“Mati aku ! Gimana kalau Tuan Jendra datang ke Universitas XXX? Padahal aku kan masih SMA. Bagaimana ini?”
Alona tak bisa tidur, malam ini kepalanya bekerja cukup berat.“Menikah? Tidak..tidak..tidak! Aku ini masih sekolah!”“Jika terjadi pernikahan, maka akan terjadi pembuahan. Yang artinya.. nggak! Aku masih sangat muda untuk menjadi seorang Ibu.“Arghhhhh…” Alona gelingsatan tak mau diam. Padahal besok ia harus masuk sekolah. Jam di dinding sudah menunjukan pukul dua malam.“Kenapa Ibu tidak menyuruh kak Tiara saja? Padahal Tuan Jendra tidak terlihat tua, ia sangat tampan, ya meskipun versi oppa oppa. Kenapa harus aku?” Alona masih tak habis pikir dengan apa yang telah menimpanya.“Bagaimana jadinya kalau aku menikah? Lalu bagaimana dengan pendidikanku? Cita citaku menjadi dokter?” Alona menarik nafas panjang.**Bukan hanya Alona yang mengalami kesulitan tidur, di kejauhan sana, rupanya Rajendra juga mengalami hal yang sama. Ia masih belum terima dengan keputusan sang Ayah yang memaksanya untuk menikahi wanita yang sangat muda.“Dia masih kuliah, wajahnya saja masih sangat belia, bagaimana ceritanya menikah denganku? Akh . . Bikin sakit kepala saja!” Jendra mengacak acak rambutnya.Belum lagi ia memikirkan perkataan Maria sang sepupu. Menurut Maria salah satu anak Baskara itu memiliki attitude yang buruk.Tetapi sudah dua kali pertemuan, Rajendra masih belum bisa membuktikan.“Apa dia masih jaga image? Atau memberi kesan pertama?” Jendra semakin gelisah, ia tak menemukan posisi nyaman dalam tidurnya.Semakin ingat soal perjodohan, semakin terbayang pula wajah Alona. Bila diingat, wajah Alona tak begitu mengecewakan. Hanya kurang polesan saja. Wajahnya yang imut, bibir yang tipis keriting, juga hidung yang menggemaskan.“Ishh kenapa aku jadi mengingat wajah anak itu? Menyebalkan saja!”Jendra tak berhenti mengoceh dengan dirinya sendiri.***Pagi sudah menyapa. Rajendra sudah bermandi keringat di taman halaman belakang. Selama pulang ke negaranya sendiri, Rajendra lebih sering menghabiskan waktu untuk berolahraga.“Bagaimana pertemuan kedua kamu dengan Tiara?” Tanya sang Ayah mengagetkan.“Biasa saja.” jawab Rajendra dingin“Tidak terlalu buruk bukan ?”“Apa tidak ada wanita lain selain Si Tiara yang masih belia itu yah? Dia usianya saja belum dua puluh tahun. Apa Ayah tidak melihat perbedaan usia aku dengan dia?” Jendra mulai merasa gerah. Nada bicaranya mulai meninggi.“Kalau bukan karena sumpah dan janji Ayah kepada Baskara, Ayah juga malas mengenalkan kamu pada anak itu, biar saja anak itu mencari cinta sejatinya! Bukan denganmu yang selalu bersikap dingin!” Nakula santai menikmati sarapan paginya.Jendra menghela nafas panjang.“Ikhlaskan Ibumu Jendra, dia sudah tenang di alam sana!”“Jangan bawa bawa Ibu! Ibu tidak tahu apa apa soal ini! Dan kalau Ibu masih ada pasti dia orang pertama yang akan menolak perjodohan ini!”“Siapa bilang Jendra?! Justru perjodohan ini awalnya adalah ide dari mendiang Ibumu. Ibumu yang memberikan ide kepada Baskara agar menjodohkan kau dengan anaknya”“Bohong!!”“Aku memang memiliki sikap yang buruk. Kadang bengis dan selalu memaksa. Tetapi aku tidak pernah bohong dalam berkata. Termasuk bohong kepadamu!”Ucapan Sang Ayah ada benarnya, selama ini Sang Ayah memang tidak pernah berkata bohong kepadanya.“Bukalah hatimu Jendra! Lagi pula kamu ini sudah kepala empat! Ingat, usiamu sudah tidak muda lagi, kalau tidak sekarang, tidak dijodohkan, kapan kau akan menikah?” Nakula sang Ayah kembali mengoceh“Mulai sekarang kau dekati dia. Bagaimana caranya kau bujuk agar dia juga mau menikah denganmu!”“Dia sudah pasti mau menikah denganku! Secara dia kan mengincar harta kita!”“Jendra! Tutup mulutmu!” Bentak sang Ayah.“Ini sudah petuah Jendra! Keluarga kita sejak dari nenek moyang tidak pernah melanggar yang namanya sumpah dan janji. Kalau sampai melanggar yang kena ganjarannya bukan hanya kau saja, tapi seluruh anggota keluarga besar kita!”“Halah Ayah, zaman sudah maju begini masih saja percaya petuah lama!”“Jaga mulutmu Jendra! Zaman boleh berubah, tapi adat dan kepercayaan akan selalu sama. Dasar kau keras kepala! Percuma aku berdebat denganmu! Mulai besok bersikaplah baik dan ramah! Coba lebih dekat lagi dengannya.” Ucap sang Ayah sebelum ia pergi meninggalkan meja makan.***“Aku Jendra, kamu dimana?” Si lelaki dingin itu akhirnya mengirimkan pesan kepada Alona yang ia pikir adalah Tiara.“Alona ponselmu berdering terus tuh! Jangan jangan Ibu tirimu.” Ucap sahabat Alona yang sering di sapa Sarah.“Gak mungkin Ibu telpon, kalau ada apa apa pasti Ibu pasti kirim pesan. Ibu kan gak suka dengar suara aku” Sanggah Alona yang sedang melahap bakmi di kantin sekolah.“Yaudah lihat dulu barang kali ada yang penting!” Pinta Sarah cemas. Sarah adalah saksi hidup yang mengetahui bagaimana bengisnya Pretty kepada Alona.Alona mengambil ponselnya, benar saja ada beberapa panggilan yang tidak terjawab, berasal dari nomor yang tidak dikenal. Panggilan itu kembali masuk.“Halo, ini siapa?” Tanya Alona santai“Aku Rajendra. aku sekarang ada di depan universitasmu. Kau di fakultas apa?” Tanya Rajendra singkat padat dan jelas.Alona langsung tersentak kaget, ia batuk dan hampir saja tersedak.“Mau apa Tuan Jendra datang ke sana?”“Saya Jendra! Bisa paham dengan ucapan saya? Saya kan sudah bilang, tidak usah menggunakan kata Tuan?”“Maaf Jendra, tapi mau apa datang kesana?”“Ayahku menyuruhku datang menemuimu. Sudah jangan banyak omong kau dimana?”Alona sungguh kaget luar biasa. Ia bingung harus menjawab apa. Alona tidak sedang kuliah disana.“Ada apa Alona?” Tanya Sarah menggerakan bibirnya“Saya sedang tidak masuk kelas, saya sedang sakit, sebaiknya Tuan maksud ku Jendra pulang saja! Sudah dulu ya! Saya sedang meriang!” Pungkas Alona lalu mematikan ponselnya.“Sarah gawat, Sarah gawat! Lelaki itu datang ke universitas Kakak untuk menjemput aku” bagaimana ini Sarah?” Alona panik setengah mati“Waduh bahaya ini, lagian kenapa sih harus bilang universitas. Kenapa gak jujur bilang kamu masih sekolah?”“Kan sudah aku bilang itu maunya Ibu, Sarah!”**“Dasar bocah! matikan Telepon seenaknya saja! Akh . . Sudahlah aku pulang saja! Ngapain juga masih disini, buang buang waktu saja!” Rajendra langsung menginjak pedal gas dalam dalam.Mobil ceper berlogo kuda jingkrak itu melaju dengan kecepatan tinggi.Rajendra kini berada di kediaman Maria sang sepupu, ia selalu menghabiskan waktu disana saat kepalanya terasa mau pecah.“Jendra.. Jendra.. Dari dulu tuh ya, kamu tuh orang paling ribet sedunia” ucap Maria sambil menyuguhkan kopi untuk Kakak sepupunya itu.“Yah mau gimana lagi Maria?!”“Ngomong ngomong Jendra, daripada kamu terus pusing begini mending kamu cari kegiatan deh! Kerja misalnya, atau apa kek yang sekiranya kamu tuh ada kegiatan. Supaya pikiran stress mu akan teralihkan dengan pekerjaan.”“Kerja lagi kerja lagi, buat apa sih kerja. Menjadi owner di beberapa perusahaan saja sudah cukup membuatku sIbuk Maria. Sudahlah, Ayah terlalu kaya kalau aku kerja lagi!”“Yaah.. bukan bekerja untuk uang, tapi kerja untuk mengisi waktumu yang menyebalkan. Daripada kau terus berdiam diri dirumah, kau akan terus dihantui om nakula terkait pernikahan, tapi kalau kau bekerja setidaknya mengurangi waktumu bertemu dengannya.”Ucapan Maria Sang sepupu ada benarnya. Jendra memikirkan apa yang disampaikan oleh Maria cukup masuk akal.“Nggak usah kerja yang berat berat Jendra. Coba deh yang ringan ringan saja, misalnya menjadi guru atau tenaga pengajar yang setara.”“Guru? Guru apa modelan aku begini Maria? Aku kan nggak ada Basic menjadi guru. Lagi pula sekolah mana yang akan menerima aku?”“ Yaelah Jendra, jadi guru bahasa Inggris kan bisa. Untuk masalah sekolah nggak usah dipikirin! Kamu kan bisa masuk sekolah bokap! Udah deh nanti aku yang atur. Bagaimana caranya agar kamu bisa masuk sekolah milik papa. Gimana?”Jendra diam untuk beberapa saat. Ia memikirkan betul apa yang disarankan oleh Maria.“Sepertinya tidak terlalu buruk Maria. Mungkin aku harus coba.”“Nah gitu dong! Ya sudah, besok aku akan bicara sama papa agar kamu bisa langsung mengajar di sekolah miliknya” Pungkas Maria.Setelah beberapa sesi terapi, psikiater menyarankan agar Alona melakukan perjalanan untuk penyembuhan diri.Rajendra mengambil keputusan untuk membawa Alona berlibur ke Hawaii, tempat yang selama ini menjadi impian Alona.. Ia berharap suasana tropis, pantai indah, dan udara segar di sana dapat membantu Alona pulih dari traumanya. Dengan penuh semangat, Rajendra mulai mengurus semua akomodasi yang dibutuhkan, mulai dari tiket pesawat, hotel, hingga jadwal kegiatan yang akan mereka lakukan selama di sana.Ketika Rajendra memberitahukan rencana ini kepada Alona, ia merasa lega karena Alona tidak menolak ide tersebut. Meskipun masih terlihat lesu, Alona setuju untuk pergi bersama Rajendra ke Hawaii.Hari keberangkatan pun tiba, Rajendra dan Alona terbang menuju Hawaii dengan penuh harapan. Mereka tiba di hotel yang sudah Rajendra pesan sebelumnya dan disambut dengan hangat oleh staf hotel. “Bagaimana Alona? Kamu suka kan?” Tanya Rajendra saat membuka godrin yang menutupi kamarnya yang me
Setelah selesai merapikan tenda yang telah mereka gunakan untuk berkemah, Jendra bergegas meninggalkan lokasi kemah bersama Alona, sang istri. Sepanjang perjalanan, Jendra tak henti-hentinya memeluk Alona, meyakinkan sang istri bahwa dia akan selalu ada untuk melindungi dan mencintainya. "Kamu tenang ya, Sayang. Aku di sini, akan terus melindungi kamu," ucap Jendra dengan penuh tulus dan kehangatan.Mendengar kata-kata itu, Alona merasa hari itu begitu mencerahkan hatinya. Hatinya yang semula keras dan sulit menerima kebaikan orang lain, kini mulai luluh oleh ketulusan cinta Jendra. Alona tersadar bahwa Jendra sungguh mencintainya, lebih dari siapapun yang pernah ada dalam hidup mereka.Dibanding Saloka, yang sudah dikenal Jendra selama puluhan tahun, Jendra justru memilih untuk percaya pada Alona. Ia merasa beruntung memiliki suami yang setia dan tulus seperti Jendra.Perlahan, Alona menoleh pada Jendra, matanya berkaca-kaca seiring senyuman tulus yang terukir di wajahnya. "Terima k
Alona berada di dalam sebuah bangunan khusus toilet umum laki-laki, wajahnya tampak pucat pasi ketakutan. Tiba-tiba, Saloka muncul dari balik salah satu pintu toilet dengan senyum yang jahil dan sinis."Kamu mau apa, Saloka?" tanya Alona dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan rasa takutnya."Sudahlah, Alona, aku tahu Rajendra tidak mencintaimu. Cinta dia habis di Sitha, kau dinikahi aku yakin belum pernah disentuh bukan?" ucap Saloka dengan nada picik, sambil melangkah mendekati Alona.Alona terdiam, hatinya semakin khawatir dan ketakutan. Tiba-tiba, Saloka mengunci pintu toilet, membuat Alona merasa terjebak."Buka pintunya!" pekik Alona, hampir menangis."Tidak, aku tidak mau, lagipula ini toilet khusus lelaki, kamu yang salah berada disini," balas Saloka dengan nada datar, sambil tersenyum jahat."Buka! Atau aku teriak!" ancam Alona, mengumpulkan keberanian yang masih tersisa."Teriak saja, jika kau mau mati," ejek Saloka, mengejek ketakutan Alona.Alona merasa buntu, matanya
Malam itu, di tengah hutan pinus yang rimbun, Alona, Rajendra, dan teman-teman mereka berkumpul di sekitar api unggun yang menyala terang. Udara dingin menusuk tulang, dan angin kencang yang meniup dedaunan membuat suasana semakin akrab dan hangat. Di sekitar api unggun, mereka berbagi tugas dalam menyiapkan hidangan malam itu. Beberapa di antara mereka sibuk memasak, mengolah daging untuk barbekyu, dan mengatur piring serta alat makan. Alona dan beberapa teman wanitanya sedang bersemangat membuat minuman untuk menghangatkan tubuh di malam yang dingin ini.Sementara itu, Rajendra dan teman-teman lelaki lainnya bertanggung jawab atas api unggun yang menerangi kegelapan malam. Mereka mengatur kayu bakar dan memastikan nyala api tetap hidup untuk menjaga kehangatan di tengah dinginnya udara. Api unggun yang menyala semakin menambah keakraban suasana malam itu.Meskipun sibuk dengan urusan masing-masing, Rajendra tidak lupa untuk sesekali melirik istrinya, Alona, dari kejauhan. Dia mempe
Mentari pagi yang hangat mulai menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, mengusik tidur Alona dan Rajendra yang masih terlelap di atas sofa. Semalam, mereka berdua begitu larut dalam perbincangan tentang skema acara yang akan dihadiri, hingga akhirnya memutuskan untuk menonton film komedi bersama. Tanpa terasa, keduanya terlelap dan bermimpi indah."Rajendra, bangun, kita kesiangan!" seru Alona dengan panik, menyadari waktu yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Rajendra yang terkejut bangun, mendengus dan meregangkan tangannya dengan santai. "Jam berapa ini?" tanyanya pada Alona."Jam delapan," jawab Alona cepat, lalu berdiri hendak melangkah pergi. Namun, tanpa disadari, Rajendra menarik tangan Alona hingga membuatnya kembali terjatuh ke atas tubuh rajendra. "Aduh!" pekik Alona, merasakan rasa kaget yang luar biasa."Maaf Alona, mungkin ini lancang," ucap Rajendra dengan wajah yang tampak bersalah. Alona menatapnya dengan ekspresi bingung, mencoba memahami maksud dari tindak
Setiap hari, Rajendra semakin menunjukkan rasa cintanya pada Alona. Ia selalu berusaha menjaga dan memenuhi kebutuhan Alona sebagai suaminya. Mulai dari bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, hingga menemani Alona berbelanja keperluan rumah tangga.Rajendra juga sudah tak pernah lagi pergi clubbing seperti dulu. Ia hanya keluar untuk urusan bisnisnya saja, kemudian segera kembali ke rumah dan menghabiskan waktu bersama Alona.Namun, meskipun Rajendra berusaha keras menunjukkan rasa cintanya, Alona belum juga merespon perasaan tersebut. Ia masih belum bisa menerima keberadaan Rajendra sepenuhnya dalam hidupnya. Wajah Alona yang selalu datar dan dingin membuat Rajendra merasa khawatir.Suatu malam, saat makan malam bersama, Rajendra mencoba membuka percakapan dengan Alona. "Alona, aku tahu mungkin aku belum sempurna sebagai suami, tapi aku berusaha untuk lebih baik. Apakah kau bisa melihat usahaku?" tanya Rajendra dengan lembut.Alona menatap matanya, lalu menundukkan pandangannya. "Aku