Lintar tersenyum mendengar pertanyaan dari Sekar. "Pertanyaannya membuat Kakak bingung harus jawab apa?" jawab Lintar meluruskan dua bola matanya ke wajah Sekar.
"Kok, bingung? Kan, tinggal jawab saja, Kak," desak Sekar.
Dengan demikian, Lintar pun langsung menjawab pertanyaan gadis cantik itu, "Antara Kakak dengan Eva tidak ada hubungan spesial. Kami hanya bersahabat saja sama seperti dengan hubungan kita," tandas Lintar menjelaskan.
Dengan demikian, Sekar pun merasa lega mendengar jawaban tersebut. Seakan-akan, ia memiliki peluang besar untuk mendekati pemuda tampan yang selama ini sangat ia kagumi.
"Memangnya ada hal apa, Kar? Kamu kok, bertanya masalah hubungan Kakak dengan Eva?"
Ditanya seperti itu oleh Lintar, mendadak Sekar menjadi salah tingkah, bibirnya terasa kelu, dadanya pun mulai berdebar-debar. Apalagi ketika melihat dua bola mata sang pemuda tampan yang terus menatapnya.
"Maaf ya, Kak. Sebenarnya—" Sekar tidak melanjutkan perkataannya, ia terdiam sejenak sambil menarik napas dalam-dalam.
Lintar menjadi semakin bingung melihat sikap gadis cantik itu. Dalam benaknya pun berkata, 'Ya, ampun! Ini gadis tidak jelas banget, sih?'
Meskipun demikian, Lintar tetap bersikap biasa-biasa saja. Ia tidak mau menampakkan sikap yang sebenarnya. Dengan penuh kelembutan, Lintar bertanya lagi, "Coba kamu katakan saja! Jangan sungkan!"
"Maaf ya, Kak. Aku ini suka dan sangat mencintai Kakak, dan aku juga pernah mengatakan hal ini pada Kakak," ungkap Sekar, suaranya terdengar bergetar. "Hari ini, aku ingin mengulangi lagi pertanyaanku yang dulu pernah aku ucapkan kepada Kakak, tapi belum Kakak jawab," sambung gadis itu, memberanikan diri.
"Kakak pikir kamu itu hanya becanda saja, Kar."
"Aku serius, Kak. Urusan hati tidak mungkin aku bercanda."
"Ya, Allah! Kok, bisa? Kakak ini, kan umurnya lebih tua dari kamu. Apa pantas kamu jadi pacar Kakak?"
"Cinta itu buta, Kak. Aku sendiri tidak paham dengan keadaan ini, dan aku tidak bisa menolak perasaan yang tiba-tiba hadir dalam jiwa dan pikiranku ini." Sekar mengangkat wajahnya dan memandangi wajah Lintar.
Lintar tersenyum lebar, meskipun dirinya tidak ada perasaan apa-apa terhadap Sekar. Namun, ia tetap berusaha untuk tidak mengecewakan gadis itu.
"Kakak butuh waktu untuk menjawab semua ini, dan kamu harus sabar sambil memikirkan kembali tentang keadaan cintamu itu. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari, karena sudah mencintai Kakak yang seperti ini!" Tanpa disadarinya, ucapan yang keluar dari mulutnya. Menumbuhkan setitik harapan dalam diri Sekar.
"Ya, sudah. Tidak apa-apa, Kak! Lagi pula, aku tidak mengharuskan Kakak menjawabnya sekarang," kata Sekar tampak semringah, senyum bahagia terlukis di ujung bibirnya.
Harapan besar pun terpancar dari sorot matanya yang indah itu, meskipun sudah dua kali menyatakan perasaannya kepada Lintar dan belum juga mendapatkan jawaban pasti. Namun, Sekar tak pernah menyerah dan patah arang. Ia tetap sabar menanti datangnya waktu yang tepat baginya mendengar jawaban yang menyenangkan dari Lintar
.
Setelah mengungkapkan isi hati yang kedua kalinya, Sekar langsung pamit dan berlalu dari hadapan Lintar.
"Harusnya aku ini tegas, dan menolak cintanya Sekar. Tapi, aku tidak tega dan merasa kasihan sama dia," desis Lintar.
* * *
Beberapa hari kemudian, Ketika Lintar sedang duduk santai di beranda rumah. Datang seorang gadis cantik imut, mempunyai warna kulit putih dengan rambut lurus hitam terurai. Gadis itu adalah Anggi, ia berhenti di balik pintu gerbang rumahnya.
"Hai, Kak! Sedang apa, Kak?" tanya Anggi sambil tersenyum manis menatap wajah Lintar.
"Eh, Anggi! Kakak sedang santai saja, Gi," jawab Lintar bersikap ramah.
"Kak Lintar! Boleh aku masuk?!" kata Anggi sambil tersenyum menampakkan lesung di pipinya.
'Ya, Allah! Di saat aku mau berusaha untuk menghindari gadis-gadis di desa ini. Tapi kenapa, mereka justru malah berdatangan,' kata Lintar dalam hati.
Kemudian, Lintar mengangguk pelan, sikapnya tampak dingin dan tidak terlalu merespon kehadiran Anggi. Ia hanya sedikit membalas dengan senyum tawar.
Anggi pun langsung melangkah menghampiri Lintar. "Aku duduk ya, Kak. Boleh, 'kan?"
"Boleh, Gi." Lintar menjawab dengan sikap dingin, hal tersebut membuat Anggi merasa tersinggung. Karena sikap Lintar jauh beda dengan sikap biasanya.
"Kak Lintar. Kok, sombong, sih?" kata Anggi dengan wajah ketus.
"Siapa yang sombong, Gi?"
"Kak Lintar sikapnya aneh tidak seperti biasanya," pungkas Anggi langsung berlalu dari hadapan Lintar.
"Cantik-cantik tapi mudah marah!" desis Lintar sambil tersenyum-senyum sendiri.
Anggi awalnya ingin memberikan sesuatu buat Lintar. Namun, karena sikap Lintar yang terkesan cuek, sehingga Anggi pun mengurungkan niatnya dan memilih kembali pulang ke rumahnya. Anggi tampak kecewa sekali akan sikap yang ditunjukkan oleh Lintar pada saat itu.
"Wajahnya memang tampan tapi sayang Kak Lintar sekarang sombong," umpat Anggi sembari terus melangkah.
"Gi!" teriak Dani dari atas loteng kediamannya sambil melambai-lambaikan tangan ke arah Anggi.
Dengan demikian, si gadis cantik itu menghentikan langkah sejenak. Kemudian, menengadahkan wajah ke arah Dani.
"Iya, Kak. Ada apa?" Anggi balas bertanya.
"Ada yang jatuh, Gi!" gurau Dani.
"Apa yang jatuh. Biar aku ambilkan?"
"Hati Kakak," jawab Dani tertawa lepas.
Wajah Anggi seketika berubah menjadi ketus. "Hah. Bodo amat!" Anggi tampak kesal dan langsung melanjutkan perjalanan menuju ke rumah dengan langkah lebih dipercepat lagi.
"Pria-pria di sini tidak ada yang benar, semua menyebalkan," gerutu Anggi.
"Jangan marah, Gi! Kak Dani hanya becanda," teriak Dani.
Namun, Anggi sudah tak mau lagi mendengar perkataan dari Dani. Ia tampak marah dan kecewa dengan sikap Dani yang sudah meledeknya.
Tidak lama setelah itu, Lintar kembali didatangi seorang gadis cantik berhijab. Gadis tersebut datang seorang diri dan langsung menghampiri Lintar yang sedang diam termangu di beranda rumah.
"Assalamualaikum," ucap gadis itu lembut.
Sontak membuat Lintar terperanjat dari lamunannya. "Waalaikum salam," jawab Lintar sedikit merasa kaget.
Gadis itu adalah Mira yang rumahnya tidak jauh dari kediaman Lintar. Mira merupakan putri sulungnya ketua RT di lingkungan tempat tinggal Lintar.
Mira melontarkan senyum ke arah Lintar. Kemudian berkata, "Maaf, Kak. Kakak bisa tolongin aku tidak?" tanya Mira tersenyum manis memandang wajah Lintar.
Lintar mengerutkan kening. Lantas, ia pun menjawab, "Minta tolong apa, Mir?" Lintar balas bertanya dengan sikap biasa-biasa saja. Saat itu, Lintar tidak seperti biasanya, ia terlihat dingin dan banyak diam.
"Sebentar, Kak!" Tanpa diminta Mira langsung melangkah menuju ke arah Lintar yang sedang duduk di teras rumahnya.
Kemudian, Mira langsung duduk di samping Lintar. Dengan penuh kelembutan, Mira berkata, "Ponselku eror, Kak."
"Terus mau diapakan, Mir?" sahut Lintar mengarahkan pandangannya ke wajah gadis cantik itu.
"Aku cuma mau minta tolong, Kakak bisa perbaiki ponselku tidak?" jawab Mira bersikap lembut di hadapan Lintar. Seakan-akan, ia tengah menebar pesona agar Lintar mulai simpati.
"Ya, Allah! Mira! Kakak ini bukan Koh Ancin tukang servis handphone. Ya, tidak bisalah!" jawab Lintar sambil tersenyum.
Mira balas tersenyum, dalam hatinya berkata, 'Aku juga tahu, Kak Lintar tidak mungkin bisa servis ponselku. Ini hanya trik, agar aku bisa dekat dengan kamu, kakak tampan.' "Hai! Kamu kenapa, Mir?" tanya Lintar sedikit mengagetkan Mira yang terus memandanginya. "Ti–tidak apa-apa, Kak." Mira menyahut dengan gugupnya. "Kirain—" "Kirain kenapa, Kak?" "Kirain kamu kesambet," jawab Lintar tertawa lepas. "Kak Lintar jahat!" Mira tampak ketus. Namun, meskipun demikian, ia tetap bahagia bisa berada di dekat pria tampan yang sangat ia kagumi itu. 'Aku hanya ingin melihatmu bahagia meski pada akhirnya kau tidak bersamaku. Walau pada akhirnya aku tidak bersamamu maka yang paling aku inginkan adalah melihatmu bahagia. Ketahuilah aku akan merasa sedih ketika kau bersedih dan aku merasa tidak tega jika harus melihatmu menderita, meski aku bukan siapa-siapa bagimu namun aku berharap kau bahagia,' kata Mira dalam hati. Mira memiliki perasaan cinta dan sayang terhadap Lintar. Namun, ia tidak sep
Dengan gerakan cepat, Lintar langsung berlari menghampiri kedua pria tersebut. Tanpa basa-basi, Lintar langsung menghujamkan dua pukulan keras mengenai wajah dua pria itu, sehingga mereka terjatuh dengan mulut mengeluarkan darah segar, akibat hantaman tinju keras dari Lintar. "Kurang ajar! Siapa kau?" bentak salah seorang di antar kedua pria itu, tampak kesal dengan kehadiran Lintar. Tampang mereka terlihat sangar, berkulit hitam legam dan wajahnya dipenuhi banyak bekas luka. Sepertinya, mereka adalah para preman di tempat tersebut. Dari tampang mereka sudah jelas tergambar, bahwa mereka merupakan orang-orang yang lekat dengan kekerasan. "Aku tidak pernah menghendaki adanya perkelahian. Namun, kalianlah yang telah memulainya," kata Lintar berusaha untuk tetap tenang dalam menghadapi kedua pria itu. "Jangan banyak bicara! Hadapi saja aku!" tantang salah satu dari mereka bangkit dan langsung memburu Lintar dengan mengayunkan tangan hendak memukul ke bagian wajah Lintar. Lintar bukan
Setibanya di dalam restoran, mereka berdua langsung duduk saling berhadapan. Dada mereka mulai berdebar-debar ketika mata mereka saling berpandangan, keduanya terus saling memandang satu sama lain. Merasakan getaran-getaran yang tumbuh dalam jiwa dan pikiran mereka. Saling menilai, mengamati, dan menelaah kepribadian di antara mereka melalui pandangan mata. Sehingga, rasa suka sulit ditahan lagi, tumbuh dan berkembang seiring dengan kebersamaan mereka saat itu. "Terima kasih ya, Wi. Sudah mengajakku ke sini," kata Lintar lirih. Dewi hanya tersenyum sambil memegang erat telapak tangan Lintar. "Sama-sama. Justru aku yang harus berterima kasih kepada kamu." Dewi menyahut dengan suara lembutnya. Tidak lama kemudian, datang seorang pelayan dengan membawa catatan menu makanan. Pelayan tersebut langsung menyapa Dewi dan Lintar, “Selamat datang di restoran kami, Pak, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu dengan sikap ramahnya. Dewi langsung meraih catatan menu yang diberikan ol
Tidak terasa hari sudah semakin sore, dan sebentar lagi waktu magrib akan segera tiba. Dua jam sudah berlalu di antara kebersamaan indah Lintar dan Dewi di tempat tersebut. "Sebentar lagi mau magrib. Kita pulang sekarang ya, Tar!" ajak Dewi lirih. Lintar mengangguk sambil tersenyum. Lalu bangkit dari duduknya. "Ayo!" ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arah Dewi. "Aku ke rumah kamu yah! Sekalian lewat, tapi aku tidak mampir dulu!" kata Dewi meraih uluran tangan Lintar. Lintar hanya mengangguk dan langsung melangkah bergandengan tangan dengan wanita cantik yang baru ia kenal itu. Dunia terasa indah bagaikan milik mereka berdua, langkah kaki pun terasa ringan. Napas terasa segar, penuh warna yang hadir dalam kehidupan mereka saat itu. Itulah cinta, datang secara tiba-tiba—tanpa terduga. Tak ada proses panjang yang mengharuskan tumbuhya perasaan cinta di antara mereka, hanya satu pertemuan—mampu menyiram benih-benih cinta yang bersemayam sehingga tumbuh subur dan berkembang dalam s
Dewi menelepon Lintar cukup lama, selain meminta diantar ke Cikampek, ia pun sedikit berbincang mengenai hal lain yang bersangkutan dengan masalah perusahaan miliknya. Setelah hampir setengah jam melakukan perbincangan melalui sambungan telepon dengan Lintar, Dewi langsung mengakhiri perbincangan tersebut. Ia berpesan kepada Lintar agar senantiasa menjalankan ibadah dengan baik. Apa yang dikatakan oleh Dewi melalui sambungan telepon itu, menjadikan Lintar lebih semangat lagi. Seakan-akan kehidupannya kembali bersinar terang. Setelah itu, Lintar langsung masuk ke dalam kamar untuk beristirahat sejenak. "Semoga malam ini aku mimpi indah bersama Dewi," desis Lintar tersenyum-senyum. Ia merebahkan tubuh di atas kasur, membaca doa sebelum tidur, dan langsung membenamkan tubuhnya ke dalam selimut besar. Keesokan harinya .... Tepat pukul setengah lima pagi, Lintar sudah terbangun dari tidurnya, pagi itu tidak seperti biasanya. Lintar tampak bersemangat, bangun dan langsung mandi, kemudi
Setelah berada di dalam rumah, Lintar langsung bersiap-siap. Ia memilih pakaian yang paling bagus yang hendak dipakai pagi itu, agar tampil lebih modis di hadapan janda cantik yang saat ini sudah mewarnai hidupnya. Sekitar pukul delapan lebih beberapa menit, Lintar sudah bersiap dengan dandanan rapi, tampak gagah dan terlihat tampan dengan mengenakan celana jins dan kemeja biru tua. Ia duduk santai di ruang tengah kediamannya menunggu telepon dari Dewi. Beberapa menit kemudian, dering ponsel terdengar nyaring. Lintar segera meraih ponselnya dan menerima panggilan masuk di ponselnya. Ternyata, itu memang telepon dari Dewi, janda cantik itu sudah menunggu Lintar di persimpangan jalan dekat gang yang mengarah ke rumahnya. Dengan demikian, Lintar bergegas bangkit langsung melangkah keluar, dan mengunci pintu rumahnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Lintar melangkahkan kedua kakinya menuju ke persimpangan jalan yang tidak jauh dari kediamannya. Sementara itu, Dewi sudah menunggunya d
Pak Bagus langsung berjabat tangan dengan Dewi dan juga menyapa ramah kepada Lintar seraya memperkenalkan diri. "Senang bertemu dengan Bapak yang selalu bersemangat," kata Lintar tersenyum manis sedikit menyanjungi pria paruh baya itu. Setelah itu, Bagus langsung mengajak Lintar dan Dewi ke sebuah bangunan kecil yang ada di depan proyek. Bangunan tersebut merupakan kantor sementara untuk Bagus yang merupakan orang kepercayaan Dewi CEO perusahaan Wita Contractor—pihak pengembang di proyek tersebut. "Sebaiknya kita ngobrol di sana saja, Bu! Pak!” ajak Bagus dengan penuh keramahan. "Iya, Pak," jawab Dewi tangannya segera menggandeng tangan Lintar, kemudian melangkah menuju bangunan kantor di depan proyek tersebut. "Silakan, duduk!" kata Bagus mengarah kepada Dewi dan Lintar. Dewi dan Lintar hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala, kemudian duduk di kursi yang ada di tempat itu. Tatap bola mata indahnya terus bergulir ke bagian bangunan proyek. Lantas, ia pun berkata lagi kepada B
Setelah itu, Lintar pun bertanya lagi, “Kita mau makan di mana, Wi?” “Di restoran Sunda saja yang jalan arah ke Bekasi! Kamu tahu, 'kan?” jawab Dewi balas bertanya. “Oh ... iya, Wi, aku tahu,” sahut Lintar lirih sambil menginjakan gas lebih dalam lagi untuk mempercepat laju mobil yang dikemudikannya. Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di restoran yang dituju. Dewi turun dari mobil dengan menggandeng tangan Lintar, ia tampak agresif dan tak canggung lagi dengan Lintar. Seakan-akan dirinya sangat yakin bahwa Lintar adalah pria yang akan menjadi jodohnya. Setelah berada di dalam restoran, Dewi bertanya kepada Lintar, "Kamu mau makan apa, Tar?" "Terserah kamu saja! Apa pun yang kamu suka, aku pasti suka," jawab Lintar tersenyum lebar. Dengan demikian, Dewi langsung memesan dua porsi makanan kesukaannya berikut minuman dan juga makanan ringan lainnya. Tidak lama kemudian, seorang pelayan sudah membawa makanan yang dipesan oleh Dewi. Tampak ramah dan sopan pelayan itu meletakka