Aku menikmati salad buah dengan tidak selera. Bagaimana aku harus berselera? Makan malam hanya dengan potongan buah dan sayuran. Padahal disana potongan daging rendang begitu nikmat. Lalu ada ayam lado mudo. Ayam pop dan juga kerupuk udang. Orang Indonesia macam aku berasa tak makan hanya dengan potongan buah macam ini. Tetapi tadi gerombolan Keluarga Rasendria yang terhormat itu menyuruhku makan salad buah. Itupun harus di iringi cibiran pedas. Yang katanya orang kampung mana tahan lihat makanan enak. Hingga terpaksalah aku hanya mengambil salad ini dengan hati dongkol.
Aku hanya menghentak hentakkan sendok. Tanpa berniat menyuapkannya kedalam mulutku. Sungguh ku tak berselera sama sekali. Hingga tangan besar nan halus itu meyentuh tanganku. Dia mengambil sendok di tanganku. Dan meletakkannya di samping piring."Jangan memaksa apa yang tak kamu suka." Sarannya seraya mengelus punggung tanganku.
Ku dongakkan kepala menatapnya. Dia berdiri lalu menarik tanganku keluar. Aku hanya menurut saja tanpa bertanya. Aku tak mau terlihat kacau di depan para kolega suamiku. Setiap orang yang berpapasan dengan kami menyapa dengan hormat. Bahkan kulihat Antony tengah meladeni beberapa sepupu wanita suamiku yang super centil.
Kami melewati ballroom hotel lalu berbelok ke restoran yang ada di hotel. Sepertinya dia akan makan. Karena sedari tadi dia hanya menenggak air putih. Walaupun orang kaya suamiku tak suka wine dan sejenisnya. Katanya dia penganut hidup sehat garis keras. Dia membuatku kagum. Pantaslah badannya begitu bagus. Dia menjaga pola makannya. Dan mungkin rajin fitness.
Sesampainya di restoran dia mengajakku duduk di dekat jendela. Pemandangannya sangat indah hingga membuatku terpukau. Dia menarik kursi dan memintaku duduk. Bak seorang ratu. Aku menurut saja. Malam ini dia memperlakukanku dengan sangat lembut dan istimewa.
"Pesanlah apapun yang kamu mau. Makan salad buah mana kenyang." Ujarnya sambil memberikan buku menu."Apapun? Apa kau yakin?" Jawabku ragu sambil menatapnya."Uangku takkan habis untuk memborong semua menu di restoran ini." Ucapnya angkuh sambil melipat tangan di dada."Sombongnya tuan muda di hadapanku ini." Batinku. Tapi tak apalah menguras uangnya sedikit. Akhirnya aku memesan nasi, steak tenderloin dan juga jus alpukat. Sekalian makanan pendamping seperti Macaroon dan ice cream. Tak peduli diet. Toh makan sebanyak apapun tubuhku tetaplah segini. Mungkin saking banyaknya cacing dalam perutku. Sedangkan tuan muda di dampingku hanya memesan sandwich tuna mayo dan robusta. Apalah makanan kayak gitu mana kenyang.Setelah datang aku segera menyantapnya. Pria dihadapanku hanya melongo melihatku melahap semua makanan di hadapanku. Biarlah dikata rakus. Aku memang sangat lapar. Karena seharian tadi hanya makan nasi goreng buatan Erland. Lalu sibuk mencari gaun yang pas untuk datang ke acara ini. Anggaplah ini bayaran atas kerja kerasku hari ini."Pelan-pelan saja. Tak ada yang mau makanan bekas begitu. Dan lagi hanya kamu seorang yang makan steak pake nasi. Padahal salad kentang itu lumayan banyak." Ucapnya santai kayak dipantai jarinya menunjuk piringku yang campur aduk."Uhuk. Uhuk." Aku tersedak dan segera mengambil minum. Kutenggak air putih hingga tandas."Baru saja kubilang." Ujarnya sambil mengelap bibir merah mudanya. "Lagian kakak ngapain ngomong gitu? Rasanya sakit tapi ga berdarah." Gerutuku lirih."Aku hanya berbicara fakta." Tandasnya.
"Membuatku tak berselera saja." Gerutuku.
"Habiskan makananmu. Kalau tak habis kau bayarlah sendiri." Ucapnya."Enak saja. Ogah. Baiklah pasti kuhabiskan."
"Ya habiskan. Lalu pulang."
"Oke." Aku mengunyah makanan di hadapanku sambil sesekali melirik wajah tampan di hadapanku yang tengah menatap layar handphone. Hingga pandangan kami bertemu. Segera kualihkan pandangan dan mengunyahnya secepat mungkin. Dia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Wajahku pasti sudah seperti kepiting rebus kali ini. Yang akupun tak tau semerah itu atau bahkan lebih buruk dari warna kepiting rebus. Kenapa wajah tampan nan menyebalkan itu selalu senang menggodaku. Selasai makan,segera kami melangkah kembali ke ruang pertemuan tadi. Dia beramah tamah dengan beberapa koleganya. Semua orang memujinya sangat romantis. Bak penganten baru. Tangannya sungguh posesif memeluk dan merangkul bahuku. Jujur aku risih sekaligus muak. Hanya saja inilah kegunaanku. Tak apalah ini bentuk rasa terimakasih pada suami anehku. Setelah berpamitan pada mereka. Kemudian menarik tanganku meninggalkan ballroom. Lalu membukakan pintu mobil. Namun disana empat pasang mata RASENDRIA memperhatikan kami."Sepertinya mereka masih ingin memastikan sesuatu. Baiklah kita mulai." Bisiknya lembut.
Lalu benda kenyal nan lembut itu mengecup bibirku. Tangannya mengelus lembut pipiku. Kukalungkan tanganku pada lehernya. Aku sudah semakin mahir saja melakukan ini. Walaupun bukan yang pertama tetap sukses membuat dadaku berdebar tak karuan. Hanya 1 menit namun waktu terasa begitu lambat. Dia terpana melihatku antusias membalas ciumannya. Terlihat bola matanya melebar kemudian menutup. Setelah saling berpagutan,aku menarik diri. Aku takut kelepasan. Segera saja dia membukakan pintu mobil. Dan aku masuk menghenyakkan tubuhku di kursi samping kemudi. Lexus hitam tancap gas membelah jalanan ibu kota.
Sepanjang perjalanan pulang. Kami hanya diam. Hanya alunan musik klasik yang mengiringi perjalanan kami menuju rumah. Ah membosankan sekali. Musik ini hanya membuatku ngantuk. Perut kenyang ditambah musik yang lembut sukses membuatku menguap. Hingga akhirnya aku tak tahan. Mataku terpejam.
Aku memimpikan hal yang baru saja terjadi. Bibirnya yang hangat dan lembut masih terasa di bibirku. Lambat laun pagutannya terasa menuntut. Hingga membuat napasku tidak beraturan. Mimpi ini terasa sangat nyata. Hingga aku terbangun dari mimpi. Kusentuh bibirku. Terasa basah dan perih. Apakah aku berciuman sepanjang malam?
Allahu akbar...Allahu akbar!Kumandang adzan membangunkanku. Kutegakkan tubuhku dan ku edarkan pandangaku. Ini kan kamarku. Lalu kapan aku masuk ke kamar? Bukannya semalam aku ketiduran di mobil? Jangan-jangan. Kusibak selimut dan kuraba pakaianku."Fiuuuh untunglah." Legaku seraya menghembuskan napas.
Masih utuh. Berarti semalam dia menggendongku ke kamar? Astaga naga bagaimana ini. Segera berlari ke kamar mandi mengambil wudhu. Lalu mendirikan shalat.
Selesai sholat aku mengendap-endap ke kamarnya. Kutarik handle pintu. Ternyata tak di kunci. Aku masuk ke kamarnya. Namun ranjangnya kosong. Yah mungkin dia sedang mandi atau wudhu. Aku berbalik hendak menuju dapur. Namun sebuah tangan menarikku hingga membuatku tersentak. "Kamu sedang apa? Mau ngintip?" DEG"En-nggak. Aku mau masak." Jawabku gugup."Oh, kirain mau ngucapin terima kasih karena sudah menggendongmu sampai ke kamar.""Jadi benar Kakak menggendongku sampai kamar?" Tanyaku spontan."Tentu saja. Mana mungkin kamu berjalan sedangkan tidurmu seperti orang mati."
"Apa? Kau!" Tunjukku kesal.
"Dan sepertinya kau menggigau ingin kucium."
Cess. Wajahku terasa panas. Jujur aku sangat malu karena teringat kejadian semalam.
"Dasar menyebalkan." Langsung saja aku pergi dari kamarnya. "Lain kali jangan sembarangan masuk ke kamarku. Bagaimana kalau aku tak pakai baju? Bisa-bisa kamu tidak bisa tidur setiap malam." Tuturnya yang sontak membuatku berhenti. Dia terkekeh pelan seraya menutup bibirnya dengan tangan."Dasar mesum!" Ucapku bergegas masuk ke kamar. Ku urungkan masak ke dapur. Pagi-pagi bikin orang kesal saja. Tak lama ku dengar dia membuka pintu depan. Kulihat dari jendela kamar. Dia menaiki sepeda keluar rumah. Mungkin beli lontong sayur kesukaannya. Kuhembuskan nafas. Haruskah aku bercerai? Walaupun kebersamaan kami selama ini tak seperti pernikahan pada umumnya.Semangkuk lontong sayur sudah tersaji diatas meja. Kulihat kamarnya tertutup rapat. Mungkin dia sudah pergi ke kantor. Kunikmati makananku dalam diam. Lontong sayur ini mungkin lebih nikmat jika dimakan beramai-ramai. Seperti saat di kampung dulu. Singkong rebus pun terasa nikmat jika dimakan bersama keluarga. Beginilah rasanya hidup dengan orang kaya yang sangat sibuk. Waktu adalah uang. Kebersamaan seolah tak ada arti.Terkadang rasa rindu pada ayah,ibu dan Afnan adikku menyeruak. Ingin kubawa mereka kesini. Menemaniku yang setiap hari hanya berteman sepi. Pernah ku meminta mereka datang ke rumah ini. Namun mereka sering menolak. Takut mengganggu privasi suamiku. Jadi aku hanya menelpon mereka jika sempat.Awalnya aku mengusulkan agar kami mimiliki asisten rumah tangga. Tapi dia menolak. Katanya takut jika rahasia kami terbongkar. Dan dia merasa terganggu jika ada orang lain. Padahal aku butuh teman. Jika saja ada pekerjaan mengolah naskah kuno. A
Apa yang sebenarnya aku lakukan? Kenapa aku harus marah melihat Erland dengan wanita itu. Bisa saja kan dia rekan bisnisnya. Bodoh. Aku merutuki diri sendiri. Mondar-mandir di kamar tidak jelas. Menunggu kepulangan suamiku. Kenapa aku begitu peduli padanya?"Ini gila. Aku benar-benar gila." Gumamku merutuki diri sendiri.Untuk mengenyahkan pikiranku pada dua orang itu aku melakukan apapun. Membersihkan kamar mandi,dapur,halaman rumah. Bahkan aku yang sangat malas ngepel akhirnya mengepel seluruh lantai. Menyetrika seluruh pakaian. Namun bayangan mereka tetap saja tertinggal di pikiranku."Sebenarnya apa yang terjadi? Ini pertama kalinya aku begitu memikirkannya." Gumamku pada diri sendiriSudah hampir tengah malam. Tapi tidak ada tanda-tanda kepulangannya. Aku menunggunya di teras lalu masuk ke kamar. Ke teras lagi lalu ke kamar lagi. Begitu seterusnya. R
Akhirnya kuputuskan untuk tidak membahas perihal perceraian. Ingin rasanya mencoba untuk menjadi istri sesungguhnya. Mungkinkah akan ada perubahan besar dalam hubungan kami ke depannya? Apalagi kemarin aku lihat ulet keket yang bergelayut manja di lengan suamiku. Tapi darimana aku harus memulainya? Ayolah berpikir Maudy.Aha aku ada ide!"Hallo mama,apa kabar?"[Baik. Kamu apa kabar cantik?]"Baik juga ma. Oya boleh Maudy bertanya sesuatu?"[Tentu sayang. Tanyalah apapun gratis kok]"Terimakasih ma. Sebenernya apa makanan atau minuman kesukaan Kak Erland?"[Tunggu! Kamu masih manggil suamimu Kakak?]Astaga naga mati aku."Maaf ma. Maksud Maudy..."[Hahaha mama hanya bercanda sayang. Panggil dia sesukamu. Makanan kesukaan suamimu ya? Sebenarnya mama ga terlalu tahu makanan kesukaan dia saat ini. Karena hampir 5 tahun Erland di Aussie. Tapi seingat mama waktu kecil Erland suka garang asem. Nanti mama kir
Aku meringkuk diatas ranjang. Perutku terasa ditusuk-tusuk ribuan jarum. Sakit dan perih. Kuraih obat pereda nyeri lambung dan mengunyahnya. Kutarik selimut semakin rapat. Mataku terpejam namun tak bisa tidur.TOKTOKTOKSuara ketukan pintu membuat mataku terbuka. Aku bangkit dari ranjang dengan terhuyung kugapai gagang pintu dan membukanya. Wajah tampan itu tersenyum tangannya menenteng segelas teh manis dan semangkuk bubur. Dia segera masuk dan menuntunku. Mendudukanku diatas ranjang. Sikapnya yang lembut membuatku nyaman."Kubuatkan bubur putih. Tadi kuhaluskan dengan foodprocesor dulu. Kemarin dokter bilang magh-mu kambuh. Harus makan yang halus." Kuperhatikan gerak bibirnya dan mengangguk."Taruh saja diatas meja nanti kumakan." Ujarku merebahkan diri."Kau harus banyak makan. Kusuapi ya." Bujuknya menyendokkan bubur."Aku bisa makan sendiri." Ucapku merebut sendok dan mangkuk. Menyuapkan sedikit bubur kedalam mulut
Aku terpukau dan takjub dengan susunan foto tersebut. Mungkin jika di ikut sertakan dalam pameran akan menjadi menarik pikirku. Hingga akhirnya kututup pintu rahasia disebalik rak buku tersebut."Lancang!" Serunya ketus. Kutersentak kaget hingga buku merah itu jatuh dari tanganku.Aku tak berani membalikkan tubuhku. Suara tegas nan dingin di belakangku membuatku gemetar. Aku sudah tertangkap basah. Kupejamkan mata. Kudengar langkah kakinya mendekat. Bisa kurasakan emosi yang tertahan darinya. Aura di kamar ini mendadak engap dan sesak. Lalu tanpa di duga dia memegang erat lenganku kemudian menarikku keluar dari kamarnya."Pergi!" Sergahnya seraya menutupnya sangat keras bahkan hentakannya membuat seluruh ruangan bergetar.Kutekan dadaku. Tubuhku meluruh ke lantai. Sungguh aku sangat menyesal. Namun disatu sisi aku merasa takjub. Ada satu hal yang membuatku semakin tersadar. Dia bukan laki-laki sembarangan. Foto-foto tadi membuktikan segalanya. Aku t
Sebulan sudah dia menghilang bagai ditelan bumi. Tak sekalipun menghubungiku. Bahkan tak bisa di hubungi sama sekali. Mungkin ini kali ketiga dalam 2 tahun terakhir dia menghilang. Pernah kutanyakan pada mama ataupun Pak Bayu namun mereka hanya bungkam. Hingga akhirnya aku memilih pura-pura abai. Walaupun tak kupungkiri rasa khawatir selalu menyeruak mengusik ketenangan hari-hariku. "Sebenarnya dia menghilang kemana? Apa mungkin dia pergi ke Aussie?" Tanyaku dalam hati. Setiap kepulangannya dari bertapa. Ya aku menyebutnya bertapa karena dia seolah tak ingin seorang pun mengetahui apapun yang dia lakukan. Dia akan membawa oleh-oleh yang berbeda-beda. Entah itu memar di telapak tangan,memar di wajah sampai patah tulang. Kadang aku berpikir,apakah dia di begal dijalan ataukah dia digebukin perampok. Namun itu tidaklah mungkin. Karena yang kutahu. Erland bukan manusia bodoh yang mati-matian mempertahankan harta sedangkan nyawanya terancam. Dan setiap kutanya dia
Sudah 3 hari dia tak terlihat keluar kamar. Hanya Antony yang selalu terlihat keluar masuk kamarnya. Aku sendiri hanya bisa melihat betapa sibuknya Antony tanpa bisa membantu apapun. Beberapa kali bertanya bagaimana keaadan suamiku tanpa mendekatinya. Katanya tuan muda sudah lumayan pulih. Aku bersyukur dan sedikit lega. Setidaknya dia baik-baik saja. "Nona,apa anda sedang sibuk?" Tanya Antony pagi ini saat aku tengah menyiapkan bekal di dapur. "Bisa iya dan bisa juga tidak. Ada apa?" Jawabku balik bertanya. "Bisakah anda membujuk tuan muda agar memeriksakan diri di rumah sakit." "Antony, bukankah kamu tahu kalau tuan mudamu begitu membenciku?" "Aku mohon nona. Tuan muda sangat keras kepala. Sedangkan luka sabetannya cukup serius." "Luka sabetan? Maksud kamu luka sabetan pedang?" "Ah tidak. Aku kelepasan." Lirihnya menangkupkan tangan di wajah letihnya. "Antony,aku tidak akan membujuk tuanmu jika kamu tidak
Seminggu semenjak kejadian itu. Aku memutuskan untuk keluar dari sekolah tempatku mengajar. Dan memilih untuk bekerja meneliti naskah di museum tengah kota. Para siswa menangis saat aku berpamitan. Bahkan ada yang mogok tak mau pulang. Hingga aku harus membujuknya supaya kembali ceria. Bahkan Ferra bilang dia yang merasa terzholimi karena aku tak pernah mengatakan apapun selama ini dan tiba-tiba memutuskan untuk resign."Maafkan aku." Ucapku tulus pada Ferra yang tak hentinya mengeluarkan airmata. Kami duduk di samping kelas. Hanya tinggal kami berdua yang berada di sekolah."Kamu tega banget deh. Ninggalin aku tiba-tiba." Ucapnya sambil mengguncang bahuku."Sebenarnya ini sudah kupikirkan sejak awal tahun. Hanya saja baru sekarang terlaksana. Karena aku ingin memperdalam passionku." Jelasku padanya agar dia tak berpikir yang aneh-aneh."Kamu yakin itu alasannya? Bukan karena hal lain?" Tanyaya curiga. Kuhembuskan napasku dengan berat."Ya te