi. Namun, itu hanya akan menjadi angan-angan saja untuk Khania, karena sekarang dia tidak akan pernah melihat Albi lagi untuk selamanya.Khania lalu melihat sekeliling kamar yang sudah dihias begitu indahnya. Ada banyak foto-foto Albi dan Khania di atas ranjang bersama bunga mawar yang bertaburan. Khania lalu mengambil satu persatu foto itu dan memeluk foto itu dengan erat.Khania menangis saat dia teringat akan kenangan manis yang dia lalui bersama Albi, dan saat dia mengingat kembali perjuangan mereka mempertahankan hubungan mereka yang ditentang ibunya Albi. Terlalu banyak momen yang sudah dia lewati bersama Albi dan kini harus kandas begitu saja tanpa ucapan perpisahan yang terucap dari Khania maupun Albi.Khania lalu bergegas pergi. Dia bertekad menemui Albi untuk yang terakhir kalinya. Apa pun yang akan terjadi di sana, Khania tidak akan menyerah."Aku akan menemanimu sampai ke tempat peristirahatanmu yang terakhir, meskipun aku harus mati di tangan ibumu." batinnya."Iya Nek, aku positif hamil," jawab Khania dengan lesu."Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah Engkau telah memberikan kepercayaan lagi pada cucu dan cucu menantuku," ucap nenek dengan senang. "Efgan pasti akan sangat bahagia dengan kabar gembira ini, dan Kai pasti akan sangat senang dia kalau tau akan segera punya adik," Khania tampak tak senang."Kamu kenapa kok wajahnya seperti tidak senang gitu?" tanya nenek yang menyadari dengan raut wajah Khania yang ditekuk."Nia takut Nek," ucap Khania jujur."Apa yang kamu takutkan sayang?" tanya nenek dengan lembut."Nia takut, apa yang terjadi pada kehamilan Nia dulu nanti terulang lagi," "Sssttt, kamu gak boleh bilang begitu. Keadaan dulu dan sekarang itu berbeda. Kamu gak usah takut dan khawatir. Karena kita semua pasti akan menjaga kami dan anak yang asa di dalam kandungan kamu ini. Kamu sekarang jangan berpikiran yang buruk-buruk. Buang jauh-jauh pikiran itu dan kamu harus happy dengan kehadiran cicit Nenek ini," ucap nenek sambil menge
"Aku kenapa Nek?" tanya Khania penasaran."Apa mungkin kamu kesambet Nia? Jangan-jangan kamu itu kemasukan jin buto ijo?" ucap nenek ngawur.Khania yang mendengar itu sontak terbelalak.Pak supir yang mendengar ucapan nenek mengulum bibirnya. Ia ingin tertawa. Namun, tak berani."Ma-maksud Nenek apa? Kenapa Nenek bisa berpikiran seperti itu?" tanya Khania yang terkejut."Ya habisnya tingkah kamu itu gak biasa. Kamu biasanya gak pernah makan banyak. Tapi, hari ini Nenek lihat kamu makan banyak," ucap nenek.Khania nampak berpikir, ia mencerna ucapan nenek."Iya juga ya Nek! Aku juga merasa aneh Nek dengan diri aku belakangan ini," ucap Khania."Ya udah. Besok kita ke pak ustad buat Ruqyah kamu," usul nenek.Khania pun mengangguk-anggukan kepalanya."Iya Nek, boleh," sahut Khania.Setelah percakapan itu, tak ada lagi yang berbicara mau itu nenek ataupun Khania. Mereka sama-sama terdiam dengan pikirannya masing-masing.Sampai akhirnya mob
Malam harinya.Khania yang seharian ini bad mood hanya diam seharian di dalam kamar. Semua orang yang khawatir dengan Khania. Mereka semua berusaha membujuk Khania agar keluar kamar dan makan. "Sayang, buka dulu ya pintunya. Kamu makan dulu," bujuk Efgan.Namun, tak ada jawaban dari dalam kamar."Nia sayang. Buka dulu ya pintunya. Ini nenek sayang," ucap nenek sambil mengetuk pintu.Lama mereka menunggu sampai terdengar suara kunci yang dibuka dari dalam. Dan sesaat kemudian Khania pun muncul dari dalam kamar dengan pakaian yang sudah rapi."Kamu mau ke mana?" tanya nenek dan Efgan hampir bersamaan.Khania hanya diam saja tak menjawab. Ia menatap Efgan dengan tatapan yang nyalang. Lalu ia pun menoleh ke arah nenek dan tersenyum."Nia mau keluar sebentar ya Nek, mau cari bakso. Entah kenapa dari tadi Nia terus aja kepikiran bakso yang kuahnya itu pedes banget." Khania sengaja menekankan kata pedas agar suaminya mendengar.Efgan hendak menyela ucapan Khania. Namun, nenek lebih dulu men
"Kenapa Nek?" tanya Khania yang heran saat melihat nenek menatapnya dengan dalam dan intens.Nenek segera menggelengkan kepalanya dan tersenyum."Enggak, jadi kamu gak ada masalah ya sama Efgan?" tanya nenek lagi."Enggak Nek, aku gak ada masalah sama mas Efgan," "Syukurlah kalau gitu," ucap nenek."Oh iya Nek, tadi aku sempat denger mobilnya mas Efgan. Apa dia tadi keluar?" tanya Khania."Iya, tadi katanya mau cari angin sebentar keluar," sahut nenek.Khania menganggukan kepalanya."Ya udah, Nenek keluar dulu ya sayang," pamit nenek sambil berdiri."Iya Nek," jawab Khania.Setelah nenek pergi. Khania segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang."Hallo Mas," ucap Khania saat panggilan itu sudah terhubung."Ada apa sayang?" tanya Efgan yang terdengar khawatir."Enggak ada apa-apa, cuma kangen aja sama kamu," ucap Khania yang ssontak menbuat Efgan terkejut sampai-sampai ia mengerem mobilnya mendadak. Beruntung tak ada kenda
Waktu terus berlalu, sampai tidah terasa sudah dua tahun berlalu.Khania kini tengah sibuk menyipakan pernikahan Monic dan Glen, karena banyak hal yang membuat pernikahan Monic dan Glen harus diundur sampai sekarang."Mas, kamu itu kenapa malah asyik sendiri di sini sih? Kamu gak bantuin orang-orang apa?" omel Khania saat melihat Efgan yang tengah duduk di teras depan."Aku tadi udah bantuin lho sayang. Ini lagi istirahat bentar, lagian juga kenapa aku harus ikutan sibuk gini sih?" keluh Efgan.Khania yang mendengar keluhan Efgan bukannya iba malah memelototinya."Iya, iya. Ini aku mau bantu lagi." Efgan dengan malas bangkit dari duduknya dan kembali membantu orang-orang untuk mempersiapkan pernikahan Monic yang tinggal beberapa hari lagi.Khania tersenyum saat melihat Efgan kembali bekerja. Ia pun masuk ke dalam untuk bertemu sang anak yang memang sengaja ia titipkan pada Gabriel."Gab, Kai gak rewel kan?" tanya Khania saat ia sudah tiba di dekat Gabriel
Seorang suster datang ke ruangan Khania untuk memeriksa keadaan Khania. Dan setelah Khania diperiksa suster itu pun kembali."Nek. Apa Kai baik-baik saja?" ucap Khania tiba-tiba. "Kai baik-baik aja sayang. Dia tadi Nenek titipkan sama Monic jadi kamu gak udah khawatir ya," sahut nenek sambil membelai rambut Khania."Mas, gimana keadaan Gabriel?" tanya Khania."Dia baik-baik aja, dia juga udah lewati masa kritisnya. Jadi kamu gak usah khawatir lagi ya sayang. Gabriel baik-baik aja sekarang," jawab Efgan singkat.Khania menanggukan kepalanya.Nenek tak terkejut karena sudah diberi tahu tentang Gabriel yang menyelamatkan Khania dan juga Kai. Nenek malah sangat bersyukur dan berterima kasih pada Gabriel karena sudah menolong cucu menantu dan cicitnya.Dua minggu kemudian.Khania yang tengah memberi ASI pada Kai di kamar terkejut saat tiba-tiba seseorang menutup matanya dari belakang. Ia pun tersenyum karena sudah tau jika itu ulah suaminya."Mas