Share

Jodohku Pak Dosen
Jodohku Pak Dosen
Penulis: D Lista

Bab 1 Sambal pindang

Pov Riyanti

Namaku Riyanti sering dipanggil Yanti, tetapi bukan artis Kridayanti lho.

Siang hari, selepas Zuhur aku bersama Amel pergi ke warung nasi rames yang berjarak sekitar 300m tidak jauh dari kos. Kalau ditanya kenapa kami suka membeli makan di situ, jawabnya karena penjualnya sangat ramah. Pemiliknya suka dipanggil Mbok Nem, beliau asli dari Bandung. Entah nama asli atau bukan, tetapi itulah panggilan akrab para pelanggan terbanyaknya yang tak lain adalah anak-anak kos. Aku dan Amel termasuk pelanggan setianya, karena membeli makan di sini tergolong ramah di kantong.

Aku dan Amel kuliah di jurusan matematika di salah satu universitas ternama wilayah Yogyakarta. Kami memang senasib masuk dengan tanpa tes, yakni mengandalkan nilai raport. Alhamdulillah, kami beruntung berasal dari SMA swasta di daerah pelosok, aku dari lereng gunung Sumbing Magelang Jateng dan Amel dari lereng Lawu Jatim. Kami termasuk berprestasi dari sekian gelintir murid yang ada dan mendapat kesempatan kuliah di kota pelajar.

"Mau makan apa hari ini, Ti?" tanya Amel yang sejujurnya nggak perlu dijawab pasti dia sudah tau makanan favoritku saat dompet masih lumayan tebal.

Lama tak kujawab, hanya senyum yang kulontarkan.

"Pasti pindang."

"Tau aja kamu, Mel."

"Kamu kan habis dapat honor privat, haha."

Amel hapal benar denganku yang memilih menu makanan disesuaikan budget. Kalau dompet lagi tebal maka kami pilih menu makanan yang sedikit lebih mewah dan bergizi macam pindang. Saat dompet menipis, kami akan memilih nasi sayur lauk tempe tepung. Beginilah nasib anak kos yang ingin berusaha menjaga status gizi dengan pengeluaran sehemat-hematnya.

"Neng Yanti dan Amel, pindang tinggal satu nih!" seru Mbok Nem, saat kami mendekati lemari kaca tempat menu makan dihidangkan. Warung ini seperti swalayan alias mengambil sendiri-sendiri. Amel yang tahu aku suka sekali dengan pindang segera mengibaskan tangan ke Mbok Nem dan beralih memilih menu lain.

Karena waktu menjelang siang hari, wajar pelanggan warung banyak berdatangan. Aku segera mengambil piring dialasi kertas minyak karena kami terbiasa beli nasi bungkus untuk dimakan di kos.

Aku mengisinya dengan Nasi, oseng kangkung dan terakhir pindang yang sudah menggoda mata. Segera kutusukkan garpu pada pindang yang hanya tersisa satu di wadahnya. Tapi hal tak terduga terjadi, ada satu garpu lagi yang sudah tertancap tepat disisi garpuku.

"Maaf, ini saya dulu yang ambil," ucapku.

"Jelas saya yang menancapkan garpu duluan," katanya tak mau kalah.

Sekilas terdengar suara seorang laki-laki, tetapi aku belum berani menatapnya. Kalau boleh aku ingin egois karena pindang ini membuat selera makanku naik yang berefek moodku bagus. Tentu hal ini akan mendongkrak aktivitas keseharianku yang tak lepas dari kesibukan kuliah, organisasi, serta mengajar privat.

"Ladies first," ucapku yang masih kekeh.

"Budayakan antri, FCFS (first come first served/pertama datang pertama dilayani)," balasnya.

Seketika aku teringat mata kuliah teori antrian. Aku dan Amel yang kini menginjak semester enam harusnya lebih dewasa, bukan seperti anak kecil yang berebut antrian. Eh, tunggu dulu, diakan juga kelihatan seperti bukan mahasiswa baru. Kuberanikan menatap wajahnya.

Duh malunya aku, segera kutolehkan wajahku ke samping tak berani lama-lama menatapnya.

'Kenapa wajahnya harus seadem ini?' gumanku yang segera disenggol Amel.

Sahabatku rupanya ikut malu melihatku berebut sambal pindang yang tinggal satu dengan seorang laki-laki tampan berusia sekitar 26 tahun. Dia mempesona, berkulit kuning rambut lurus disisir rapi. Badannya atletis terlihat dari kaos slim yang dikenakannya, pasti dia rajin berolahraga. Satu kata lagi fix dia tampan, tapi sikapnya tidak mencerminkan fisiknya. Rasa kagumku langsung menguap entah kemana.

"Maaf Mas, ini sambal pindang kesukaan Neng Yanti. Gimana kalau Mas pilih yang lain?"

Aku tersenyum penuh kemenangan mendapati Mbok Nem membelaku, tetapi tidak dengan laki-laki itu. Dia masih menatapku dengan tatapan dingin.

"Mbok lain kali budayakan antri, siapa yang lebih dulu ya dapat duluan," sarannya.

Ada sedikit rasa nyeri di dadaku tepatnya sakit hati kenapa laki-laki ini tak mau mengalah pada perempuan. Teori antrian yang telah kupelajari sudah tidak aku praktekkan karena mengincar sambal pindang. Sudah bisa kupastikan dia tercoret dari list kriteria calon pasanganku meski dia tampan. Mungkin aku kepedean mengklaimnya di list calon pasanganku. Akhirnya dia mengalah dan membiarkanku tersenyum bahagia sementara dia menggerutu.

"Ti, kamu kenapa ngotot sih. Malu-maluin tahu," bisik Amel padaku.

"Nggak tau juga, Mel. Aku cuma mau menunjukkan ladies first. Apa dia masuk golongan yang menggaungkan slogan itu, ternyata enggak. Amel hanya menggelengkan kepalanya. Akhirnya kesampaian juga aku makan siang dengan sambal pindang setelah berdebat dengan laki-laki yang asing bagi Aku dan Amel, karena dia baru kali ini terlihat di warung Mbok Nem.

"Hey, jangan makan sambil senyum-senyum sendiri! Mbayangin laki-laki yang tadi, huh?"

Aku hanya tersenyum simpul.

"Sebenarnya aku malu, Mel. Aku berharap kita nggak akan ketemu lagi sama orang itu."

"Ya mana kita tahu. Barangkali dia satu kampus dengan kita, hayo?"

"Ah, jangan nakut-nakuti aku, Mel."

Seketika Aku merasa takut dan bersalah pada laki-laki itu. Takut kalau benar adanya kami akan ketemu di kampus yang sama dan bersalah telah merebut pindang karena jelas dia yang menusuk garpunya duluan.

'Oh tidak, aku tidak mau pusing memikirkanmya. Banyak yang harus aku pikirkan dari pada mikirin laki-laki itu.'

Aku harus memikirkan kuliah, menjabat sekretaris diorganisasi, dan mengajar privat beberapa murid. Terkadang ada juga job ngajar kelas di luar kota saat akhir pekan, tapi hanya tertentu saja.

Semua kulakukan demi mengembalikan senyum Bapak dan Ibu yang sudah tujuh tahun sirna bersamaan dengan bangkrutnya bisnis Bapak.

---

Pagi-pagi sekali aku sudah berdandan dengan tunik motif floral sepanjang lutut dan celana hitam serta jilbab marun senada baju. Tak lupa kupoles tipis bedak tabur dan lipstik harga murah untuk melembabkan bibir yang kering karena sering terpapar sinar mentari. Sementara itu, Amel lebih pintar berdandan. Dia lebih tahu fashion yang modis, tetapi masih sopan. Dia sama berhijabnya denganku.

Kami sudah sampai di ruang kuliah setelah berjalan dari kos. Kami masih sedikit terengah-engah saat duduk karena ruangnya di lantai tiga gedung C. Kali ini kami ada jadwal kuliah analisis riil.

Tiba-tiba ada tepukan di bahuku dari Amel, yang mengisyaratkan aku untuk melihat arah pintu.

Astaghfirullah, doaku ternyata tidak terkabul.’

Pagi ini ada mahasiswa baru muncul secara tiba-tiba di kelas kami. Ternyata tebakanku salah, dia duduk di kursi dosen.

"Astaga, dia laki-laki kemarin, bukan?" ucap Amel berbisik di telingaku. Aku hanya terbengong dan menyambar buku yang dipegang Putri sahabatku, juga Amel untuk menutupi wajahku.

'Ya Rabb, dari sekian banyak orang kenapa harus ketemu laki-laki itu di sini. Ingin rasanya kutenggelamkan saja wajahku di bantal kamar kosku.'

“Mbak, yang pakai baju bunga-bunga!” serunya yang masih terdengar ditelingaku.

Deg!

Jantungku berdetak tak karuan karena merasa dia memanggilku.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
D Lista
CERITA INI ADA 3 SEASON. SEASON 1: tentang Alfa dan Riyanti (Jodohku Pak Dosen) SEASON 2: Alfian dan Sarah (Dosen itu Mantanku) SEASON 3: Aryo Syailendra dan Nayla Zahra (Dosenku Suamiku) selamat membaca, seru lho.
goodnovel comment avatar
Fakhrur Reza
ceritanya membuat kita serasa kembali ke masa2 kuliah dulu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status