Share

2. Lintar Menemui Eva di Rumah Devia

Perkataan Rasti sangat menyakitkan sekali. Namun, Lintar hanya diam saja, ia tidak mau meladeni kemarahan wanita paruh baya itu. Lintar tampak bingung dan harus berkata apa lagi, supaya Rasti dapat memahami penjelasan darinya.

Sehingga, Lintar mulai mengambil sebuah keputusan untuk mengalah, karena tidak ada faidahnya jika terus berdebat terlalu lama dengan wanita paruh baya yang super sombong itu. 

Lintar menarik napas dalam-dalam. Setelah beberapa saat lamanya terdiam, akhirnya Lintar kembali buka suara, "Baik, Bu. Saya akan mencari Eva, sampai saya menemukannya" tegas Lintar. 

Rasti menudingkan jari telunjuknya ke arah Lintar sambil melotot tajam.

"Saya pegang ucapan kamu! Kalau kamu bohong, saya tidak akan segan-segan untuk melaporkan kamu kepada pihak kepolisian!" kata Rasti melontarkan ancaman.

Lintar tersenyum hambar menatap wajah wanita paruh baya itu. Namun, Lintar tidak mau ambil pusing dengan sikap Rasti yang sudah keterlaluan itu, sehingga dirinya pun mengiyakan perkataan Rasti.

"Iya, Bu. Saya akan segera mencari anak Ibu," jawab Lintar. "Saya akan bertanggung jawab atas kaburnya Eva," tandas Lintar menambahkan.

"Harus kamu ketahui juga! Saya datang ke sini, bukan karena ingin meminta kamu agar menerima cinta anak saya," kata Rasti dengan mulut terbuka lebar. "Karena saya tidak sudi punya menantu miskin seperti kamu!" imbuhnya penuh kegusaran.

Setelah itu, Rasti langsung berlalu dari hadapan Lintar tanpa mengucapkan salam.

Semua kalimat yang terlontar dari mulut wanita paruh baya itu, sangat menyakiti perasaan Lintar. Secara tidak langsung, Rasti sudah mempermalukan Lintar di hadapan para tetangganya yang saat itu mengetahui kedatangan orang kaya angkuh itu.

Bahkan, kemarahan yang ditunjukkan oleh Rasti menjadi sebuah tontonan warga yang ada di sekitaran rumah Lintar. Warga sekitar merasa iba melihat pemandangan seperti itu, bahkan mereka pun turut berkomentar atas sikap Rasti.

"Urusan cinta ditolak mau bawa-bawa pihak kepolisian," gerutu salah seorang tetangga dekatnya Lintar yang pada saat itu tengah berkumpul di sebuah warung tidak jauh dari kediaman Lintar.

Semua orang yang ada di warung tersebut, mendengar jelas kata-kata kasar penuh cacian yang keluar dari mulut Rasti.

"Sekalian saja lapor ke presiden!" sahut yang lainnya geram terhadap sikap Rasti yang sungguh keterlaluan.

Para tetangga dekat Lintar sangat prihatin melihat Lintar yang hidup sebatang kara, dicaci-maki oleh Rasti. Mereka sangat mengenal baik Lintar dan tahu siapa itu Lintar? Dia adalah seorang pemuda yang baik dan sopan terhadap sesama. Meskipun jarang bergaul, namun Lintar memiliki sikap yang ramah ketika bertemu dengan para tetangga.

"Kejam banget ya, Bu Rasti? Kasihan si Lintar, baru bangun tidur sudah dimaki-maki," desis Rika yang merupakan tetangga dekatnya Lintar.

"Biasanya kalau orang sering dihina, akan diangkat derajatnya oleh Allah," sahut yang lainnya.

"Begitu pun sebaliknya, bagi orang yang suka menghina. Maka, hidupnya akan cepat hancur," timpal seorang pria paruh baya yang tengah duduk santai menikmati segelas kopi hitam di beranda warung tersebut.

"Memang benar, Pak Giman. Ibarat kata pepatah, api yang cepat menyala akan cepat padam, begitu pun dengan kesombongan. Sudah barang tentu, kesombongan Bu Rasti akan mencelakai dirinya sendiri," tandas Rika berpaling ke arah Giman.

"Saya juga kemarin ketemu sama Bu Rasti di minimarket. Disapa sopan-sopan sama saya, eh malah buang muka. Jadi malu sendiri saya," sahut seorang ibu yang sebaya dengan Rika.

"Lagian, Ibu gak ada kerjaan menyapa orang sombong seperti itu," kata sang pemilik warung.

"Saya ini, 'kan menghargai dia sebagai tetangga."

"Iya, tapi Bu Rasti tidak menganggap kita sebagai tetangganya," sahut Pak Giman tersenyum-senyum sembari geleng-geleng kepala.

* * *

Pukul empat sore, Lintar sudah bersiap untuk segera berangkat mencari Eva. Ia tetap berusaha untuk bertanggung jawab atas kaburnya Eva, meskipun itu bukan sepenuhnya kesalahan dirinya.

"Kalau tahu persoalannya akan seperti ini, mungkin dari dulu aku tidak akan mendekati si Eva," gerutu Lintar sambil menutup pintu dan langsung melangkah menghampiri motor matic tua kesayangannya, yang warna bodinya sudah usang tidak mengkilap lagi.

"Lintar!" teriak seorang pria paruh baya dari arah belakang Lintar.

Mendengar teriakan tersebut, Lintar berpaling ke arah ke arah belakang. Lantas, ia menjawab, "Iya, Pak. Ada apa?" tanya Lintar lirih.

Pria paruh baya itu tidak menjawab pertanyaan Lintar, ia hanya tersenyum sambil melangkah menghampiri Lintar yang sudah bersiap hendak berangkat mencari Eva.

"Kamu mau ke mana, Tar?" tanya pria paruh baya itu, berdiri di hadapan Lintar.

"Mau mencari Eva, Pak Giman," jawab Lintar dengan sikap ramah.

"Ya, Allah! Lintar. Biarkan saja, itu, 'kan bukan kesalahan kamu. Kenapa harus repot-repot menuruti perintah Bu Rasti?"

"Kok, Pak Giman tahu, sih?"

"Ya, tahu. Bukan hanya saya saja yang tahu, semua warga kampung ini tahu tadi siang kami dimarahi Bu Rasti," jawab pria pria paruh baya itu. "Sebaiknya kamu jangan repot-repot mencari Eva, dia tidak mungkin kabur jauh!" sambungnya lirih.

"Tidak apa-apa, Pak. Walau bagaimanapun, Eva adalah sahabat baik saya. Jadi, saya juga harus bertanggung jawab, saya takut terjadi apa-apa dengan Eva."

Giman menghela napas panjang, ia tersenyum lebar menatap wajah pemuda tampan itu. Ada rasa kagum yang terbesit dalam pikiran Giman kala itu.

"Kamu sangat baik dan bersikap bijaksana. Ya, sudah. Semoga kamu dapat secepatnya menemukan Eva," ucap Giman lirih.

"Iya, Pak," kata Lintar balas tersenyum.

Setelah itu Lintar pamit kepada pria paruh baya itu, dan langsung menjalankan motornya berlalu dari hadapan Giman.

Saat itu Lintar langsung menuju ke rumah Devia dengan mengendarai motor matic warisan almarhum ayahnya. Lintar sangat yakin bahwa Eva pasti ada di rumah Devia.

"Semoga saja, Eva ada di rumah Devia. Ya, Allah! Tolonglah hamba!" desis Lintar sambil terus melajukan motornya menyusuri jalan utama desa yang tembus hingga ke sebuah kompleks perumahan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari desa tempat tinggalnya.

Perjalanan menuju ke kediaman Devia hanya memakan waktu sekitar 10 menit saja. Ketika sudah tiba di depan rumah Devia yang berdiri kokoh di antara deretan rumah-rumah megah yang ada di kompleks perumahan tersebut. Lintar langsung menepikan motornya tepat di bahu jalan dekat pintu gerbang rumah itu.

Seorang pria paruh baya tersenyum lebar menyambut kedatangan Lintar. Ia langsung melangkah menghampiri Lintar yang baru saja turun dari motornya.

"Selamat sore, Nak Lintar," ucap pria paruh baya itu bersikap ramah dan sopan terhadap Lintar.

"Iya, Pak Edi. Selamat sore juga," jawab Lintar tersenyum lebar sedikit membungkukkan badan.

"Kenapa motornya tidak sekalian dimasukkan saja, Nak Lintar?!" tanya Edi meluruskan pandangannya ke wajah Lintar.

"Tidak apa-apa, Pak. Di sini saja, saya tidak lama kok," jawab Lintar lirih. "Ngomong-ngomong, Devianya ada, Pak?" sambung Lintar bertanya. 

"Ada, tadi saya lihat Non Devia sedang ngobrol dengan Non Eva," jawab pria paruh baya itu. 

Lintar tampak semringah setelah mendengar bahwa Eva ada di rumah tersebut. "Jadi, Eva sedang bersama Devia, Pak?" tanya Lintar lagi.

"Iya, ada. Non Eva sudah dua malam menginap di sini."

"Alhamdulillah! Ya, Allah!" ucap Lintar tampak senang mendengar jawaban dari petugas keamanan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status