Share

Empat

Toni mengikuti Dayva, karena melihat Dayva masuk kekantor sambil memegang kepalanya.

"Ambilkan aku obat!"

"Kau kenapa?"

"Habis dipukul orang pakek tongkat bisbol,"

Terdengar suara tawa Toni sangat keras, Dayva yang melihat Toni ketawa lebih memilih memalingkan muka.

"Puas-puasin kau ketawa, entar aku potong gaji mu," mendapat ancam seperti itu Toni berusaha menahan tawanya.

"Udahlah, ambilin aku obat, pusing kepala ku,"

Sepuluh menit kemudian Toni datang membawa kotak obat, lalu membantu Dayva membersihkan lukanya.

"Gila tu cewek, aku bela-belain datang ke apartemennya cuma mau kenalan, tapi malahan aku di pukul pakek tongkat bisbol," cerita Dayva dengan satu tarikan nafas

"Kau mungkin ngomong sesuatu yang nyinggung perasaannya?"

"Aku? aku belum ngomng apa-apa, aku cuma mencet bell apartemennya sampai tiga kali, terus pintunya terbuka tiba-tiba kepala aku dipukul,"

"Terus cewek itu gimana?"

"Cewek tu malahan masuk lagi, aku malahan di tinggalin cewek itu, aku gak di tolong,"

"Baru kali ni kau di tolak kenalan ma cewek,"

Toni yang mendengar cerita itu, pecah sudah pertahanan tawanya, dia sudah tidak perduli jika gajinya dipotong oleh bos sekaligus sahabatnya itu. Karena bagi Toni ini merupakan hal yang langkah untuk seorang Dayva alfaros.

****

Kejadian itu tidak membuat Dayva menyerah, malahan bagi Dayva ini merupakan sebuah tantangan untuk menaklukan hati gadis itu.

Sekitar pukul sepuluh siang, sekali lagi Dayva mendatangi apartemen Amel. Dayva menudukkan tubuhnya kemudian dia menyelipkan sebuah surat dari bawah pintu apartemen Amel. Dayva memencet bell apartemen dan berjalan menjauh dari pintu tersebut sambil tersenyum penuh kemenangan.

Sebetulnya Dayva tidak benar-benar pergi, setelah Dayva menyerahkan surat. Dayva tetap menunggu Amel di dalam mobil, depan gedung apartemen. Melihat Amel keluar gedung, dia terus memperhatikan langkah Amel hingga sampai mini market.

****

Amel yang mendengar bell pintu berbunyi berjalan mendekati pintu, tapi dia tidak menemukan seorang  pun malahan dia menemukan sebuah surat dibawah kakinya. Dia tampak ragu untuk membukanya, tetapi karena rasa penasarannya lebih besar akhirnya dia membuka dan membacanya.

"Kamu harus tanggungjawab karena sudah memukul saya, jika hari ini kamu tidak menemui saya, maka kamu akan saya laporkan ke polisi atas tuduhan kekerasan,"

Amel terkejut dengan isi surat itu, karena gelisah Amel menggigit jari kukunya sambil berpikir apa yang harus dia lakukan. Karena tidak mau sampai masuk penjara, Amel bergegas menemui Dayva hari ini juga.

Tidak mudah bagi Amel untuk melangkahkan kakinya siang hari, sinar matahari yang menyilaukan membuat mata Amel sedikit sakit dan kulitnya terasa terbakar, sebab dia hampir tidak pernah keluar siang hari.

Dia mulai berjalan pelan dan menghidari bertabrakan dengan orang lain, tiap berapa langkah dia akan berhenti dan mulai menghirup nafas lalu menghembuskannya secara perlahan, cara itu selalu membuat Amel berhasil untuk menenangkan jantung yang gelisah.

Tak terasa langkah kaki Amel sudah sampai di depan mini market, perlahan-lahan Amel membuka pintu dan bertanya kepada salah satu petugas mini market disana.

"Permisi, Pak Dayva ada?"

"Pak Dayva tidak ada, Kak, tapi Pak Dayva tadi berpesan kalau ada yang datang mencarinya, di suruh tunggu, mungkin sebentar lagi Pak Dayva sudah datang,"

"Terima kasih,"

"Sama-sama," jawab petugas mini market itu dengan senyum rama.

Didepan mini market sudah tersedia beberapa tempat duduk, Amel memutuskan untuk menunggu Dayva didepan mini market saja hingga datang, meskipun terlalu banyak orang membuat kepala Amel pusing dan ingin muntah, Amel menahannya karena berharap masalah dengan Dayva cepat berakhir.

Satu jam menunggu Dayva belum juga datang, membuat Amel tidak tahan lagi, kepalanya yang terasa semakin berat dan perut yang terasa semakin di aduk-aduk, membuat dia menundukkan kepalanya dan memuntahkan seluruh isi perutnya.

Tiba-tiba dari belakang ada seseorang yang membantu Amel untuk menepuk-nepuk punggungnya, belum sempat Amel melihat orang yang membantunya, mata Amel mulai buram dan tubuh amel semakin lemas hingga kemudian Amel jatuh pingsan. Seorang yang membantu menepuk punggung Amel kaget secara reflek menggendong Amel dan mengangkat tubuhnya kedalam mobil.

Mobil itu melaju dengan kencang, meskipun jalan siang hari ramai banyak kendaraan, dia memainkan kemudi dengan lihai, sambil memencet tombol kelakson berulang-ulang agar kendaraan disekitarnya menyingkir.

Setibanya dirumah sakit laki-laki itu menggendong tubuh Amel dan tidak berhenti berdoa, berharap Amel baik-baik saja. Dia menyesali perbuataanya karena sikapnya Amel menjadi pingsan. laki-laki itu adalah Dayva.

****

Saat tiba di rumah sakit Dayva menggendong Amel, meletakkannya ke atas ranjang beroda, dan di larikan ke dalam UGD.

Seorang dokter laki-laki masuk ke kamar yang di batasi dengan tirai kain biru muda. Yang dilakukan pertama kali adalah memegang nadi pergelangan tangan, lalu ia memasang stetoskop ke telinga.

"Bagaimana kondisi Amel, Dok?" tanya Dayva

"Apa dia tidak makan dengan baik?" balas Dokter yang memeriksa amel dengan pertanyaan

"Saya tidak tau, Dok,"

"Kondisinya tidak parah, cuma dia harus memperhatikan makanannya, agar kondisinya dapat kembali pulih, nanti setelah dia sadar dan  infusnya habis dia bisa pulang. Saya akan menuliskan beberapa resep vitamin yang harus di konsumsi, jangan buat dia terlalu banyak pikiran sebelum kondisinya benar-benar pulih," jelas Dokter

"Ini resep obatnya dan silakan kebagian adminitrasi untuk melakukan pembayaran," lanjut Dokter memberi arahan.

****

Aroma alkohol menyengat indra penciuman Amel, tangan kanan yang terasa berat akibat infus dan ruangan serba putih. Amel tau betul tempat ini, tempat yang paling malas untuk dia datang yaitu rumah sakit.

Perlahan amel membuka mata memastikan dengan penglihannya sendiri keberadaannya saat ini, Amel tak tau berapa lama dia pingsan. Amel menolehkan kepala kanan dan kiri. Betapa terkejutnya Amel melihat seorang laki-laki memakai kemeja yang lengan tangannya sudah di tekuk hingga siku, dia berdiri disamping ranjang amel, matanya tak lepas menatap dengan setiap pergerakannya. Amel yang merasa malu memilih untuk memejamkan mata kembali, sayang laki-laki itu terlanjur tau jika amel sudah sadar dan berpura-pura masih pingsan.

"Sudah sadar? masih mau pura-pura pingsan?"

Amel yang mendapatkan pertanyaan tersebut terpaksa membuka matanya kemudian sedikit melirik Dayva.

"A-aku mau pulang, aku sudah sehat kok,"

Amel berusaha bangun, tapi dia hampir jatuh karena kepalanya masih terasa pusing.

"Berdiri saja masih mau jatuh, seperti itu yang katanya sudah sehat,"

"..." tanpa kata, melirik Dayva.

"Sudah istirahat saja dulu,"

Akhirnya Amel memilih untuk berbaring, dia tidak mau kalau dia akan jatuh lagi.

"Kamu disini dulu! aku tinggal sebentar, ambil resep dokter dulu dan sebentar lagi kita bisa pulang setelah cairan infus mu habis," kata Dayva berjalan kearah pintu.

****

Setelah melakukan pembayaran dan mengambil resep, Dayva akan masuk untuk menemani Amel.

Tapi langkah kakinya terhenti mendengar suara sesorang wanita memakai jas putih berada di samping Amel.

"Sudah agak baikkan?"

"...." Amel menganguk

Dokter itu bertanya sambil memeriksa dan mencabut selang infus Amel, suster segera keluar setelah mencatat perkembangan Amel, tapi dokter itu tidak segera pergi, dia berdiri samping ranjang Amel dengan tangan yang di masukan kedalam jas putihnya.

"Kapan kamu mau melakukan terapi lagi, sudah hampir 6 bulan kamu tidak datang kesini,"

Dr.Dewi cantika tulisan name tag yang dia kenakan di kantong jas putihnya. Panggilannya Dewi, dia sahabat Amel sekolah SMA. Waktu itu Dewi yang merupakan anak baru disekolah, dan memiliki wajah yang cantik, membuat sebagian siswi lain iri karena banyak anak laki-laki suka padanya, hal itu yang menyebabkan Dewi  di jauhin oleh siswi perempuan sekolahnya. Dewi jadi lebih sering istirahat sendiri, tak jauh berbeda dengan Amel. Karena mereka sering bertemu  dan makan bersama sejak saat itu mereka menjadi sahabat.

Meskipun mereka bersahabat, Amel kadang masih belum bisa percaya  Dewi sepenuhnya. Berbeda dengan Dewi, dia sangat percaya Amel sehingga dia akan bercerita semua masalahnya kepada Amel. Bagi Amel hanya Dewi yang bisa membuatnya seperti orang normal, berbicara tanpa rasa takut ataupun berbicara tanpa menundukkan kepala.

"A-aku sudah baik wi,"

"Kamu tidak bisa menipu ku Amel, dari pandang mata mu saja aku bisa melihat kalau kamu masih takut berdekatan dengan orang, apa lagi sampai kamu muntah-muntah dan pingsan,"

"Dari mana kamu tahu aku di sini?"

"Dokter Bagas, yang mengatakan pada ku, kalau kamu sedang di UGD. Aku tidak mau tau, jadwalkan kembali konsultasi dengan dokter secepatnya!"

"Gimana hubungan mu dengan Dokter Bagas sekarang?"

"Kau jangan mengalihkan pembicaraan, Mel, Oh... ya... beri aku nomer telepon mu, harus berapa kali kamu mengganti nomer? dan hilang gak kasih kabar?"

"..."

Melihat Amel tak menjawab, Dewi menundukkan badannya dan memeluk Amel, sambil berkata,"Aku kangen kamu, sayang"

Salah satu kebiasaan buruk Dewi berbicara tanpa jeda seperti kereta api expres

"Mana hp mu? aku akan memasukkan sendiri nomer telepon ku terus--,"

"Dewi sayang..," Amel memanggil Dewi  semanis mungkin, untuk mengalihkan sedikit kecerewetannya.

Seolah tak sadar ada orang lain di balik pintu mereka terus bercerita, meskipun yang lebih banyak bercerita Dewi. Dayva yang melihat mereka bercerita, sekali-kali melirik kearah Amel yang kadang tersenyum akan cerita Dewi, hal itu membuat Dayva terpana akan senyuman Amel, Dayva yang akan masuk kembali kedalam ruangan, memutuskan untuk menunggu di depan kamar.

Telepon Dewi berbunyi, dia segera mengangkatnya,

"Iya, aku segera kesana!"

"Kira-kira lima menit lagi aku sampai sana,"

Setelah Dewi mematikan teleponnya,

"Aku pergi dulu, kamu udah boleh pulang, nanti aku telepon kamu ya..," ucap Dewi  dan memeluk Amel sekali lagi sebelum dia kembali berkerja.

"..."  Amel menganggukan kepala, melambaikan tangan ke arah Dewi.

Dayva melihat Dewi keluar kemudian Dayva menyamakan langkahnya dengan Dewi.

"Bisa bicara sebentar?"

"Ada apa ya?"

"Kamu kenal Amel?"

"Sangat kenal, kamu siapanya Amel?"

"Boleh tanya sesuatu?"

"Mau tanya apa?"

"Sebenarnya Amel sakit apa? kenapa dia begitu takut bertemu orang? kenapa dia juga susah untuk dek-,"

"Stop! kalau kamu cuma sekedar ingin tau, lebih baik kamu menjauh. Tapi kalau kamu pengen mengenal Amel lebih jauh dan berjanji untuk tidak mengecewakannya, aku akan menceritakan semuanya,"

"..."

"Bagaimana? coba di pikir lagi ya? aku harus pergi sekarang, aku masih sibuk," ucap Dewi 

"Ini kartu nama ku, jika kamu berminat telepon aku," sambil Dewi menyerahkan selembar kartu nama meninggalkan  Dayva di lorong rumah sakit.

"Semoga orang itu yang bisa membuat kamu sembuh dan seperti dulu lagi, Mel," harapan besar Dewi untuk Amel.

****

Ruangan itu terlalu hening untuk dua orang yang kadang saling melirik tanpa bicara, kadang mereka tanpa sengaja saling pandang kemudian saling memutuskan pandangan mereka. Suasana seperti ini membuat mereka semakin canggung. Dayva menghentikan rasa canggung dengan memulai berbicara, "Semuanya sudah beres, ayo kita pulang!"

Awalnya Dayva diam saja melihat Amel akan berdiri, tapi melihat Amel yang masih lemah, Akhirnya Davya ikut berdiri dan berjalan mendekati Amel.

"Sini aku bantu,"

"Aku bisa sendiri,"

"Sudahlah, ayo!"

Saat tangan kanan Dayva memeluknya. Amel merasa aneh dengan tubuhnya, rasa takut itu hilang, di gantikan dengan rasa aman, rasa gelisah itu hilang di gantikan rasa berdebar. Tangan Amel berkeringat bukan karna cemas tapi tak kuasa saat tangan Dayva berada d lengannya.

Tak jauh berbeda dengan Amel, Dayva pun sama saat tangan kanannya memeluk Amel, detak jantungnya menjadi lebih cepat dari biasanya seperti suara genderang yang di tabu.

****

Di dalam mobil yang di naikin oleh dua orang berlawanan jenis itu, arah mata Amel memandang keluar jendela.

"Terima kasih sudah membantu ku. Nanti setelah aku turun dari mobil, anggap saja kita tidak pernah bertemu," ucap Amel memecahkan keheningan dalam mobil.

Merasa kaget dengan ucapan Amel, Dayva akhirnya menghentikan mobil di pinggir jalan. Dia menatapnya  wajah gadis itu.

"Mudah sekali kamu berbicara seperti itu, aku sudah membantu kau pingsan tadi, terus kemarin saja kau memukul kepala ku dengan tongkat,"menunjuk kepalanya yang masih di beri plester dan memajukan badannya ke arah Amel

"A-a.. ku.. a-akan.. mengganti bi-biaya berobat mu dan ber-berobat ku tadi," kata Amel gugup

"Aku tidak butuh uang mu,"

"Lalu apa yang kau mau?"

"Yang aku mau kau harus menuruti semua kata-kata ku,"

"A-apa maksud mu?"

"Mudah saja, setiap aku membutuhkan mu, kau harus segera datang, bagaimana setuju?"

"Aku tidak mau! sebutkan saja berapa yang harus aku ganti?"

"Jika kau tidak menuruti semua kata ku, vidio kamu saat memukul ku akan menjadi bukti untuk melapokan mu ke polisi dan memasukkan mu ke dalam penjara,"

"Berapa lama aku harus menuruti mu?,"

"Tiada batasan!"

"Sama saja kau memeras ku,"

"Oh... jadi kau tidak takut masuk penjara?"

"Ti-tidak, bagaimana kalau kita melakukan kesepakatan,"

"Kesepakatan?"

"Aku akan mengabulkan permintaan mu sebanyak lima kali, bagaimana?"

"Lima kali? tidak sepadan dengan luka yang aku terima,"

"Bagaimana jika enam kali?"

"Enam kali? terlalu sedikit, sepuluh kali, deal?"

"Sepuluh kali? kau gila? Itu terlalu banyak!"

"Apa aku harus mencium mu? agar kau berhenti membantah ku!"

Dayva semakin mendekatkan wajahnya kearah Amel, tubuh Amel semakin terpojok kearah pintu. Bibir mereka hampir bertemu. Amel yang gugup memalingkan muka ke arah jendela, berusaha mengalihkan pandangan melihat jalan yang mulai macet karena hari mulai sore. Tak lama kemudian Dayva melanjutkan perjalanan. Dengan senyum kecil yang tak lepas dari wajah laki-laki itu.

Karena hembusan angin, tanpa disadari Amel mulai terlelap dalam tidurnya. Amel kembali sadar dari tidurnya, saat Dayva mengatakan mereka telah sampai di apartemen. Tangan Amel akan mengambil tas yang berada di belakang kursinya, tapi tas itu sudah di ambil dulu oleh Dayva.

"Biar aku yang membawanya,"

"T-tapi...,"

"Ayo...,"

Dayva menghentikkan ucapan Amel dan  menarik tangannya. Amel berusaha melepaskan tangan Dayva, tapi tenaganya yang masih lemah, ternyata kalah dari Dayva. Akhirnya dia pasrah atas perlakuan Dayva. Sampai didepan pintu apartemen Amel, Dayva masih menggenggam tangannya.

"Ka-kalau ka-kau pe-pegang ta-tangan ku terus, gi-gimana aku buka pintu?"

"..." Dayva tersenyum dan melepaskan tangan Amel.

Setelah melihat Amel masuk, Dayva memutuskan untuk segera pergi dari apartemen Amel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status