Langit kelabu memayungi kota, menelan cahaya mentari yang biasanya ramah. Hati Rajendra pun serupa, diselimuti mendung pekat. Ia terbaring, menatap kosong ke luar jendela kamarnya. Pikirannya berat, kusut. Penolakan perjodohan itu terasa mustahil.
"Kenapa gadis itu mau, ya? Usianya masih sangat muda, baru masuk universitas. Apa ia tak punya cita-cita?" bisiknya, suaranya tercekat. "Masa depannya masih panjang. Heran aku dengan anak muda zaman sekarang. Hanya karena harta, ia rela meninggalkan pendidikan." Rajendra terus bergulat dengan pikirannya sendiri. Sesekali bayangan wajah sendu itu melintas, wajah yang ia lihat sekilas saat pertemuan pertama. "Tapi kalau kuingat-ingat, perempuan itu seperti sedang menangis. Apa yang ia pikirkan tentangku?" Rasa penasaran mencubit hatinya. "Apa mungkin ia juga menolak perjodohan ini?" Gagasan Maria tentang calon istrinya yang buruk rupa kini terasa kabur. "Ayah, aku mau kembali bertemu dengan Tiara!" Nakula, yang sejak tadi berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar. "Apa Ayah bilang? Oke! Ayah akan atur pertemuan kedua!" Semangat membuncah dari nada suaranya. *** "Alona, pakai baju apa kau nanti?" Pretty menerobos masuk, wajahnya masam seperti jeruk nipis. Alona menunjuk dress usang di tangannya, warisan mendiang ibunya. "Sepertinya pakai baju ini saja, Bu." "Apa-apaan kamu?! Tidak! Jangan pernah kau pakai kain busuk itu! Dress jelek begitu mau dipakai, sudah gila kau ini! Pakai dress milik Tiara!" Pretty membentak, suaranya menggelegar. Alona diam, kepalanya mengangguk pasrah. Perlawanan hanya akan memperpanjang penderitaan, mendatangkan rentetan cacian dan hinaan yang tak berujung. Pretty kembali, membawa gaun mini milik Tiara. Kainnya berkilau, potongannya modern, jauh lebih menarik dari dress usang Alona. "Ibu, apa ini tidak terlalu pendek?" Alona menatap pantulan dirinya di cermin. "Jangan banyak cakap! Sudah pakai saja! Masih untung dikasih pinjam!" Sebuah bantahan hampir lolos dari bibirnya, namun ia menelannya mentah-mentah. Percuma. Tak ada kata lain selain menuruti perintah ibu tirinya. *** Pretty mengiringi Alona, langkah mereka membelah restoran bernuansa Eropa. Alona mempercepat langkahnya, menuju ruangan yang sudah Rajendra pesan. "Aduh, deg-degan nih aku! Dia enggak bakal memakan aku, kan?" gumamnya, mencoba menguatkan diri. Di balik pintu ruang pribadi, Alona berdiri tegak. Jemarinya merapikan anak rambut yang menggelayuti dahi, lalu menarik-narik ujung mini dress yang ia kenakan. Rasa tidak nyaman menyelimuti, ia merasa asing dalam balutan kain itu, bukan dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam, menghembuskannya cepat, berulang kali. Barulah, dengan perlahan, ia membuka pintu. *Sreeeeeet…* Bilah penghalang itu bergeser, menyingkap sesosok lelaki tampan. Jas hitam membalut tubuhnya, ia duduk bersila, pandangannya terpaku pada layar ponsel di hadapannya. Rambutnya tersisir rapi, hidung mancungnya terlihat jelas dari kejauhan. Aroma kayu dan musk yang segar menguar, menusuk rongga hidung Alona. "Permisi, maaf saya terlambat," ucap Alona, suaranya sedikit bergetar. Ia sedang menyamar menjadi Tiara. "Duduk!" Jendra menjawab dingin, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Alona bingung, bagaimana ia harus duduk? Gaun mini itu membuatnya serba salah. "Ada masalah?" Dua manik hitam itu menatap tajam ke arah Alona. "Ti-tidak!" Alona buru-buru memposisikan duduknya, menyerupai wanita Korea yang mengenakan hanbok, kedua lututnya rapat tertekuk ke samping. "Kamu mau pesan apa, Tiara?" Nada suara Rajendra masih dingin. Alona diam, tak menjawab. Ia lupa identitas yang sedang ia sandang. "Tiara!" "A-e i-iya, bagaimana?" "Kamu mau pesan apa?" Nada bicara Jendra sedikit meninggi. "Apa saja, Kak, saya ikut saja." Alona gugup. Jangankan memilih menu, diam saja ia tak nyaman. Rajendra tidak bertanya lagi. Ia kembali fokus memilih hidangan dari daftar menu di tangannya. *Dag… Dig… Dug…* Jantung Alona berdegup kencang. Ini kali pertama ia berkencan, apalagi dengan lelaki yang disebut-sebut calon suaminya. Keduanya saling mengunci mulut. Tak ada suara. Rajendra sibuk dengan ponselnya, membuat Alona semakin mati kutu. Ia bingung harus berbuat apa. Mustahil Alona memulai obrolan, terlebih melihat raut wajah Rajendra yang masam. "Aku harus bagaimana ini, Tuhan? Apa yang harus aku lakukan?" batin Alona menjerit. Diam-diam, Rajendra juga memperhatikan Alona. Matanya mengawasi setiap gerak-geriknya. "Kalau tidak nyaman kenapa harus memakai pakaian seperti itu?" Suara Rajendra memecah keheningan, mengagetkan Alona. *Deg!* Pertanyaan itu terasa mematikan. Di tengah keheningan, Rajendra tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang tak terduga. "A... A anu, ini..." Alona tergagap, tak tahu harus menjawab apa. Mustahil berkata jujur pada lelaki yang baru dikenalnya. "Selamat!" Batinnya berseru. Pelayan datang di waktu yang tepat, memecah ketegangan. Ia membawa beberapa hidangan yang sudah dipesan, menyajikannya dengan ramah. *Kruk… kruk… kruuk…* "Mati sudah!" Perut Alona bernyanyi, rasa laparnya tak tertahankan lagi. Fokus Jendra buyar. Ia mengenali suara itu. Wajahnya terangkat, menyorot pada Alona. "Mati aku! Kenapa harus bunyi sih?" teriak Alona dalam hati. Rasa malu membakar pipinya. "Bagaimana jika ia mengadu pada Ibu?" tambahnya lagi. "Makan!" Ucap Jendra dingin, lalu mengambil hidangannya sendiri. Ia bersikap seolah tak ada yang terjadi. Alona, yang sudah mendapat perintah, langsung melakukan hal yang sama. Cepat-cepat ia mengambil nasi, namun… "Ingat Alona, kamu ini Tiara!" Akalnya mengingatkan. Alona kembali bersikap santai dan santun, sebisa mungkin ia tidak terlihat seperti sedang kelaparan. Keduanya kini menyantap hidangan bersama. Tak ada suara, tak ada cerita, kecuali bunyi benturan sendok pada piring. Alona terus menundukkan wajahnya. Sementara Jendra, diam-diam memperhatikan Alona. "Apa yang dikatakan Maria itu keliru? Sejauh ini tidak ada yang aneh dari anak ini. Cara ia makan pun cukup dimaklumi." Bisik Jendra dalam hatinya. Makan malam usai, kini mereka menunggu hidangan penutup yang belum tiba. "Kamu tahu siapa saya?" Alona mengangguk. "Tuan Jendra." "Aku Rajendra, tidak pakai Tuan. Siapa nama lengkapmu?" "Saya Al—Tiara Lyra." Hampir saja Alona salah menjawab. "Kamu tahu kalau kita ini dijodohkan?" Alona kembali mengangguk. "Kenapa mau?" Alona bingung menjawab. Ia tak menyangka obrolannya akan seberat ini. Ini bukan seperti perjodohan, melainkan duduk di kursi panas persidangan. Keringat mulai bercucuran, telapak tangannya basah. "Tiara… kamu dengarkan saya berbicara?! Saya bertanya, kenapa kamu mau dijodohkan?" *Deg!* "Sa… Saya hanya ikut perintah Ibu saja, Tuan." "Jangan panggil saya Tuan! Saya bukan tuanmu! Panggil aku Jendra! Mengerti tidak?!" Alona semakin bingung. Mustahil ia memanggil nama kepada seseorang yang usianya terpaut jauh darinya. "Kenapa kamu mau menuruti perintah Ibumu?" Pertanyaan Jendra semakin membombardir. "Karena menurut Ibu ini yang terbaik, saya yakin pilihan Ibu tidak salah." "Hh… Sudah kuduga, Ibu dan anak sama saja!" Jawab Rajendra sinis. Mendengar ucapan Rajendra, Alona murka. Wajah yang tadinya menunduk kini balik menatap tajam. Ingin sekali ia mencakar wajah Rajendra yang seolah merendahkan dirinya. Namun, sesaat ia ingat, saat ini dirinya sedang menjadi sosok Tiara. "Dengar! Aku berada di sini bukan berarti aku setuju dengan perjodohan yang dibuat oleh ayahmu dan orang tuaku! Ini hanya sekadar formalitas saja! Aku tidak mau dijodohkan dengan siapa pun, termasuk dengan dirimu, Tiara!" Papar Rajendra, suaranya mengejutkan. "Dan aku tak habis pikir, kenapa kamu memiliki pemikiran kolot? Usiamu masih muda. Kenapa kau setuju dijodohkan?" Mendengar ucapan Rajendra, aliran darah Alona seakan mendidih. "Kamu pikir aku juga mau, hah? Enak saja! Aku juga tidak mau!" Jawab Alona dalam hatinya. Aslinya, dia hanya mengangguk-angguk saja. "Bilang sama Ibumu! Aku setuju menikahimu! Tapi tidak sekarang!" Lagi-lagi Jendra membuat Alona jantungan. "Menikah? Menikah dengan orang ini?" Batin Alona memekik. "Saya juga tidak ingin menikah cepat, saya masih mengemban bangku pendidikan," jawab Alona singkat. Ia tak kuasa lagi menahan gejolak batinnya yang terus meradang. Rajendra tersentak dengan ucapan Alona. "Baguslah kalau begitu! Jadi kita tak perlu terburu-buru. Aku sih berharap semua ini bisa dibatalkan!" Suasana kembali hening, tak ada argumen dari keduanya. "Sebelum pulang, di mana kampusmu?" "Kampus?" Batin Alona kembali memekik. "A anu di… Universitas Aroma Jaya." Alona asal menjawab. "Oke! Itu saja, jangan kepedean! Aku bertanya untuk jaga-jaga saja, khawatir orang tuaku akan banyak bertanya tentangmu. Silakan pulang!" Pungkas Jendra, sebelum akhirnya meninggalkan Alona sendirian.Setelah beberapa sesi terapi, psikiater menyarankan agar Alona melakukan perjalanan untuk penyembuhan diri.Rajendra mengambil keputusan untuk membawa Alona berlibur ke Hawaii, tempat yang selama ini menjadi impian Alona.. Ia berharap suasana tropis, pantai indah, dan udara segar di sana dapat membantu Alona pulih dari traumanya. Dengan penuh semangat, Rajendra mulai mengurus semua akomodasi yang dibutuhkan, mulai dari tiket pesawat, hotel, hingga jadwal kegiatan yang akan mereka lakukan selama di sana.Ketika Rajendra memberitahukan rencana ini kepada Alona, ia merasa lega karena Alona tidak menolak ide tersebut. Meskipun masih terlihat lesu, Alona setuju untuk pergi bersama Rajendra ke Hawaii.Hari keberangkatan pun tiba, Rajendra dan Alona terbang menuju Hawaii dengan penuh harapan. Mereka tiba di hotel yang sudah Rajendra pesan sebelumnya dan disambut dengan hangat oleh staf hotel. “Bagaimana Alona? Kamu suka kan?” Tanya Rajendra saat membuka godrin yang menutupi kamarnya yang me
Setelah selesai merapikan tenda yang telah mereka gunakan untuk berkemah, Jendra bergegas meninggalkan lokasi kemah bersama Alona, sang istri. Sepanjang perjalanan, Jendra tak henti-hentinya memeluk Alona, meyakinkan sang istri bahwa dia akan selalu ada untuk melindungi dan mencintainya. "Kamu tenang ya, Sayang. Aku di sini, akan terus melindungi kamu," ucap Jendra dengan penuh tulus dan kehangatan.Mendengar kata-kata itu, Alona merasa hari itu begitu mencerahkan hatinya. Hatinya yang semula keras dan sulit menerima kebaikan orang lain, kini mulai luluh oleh ketulusan cinta Jendra. Alona tersadar bahwa Jendra sungguh mencintainya, lebih dari siapapun yang pernah ada dalam hidup mereka.Dibanding Saloka, yang sudah dikenal Jendra selama puluhan tahun, Jendra justru memilih untuk percaya pada Alona. Ia merasa beruntung memiliki suami yang setia dan tulus seperti Jendra.Perlahan, Alona menoleh pada Jendra, matanya berkaca-kaca seiring senyuman tulus yang terukir di wajahnya. "Terima k
Alona berada di dalam sebuah bangunan khusus toilet umum laki-laki, wajahnya tampak pucat pasi ketakutan. Tiba-tiba, Saloka muncul dari balik salah satu pintu toilet dengan senyum yang jahil dan sinis."Kamu mau apa, Saloka?" tanya Alona dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan rasa takutnya."Sudahlah, Alona, aku tahu Rajendra tidak mencintaimu. Cinta dia habis di Sitha, kau dinikahi aku yakin belum pernah disentuh bukan?" ucap Saloka dengan nada picik, sambil melangkah mendekati Alona.Alona terdiam, hatinya semakin khawatir dan ketakutan. Tiba-tiba, Saloka mengunci pintu toilet, membuat Alona merasa terjebak."Buka pintunya!" pekik Alona, hampir menangis."Tidak, aku tidak mau, lagipula ini toilet khusus lelaki, kamu yang salah berada disini," balas Saloka dengan nada datar, sambil tersenyum jahat."Buka! Atau aku teriak!" ancam Alona, mengumpulkan keberanian yang masih tersisa."Teriak saja, jika kau mau mati," ejek Saloka, mengejek ketakutan Alona.Alona merasa buntu, matanya
Malam itu, di tengah hutan pinus yang rimbun, Alona, Rajendra, dan teman-teman mereka berkumpul di sekitar api unggun yang menyala terang. Udara dingin menusuk tulang, dan angin kencang yang meniup dedaunan membuat suasana semakin akrab dan hangat. Di sekitar api unggun, mereka berbagi tugas dalam menyiapkan hidangan malam itu. Beberapa di antara mereka sibuk memasak, mengolah daging untuk barbekyu, dan mengatur piring serta alat makan. Alona dan beberapa teman wanitanya sedang bersemangat membuat minuman untuk menghangatkan tubuh di malam yang dingin ini.Sementara itu, Rajendra dan teman-teman lelaki lainnya bertanggung jawab atas api unggun yang menerangi kegelapan malam. Mereka mengatur kayu bakar dan memastikan nyala api tetap hidup untuk menjaga kehangatan di tengah dinginnya udara. Api unggun yang menyala semakin menambah keakraban suasana malam itu.Meskipun sibuk dengan urusan masing-masing, Rajendra tidak lupa untuk sesekali melirik istrinya, Alona, dari kejauhan. Dia mempe
Mentari pagi yang hangat mulai menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, mengusik tidur Alona dan Rajendra yang masih terlelap di atas sofa. Semalam, mereka berdua begitu larut dalam perbincangan tentang skema acara yang akan dihadiri, hingga akhirnya memutuskan untuk menonton film komedi bersama. Tanpa terasa, keduanya terlelap dan bermimpi indah."Rajendra, bangun, kita kesiangan!" seru Alona dengan panik, menyadari waktu yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Rajendra yang terkejut bangun, mendengus dan meregangkan tangannya dengan santai. "Jam berapa ini?" tanyanya pada Alona."Jam delapan," jawab Alona cepat, lalu berdiri hendak melangkah pergi. Namun, tanpa disadari, Rajendra menarik tangan Alona hingga membuatnya kembali terjatuh ke atas tubuh rajendra. "Aduh!" pekik Alona, merasakan rasa kaget yang luar biasa."Maaf Alona, mungkin ini lancang," ucap Rajendra dengan wajah yang tampak bersalah. Alona menatapnya dengan ekspresi bingung, mencoba memahami maksud dari tindak
Setiap hari, Rajendra semakin menunjukkan rasa cintanya pada Alona. Ia selalu berusaha menjaga dan memenuhi kebutuhan Alona sebagai suaminya. Mulai dari bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, hingga menemani Alona berbelanja keperluan rumah tangga.Rajendra juga sudah tak pernah lagi pergi clubbing seperti dulu. Ia hanya keluar untuk urusan bisnisnya saja, kemudian segera kembali ke rumah dan menghabiskan waktu bersama Alona.Namun, meskipun Rajendra berusaha keras menunjukkan rasa cintanya, Alona belum juga merespon perasaan tersebut. Ia masih belum bisa menerima keberadaan Rajendra sepenuhnya dalam hidupnya. Wajah Alona yang selalu datar dan dingin membuat Rajendra merasa khawatir.Suatu malam, saat makan malam bersama, Rajendra mencoba membuka percakapan dengan Alona. "Alona, aku tahu mungkin aku belum sempurna sebagai suami, tapi aku berusaha untuk lebih baik. Apakah kau bisa melihat usahaku?" tanya Rajendra dengan lembut.Alona menatap matanya, lalu menundukkan pandangannya. "Aku