Share

Jodohku Seorang Janda Kaya Raya
Jodohku Seorang Janda Kaya Raya
Penulis: Irma_Asma

1. Kedatangan Bu Rasti

Tok! Tok! Tok!

"Lintar! Keluar kamu!" teriak seorang wanita paruh baya, berdiri angkuh di depan pintu rumah sederhana milik seorang pemuda yang bernama Lintar.

"Itu Bu Rasti kenapa, Mbak?" tanya seorang wanita bertubuh tambun sambil mengerenyitkan dahi. Kebetulan saat itu, ia sedang berbelanja di sebuah warung tidak jauh dari kediaman Lintar.

"Nggak tau, mungkin Bu Rasti kesurupan kali," jawab seorang wanita setengah baya sambil tertawa-tawa.

"Ah, Mbak. Bisa aja."

"Baru tau yah? Bu Rasti dari dulu emang gitu ... sombong, angkuh, dan sok kaya," sahut seorang ibu yang mengenakan kerudung biru, mencemooh sikap Rasti yang sudah bersikap keterlaluan.

Rumah sederhana yang didominasi dengan warna cat biru langit pada dindingnya, itu merupakan kediaman Lintar yang berdiri kokoh di antara deretan rumah-rumah penduduk lain yang ada di pinggiran jalan utama desa tersebut. 

Sudah hampir 5 tahun lamanya, Lintar mendiami rumah tersebut seorang diri, karena kedua orang tuanya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan. 

"Lintar!" Wanita paruh baya itu kembali berteriak dengan suara lebih keras dari sebelumnya. "Keluar kamu!" teriaknya lagi lebih keras dari sebelumnya.

Lintar yang saat itu masih terlelap tidur tidak mendengar suara teriakan dari Rasti—seorang wanita paruh baya yang paling angkuh di lingkungan kampung tersebut.

Karena masih belum mendapat tanggapan dari sang pemilik rumah, maka Rasti pun berteriak lagi, "Lintar! Jangan pura-pura tuli kamu, yah. Buka pintunya! Saya mau bicara penting dengan kamu."

Suara teriakan Rasti semakin terdengar keras, tangannya pun tak mau berhenti terus mengetuk-ngetuk daun pintu rumah tersebut. Bahkan tak segan-segan, ia menggedor pintu rumah itu dengan kasarnya.

Dengan demikian, Lintar langsung terbangun dari tidurnya, karena merasa terganggu oleh kerasnya suara teriakan Rasti.

"Ya, Allah! Siapa sih, itu?" desisnya masih dalam kondisi mengantuk.

Setelah itu, ia langsung bangkit dari tempat tidurnya, dan bergegas melangkah keluar dari dalam kamar. 

"Iya, Bu. Tunggu sebentar!" Lintar menyahut sambil melangkah ke arah pintu, kemudian langsung membukanya.

Sejatinya, Lintar masih dalam kondisi ngantuk berat, setelah semalaman tidak dapat tidur. Siang itu, ia baru saja memejamkan matanya, karena baru selesai mengerjakan tugas perusahaan dari bosnya yang ia bawa ke rumah. 

Setelah pintu terbuka, tampak seorang wanita paruh baya bertubuh gempal tengah berdiri angkuh di depan pintu rumahnya. Raut wajah Rasti tampak memerah, ketus, dan penuh amarah, sorot matanya yang tajam menatap sinis wajah Lintar. 

"Bu Rasti! Ada apa, Bu?" sapa Lintar dengan sikap ramahnya. Lintar langsung mempersilakan tamunya itu untuk duduk di sebuah kursi yang ada di teras kediamannya.

"Silakan duduk dulu, Bu!" 

"Tidak perlu!" jawab Rasti ketus. 

Sekilas dapat dipahami oleh Lintar, bahwa wanita paruh baya itu sedang dilanda kegusaran. Namun, Lintar tetap menunjukkan rasa hormat dan sopan santun terhadap tamunya itu. 

"Kamu sengaja tidak langsung membuka pintu karena ingin mempermainkan saya?!" bentak Rasti penuh emosi, suaranya keras terdengar sangat nyaring. Napasnya pun terdengar menderu-deru menahan rasa emosi yang berkecamuk dalam jiwa dan pikirannya. 

Dua bola matanya yang tajam terus menatap wajah Lintar penuh kebencian. Seakan-akan, ia hendak menelan mentah-mentah pemuda itu. 

"Maaf, Bu. Tadi saya sedang tidur di dalam kamar, saya tidak mendengar teriakan Ibu, dan tidak bermaksud untuk mempermainkan Ibu," kata Lintar menjelaskan. 

Rasti menarik napas dalam-dalam, matanya yang tajam terus menatap wajah Lintar penuh kegusaran. "Saya ingin bicara dengan kamu," kata Rasti masih bersikap sinis. 

"Ada masalah apa ya, Bu?" tanya Lintar penasaran. 

Pemuda berwajah tampan itu tetap berusaha tenang dan bersikap ramah terhadap sang tamu. Karena walau bagaimanapun, Rasti adalah ibunya Eva—sahabat dekatnya. 

"He, kamu jangan sok bersikap baik di hadapan saya!" bentak wanita paruh baya itu sambil menatap tajam wajah Lintar.

Meskipun sudah dibentak secara kasar, Lintar masih tetap bersikap tenang dan tidak mau menanggapi sikap kasar dari tamunya itu. Lintar berpikir, walau bagaimanapun Rasti adalah orang yang lebih tua darinya, dan harus tetap dihormati sebagaimana mestinya.

Melihat Lintar hanya diam saja, Rasti tampak semakin geram. Lantas, ia pun kembali membentak, "Kamu punya kesalahan besar terhadap anak saya! Apa kamu tidak menyadarinya?" tanya Rasti bernada tinggi.

Lintar tampak kaget mendengar perkataan yang terlontar dari mulut wanita paruh baya itu.

'Astagfirullaahal'adziim,' ucap Lintar dalam hati.

Sikap Rasti memang sudah sangat keterlaluan, tiba-tiba datang dan langsung memaki-maki dirinya. Meskipun demikian, Lintar tetap bersikap sabar dan berusaha tenang dalam mengendalikan amarahnya agar tidak terpancing oleh sikap angkuh wanita paruh baya itu.

Dengan lirihnya, Lintar pun kembali berkata, "Maaf ya, Bu. Kenapa Ibu tiba-tiba memarahi saya? Saya tidak ada persoalan apa-apa dengan anak Ibu," Lintar berkata sambil mengerenyitkan kening. "Hubungan kami baik-baik saja, Bu," tambahnya masih dalam keadaan bingung.

"Saya ingatkan kamu, jangan pura-pura pikun! Kamu sudah menyakiti perasaan anak saya, kamu harus bertanggung jawab. Karena ulah kamu anak saya kabur dari rumah!" bentak Rasti. Dia sudah tidak dapat mengendalikan amarahnya, sikapnya terhadap Lintar semakin kasar saja.

"Astaghfirullaahal'adziim, Ibu tidak seharusnya bersikap seperti ini!" ucap Lintar lirih. 

"Kamu mau ceramah di hadapan saya?" tanya Rasti kasar melotot tajam.

"Mohon maaf ya, Bu. Bukan itu maksud saya, jika memang ada persoalan, sebaiknya kita selesaikan dengan baik-baik!" jawab Lintar berusaha untuk menenangkan Rasti dengan harapan amarah dalam jiwa dan pikiran wanita paruh baya itu sedikit mereda. 

"Kamu jangan coba-coba mengajari saya. Asal kamu tahu, saya ini lebih tua dari kamu!" bentak Rasti tidak terima dengan perkataan Lintar yang dia anggap sudah lancang menasihati dirinya.

Rasti merupakan orang paling kaya di kampung tersebut. Akan tetapi, banyak warga yang tidak suka terhadap dirinya, karena keangkuhan dan sikap sombong yang dimilikinya. Bahkan para tetangganya pun tidak ada yang mau bergaul dengannya. 

Lintar mengerutkan kening, lalu menjawab dengan sikap tenang, "Perasaan, saya tidak pernah melakukan hal buruk terhadap putri Ibu. Hubungan saya dengan Eva baik-baik saja, Bu," kata Lintar berusaha membela diri.

Rasti tidak mau peduli dengan perkataan yang terlontar dari mulut Lintar. Mendengar penjelasan Lintar seperti itu, ia malah semakin geram saja, dua bola matanya tajam menatap wajah Lintar yang berdiri di hadapannya. 

"Kamu sudah menolak mentah-mentah cinta anak saya. Lantas, kamu bilang tidak ada persoalan apa-apa?!" bentak Rasti untuk kesekian kalinya.

Dengan segenap kesabaran yang dimilikinya, Lintar hanya menghela napas dalam-dalam. Lintar sudah tidak mau lagi menjawab perkataan Rasti yang semakin lama semakin kasar saja, sehingga membuat Rasti tambah semakin gusar.

"Seharusnya orang miskin seperti kamu ini bersyukur. Karena ada seorang gadis dari anak orang terkaya di kampung ini sudah menyukaimu!" 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Lintar tarik nafas dalam dalam
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status