Share

Lima

Dayva berjalan keluar menuju basement apartemen, dia mengambil benda pipih yang berlogo sebuah apel tergigit dan selembar kartu nama di kantong celananya, kemudian memencet tombol di layar apel tergigit sesuai nomer kartu nama tersebut.

Dering pertama belum ada jawaban, dering kedua juga belum ada jawaban, hingga suara dering ketiga terdengar suara seorang perempuan di ujung handphone.

"Halo, Aku Dayva?" sapa Dayva pada perempuan tersebut.

"Hari ini kita bisa bertemu?" 

"Oke, kita bertemu di cafe itu satu jam lagi," lanjut Dayva berbicara pada perempuan tersebut.

Dayva melajukan mobilnya, menjauh dari apartemen Amel, menuju tempat bertemu perempuan itu.

Karena jalanan sudah tidak macet, sekitar empat puluh lima menit jarak yang ditempuh Dayva untuk sampai di cafe tersebut. Mobil Dayva berhenti di depan sebuah Cafe. Saat memasuki cafe Dayva mencari sosok orang yang telah membuat janji dengannya, tapi sayang orang tersebut belum datang. Akhirnya Dayva memutuskan untuk duduk di depan jendela besar menghadap jalan raya.

Cafe ini memang sudah terkenal hampir di semua kalangan, apalagi letaknya yang berada di pinggir jalan besar, memudahkan orang untuk menemukannya. Gaya desain cafe yang unik juga membuat sebagian orang tertarik untuk sekedar singgah sejenak.

Cafe itu hampir seluruh sisi bangunan memakai kaca transparan, di tambah beberapa daun yang menjalar dan menutupi sebagian kaca, beralaskan kayu, dengan lampu-lampu yang menggantung di atas. Di depan bartender terdapat gantungan pot bunga berukuran kecil. Di sudut cafe terdapat pohon tua yang sudah kering, di sampingnya juga terdapat beberapa deret rak buku yang disusun berbentuk hati. Cafe ini sangat cocok untuk para instragrammer.

Seorang perempuan memasuki cafe dengan rambut panjang sepunggung yang di urai dan masih memakai baju kerja yang sama terakhir kali meraka bertemu. Dewi. Gadis yang di tunggu Dayva dari tadi. Dia berjalan diiringi suara ketukan sepatu high hillnya di lantai kayu tersebut kearah tempat duduk Dayva.

"Maaf, lama nunggu ya?" Sapa perempuan itu sambil duduk di depan Dayva.

"Gak seberapa lama, kira-kira cuma sepuluh menit kok," jawab Dayva, melirik jam di tangannya

"Eh... kita pesan makan dulu ya.. aku laper belum sempat makan dari tadi,"

"Oke," tanda setuju dari Dayva, melambaikan tangan untuk memanggil waiters di cafe tersebut.

Setelah memesan beberapa makanan. Dayva mulai bertanya, "Ceritakan kepada ku semua hal tentang Amel!"

"Sebelum aku memberitahu, boleh aku bertanya sesuatu?" 

"Apa?"

"Kenapa kau sangat ingin mengenal soal Amel?"

"Aku tidak tau, hanya saja bagi ku, dia membuat ku semakin tertarik padanya,"

"Apa kau akan mempermainkannya?"

"Tidak, aku tahu rasanya di permainkan, buat apa aku harus mempermainkan Amel,"

"Baiklah, aku akan sedikit percaya padamu, tapi jika kau mempermainkannya akan beri kau suntik mati,"

"Terserah kau saja,"

"Amel menderita antrofobia yaitu fobia kecemasan sosial  yang membuat Amel kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain, kau ingat saat dia pingsan kemarin, itu terjadi kalau dia terlalu takut," jelas Dewi

"Lalu bagaimana cara dia bisa sembuh?"

"Dia harus melakukan terapi, untuk menghilangkan rasa takutnya,"

"Terus kenapa dia tidak menjalankan terapi?"

"Dulu dia sering melakukan terapi, tapi sudah enam bulan ini dia tak pernah datang lagi,"

"Kenapa?"

"Aku tidak tau, aku sudah membujuknya berkali-kali, tapi dia tetep tidak mau, malahan dia menganti nomer teleponnya untuk menghindar dari ku,"

Seorang waiters datang memotong pembicaraan mereka, di tangannya membawa beberapa makanan, sambil berkata, "Permisi, pesanan makanannya, Tuan,"

Meletakkan satu persatu makanan tersebut di atas meja.

"Semua sudah tersedia sesuai pesan, Tuan," lanjut waiters tersebut, kemudian menjauh dari meja mereka.

"Makan dulu, Wi," ajak Dayva.

"..." tanpa menjawab Dewi sudah menyantap makan yang berada di atas meja dengan lahap.

"Lalu, apa tidak ada cara lain?"

"Sebetulnya tanpa dia melakukan terapi juga bisa, yang harus kita lakukan merubah pikirannya dan membuat dia percaya dengan orang lain,"

"Kenapa kau tidak melakukannya?"

"Hei.., meskipun aku sahabatnya, tetap saja aku belum bisa membuat Amel percaya pada ku sepenuhnya, apalagi dia tipe orang yang tidak mudah di paksa,"

"Sahabat macam apa kau?"

"Kau tak tahu bagaimana susahnya dia untuk di dekati?"

"Maksudnya?"

"Katanya temen-teman SMA dulu, dia tidak seperti itu, setelah ibunya meninggal dia jadi makin tertutup, dan aku mengenalnya setelah ibunya meninggal,"

"Sebenarnya apa yang membuat dia seperti itu?"

"Aku sering menemani dia terapis, saat mulai menghipnotisnya, dia tidak bercerita malahan menangis terus menerus, kemudian terbangun tanpa perintah,"

"Kenapa bisa begitu?"

"Aku tidak tau, Dr.Ayu saja sampai kesulitan menghadapinya,"

"Dokter Ayu?"

"Dia dokter yang menangani Amel, aku yang mengenalnya, Ayu teman ku waktu kuliah kedokteran dulu,"

"..."

"Sudahlah, yang penting sekarang kita harus bisa membuat Amel sembuh, apa kau akan benar-benar membantu Amel?"

"Aku akan mencobanya!"

Dayva yang merasa kasihan memutuskan untuk membantu Amel sembuh dari fobianya.

Saat Dayva membayar makanan di kasir, dari belakang Dayva mendengar seseorang menyapanya, sebuah suara yang sudah di hafalnya muncul. Suara seseorang yang telah mengkhianatinya. Alan.

"Oh, kebetulan yang sangat menarik, bisa bertemu dengan mu disini,"

"Bagi mu keberuntungan tapi, bagi ku sebuah kesialan,"

"Jangan begitu, apa kau tidak ingat indahnya masa pertemanan kita?"

"Cih, kau masih bisa berkata kita berteman! hei... seorang teman tidak akan merebut pacar temannya! apa kau tidak malu melakukannya?"

"Aku tidak merebut Rena dari sisimu, Sayangnya Rena sendiri lebih memilih aku dari pada kau,"

Dayva yang mendengar kata-kata Alan amarahnya sudah akan meledak, tapi dia tahan karena Dayva sadar saat ini masih berada di dalam cafe.

"Kebetulan kita bertemu disini, Aku akan bertunangan dengan Rena, Aku akan sangat senang jika kau mau datang," ejek Alan merasa menang.

"Kau kirim undangannya ke kantor dan tenang saja, Aku pasti akan datang!"

Dayva meninggalkan Cafe dengan cepat, Dayva sampai lupa jika saat ini dia sedang bersama Dewi.

Dewi yang melihat Dayva keluar cafe, mengejarnya dengan berlari kecil.

"Day, tunggu, dia Alan kan?" panggil Dewi

"Iya, kau sendiri kenal dengannya?" jawab singkat Dayva

"Iya, dia pacar Rena kan?"

"Bagaimana kau tahu?"

"Aku saudara tiri Rena, mereka akan bertunangan minggu ini,"

"Jika kau saudara tiri Rena! kenapa aku tidak pernah bertemu dengan mu?"

"Karena aku tidak tinggal satu rumah dengan orang tua ku dan juga Rena,"

"Kenapa?"

"Ceritanya panjang, sudahlah jangan di bahas lagi, jangan lupa segera bawa Amel terapi, aku kirim nomer telepon Dr.Ayu pada mu,"

"Ya.. ya.. ya..," jawab Dayva sambil mengangguk-angguk.

Kemudian mereka menuju mobil sendiri-sendiri dan pergi meninggalkan cafe tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status