Share

Bab 03

Author: Olivia Yoyet
last update Last Updated: 2025-08-26 09:38:06

03

"Sudah balik ane ente. Artinya sudah membaik hatinya," cetus Yanuar Kaisar, komisaris 5 PBK. 

Haikal mengerutkan hidungnya. "Ane capek ngomong sopan. Mending balik nyablak lagi," balasnya. 

"Bagus itu, Bang. Lanjutkan," imbuh Zulfi Hamizhan, komisaris 7 PBK. 

"Aku suka kalau Bang Hai sudah kembali santai," ujar Andri Kaushal, sang komisaris 9 PBK sekaligus direktur PCD.

"Setelah ini, kalau Abang mau jadi singa lagi, kami nggak akan protes," seloroh Yoga Pratama, komisaris 8 PBK. 

"Aku siap disuruh lari keliling lapangan 10 kali," papar Haryono Abhisatya, komisaris 10 PBK. 

"Beneran, ya, Yon? Jangan ngeluh capek," ledek Aswin Mahdhar, direktur PCT, yang juga tergabung dalam tim pengawal lapis dua. 

"Sekali aja dia ngeluh, tak banting," cibir Galang Ahmadi, direktur YDL, sahabat Alvaro sejak belasan tahun silam. Galang juga merupakan salah satu pengawal lapis dua. 

Haikal memandangi semua sahabatnya yang tengah mengeroyok Haryono. Haikal mengulum senyuman. Dia tahu, jika para pengawal itu tengah berusaha menghiburnya dengan menciptakan candaan. 

Belasan menit berikutnya, acara takziah hari ketiga dimulai. Haikal mengaji dengan khusyuk sambil menunduk dan memejamkan mata. Dia sudah hafal banyak surah dalam Al Qur'an, hingga tidak perlu membuka kitab suci. 

Seusai acara, Haikal berpindah ke halaman untuk menyalami banyak tamu. Pada takziah hari pertama dan kedua, Haikal masih sangat sedih, hingga tidak bisa beramah-tamah dengan hadirin. 

Langit senja kian menggelap. Para lelaki berduyun-duyun menuju masjid terdekat untuk menunaikan salat magrib berjemaah. 

Haikal yang salat sendiri di kamar, tidak bisa berlama-lama, karena dia mendengar rengekan Baadal. Haikal menuntaskan ibadah, lalu beranjak keluar. 

Dia tertegun menyaksikan putra bungsunya, yang tengah digendong sang pengasuh sambil diayun pelan. Baadal mengulurkan kedua tangannya dan segera diambil sang ayah.

"Dedek kenapa?" tanya Haikal sambil merapikan rambut putranya yang berantakan. 

"Ibu," rengek Baadal yang menyebabkan hati Haikal mencelos. 

"Ibunya ... pergi. Dedek sama Ayah aja, ya." 

Lelaki kecil berambut ikal itu mengamati ayahnya. Kemudian Baadal memeluk leher Haikal dan menyandarkan kepala ke bahu sang ayah. 

Haikal mengayun pelan Baadal sambil mengusap punggungnya. Pria berhidung bangir itu memandangi pintu kaca yang menghadap ke balkon depan. 

Haikal menatap langit yang kian menggelap, sembari membatin jika dia harus menekan kesedihan, dan lebih memerhatikan ketiga anaknya. Terutama Baadal. 

*** 

Jalinan waktu terus bergulir. Seminggu telah berlalu, dan kediaman Haikal mulai berkurang jumlah orangnya. Sebab Sufyan dan keluarga besar Haikal telah kembali ke Pekalongan. Hingga tinggal Ummi Halimah dan asistennya, Titin, yang tetap bertahan untuk ikut merawat Bariq, Ghazwa, dan Baadal. 

Kedua orang tua Isnindar dan yang lainnya juga telah kembali ke rumah masing-masing. Namun, setiap siang hingga sore, mereka akan bergantian datang untuk menemani ketiga bocah yang masih berkabung. 

Pagi itu, Haikal mengemudikan mobilnya menuju sekolah kedua anaknya. Pria berkemeja putih, ingin menemui wali kelas masing-masing dan berbincang serius. 

Setibanya di tempat tujuan, Haikal melepas Bariq ke area kanan. Kemudian dia memegangi tangan kiri Ghazwa dan melangkah menuju deretan kelas dua. 

Haikal mendatangi sang wali kelas dan menyampaikan keinginannya, agar perempuan berjilbab krem itu ikut menghibur Ghazwa yang masih sering murung. 

Setelahnya, Haikal bergegas menuju ruang guru untuk menemui wali kelas Bariq, dan menyampaikan hal yang sama pada pria berkumis tipis tersebut. 

Puluhan menit berlalu, Haikal telah kembali berada di mobilnya. Pria berkulit kecokelatan tersebut, mengemudi sembari mendengarkan salawat li hizfil Qur'an. 

Padatnya kendaraan di jalan raya, mengakibatkan perjalanannya tersendat. Namun, Haikal berusaha tetap sabar, hingga kendaraannya berhasil keluar dari kemacetan. 

Kehadiran sang direktur utama di lobi kantor Baltissen Grup, mengejutkan banyak orang di tempat itu. Mereka menyambangi Haikal untuk menyalami lelaki bertubuh tinggi besar tersebut. 

Haikal menyalami semuanya, kemudian dia memasuki lift khusus direksi, yang bergerak cepat melintasi lantai demi lantai, di gedung tinggi tersebut. 

Sesampainya di lantai 9, pintu lift terbuka dan Haikal keluar. Dia berhenti melangkah ketika melihat semua staf direksi tengah berdiri di koridor. 

"Abang ditunggu Padre di ruangannya," tukas Daffa, direktur operasional. 

"Dia ada di sini?" tanya Haikal sambil menaikkan alisnya. 

"Ya, sudah dari minggu lalu. Gantiin tugas Abang." 

Haikal manggut-manggut. Dia mengayunkan tungkai menuju ruangan komisaris di sisi kiri lorong. Haikal berhenti di pintu kedua, lalu membuka gagangnya sambil mengucapkan salam. 

"Waalaikumsalam," jawab beberapa orang dari dalam. 

"Kalian lagi rapat?" tanya Haikal sembari menutup pintu. 

"Enggak. Kami lagi main kartu," canda Alvaro. 

"Duduk sini, Bang," ajak Wirya sambil berdiri dan memberikan tempatnya. 

"Ente tetap di situ, W. Ane mau duduk di singgasana," balas Haikal sembari berpindah ke kursi putar besar. "Bule, ane mau ganti kursi kayak gini," pintanya. 

"Boleh, nanti siang dikirimkan ke ruangan Abang," sahut Alvaro. 

"Kalian, ngapain ngumpul di sini?" 

"Dibilangin, kami lagi main kartu." 

Haikal berdecih. "Kantor PBK apa kurang luas buat main begituan?" 

"Bosan di sana. Aku mau pindah ke sini aja." 

"Aku juga mau ngendon di kantor PB," timpal Yanuar. 

"Aku mau bobok di kantor HWZ," cetus Wirya. 

"Aku ngumpet di kantor ZAMRUD," tukas Zulfi. 

"Kalian semua kabur. Yang jaga kandang, siapa?" tanya Haikal. 

"Ada Hisyam. Biar dia benar-benar mandiri, dan nggak bolak-balik ke ruanganku terus buat nanya ini itu," jawab Wirya. 

"Ente sudah beneran lengser, W?" 

"Statusnya, udah, tapi, bagian yang berat tetap kupegang sendiri." 

"Hisyam jangan terlalu dikerasin. Dia sudah panik sendiri, karena membandingkan dirinya dengan ente." 

"Ya, Bang. Aku lembut ke dia. Paling cuma dikemplang dikit." 

"Sarap." 

"Abang, kenapa sudah masuk kerja?" sela Alvaro untuk menghentikan perdebatan kedua sahabatnya. "Aku, kan, ngasih cuti tanpa batas waktu," lanjutnya. 

"Ane bingung mau ngapain di rumah," ungkap Haikal. 

"Padahal bisa nyabit rumput pakai gunting," goda Yanuar. 

"Enggak sekalian pinset?" desak Zulfi. 

"Lebih paten pakai sumpit," kelakar Wirya. 

"Kupikir pakai sedotan," imbuh Alvaro. 

"Siram pakai racun. Beres perkara," celetuk Yanuar. 

"Enggak seru, Yan. Kurang estetik," cakap Zulfi. 

"Yanuar maunya instan mulu," ledek Wirya. 

"Memang begitu. Bahkan kalau perlu, narik napasnya pun instan. Sekali narik, kuat sampai 500 tahun," lontar Alvaro. 

"Ebuset! Gue jadi makhluk purbakala, dong," kilah Yanuar. 

"Memang cocok, kan. Elu sudah mirip megalodon," papar Alvaro. 

"Itu bukannya dinosaurus, Bang bule?" 

"Tumben elu cerdas. Biasanya, kan, lama loadingnya." 

"Gue sudah dienjus kemarin. Otak gue full memory sekarang." 

Haikal menggeleng pelan. Meskipun sudah sering mendengarkan perdebatan kedua sahabat tersebut, tetap saja dia terganggu dengan nada suara keduanya yang meninggi.

"Kalian kalau mau berantem, di luar sana. Ane mau kerja," ujar Haikal sembari berdiri. 

"Entar siang kita makan bareng, Bang. Emak ngirim soto Betawi ke sini," tutur Alvaro.

"Okeh. Nanti panggil aja ane," sahut Haikal, sebelum dia melangkah keluar ruangan, lalu menutup pintu dan beranjak menjauh. 

"Matanya masih bengkak," ucap Zulfi, sesaat setelah Haikal menghilang di balik pintu. 

"Badannya juga agak kurusan," jelas Wirya. 

"Aku khawatir, tatapannya masih kosong," ungkap Yanuar. 

"Beliau masih berkabung, Gaes. Akan butuh waktu lama untuk memulihkan jiwa dan raganya," cetus Alvaro. 

"Aku justru lebih khawatir dengan perkembangan anak-anaknya," beber Zulfi. 

"Semoga Bariq dan adik-adiknya kuat hati," tambah Wirya. 

"Mas Ben nyaranin buat bawa mereka ke psikolog. Supaya bisa mengeluarkan kesedihan terdalam," lontar Alvaro. 

"Bawa aja, Bule. Mungkin dengan begitu, Bang Haikal dan kiddos bisa cepat move on," usul Yanuar. 

"Ya, aku memang tengah memikirkan rencana untuk membujuknya, supaya mau menemui psikolog," celoteh Alvaro. "Dan kalian harus bantu juga. Supaya rencanaku bisa segera terealisasi," pungkasnya yang dibalas anggukan ketiga pria tersebut. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
power ranger emang ngga ada duanya semiga bang Hai segera happy lagi
goodnovel comment avatar
~•°Putri Nurril°•~
untung saja bang Hai di kelilingi teman2 yang hebat
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 91

    91 *Grup DHAK*Zulfi : Assalamualaikum. Selamat datang buat semua komisaris tambahan BHARUDHAK. Perkenalkan, abdi, Zulfi Hamizhan. Komisaris 1, sekaligus direktur utama. Rustam : Halo. Perkenankan aku untuk memperkenalkan diri. Namaku, Rustam Darmaji. Tim lapis 14. Jabatanku, manajer umum.Razak Hanifian : Selamat siang, Semuanya. Perkenalkan, aku Razak Hanifian. Manajer keuangan. Aku juga berasal dari tim lapis 14.Gunandar Ishadi : Aduh! Banyak bos beken. Aku jadi insinyur. Righa Sadewandra : Kamu lulusan komunikasi, @Gunandar. Gimana bisa jadi insinyur? Wirya : Mungkin Gunandar ngarep jadi arsitektur. Yoga : Dia lebih cocok jadi petani anggur.Haryono : Penjual rujak cingur.Andri : Pedagang kue cucur.Hendri : Mamang bajigur. Yanuar : Tengkulak kencur. Zein : Tukang cukur.Marley : Pedagang sayur. Baskara : Petani jamur. Prabu : Tukang gali sumur. Dante : Penjual kasur. Zafran : Pembuat air mancur.Tio : Penjaga Candi Borobudur.Farzan : Ahli akupuntur. Heru : Hobi mai

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 90

    90Waktu terus berjalan. Kehidupan rumah tangga Haikal dan Lula kian harmonis. Meskipun sama-sama sibuk, tetapi mereka selalu menyisihkan waktu berdua saja pada saat-saat tertentu.Pagi itu, Haikal dan Lula berpamitan pada Bariq serta Ghazwa. Mereka akan berangkat ke Bali untuk menghadiri acara resepsi salah satu klien kantor, yang dilakukan di Pulau Dewata. Baadal dan Zefa diajak serta. Begitu pula dengan kedua ajudan, dan Nana. Sedangkan Bariq dan Ghazwa akan menyusul esok sore, bersama Titin dan Darian, Adik bungsu Dimas, yang merupakan anggota tim lapis 17. Haikal dan keluarganya berangkat bersama tim Pramudya dan Baltissen, menggunakan pesawat milik Sultan. Sedangkan para bos lainnya menumpang di pesawat milik keluarga Adhitama. Haikal menggeleng pelan ketika melihat perdebatan Yanuar versus Marley, yang sama-sama ingin menguasai Zefa. Perdebatan itu kian sengit, karena Alvaro, Prabu, dan Panglima, berlakon sebagai tim kompor. "Papi, diam!" desis Malanaya, sebelum menyeret sua

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 89

    89Hari berganti hari. Haikal menunaikan janjinya pada Felix. Sore itu Haikal mendatangi mantan musuhnya itu bersama Lula, Zefa, Rita, Daisaq, Tio, Sultan, Alvaro, dan Gustavo. Serta Yazan, Restu, Emryn, Righa, Gunandar, dan Ghea.Kehadiran mereka disambut hangat Anita dan kedua keponakannya. Mereka berebutan untuk menggendong Zefa, hingga bayi itu tertidur dalam gendongan Anita. Felix yang sudah bisa berbicara lebih lancar, sangat senang bisa bertemu dengan Gustavo dan Sultan. Felix menyampaikan permohonan maaf dirinya dan mendiang Sandro, yang disambut antusias Sultan serta Gustavo. "Kamu kuliah jurusan apa?" tanya Tio sembari memandangi Stefan dengan saksama. "Bahasa Jerman, Om," terang Stefan."Itu bahasa yang sulit, dan masih jarang dikuasai orang kita." "Ya. Aku dari dulu kepengen kuliah di sana. Tapi, karena nggak bisa, akhirnya aku belajar bahasanya aja. Siapa tahu, suatu saat aku bisa kerja sambil kuliah S2 di sana." "Betul. Itu rencana yang bagus." Tio mengalihkan panda

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 88

    88 Berita teraktual mengenai Felix Saptaji, mengejutkan Haikal. Dia dan Alvaro beserta beberapa orang lainnya, segera mendatangi RS Polri untuk menjenguk Felix.Haikal dan rekan-rekannya mesti menunggu belasan menit di lorong dekat ruang perawatan Felix, sebelum diizinkan masuk oleh petugas jaga. Sepasang anak muda yang berada di ruangan itu, serentak berdiri dari sofa, saat melihat sekelompok pria berseragam safari hitam yang tengah memasuki ruangan. Seorang perempuan paruh baya yang duduk di kursi dekat ranjang, berdiri dan menyalami semua tamu. Dia menyentuh lengan kanan Felix dan membangunkan pria itu dengan lembut. "Silakan duduk," ujar Anita, sembari mengarahkan tangan kanannya ke set sofa, dan beberapa kursi di sekitar ruangan. "Boleh saya tahu, kalian dari mana?" tanyanya. "Kami dari Baltissen Grup," jawab Alvaro. "Saya, Alvaro Gustav Baltissen, komisaris 5. Yang ini, Bang Haikal Jabbar, direktur utama, sekaligus komisaris 10," lanjutnya. "Sebelah sana, Wirya, komisaris

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 87

    87Kekisruhan yang terjadi di grup PCT, menjadikan para mentor mereka ikut pusing. Terutama, karena kasus itu akhirnya berkembang menjadi tidak terkendali, dan berimbas ke berbagai proyek bersama. Haikal yang baru beberapa hari lalu pulang dinas dari Eropa, terpaksa menerima permintaan Wirya dan Aswin, untuk ikut menenangkan situasi. Sebab jika masalah intern itu tidak bisa diselesaikan, maka Tio akan mengambil tindakan tegas pada orang-orang yang bersangkutan. Sore itu, Haikal mendatangi kediaman Wirya. Dia ikut menumpang mandi, lalu berbincang dengan ketiga bocah, sembari menunggu Daisaq yang tengah membersihkan diri di toilet kamar tamu. Haikal terkekeh mendengar cerita Marwa tentang teman-teman di sekolahnya, yang pada heboh saat Vanetta datang menjemputnya beberapa hari lalu.Hal serupa juga diceritakan Bayazid. Bahkan, jika Vanetta hendak jalan-jalan, maka Bayazid langsung bersiaga untuk menjadi pengawal perempuan tersebut. "Bang, ikut bentar ke ruang kerja. Aku mau ngomong s

  • Jodoh Wasiat Istri    Bab 86

    86Waktu terus berjalan. Siang itu, Haikal mendatangi lapas bersama Alvaro, Zulfi, Righa, Ghea, dan beberapa ajudan muda. Mereka hendak menjemput Gunandar yang telah selesai masa hukumannya. Isakan Ghea terdengar ketika memeluk kakaknya. Gunandar turut menitikkan air mata bahagia, karena bisa bebas dari penjara.Seusai berbincang singkat, kelompok itu segera menaiki 2 mobil MPV mewah. Daisaq dan Righa, mengemudikan mobil bos masing-masing menuju kediaman Sultan Pramudya. Setibanya di sana, Gunandar kaget, karena banyak orang telah berada di tempat itu. Termasuk Paman dan bibinya, yang khusus datang dari kampung untuk menyambutnya.Isak tangis mewarnai pertemuan keluarga kecil itu. Gunandar sangat terharu, karena Kakak dan Adik dari almarhumah ibunya, rela jauh-jauh datang hanya untuk menemuinya. Sultan mengajak semua orang memasuki ruang tengah, yang lebih besar dari ruang tamu. Sultan memberikan pidato singkat untuk menyambut kebebasan Gunandar. Kemudian dia meminta Haikal untuk me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status