Share

6

Elang membuntuti sebuah taksi yang mengangkut Arinda. Ia gagal mengejar gadis itu karena Andre mencegahnya pergi dan memohon untuk kembali ke atas panggung, tapi tentu saja ia menolak. Saat ini ia hanya ingin menghibur Arinda bukan pengunjung kafe. Ia tahu Arinda pasti patah hati dan ia juga tahu bagaimana rasanya itu. Sakit. Lebih parahnya, ia yang telah mematahkan hati gadis itu.

Kakak, I love you ...

Pengakuan cinta dari Arinda terus terngiang-ngiang di telinga Elang. Ia masih tidak percaya bahwa Arinda mencintainya, padahal selama ini ia mengira gadis itu selalu menganggapnya sebagai seorang kakak. Ini sungguh mengejutkan.

Bagaimana bisa Arinda jatuh cinta padanya bahkan sejak lama dan ia tidak mengetahuinya? Apakah karena Arinda yang pintar menyembunyikan perasaan atau ia yang tidak peka? Tanpa ia sadari, sudah banyak ucapan atau tindakan Arinda yang seakan menjadi 'kode' bahwa gadis itu menyimpan rasa untuknya.

Astaga! Ya, benar. Elang baru menyadarinya sekarang. Mulai dari kemarahan Arinda saat mengetahui ia sedang stalking akun media sosial milik Sarah, meminta diaminkan untuk do'a agar segera menikah dari seseorang yang mengira mereka adalah sepasang kekasih, hingga gadis itu terlihat sangat bersemangat dan senang kala menjadi pacarnya walau hanya sandiwara.

Semua itu sudah cukup untuk menjelaskan bahwa Arinda mencintainya, tapi mengapa Elang tidak pernah menyadari? Ah, ia memang tidak peka. Kini ia merasa sangat bersalah, apalagi Arinda sampai meneteskan air mata karenanya.

Elang merutuki diri sendiri. Ia menyesal telah melantunkan lagu Terjebak Nostalgia. Ia memang bodoh, tidak berpikir sebelumnya bahwa lagu itu bisa membuat hati Arinda semakin sakit. Sudah tahu gadis itu tidak mau mendengar kata penolakan darinya, ia malah menyanyikan lagu itu yang secara tidak langsung menolak Arinda.

Kini pikiran dan hati Elang jadi kacau karena pernyataan cinta dari Arinda kepadanya. Ia tidak bisa membalas cinta Arinda tapi juga tidak mau gadis itu merasakan sakitnya patah hati.

Taksi yang ditumpangi Arinda berbelok arah memasuki jalanan komplek perumahan tempat tinggalnya. Elang yang sedari tadi membuntuti jadi merasa lega. Setidaknya Arinda memilih pulang ke rumah bukan ke tempat lain. Ia sangat mengkhawatirkan Arinda, apalagi saat gadis itu kabur darinya dan memilih untuk naik taksi. Ia tahu Arinda tidak biasa menumpang kendaraan umum di malam hari karena ketakutan, takut diculik dan takut dijahati. Makanya Arinda selalu minta dijemput sang papa atau dirinya jika sedang berada di suatu tempat di malam hari.

Mobil Elang berhenti tepat di belakang taksi yang kini sedang menurunkan Arinda di depan rumahnya. Ia pun ikut turun dari mobil, lalu segera mengikuti Arinda memasuki pelataran rumah. Ia ingin meminta maaf sekali lagi pada Arinda.

"Arinda, tunggu!"

Arinda tak mempedulikan panggilan Elang. Ia terus mempercepat langkah. Kini ia jadi serba salah pada Elang, tak tahu harus bersikap bagaimana setelah jujur mengakui perasaannya.

"Arinda, berhenti!"

Akhirnya Elang berhasil meraih lengan Arinda dan menghentikan langkah gadis itu saat akan menaiki anak tangga menuju pintu depan rumah.

"Lepasin, Kak! Tanganku sakit," keluh Arinda tanpa menoleh ke arah Elang yang berdiri di belakang sambil mencengkeram lengan kanannya. Ia masih enggan menatap wajah lelaki pujaan hatinya karena jika ia menatapnya, maka tangis yang sudah berhasil diredakan pasti akan timbul lagi dan ia tidak mau menangis di depan Elang.

"Maaf."

Elang tidak melepaskan tangan Arinda tapi hanya mengendurkan cengkeramannya saja. Perlahan-lahan ia membalikkan tubuh gadis yang berbalut blouse bermotif bunga-bunga itu agar menghadap padanya.

"Arinda, kamu nangis gara-gara Kakak. Maaf, ya."

Arinda menggeleng sambil tetap menunduk. Ia tidak mau Elang melihat matanya yang sudah bengkak karena menangis dari tadi.

"Kakak nggak salah. Aku yang salah karena udah jatuh cinta sama Kakak."

"Jangan menyalahkan diri sendiri, Arinda. Kamu benar, kita nggak bisa milih orang yang akan kita cinta."

Terdengar suara isak tertahan. Arinda menangis lagi. Ia benar-benar benci pada air matanya yang malah semakin deras saat berdekatan dengan Elang seperti ini.

Elang mengambil sapu tangan yang terlipat rapi dari saku celana, lalu ia usapkan ke wajah Arinda yang basah karena air mata. Sungguh, ia tidak tega melihat Arinda begini.

Elang tak tahu harus berbuat apa untuk meredakan tangis Arinda. Dulu Arinda akan berhenti menangis jika diberi es krim. Apakah itu masih berlaku? Sepertinya tidak karena Arinda bukan anak kecil lagi.

"Sssttt, Arinda, please jangan nangis. Kakak nggak bisa lihat kamu kayak gini. Kakak harus gimana biar kamu nggak nangis lagi?"

Kakak harus terima cinta aku dan jadi pacar sungguhan aku, jawab Arinda dalam hati.

"Kakak harus pergi, jangan dekat-dekat aku. Karena kalo Kakak ada di dekatku terus, aku nggak bakal berhenti nangis, Kak."

Hati Elang terasa ngilu mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulut Arinda. Sekarang keadaannya sama sekali berbeda dengan waktu dulu. Dulu justru ia yang selalu bisa meredakan tangis Arinda, tapi sekarang malah jadi penyebab tangis gadis itu.

"Enggak. Kakak nggak akan pergi ke mana-mana. Kakak akan temani kamu sampai kamu berhenti nangis."

"Aku bilang pergi, Kak! Apa Kakak nggak dengar?"

Arinda terpaksa meninggikan nada suara dan tentu saja itu membuat Elang terkesima. Sebelumnya Arinda tidak pernah berbicara lantang dan cenderung membentak seperti itu padanya.

Sebenarnya Arinda ingin selalu berada di dekat lelaki yang dicintainya tapi apalah daya air matanya terus mengalir seperti tak bisa dibendung.

Arinda membalikkan badan lalu berlari menaiki anak tangga. Tak baik baginya jika terus menerus berada di dekat Elang walaupun ia memang menginginkannya. Hatinya bakal semakin sakit dan matanya akan selalu mengeluarkan air. Lebih baik ia masuk ke rumah dan mengurung diri di dalam kamar. Ia butuh waktu untuk menyendiri.

Elang tak hanya diam. Ia kembali mengejar Arinda dan meraih pergelangan tangannya. Setelah sekali lagi berhasil menghentikan langkah Arinda yang baru saja menaiki tiga anak tangga, ia lalu tanpa pikir panjang menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Ia berharap dengan cara ini Arinda bisa lebih tenang dan tangisnya bisa berhenti.

Tentu saja Arinda terkejut dengan perlakuan Elang yang memeluknya secara tiba-tiba. Awalnya Arinda hanya menggantungkan kedua tangan di sisi tubuh, tapi lama-kelamaan ia memberanikan diri untuk membalas pelukan Elang dan menenggelamkan kepalanya di dada lelaki yang dicintainya itu. Ia merasa nyaman dan ingin selamanya berada di sana walau jantungnya kini berdetak dengan sangat cepat.

Hampir lebih dari satu menit Elang dan Arinda berpelukan. Mereka sama-sama diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara itu sudah tak terdengar lagi suara isak tangis Arinda. Sepertinya cara Elang untuk menenangkan dan meredakan tangis gadis itu cukup berhasil.

"Arinda, kamu udah baikan?" tanya Elang yang dijawab dengan anggukan dari Arinda.

"Syukurlah kalo begitu. Kakak sedih ngelihat kamu nangis terus kayak tadi."

Elang berhenti mengusap-usap punggung Arinda lalu mencoba melepaskan pelukan, tapi Arinda malah tidak mau dilepas. "Jangan, Kak. Aku suka ada di sini," katanya sambil mempererat pelukannya.

"Arinda, udah, ah. Kalo Om Dedi dan Tante Yulia pulang, terus ngelihat kita lagi kayak gini, Kakak bisa malu nanti."

Kedua tangan Elang sudah tak mendekap tubuh Arinda lagi dan berusaha untuk melepaskan tangan Arinda yang masih melingkari tubuhnya. Namun, lagi-lagi gadis itu menolak. Ia hanya bisa menghela napas berat. "Kakak meluk kamu biar berhenti nangis."

"Kakak berhasil. Aku udah nggak nangis lagi, Kak."

Arinda mendongak agar bisa melihat wajah tampan Elang. "Sekarang bukan es krim lagi yang bisa bikin aku berhenti nangis."

"Kakak lebih suka kamu berhenti nangis karena es krim."

"Aku bukan anak kecil lagi, Kak."

"Kalo kamu bukan anak kecil lagi, lepasin Kakak sekarang juga."

Arinda diam saja, tak menggubris permintaan Elang. Ia kembali menyandarkan kepalanya di dada lelaki itu. Ia masih betah di sana. Seakan tidak peduli jika papa-mamanya pulang dan memergokinya sedang beradegan seperti itu bersama Elang.

"Kak," panggil Arinda setelah lama terdiam, "nggak bisa gitu Kakak ngelupain Kak Sarah, terus belajar mencintai aku?"

Elang tidak menggubris pertanyaan Arinda dan malah memilih untuk melepaskan secara perlahan kedua tangan gadis itu yang melingkari tubuhnya. Tak sulit seperti tadi, kini ia dengan mudah terlepas dari pelukan Arinda.

"Lebih baik kamu masuk ke dalam. Kamu berani 'kan, sendirian? Kakak pulang, ya."

Tak lupa Elang mengusap sayang ubun-ubun Arinda sebelum pergi meninggalkan gadis itu sendirian di luar rumah. Seperti janjinya tadi, ia akan pergi jika Arinda sudah lebih tenang dan berhenti menangis.

Arinda hanya bisa mematung di tempatnya berdiri sambil menatap punggung Elang yang sedang berjalan keluar pagar. Tanpa terasa setetes air mata kembali jatuh membasahi pipinya. Ia tahu jawaban Elang atas pertanyaan yang diajukannya tadi dan itu membuat hatinya dua kali terasa lebih sakit.

***

Hari ini Dedi dan Yulia dilanda rasa khawatir. Pasalnya, anak semata wayang mereka, Arinda, mengurung diri terus di dalam kamar, tak mau keluar dan tak mau makan. Biasanya hari Minggu begini Arinda banyak menghabiskan waktu bersama mereka, entah itu merawat tanaman di halaman belakang rumah dengan Dedi atau membantu Yulia memasak di dapur. Karena jika hari biasa mereka sibuk bekerja. Meski begitu Arinda tak pernah kekurangan kasih sayang.

"Badannya dingin, Pa," ujar Yulia kepada suaminya setelah menyentuh tangan Arinda yang terkulai lemas di tempat tidur.

"Kita panggil Bu Dokter aja, ya?" usul Dedi yang langsung disetujui oleh Yulia.

Tidak lewat telepon, Dedi langsung menyambangi rumah sang dokter yang tak lain adalah Rahma, mama Elang yang tinggal berseberangan dengan rumahnya. Walau sudah lama memutuskan untuk tidak melakukan praktek sebagai dokter umum dan lebih memilih mengembangkan klinik kecantikan, namun Rahma masih bisa dimintai bantuan untuk memeriksa orang sakit. Apalagi jika orang itu tetangganya sendiri. Dengan senang hati ia akan datang menolong.

"Arinda kenapa?"

Rahma langsung mengiyakan saat diminta oleh Dedi untuk memeriksa Arinda. Kini wanita yang masih terlihat cantik di usia lebih dari setengah abad itu sudah memasuki kamar Arinda dengan wajah terlihat cemas sama seperti Dedi dan Yulia. Bagaimanapun Arinda sudah dianggap sebagai anaknya sendiri, jadi ia ikut cemas saat tahu bahwa gadis itu sakit.

"Enggak tau nih, Bu. Dari pagi Arinda nggak mau makan apa-apa, bahkan mungkin dari semalam. Dia juga ngurung diri terus di kamar dan sekarang badannya malah dingin. Terus tadi dia ngigo manggil nama Elang," jawab Yulia panjang lebar sambil tak henti menggenggam tangan anaknya yang tertidur.

Mendengar penjelasan Yulia, Rahma curiga bahwa Elang-lah yang membuat Arinda jadi begini. "Jangan-jangan mereka habis berantem. Atau malah putus," tebaknya.

"Berantem? Putus? Maksud Bu Dokter apa?" tanya Yulia yang terlihat kebingungan.

"Lho, jadi Bu Yulia dan Pak Dedi belum tau kalo Arinda dan Elang pacaran?"

"Belum," jawab Yulia dan Dedi kompak.

"Saya juga baru tau di resepsi pernikahan Adam tempo hari. Ternyata anak-anak kita udah pacaran sekitar tiga bulan lebih dan mereka sengaja ngerahasiain dari kita biar nanti buat kejutan, katanya gitu."

"Masa sih, Bu?"

Yulia masih tidak percaya bahwa anak gadisnya memiliki hubungan asmara dengan anak lelaki tetangganya itu. Namun, ia langsung ingat saat itu Arinda pernah bilang bahwa ia sudah punya pacar, hanya saja masih dirahasiakan. Ternyata pacar anaknya itu adalah Elang.

"Iya, benar." Rahma menegaskan.

"Kak Elang ... Kakak jahat."

Pembicaraan antara Rahma, Yulia, dan Dedi terhenti saat mendengar igauan yang keluar dari mulut Arinda.

"Apa katanya? Elang jahat?" bisik Rahma pada Yulia dan Dedi.

"Iya, katanya Elang jahat."

"Tuh kan, pasti mereka abis berantem, marahan atau apa gitu, deh."

"Berarti Arinda emang beneran pacaran sama Elang, ya?"

"Iya. Ya udah, sekarang saya periksa Arinda dulu."

Yulia mengangguk lalu dengan suara dan sentuhan lembut ia membangunkan Arinda. Perlahan-lahan kedua mata anaknya terbuka meski terlihat sangat berat, lalu menurut saat Rahma menyuruhnya membuka mulut untuk diperiksa.

Setelah memeriksa denyut nadi dan tekanan darah Arinda, Rahma menyimpulkan bahwa gadis itu mengalami stres dan tubuhnya melemah karena tidak ada asupan makanan yang masuk. Ia yakin itu akibat perbuatan Elang. Sungguh, ia merasa tak enak pada kedua orang tua Arinda karena anaknya telah membuat anak gadis mereka mengalami stres.

"Arinda baik-baik aja. Suhu tubuhnya menurun karena nggak makan seharian, makanya badannya jadi dingin. Obatnya ada dua, yang satu makan dan satu lagi nanti saya bawa ke sini." Obat kedua yang dimaksud Rahma adalah anaknya sendiri, Elang. Ia yakin jika Elang datang ke sini, Arinda akan merasa senang dan bisa kembali bersemangat.

Dedi dan Yulia mengangguk paham. Mereka bersyukur jika ternyata anaknya tidak apa-apa.Tadi mereka khawatir karena badan Arinda mendingin dan sangat lemah. Kini mereka berdua harus mencari cara supaya Arinda mau makan agar tubuhnya tidak semakin lemah sehingga penyakit akan mudah menyerang.

"Sayang, Mama pulang, ya. Nanti Mama suruh Elang datang ke sini buat jenguk kamu," kata Rahma pada Arinda sambil mengusap-usap kepala gadis itu. "Udahan ya, mogok makannya. Nanti kamu sakit," lanjutnya disusul kecupan sayang di kening Arinda.

Rahma pamit pulang. Kedua orang tua Arinda mengucapkan terima kasih.

Tiba di rumah, Rahma melihat mobil Elang baru saja datang. Anak lelakinya itu tadi izin keluar untuk bermain futsal bersama teman-temannya. Waktu akhir pekan seperti ini memang biasa digunakan Elang untuk bertemu teman-temannya sambil melakukan suatu kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat.

"Shahreza Erlangga!"

Elang terkejut begitu membuka pintu mobil langsung disambut dengan kehadiran sang mama sambil berkacak pinggang dan menyebut nama lengkapnya. Ini pertanda buruk. Pasti ia akan kena marah entah karena kesalahan apa.

"Mama?"

"Kamu apain Arinda sampe kayak gitu?"

"Maksud Mama, apa?"

"Mama udah bilang, 'kan, Arinda jangan kamu mainin, jangan disakitin."

"Mama ngomong apa, sih?"

Elang sungguh tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Rahma. Belum juga keluar dari mobil, ia sudah dituduh begitu saja tanpa tahu duduk permasalahannya.

"Arinda ngurung diri seharian di kamar, nggak mau makan, nggak mau ngapa-ngapain sampe badannya lemah gitu. Kamu apain dia, hah? Kamu putusin, ya?"

Deg.

Astaga! Ternyata kejadian semalam berbuntut panjang. Elang tak menyangka Arinda akan menjadi seperti apa yang dikatakan mamanya barusan. Ia kira gadis ceria dan periang seperti Arinda akan mudah melupakan patah hati dan kembali menjalani kehidupan seperti biasa, tapi ternyata tidak. Rupanya patah hati yang dialami Arinda sangat parah dan itu dikarenakan oleh dirinya. Hhhh ... jika sudah begini, ia harus berbuat apa?

"Aku nggak ngapa-ngapain dia kok, Ma."

"Bohong. Buktinya Arinda sampe ngigo bilang kamu jahat."

"Apa?"

"Kalo kamu nggak nyakitin dia, dia nggak mungkin ngigo kayak gitu," lanjut Rahma yang tidak mempedulikan ekspresi terkejut Elang. "Sekarang cepat kamu tengok dia. Jangan bikin anak gadis orang menderita, Erlangga! Mama nggak enak sama orang tuanya, kasihan juga sama Arinda sampe badannya lemah gitu," pungkasnya sebelum meninggalkan Elang lalu masuk ke rumah.

Tubuh Elang yang masih terasa lelah usai bermain futsal bertambah lelah setelah mendengar tentang kondisi Arinda kini. Ia harus melakukan sesuatu agar Arinda kembali seperti sedia kala. Riang dan ceria. Entah apa itu, ia harus memikirkannya terlebih dahulu. Sekarang sebaiknya ia mandi lalu pergi mengunjungi gadis yang tengah patah hati itu.

***

"Arinda, Sayang, lihat, siapa yang datang."

Arinda yang masih terbaring lemah di tempat tidur menoleh ke arah pintu. Saat tahu mamanya membawa Elang masuk ke dalam kamar, ia memilih untuk membuang muka ke arah lain. Melihat wajah itu hanya akan mengundang air matanya untuk keluar.

"Tuh, lihat, A, dia nggak mau nyentuh makanannya sama sekali. Cuma jus aja yang mau diminum, itu juga dikit banget," jelas Yulia pada Elang sambil menunjuk sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk dan segelas jus apel yang terhidang di atas nakas samping ranjang.

Yulia berasal dari daerah Pasundan, jadi memanggil Elang dengan sebutan 'Aa'. Awalnya dulu untuk mengajari Arinda agar memanggil Elang dengan sebutan itu tapi malah Arinda memilih panggilan 'Kakak'. Ya sudah, akhirnya justru ia yang terbiasa memanggil anak tetangganya itu dengan sebutan 'Aa'.

Pandangan Elang masih terpaku pada nakas putih yang terbuat dari kayu mahoni dan memiliki tiga laci di bawahnya. Selain makanan dan minuman untuk Arinda, juga replika menara Eiffel, ada benda lain di sana yang membuat mata Elang tertarik untuk melihatnya. Benda yang menarik perhatian Elang itu adalah sebuah pigura yang terbuat dari susunan ranting kayu kering dan di dalamnya terpasang foto dirinya dan Arinda tengah duduk berdua sambil memamerkan senyuman. Ia ingat foto itu diambil di acara resepsi pernikahan Adam beberapa hari lalu. Ia tersenyum melihatnya.

"A, tolong bujuk Arinda biar mau makan, ya," bisik Yulia.

"Iya, Tante. Pasti aku bujuk dia."

"Ya udah, Tante tinggal dulu."

Elang mengangguk sambil tersenyum.

Yulia memilih keluar karena ada urusan lain yang harus dikerjakan, sementara ia biarkan pintu kamar anaknya terbuka lebar. Bagaimanapun Elang dan Arinda adalah sepasang manusia berbeda jenis kelamin yang tak memiliki hubungan darah, apalagi katanya diam-diam mereka berpacaran. Jadi untuk menghindari fitnah dan berjaga-jaga agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, Yulia sengaja tidak menutup pintu kamar Arinda.

"Arinda," panggil Elang seraya duduk di tepi ranjang tepat di sebelah Arinda.

Gadis itu tak merespon panggilan Elang. Ia masih memalingkan wajah dari Elang, tidak ingin air matanya kembali membasahi pipi. Sekarang saja matanya sudah mulai berkaca-kaca. Sangat menyebalkan memang, padahal ia ingin sekali melihat wajah tampan itu.

"Arinda, apa rasanya sakit banget?"

Tak pelak lagi, pertanyaan Elang itu membuat air mata Arinda kembali bercucuran sementara kepalanya mengangguk perlahan.

"Maafin Kakak, ya."

Arinda mengangguk lagi.

"Kakak ... harusnya Kakak nggak ke sini. Aku nangis lagi, 'kan? Katanya Kakak nggak mau aku nangis lagi," ujar Arinda yang masih tak mau bertatap muka dengan Elang.

"Kakak ke sini mau nyuapin kamu makan."

Sekilas Arinda tertawa dalam tangisnya. "Emangnya aku anak kecil?"

"Kalo kamu bukan anak kecil, kamu nggak akan nyiksa diri kamu kayak gini. Sekarang makan, ya. Kasihan Om Dedi dan Tante Yulia. Mereka khawatir banget sama kamu."

Arinda menyeka air mata dengan tangan, tangisnya mulai mereda. Perlahan-lahan ia menoleh pada Elang. "Aku punya syarat. Aku mau makan sampe abis bahkan nambah, kalo Kakak mau jadi pacar sungguhan aku."

"Oke."

Jawaban Elang yang sangat cepat seperti tanpa dipikir terlebih dahulu itu membuat Arinda melongo tak percaya.Tanpa diduga-duga dan tak disangka-sangka lelaki pujaan hatinya itu bersedia untuk menjadi pacarnya, pacar sungguhan lebih tepatnya. Padahal Arinda hanya iseng saja saat mengajukan syarat seperti itu.

"Apa, Kak? Aku nggak salah dengar, 'kan? Boleh diulangi, nggak?" Seketika Arinda menjadi bersemangat dan seperti lupa dengan kesedihannya.

"Iya, Kakak bersedia untuk belajar mencintai kamu dan melupakan Sarah."

Elang memperjelas jawabannya. Sebenarnya itu bukanlah jawaban spontan yang keluar begitu saja dari mulutnya. Semalaman ia sudah memikirkan tentang tawaran Arinda yang memintanya untuk melupakan Sarah dan mulai belajar mencintai gadis itu.

Selama ini ia memilih menyendiri bukan karena tidak ada perempuan yang mau padanya, hanya saja ia yang tidak mau membuka hati untuk mereka. Ia sengaja mengunci rapat pintu hati, bahkan jika ada seseorang yang mengetuknya, ia tak akan membukanya. Ia sudah terjebak terlalu dalam pada pesona Sarah. Entah apa yang membuatnya begitu mencintai perempuan yang kini sudah memiliki dua orang anak itu.

Perkataan Arinda semalam membuatnya perlahan-lahan sadar. Ya, ia harus melupakan Sarah dan berusaha mencintai perempuan lain. Selama ini bukan ia tak bisa melupakan Sarah, tapi justru ia yang menolak untuk melupakan mantan pacar terindahnya itu.

Mulai hari ini Elang bertekad untuk melupakan dan menghapus Sarah beserta segala kenangannya. Kini ia akan membuka lembaran kisah baru bersama Arinda. Perlahan-lahan ia akan belajar mencintai Arinda walau pasti tak mudah.

"Kakak nggak bohong, 'kan?" tanya Arinda masih tak percaya.

"Buat apa Kakak bohong? Kakak serius. Sejutarius malah."

Arinda berertiak kegirangan, lalu bangun untuk kemudian menghambur memeluk Elang.

"Arinda, udah, ah. Nggak enak kalo nanti katauan mama-papa kamu atau Bi Titin."

"Maaf, Kak. Aku spontan karena terlalu bahagia," ujar Arinda sambil melepas pelukan.

"Kamu bahagia?" tanya Elang sambil menatap wajah Arinda yang binar keceriaannya telah kembali.

Arinda mengangguk-angguk dengan bersemangat lalu berkata, "Ya udah, sekarang aku mau makan, tapi disuapin."

"Tadi bilangnya enggak mau disuapin, katanya kayak anak kecil," ledek Elang.

"Bodo. Pokoknya aku mau disuapin sama pacar aku," ujar Arinda dengan nada manja.

Elang menurut. Ia menyuapi Arinda dan gadis itu makan dengan lahap. Tanpa mereka sadari, Yulia sedang memperhatikan sambil bersembunyi di balik dinding dekat pintu kamar. Yulia tersenyum bahagia melihat anak gadisnya sudah kembali ceria dan mau makan.

Sedang asyik mengintip, tiba-tiba ponsel Yulia bergetar. Ia melihat nama penelepon di layar. Ternyata dari Rahma.

"Halo, Bu," sapa Yulia dengan suara berbisik. Ia tidak mau ketahuan sedang mengintip oleh Arinda dan Elang.

"Obat yang saya kirim buat Arinda manjur nggak, Bu?"

Yulia tidak mengerti dengan pertanyaan Rahma. Obat? Kapan Bu Rahma mengirim obat ke sini? Ia tidak tahu. Apa suaminya yang menerima atau si Titin?

Seperti tahu Yulia sedang kebingungan, akhirnya Rahma menjelaskan bahwa obat yang dimaksud adalah Elang.

"Oh, obat yang itu. Manjur banget, Bu. Arinda langsung ceria, semangat lagi, dan mau makan."

"Syukurlah kalo gitu. Kayaknya sebentar lagi kita jadi besanan, Bu."

"Amiiin ... Insya Allah."

Selesai berbicara di telepon dengan Rahma, Yulia kembali mengintip sekaligus menguping Arinda dan Elang yang sepertinya sedang membicarakan soal panggilan kesayangan antara mereka berdua. Lagi-lagi Yulia tersenyum.

"Kakak, nanti Kakak panggil aku 'Sayang', ya."

"Iya, iya.Terus, kamu manggil Kakak apa?"

"Panggil 'Sayang' juga, dong," jawab Arinda sambil kembali memeluk Elang. Kali ini bukan spontanitas tapi sengaja.

Mata Yulia melebar saat melihat anak gadisnya memeluk sang pacar, di kamar pula. Tanpa berpikir panjang, ia langsung berdeham dengan nyaring agar Arinda dan Elang tahu bahwa ada yang mengawasi mereka.

"Mama?"

"Tante?"

Arinda dan Elang sama-sama melihat ke arah pintu. Mereka terkejut sudah ada Yulia sedang berdiri di sana dengan wajah seperti rumah angker.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status