03
"Sudah balik ane ente. Artinya sudah membaik hatinya," cetus Yanuar Kaisar, komisaris 5 PBK.
Haikal mengerutkan hidungnya. "Ane capek ngomong sopan. Mending balik nyablak lagi," balasnya.
"Bagus itu, Bang. Lanjutkan," imbuh Zulfi Hamizhan, komisaris 7 PBK.
"Aku suka kalau Bang Hai sudah kembali santai," ujar Andri Kaushal, sang komisaris 9 PBK sekaligus direktur PCD.
"Setelah ini, kalau Abang mau jadi singa lagi, kami nggak akan protes," seloroh Yoga Pratama, komisaris 8 PBK.
"Aku siap disuruh lari keliling lapangan 10 kali," papar Haryono Abhisatya, komisaris 10 PBK.
"Beneran, ya, Yon? Jangan ngeluh capek," ledek Aswin Mahdhar, direktur PCT, yang juga tergabung dalam tim pengawal lapis dua.
"Sekali aja dia ngeluh, tak banting," cibir Galang Ahmadi, direktur YDL, sahabat Alvaro sejak belasan tahun silam. Galang juga merupakan salah satu pengawal lapis dua.
Haikal memandangi semua sahabatnya yang tengah mengeroyok Haryono. Haikal mengulum senyuman. Dia tahu, jika para pengawal itu tengah berusaha menghiburnya dengan menciptakan candaan.
Belasan menit berikutnya, acara takziah hari ketiga dimulai. Haikal mengaji dengan khusyuk sambil menunduk dan memejamkan mata. Dia sudah hafal banyak surah dalam Al Qur'an, hingga tidak perlu membuka kitab suci.
Seusai acara, Haikal berpindah ke halaman untuk menyalami banyak tamu. Pada takziah hari pertama dan kedua, Haikal masih sangat sedih, hingga tidak bisa beramah-tamah dengan hadirin.
Langit senja kian menggelap. Para lelaki berduyun-duyun menuju masjid terdekat untuk menunaikan salat magrib berjemaah.
Haikal yang salat sendiri di kamar, tidak bisa berlama-lama, karena dia mendengar rengekan Baadal. Haikal menuntaskan ibadah, lalu beranjak keluar.
Dia tertegun menyaksikan putra bungsunya, yang tengah digendong sang pengasuh sambil diayun pelan. Baadal mengulurkan kedua tangannya dan segera diambil sang ayah.
"Dedek kenapa?" tanya Haikal sambil merapikan rambut putranya yang berantakan.
"Ibu," rengek Baadal yang menyebabkan hati Haikal mencelos.
"Ibunya ... pergi. Dedek sama Ayah aja, ya."
Lelaki kecil berambut ikal itu mengamati ayahnya. Kemudian Baadal memeluk leher Haikal dan menyandarkan kepala ke bahu sang ayah.
Haikal mengayun pelan Baadal sambil mengusap punggungnya. Pria berhidung bangir itu memandangi pintu kaca yang menghadap ke balkon depan.
Haikal menatap langit yang kian menggelap, sembari membatin jika dia harus menekan kesedihan, dan lebih memerhatikan ketiga anaknya. Terutama Baadal.
***
Jalinan waktu terus bergulir. Seminggu telah berlalu, dan kediaman Haikal mulai berkurang jumlah orangnya. Sebab Sufyan dan keluarga besar Haikal telah kembali ke Pekalongan. Hingga tinggal Ummi Halimah dan asistennya, Titin, yang tetap bertahan untuk ikut merawat Bariq, Ghazwa, dan Baadal.
Kedua orang tua Isnindar dan yang lainnya juga telah kembali ke rumah masing-masing. Namun, setiap siang hingga sore, mereka akan bergantian datang untuk menemani ketiga bocah yang masih berkabung.
Pagi itu, Haikal mengemudikan mobilnya menuju sekolah kedua anaknya. Pria berkemeja putih, ingin menemui wali kelas masing-masing dan berbincang serius.
Setibanya di tempat tujuan, Haikal melepas Bariq ke area kanan. Kemudian dia memegangi tangan kiri Ghazwa dan melangkah menuju deretan kelas dua.
Haikal mendatangi sang wali kelas dan menyampaikan keinginannya, agar perempuan berjilbab krem itu ikut menghibur Ghazwa yang masih sering murung.
Setelahnya, Haikal bergegas menuju ruang guru untuk menemui wali kelas Bariq, dan menyampaikan hal yang sama pada pria berkumis tipis tersebut.
Puluhan menit berlalu, Haikal telah kembali berada di mobilnya. Pria berkulit kecokelatan tersebut, mengemudi sembari mendengarkan salawat li hizfil Qur'an.
Padatnya kendaraan di jalan raya, mengakibatkan perjalanannya tersendat. Namun, Haikal berusaha tetap sabar, hingga kendaraannya berhasil keluar dari kemacetan.
Kehadiran sang direktur utama di lobi kantor Baltissen Grup, mengejutkan banyak orang di tempat itu. Mereka menyambangi Haikal untuk menyalami lelaki bertubuh tinggi besar tersebut.
Haikal menyalami semuanya, kemudian dia memasuki lift khusus direksi, yang bergerak cepat melintasi lantai demi lantai, di gedung tinggi tersebut.
Sesampainya di lantai 9, pintu lift terbuka dan Haikal keluar. Dia berhenti melangkah ketika melihat semua staf direksi tengah berdiri di koridor.
"Abang ditunggu Padre di ruangannya," tukas Daffa, direktur operasional.
"Dia ada di sini?" tanya Haikal sambil menaikkan alisnya.
"Ya, sudah dari minggu lalu. Gantiin tugas Abang."
Haikal manggut-manggut. Dia mengayunkan tungkai menuju ruangan komisaris di sisi kiri lorong. Haikal berhenti di pintu kedua, lalu membuka gagangnya sambil mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam," jawab beberapa orang dari dalam.
"Kalian lagi rapat?" tanya Haikal sembari menutup pintu.
"Enggak. Kami lagi main kartu," canda Alvaro.
"Duduk sini, Bang," ajak Wirya sambil berdiri dan memberikan tempatnya.
"Ente tetap di situ, W. Ane mau duduk di singgasana," balas Haikal sembari berpindah ke kursi putar besar. "Bule, ane mau ganti kursi kayak gini," pintanya.
"Boleh, nanti siang dikirimkan ke ruangan Abang," sahut Alvaro.
"Kalian, ngapain ngumpul di sini?"
"Dibilangin, kami lagi main kartu."
Haikal berdecih. "Kantor PBK apa kurang luas buat main begituan?"
"Bosan di sana. Aku mau pindah ke sini aja."
"Aku juga mau ngendon di kantor PB," timpal Yanuar.
"Aku mau bobok di kantor HWZ," cetus Wirya.
"Aku ngumpet di kantor ZAMRUD," tukas Zulfi.
"Kalian semua kabur. Yang jaga kandang, siapa?" tanya Haikal.
"Ada Hisyam. Biar dia benar-benar mandiri, dan nggak bolak-balik ke ruanganku terus buat nanya ini itu," jawab Wirya.
"Ente sudah beneran lengser, W?"
"Statusnya, udah, tapi, bagian yang berat tetap kupegang sendiri."
"Hisyam jangan terlalu dikerasin. Dia sudah panik sendiri, karena membandingkan dirinya dengan ente."
"Ya, Bang. Aku lembut ke dia. Paling cuma dikemplang dikit."
"Sarap."
"Abang, kenapa sudah masuk kerja?" sela Alvaro untuk menghentikan perdebatan kedua sahabatnya. "Aku, kan, ngasih cuti tanpa batas waktu," lanjutnya.
"Ane bingung mau ngapain di rumah," ungkap Haikal.
"Padahal bisa nyabit rumput pakai gunting," goda Yanuar.
"Enggak sekalian pinset?" desak Zulfi.
"Lebih paten pakai sumpit," kelakar Wirya.
"Kupikir pakai sedotan," imbuh Alvaro.
"Siram pakai racun. Beres perkara," celetuk Yanuar.
"Enggak seru, Yan. Kurang estetik," cakap Zulfi.
"Yanuar maunya instan mulu," ledek Wirya.
"Memang begitu. Bahkan kalau perlu, narik napasnya pun instan. Sekali narik, kuat sampai 500 tahun," lontar Alvaro.
"Ebuset! Gue jadi makhluk purbakala, dong," kilah Yanuar.
"Memang cocok, kan. Elu sudah mirip megalodon," papar Alvaro.
"Itu bukannya dinosaurus, Bang bule?"
"Tumben elu cerdas. Biasanya, kan, lama loadingnya."
"Gue sudah dienjus kemarin. Otak gue full memory sekarang."
Haikal menggeleng pelan. Meskipun sudah sering mendengarkan perdebatan kedua sahabat tersebut, tetap saja dia terganggu dengan nada suara keduanya yang meninggi.
"Kalian kalau mau berantem, di luar sana. Ane mau kerja," ujar Haikal sembari berdiri.
"Entar siang kita makan bareng, Bang. Emak ngirim soto Betawi ke sini," tutur Alvaro.
"Okeh. Nanti panggil aja ane," sahut Haikal, sebelum dia melangkah keluar ruangan, lalu menutup pintu dan beranjak menjauh.
"Matanya masih bengkak," ucap Zulfi, sesaat setelah Haikal menghilang di balik pintu.
"Badannya juga agak kurusan," jelas Wirya.
"Aku khawatir, tatapannya masih kosong," ungkap Yanuar.
"Beliau masih berkabung, Gaes. Akan butuh waktu lama untuk memulihkan jiwa dan raganya," cetus Alvaro.
"Aku justru lebih khawatir dengan perkembangan anak-anaknya," beber Zulfi.
"Semoga Bariq dan adik-adiknya kuat hati," tambah Wirya.
"Mas Ben nyaranin buat bawa mereka ke psikolog. Supaya bisa mengeluarkan kesedihan terdalam," lontar Alvaro.
"Bawa aja, Bule. Mungkin dengan begitu, Bang Haikal dan kiddos bisa cepat move on," usul Yanuar.
"Ya, aku memang tengah memikirkan rencana untuk membujuknya, supaya mau menemui psikolog," celoteh Alvaro. "Dan kalian harus bantu juga. Supaya rencanaku bisa segera terealisasi," pungkasnya yang dibalas anggukan ketiga pria tersebut.
06"Dari tadi kamu ugal-ugalan. Akhirnya nabrak orang!" desis perempuan berambut panjang, sambil memelototi sang penabrak. "Nia, kamu, kok, bisa ada di sini?" tanya Haikal sembari memandangi perempuan tersebut. Yusnia Widuri Gariwa, menoleh ke kiri. "Ehh, Bang Hai rupanya," balasnya. "Bocah ini, sudah meliuk-liukkan motornya dari perempatan sana. Mobilku tergores, dan dia langsung kabur," jelasnya. "Aku kejar. Ternyata dia nabrak yang lain. Benar-benar bawa musibah buat orang lain!" geram Yusnia sembari mendorong lengan kiri remaja itu yang terlihat ketakutan."Tahan, Nia." Haikal menarik tangan Yusnia dan menggeser perempuan tersebut ke belakangnya, untuk menjauhi sang pelaku. "Panggil orang tuamu!" bentak Yusnia, yang menyebabkan pemuda tanggung itu terisak-isak. "Malah nangis!" cibirnya sambil bercekak pinggang. "Nanti saja urusan itu. Kita harus mengobati luka-lukanya dan ketiga korban lainnya," timpal Haikal, sebelum dia berdiri dan jalan ke mobil. Yusnia tertegun. Dia menga
05"Kakak apain dia?" tanya Haikal. "Kakak tinju dan tendang. Seperti yang Ayah ajarkan dulu," terang Ghazwa. "Ehm, membela diri itu bagus. Tapi, jangan sering-sering, ya," tutur Haikal. "Dia suka narik jilbab Kakak. Bikin kesal." "Kalau dia berulah lagi, lapor ke guru." "Sudah, Yah. Tapi memang bego, sih. Diulangi terus." "Yang mana orangnya, Wa?" tanya Bariq. "Anak pindahan itu, Bang. Yang badannya tinggi," jelas Ghazwa. "Kalau dia ganggu lagi, panggil Abang," ungkap Bariq yang menyebabkan Haikal menggaruk-garuk kepalanya. "Abang mau ngasih dia pelajaran?" sela Haikal. "Enggak. Cuma mau dijitak aja. Pakai sepatu," jawab Bariq dengan polosnya. Tawa ketiga perempuan menguar. Barig menyunggingkan senyuman. Sedangkan Haikal hanya bisa mengusap dada, karena tahu jika putra sulungnya pasti berniat menghadiahkan tinjuan buat sang pengganggu. Setibanya di tempat tujuan, Bariq turun terlebih dahulu. Dia membukakan pintu tengah, supaya Lula bisa keluar sambil menggendong adiknya.
04Semburat jingga di langit telah menggelap, saat seunit mobil MPV hitam memasuki carport depan rumah bercat gading. Setelah mobil terparkir sempurna, sang sopir mematikan mesin, lalu melepaskan sabuk pengaman. Tidak lama kemudian Haikal telah memasuki ruang tengah melalui pintu garasi. Dia mengucapkan salam sambil melepaskan sepatu. Lalu menyusunnya di rak. Sudut bibir Haikal mengukir senyuman ketika Baadal mendatanginya. Lelaki kecil berambut ikal itu menyalami Haikal dengan takzim. Disusul oleh kedua kakaknya. Aroma harum menguar dari dapur. Haikal berpindah ke ruang makan. Dia seketika tersenyum ketika menyaksikan seorang perempuan berdaster biru, tengah mengemasi meja besar. "Bu, Ayah mau kopi," ucap Haikal. Waktu seolah-olah berhenti berputar, sebelum akhirnya Haikal sadar bila dia salah bicara. Pria berkumis tipis itu terkesiap, saat orang tersebut berbalik dan memandanginya saksama. "Abang duduk dulu. Segera kubuatkan kopinya," sahut Lula, sebelum dia cepat-cepat berpin
03"Sudah balik ane ente. Artinya sudah membaik hatinya," cetus Yanuar Kaisar, komisaris 5 PBK. Haikal mengerutkan hidungnya. "Ane capek ngomong sopan. Mending balik nyablak lagi," balasnya. "Bagus itu, Bang. Lanjutkan," imbuh Zulfi Hamizhan, komisaris 7 PBK. "Aku suka kalau Bang Hai sudah kembali santai," ujar Andri Kaushal, sang komisaris 9 PBK sekaligus direktur PCD."Setelah ini, kalau Abang mau jadi singa lagi, kami nggak akan protes," seloroh Yoga Pratama, komisaris 8 PBK. "Aku siap disuruh lari keliling lapangan 10 kali," papar Haryono Abhisatya, komisaris 10 PBK. "Beneran, ya, Yon? Jangan ngeluh capek," ledek Aswin Mahdhar, direktur PCT, yang juga tergabung dalam tim pengawal lapis dua. "Sekali aja dia ngeluh, tak banting," cibir Galang Ahmadi, direktur YDL, sahabat Alvaro sejak belasan tahun silam. Galang juga merupakan salah satu pengawal lapis dua. Haikal memandangi semua sahabatnya yang tengah mengeroyok Haryono. Haikal mengulum senyuman. Dia tahu, jika para pengawa
02"Bu, Ayah nggak bisa tidur kemaren," tutur Haikal sembari memandangi makam Isnindar. "Kangen, Bu," bisiknya. Haikal terdiam sejenak untuk menenangkan dirinya yang masih syok. Pria berambut cepak itu mengerjap-ngerjapkan matanya dengan cepat, supaya tidak mengeluarkan butiran air. "Dedek juga merengek terus. Dia belum paham kalau Ibu sudah nggak ada," cakap Haikal. "Abang dan Kakak juga masih sering nangis, sambil meluk daster Ibu," lanjutnya. Isakan dari belakang menyebabkan Haikal menoleh. Dia tertegun melihat Lula dan Namira, Adik Isnindar, tengah menangis sembari berpelukan. Seperti halnya Haikal dan anak-anaknya, kedua perempuan tersebut juga terpukul atas kepergian Isnindae. Kendatipun mereka tahu jika itulah takdir yang harus dijalani Isnindar, tetap saja Lula dan Namira sangat kehilangan Kakak tertua mereka. Kedua perempuan itu tinggal berdekatan dengan kediaman Haikal. Mereka turut mengasuh ketiga anak Haikal dan Isnindar, saat sang kakak tertua tengah menjalani persw
01"Bang, ayo, kita pulang," ajak Alvaro Gustav Baltissen, sembari memegangi lengan kiri seniornya. Haikal Jabbar bergeming. Direktur utama Baltissen Grup tersebut masih termangu, sambil memandangi gundukan tanah yang dipenuhi banyak bunga di hadapannya.Tatapan nanar Haikal menjadikan rekan-rekannya saling melirik. Mereka memahami jika salah satu pengawal PBK lapis satu tersebut, masih berat untuk meninggalkan makam istrinya, Isnindar Herawati. Alvaro menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan. Dia beradu pandang dengan Hamid Awaluddin, direktur utama PG, yang berada di sebelah kanan Haikal. Keduanya seolah-olah tengah berbincang dengan menggunakan bahasa batin, kemudian mereka sama-sama mengangguk. Alvaro mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia memberi kode pada asistennya, untuk memanggilkan orang-orang yang sangat disegani Haikal. Tidak berselang lama, beberapa pria menyambangi kelompok tersebut. Alvaro dan teman-temannya bergeser untuk memberikan tempat pada mereka.