Semangkuk lontong sayur sudah tersaji diatas meja. Kulihat kamarnya tertutup rapat. Mungkin dia sudah pergi ke kantor. Kunikmati makananku dalam diam. Lontong sayur ini mungkin lebih nikmat jika dimakan beramai-ramai. Seperti saat di kampung dulu. Singkong rebus pun terasa nikmat jika dimakan bersama keluarga. Beginilah rasanya hidup dengan orang kaya yang sangat sibuk. Waktu adalah uang. Kebersamaan seolah tak ada arti.
Terkadang rasa rindu pada ayah,ibu dan Afnan adikku menyeruak. Ingin kubawa mereka kesini. Menemaniku yang setiap hari hanya berteman sepi. Pernah ku meminta mereka datang ke rumah ini. Namun mereka sering menolak. Takut mengganggu privasi suamiku. Jadi aku hanya menelpon mereka jika sempat. Awalnya aku mengusulkan agar kami mimiliki asisten rumah tangga. Tapi dia menolak. Katanya takut jika rahasia kami terbongkar. Dan dia merasa terganggu jika ada orang lain. Padahal aku butuh teman. Jika saja ada pekerjaan mengolah naskah kuno. Aku pasti lebih memilih bekerja di museum ataupun Lab. Hanya saja museum dan Lab lumayan jauh.Namun ia malah menyarankanku untuk mengajar di Sekolah TK yang di dirikan oleh keluarganya. Aku menerimanya. Setidaknya bisa mengusir rasa sepiku. Bertemu senyuman tulus itu setiap hari. Merasa lebih berguna karena setidaknya ada yang menyambutku dengan celotehan lucu mereka. Seperti pagi ini.
"Miss Maudy sudah datang. Ayo memberi salam.""Selamat pagi Miss Maudy." Ucap mereka serentak."Selamat pagi." Jawabku bersemangat.Mereka begitu antusias saatku bertanya tentang cita-cita mereka.
"Miss Maudy apa aku boleh menjadi putri duyung?" Tanya anak perempuan yang duduk di depan. Namanya Grace. Dia anak yang cerdas dan banyak bertanya.
Mendengar pertanyaan Grace sontak membuat yang lain tertawa. Biasanya jika aku bertanya pada mereka soal cita-cita maka pasti dijawab Dokter,polisi,guru,astronot namun ini ada yang mau jadi makhluk mitologi. Aku terseyum.
"Kenapa miss malah tersenyum? Boleh atau tidak miss?"
"Ya tentu saja boleh. Apalagi putri duyungnya juga pintar seperti Grace." Pujiku.
"Berarti aku juga boleh jadi power ranger dan superhero dong miss?" Sahut yang lain. Aku hanya tertawa.
Disini aku bisa tersenyum. Bercanda dan tertawa. Bebas lepas tanpa batas. Bernyanyi dan menari. Berkreasi dan bertukar pikiran dengan rekan guru. Mereka tak pernah bertanya identitasku. Hanya Ibu Kepala Sekolah yang tahu siapa diriku sebenarnya. Karena aku memohon agar mereka tak perlu tahu.
Suatu keberuntungan. Ketika kita bergaul dengan orang lain tanpa memandang siapa kita sebenarnya. Tapi sebaliknya akan terasa sulit jika orang lain tau siapa kita sebenarnya. Yang pasti akan ada dinding penyekat yang mengharuskan kita menjaga jarak dengan orang lain. Atau mungkin orang lain yang menjaga jarak dengan kita karena segan.Saat tengah sibuk dengan laptop dan beebagai laporan. Aku dikejutkan dengan kedatangan seseorang. Yaitu Ferra. Rekanku mengajar. Tumben dia ke kantor. Biasanya dia akan langsung pulang karena dia harus mengurus ibunya yang sedang sakit.
"Tumben kamu senggang Fer." Ucapku pada gadis berlesung pipi itu.
"Iya. Hari ini abangku yang menjaga ibu. Mumpung libur katanya."
"Oh pantesan."
"Maudy ke kafe yuk. Udah lama ngga nongkrong." Ajak Ferra antusias.
"Ayok. Habis ini ya." Jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari PC. Menyelesaikan pekerjaan membuat RPP, RPM dan RPH."Oke. Aku tunggu di luar ya." Ferra melambaikan tangannya."Oke." Kuacungkan jempol padanya.Mematikan PC dan menuju kelas. Merapikan beberapa mainan yang berserakan. Juga mengambil tas jinjing yang kubawa. Membawa beberapa buku ke kantor lalu meletakkannya di mejaku besok harus datang lebih pagi agar bisa mnegoreksi tegas mereka. Setelah merapihkan kelas dan menyusun buku tugas anak-anak. Kami pergi ke kafe. Berjalan beriringan sambil bersenda gurau seolah dunia milik berdua.Ada satu kafe yang baru dibuka. Tempatnya dekat dengan kantor Erland. Karena baru pengunjung terlihat tidak terlalu banyak. Kami duduk di dekat jendela. Memesan 2 cangkir cappuchino dan churros. Lalu berfoto ria. Ferra memasang foto kami di story WA. Dia bercerita banyak hal. Ferra begitu antusias bercerita tentang pacarnya yang akan pulang dari tugas bulan depan. Aku ikut senang karena pasangan kekasih ini sudah 3 tahun LDR-an. Dan rencananya akan menikah setelah sang pacar pulang dari tugas. Sedangkan aku hanya menjadi pendengar setianya seperti biasanya. Namun topik kali ini berbeda. Dia seolah kepo dengan kehidupan pribadiku.
"Oya kamu sendiri bagaimana sama suami kamu. Kayaknya selama mengajar ga pernah sekalipun kamu dianter jemput suami kamu. Ada masalah ya?" Tanya Ferra
"Dia sangat sibuk. Aku pun bukan tipe istri manja yang suka dianter jemput." Jawabku sambil terkekeh.
"Emangnya istri yang suka dianter jemput itu manja ya. Kayaknya enggak deh. Emang kaya gimana sih suamimu itu?"
"Rahasia. Kamu pasti akan pingsan kalau tau."
"Hahaha lebay amat dah. Emang seganteng apa dia? Lebih ganteng oppaku dong."
"Hahaha iya deh yang punya oppa."
"Iyalah. Hahaha"
Ah andai kamu tahu bagaimana wajah suamiku. Kamu pasti akan pingsan. Seperti 3 bulan lalu saat Erland mengunjungi sekolah untuk memberikan bantuan pada anak kurang mampu dan berprestasi. Dia berteriak histeris melihat Erland yang katanya seperti Jang Ki Yong oppa kesayangannya. Aku hanya geleng-geleng kepala. Ada-ada saja.
Kuscroll layar handphone sambil mendengarkan Ferra cerita ngalor ngidul tentang drakor kesayangannya. Hingga kulihat mobil Lexus hitam itu parkir di depan kafe. Aku tertegun sejenak. Lalu pria yang sangat ku kenal keluar dari mobil di ikuti wanita cantik. Erland berjalan dengan wanita memasuki kafe. Kutundukkan wajah tak lupa kututupi dengan buku menu kafe. Dia terlihat berjalan melewatiku. Wanita itu bergelayut manja sedangkan pria yang bergelar suamiku wajahnya datar dan sangat tidak nyaman.
"Dy, kamu kenapa sih? Kok mukanya di tutupin gitu?" Tanya Ferra menarik buku menu dengan keras. "Nggapapa. Gimana kalau kita pergi aja dari sini?" Jawabku sambil berbisik."Ihh kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba bisik-bisik gitu?""Ah ngga,hanya saja aku kurang enak badan.""Ish kamu ga asik ah. Baru aja kita disini. Udah minta pulang aja." Ferra cemberut mendengar jawabanku. Mau tak mau akhirnya dia ikut berdiri mengikutiku. Namun sebelum sampai ke pintu suara itu memanggilku."Maudy...?" Dia menghampiriku. Aku tersenyum kaku."Oh my god. Dia kan pak direktur penyumbang waktu itu. Jang Ki Yong oppa." Ucap Ferra.
Kak Erland hanya tersenyum.
"Anda teman Maudy?"
"Oppa kenal Maudy?" Tanya Ferra sambil melongo.
"Tentu saja."
Kuatatap wajah suamiku dengan tatapan tajam. Kuharap dia tak mengatakan yang sebenarnya pada Ferra.
"Dia...operator TK Rasendria kan?"
Kuhembuskan napas lega.
"Hahaha iya betul. Maudy kamu kok ga bilang sama aku kenal sama oppa."
"Itu gak penting." Jawabku acuh.
Lalu menarik tangan Ferra agar segera beranjak darisana tanpa memperdulikan wajah pria dan wanita yang terus menempel padanya seperti ulat keket itu. Ada rasa kecewa. Namun apa hakku. Aku tak punya hak apapun meskipun statusku adalah istrinya.
Apa yang sebenarnya aku lakukan? Kenapa aku harus marah melihat Erland dengan wanita itu. Bisa saja kan dia rekan bisnisnya. Bodoh. Aku merutuki diri sendiri. Mondar-mandir di kamar tidak jelas. Menunggu kepulangan suamiku. Kenapa aku begitu peduli padanya?"Ini gila. Aku benar-benar gila." Gumamku merutuki diri sendiri.Untuk mengenyahkan pikiranku pada dua orang itu aku melakukan apapun. Membersihkan kamar mandi,dapur,halaman rumah. Bahkan aku yang sangat malas ngepel akhirnya mengepel seluruh lantai. Menyetrika seluruh pakaian. Namun bayangan mereka tetap saja tertinggal di pikiranku."Sebenarnya apa yang terjadi? Ini pertama kalinya aku begitu memikirkannya." Gumamku pada diri sendiriSudah hampir tengah malam. Tapi tidak ada tanda-tanda kepulangannya. Aku menunggunya di teras lalu masuk ke kamar. Ke teras lagi lalu ke kamar lagi. Begitu seterusnya. R
Akhirnya kuputuskan untuk tidak membahas perihal perceraian. Ingin rasanya mencoba untuk menjadi istri sesungguhnya. Mungkinkah akan ada perubahan besar dalam hubungan kami ke depannya? Apalagi kemarin aku lihat ulet keket yang bergelayut manja di lengan suamiku. Tapi darimana aku harus memulainya? Ayolah berpikir Maudy.Aha aku ada ide!"Hallo mama,apa kabar?"[Baik. Kamu apa kabar cantik?]"Baik juga ma. Oya boleh Maudy bertanya sesuatu?"[Tentu sayang. Tanyalah apapun gratis kok]"Terimakasih ma. Sebenernya apa makanan atau minuman kesukaan Kak Erland?"[Tunggu! Kamu masih manggil suamimu Kakak?]Astaga naga mati aku."Maaf ma. Maksud Maudy..."[Hahaha mama hanya bercanda sayang. Panggil dia sesukamu. Makanan kesukaan suamimu ya? Sebenarnya mama ga terlalu tahu makanan kesukaan dia saat ini. Karena hampir 5 tahun Erland di Aussie. Tapi seingat mama waktu kecil Erland suka garang asem. Nanti mama kir
Aku meringkuk diatas ranjang. Perutku terasa ditusuk-tusuk ribuan jarum. Sakit dan perih. Kuraih obat pereda nyeri lambung dan mengunyahnya. Kutarik selimut semakin rapat. Mataku terpejam namun tak bisa tidur.TOKTOKTOKSuara ketukan pintu membuat mataku terbuka. Aku bangkit dari ranjang dengan terhuyung kugapai gagang pintu dan membukanya. Wajah tampan itu tersenyum tangannya menenteng segelas teh manis dan semangkuk bubur. Dia segera masuk dan menuntunku. Mendudukanku diatas ranjang. Sikapnya yang lembut membuatku nyaman."Kubuatkan bubur putih. Tadi kuhaluskan dengan foodprocesor dulu. Kemarin dokter bilang magh-mu kambuh. Harus makan yang halus." Kuperhatikan gerak bibirnya dan mengangguk."Taruh saja diatas meja nanti kumakan." Ujarku merebahkan diri."Kau harus banyak makan. Kusuapi ya." Bujuknya menyendokkan bubur."Aku bisa makan sendiri." Ucapku merebut sendok dan mangkuk. Menyuapkan sedikit bubur kedalam mulut
Aku terpukau dan takjub dengan susunan foto tersebut. Mungkin jika di ikut sertakan dalam pameran akan menjadi menarik pikirku. Hingga akhirnya kututup pintu rahasia disebalik rak buku tersebut."Lancang!" Serunya ketus. Kutersentak kaget hingga buku merah itu jatuh dari tanganku.Aku tak berani membalikkan tubuhku. Suara tegas nan dingin di belakangku membuatku gemetar. Aku sudah tertangkap basah. Kupejamkan mata. Kudengar langkah kakinya mendekat. Bisa kurasakan emosi yang tertahan darinya. Aura di kamar ini mendadak engap dan sesak. Lalu tanpa di duga dia memegang erat lenganku kemudian menarikku keluar dari kamarnya."Pergi!" Sergahnya seraya menutupnya sangat keras bahkan hentakannya membuat seluruh ruangan bergetar.Kutekan dadaku. Tubuhku meluruh ke lantai. Sungguh aku sangat menyesal. Namun disatu sisi aku merasa takjub. Ada satu hal yang membuatku semakin tersadar. Dia bukan laki-laki sembarangan. Foto-foto tadi membuktikan segalanya. Aku t
Sebulan sudah dia menghilang bagai ditelan bumi. Tak sekalipun menghubungiku. Bahkan tak bisa di hubungi sama sekali. Mungkin ini kali ketiga dalam 2 tahun terakhir dia menghilang. Pernah kutanyakan pada mama ataupun Pak Bayu namun mereka hanya bungkam. Hingga akhirnya aku memilih pura-pura abai. Walaupun tak kupungkiri rasa khawatir selalu menyeruak mengusik ketenangan hari-hariku. "Sebenarnya dia menghilang kemana? Apa mungkin dia pergi ke Aussie?" Tanyaku dalam hati. Setiap kepulangannya dari bertapa. Ya aku menyebutnya bertapa karena dia seolah tak ingin seorang pun mengetahui apapun yang dia lakukan. Dia akan membawa oleh-oleh yang berbeda-beda. Entah itu memar di telapak tangan,memar di wajah sampai patah tulang. Kadang aku berpikir,apakah dia di begal dijalan ataukah dia digebukin perampok. Namun itu tidaklah mungkin. Karena yang kutahu. Erland bukan manusia bodoh yang mati-matian mempertahankan harta sedangkan nyawanya terancam. Dan setiap kutanya dia
Sudah 3 hari dia tak terlihat keluar kamar. Hanya Antony yang selalu terlihat keluar masuk kamarnya. Aku sendiri hanya bisa melihat betapa sibuknya Antony tanpa bisa membantu apapun. Beberapa kali bertanya bagaimana keaadan suamiku tanpa mendekatinya. Katanya tuan muda sudah lumayan pulih. Aku bersyukur dan sedikit lega. Setidaknya dia baik-baik saja. "Nona,apa anda sedang sibuk?" Tanya Antony pagi ini saat aku tengah menyiapkan bekal di dapur. "Bisa iya dan bisa juga tidak. Ada apa?" Jawabku balik bertanya. "Bisakah anda membujuk tuan muda agar memeriksakan diri di rumah sakit." "Antony, bukankah kamu tahu kalau tuan mudamu begitu membenciku?" "Aku mohon nona. Tuan muda sangat keras kepala. Sedangkan luka sabetannya cukup serius." "Luka sabetan? Maksud kamu luka sabetan pedang?" "Ah tidak. Aku kelepasan." Lirihnya menangkupkan tangan di wajah letihnya. "Antony,aku tidak akan membujuk tuanmu jika kamu tidak
Seminggu semenjak kejadian itu. Aku memutuskan untuk keluar dari sekolah tempatku mengajar. Dan memilih untuk bekerja meneliti naskah di museum tengah kota. Para siswa menangis saat aku berpamitan. Bahkan ada yang mogok tak mau pulang. Hingga aku harus membujuknya supaya kembali ceria. Bahkan Ferra bilang dia yang merasa terzholimi karena aku tak pernah mengatakan apapun selama ini dan tiba-tiba memutuskan untuk resign."Maafkan aku." Ucapku tulus pada Ferra yang tak hentinya mengeluarkan airmata. Kami duduk di samping kelas. Hanya tinggal kami berdua yang berada di sekolah."Kamu tega banget deh. Ninggalin aku tiba-tiba." Ucapnya sambil mengguncang bahuku."Sebenarnya ini sudah kupikirkan sejak awal tahun. Hanya saja baru sekarang terlaksana. Karena aku ingin memperdalam passionku." Jelasku padanya agar dia tak berpikir yang aneh-aneh."Kamu yakin itu alasannya? Bukan karena hal lain?" Tanyaya curiga. Kuhembuskan napasku dengan berat."Ya te
Setalah mama,papa dan kak Hilma pamit. Aku segera membereskan rumah. Menyapu dan mengepel lantai. Sedangkan pria sedingin es membantu membersihkan dapur dan peralatan makan. Dia begitu cekatan membilas piring dan menaruhnya di rak. Aku menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri berusaha mengusir penat. Tanganku terasa kebas dan linu. PRAK Tanganku tak sengaja menyenggol Vas bunga. Serpihan kaca bening itu berserakan di lantai. Aku memungutnya namun tangan dan kakiku tanpa sengaja menginjak serpihan kecil yang tak terlihat. "Auh." Aku mengaduh. Rasa perih menjalar di jari serta telapak kaki. Hingga bercak darah menempel di lantai. "Astaga. Apa kau baik-baik saja?" Tanyanya pabik seraya memegang tanganku. "Iya biar kubereskan dulu." "Biar aku saja." Cegahnya. Ditangannya sudah ada sekop dan sapu. Aku berjinjit menuju sofa. Namun rasa perih semakin menjalar. Sakit sekali. Lalu kedua tangan kekar itu dengan sigap menggendongku. K