Pov DirgaAku bukan manusia suci. Di usiaku yang sudah menjelang empat puluh tahunan ini aku memang belum menikah. Namun, aku bukan lagi seorang perjaka. Dikhianati seseorang yang begitu kucintai membuatku menganggap semua wanita itu sama. Mereka hanya menyukaiku karena harta yang kumiliki. Jadi, segampang itu juga aku mengikuti hidupku. Berpindah dari ranjang satu ke ranjang yang lainnya hanya untuk memuaskan diri. Minuman beralkohol kerap menjadi temanku kala sepi. Hingga malam itu, akibat benda laknat itu aku meniduri karyawan magangku sendiri. Fatima namanya. Dia berasal dari Bekasi. Dia magang di kantor marketplace yang kumiliki. Malam itu aku sedang benar-benar kesal setelah melihat berita tentang Irina. Dia pamer kebahagiaan dengan suami dan anak-anaknya. Lelaki yang tak lain adalah sahabatku sendiri.Irina---perempuan pertama yang sudah membuatku jatuh cinta. Irina, dialah yang menarikku untuk melanggar norma. Mengajakku bertualang meski tanpa ikatan. Irina yang membuatku pa
Pov Salmah“Ibu! Ibu! Kakak, Bu!” Kami menoleh ke asal suara. Kulihat Adrian berlari panik ke arah kami sambil menunjuk ke arah kolam yang agak dalam.“Astaghfirulloh!” Aku lekas memburu Adrian. “Icha!” Aku histeris ketika terlihat petugas waterboom tampak tengah berusaha menyelamatkan orang di tengah kolam. Byur!Byur!Tanpa kusangka, Mas Heru dan Pak Dirga bersamaan menceburkan diri ke dalam kolam. Mereka mengayuh, tapi gerakan Mas Heru kalah gesit oleh Pak Dirga. Dia lebih cepat tiba dan membantu penjaga kolam itu membawa Alisha ke tepi. “Astaghfirulloh … Icha ….” Lututku gemetar mendapati Alisha yang tengah terbatuk-batuk, wajahnya sudah pias. Dia kini tergeletak di tepi kolam. Tubuhnya menggigil dan tangannya gemetar ketakutan. Mas Heru yang basah kuyup pun mendekat. Kurasa jemarinyalah yang menyentuh pundakku. Aku masih fokus dengan Alishaku. “I---Ibu … Icha takut.” Suara Alisha terdengar lirih. Dia memelukku sambil terisak. “Sudah, tenang, Salmah … Alisha gak kenapa-kenapa
Aku sudah agak baikan. Tercebur ke kolam yang dalam itu membuat aku masih gemetaran. Aku tak ingat pasti urutan kejadiannya. Saat itu, aku tak sengaja menjatuhkan diri ke kolam itu. Rasanya ada seseorang yang mendorongku, meski tak pasti siapa orang itu. Takut, dingin dan sesak. Aku tak mau lagi terulang kejadian seperti ini lagi di kemudian hari. Rasanya aku seperti mau mati. Aku kira tak akan lagi bisa melihat Ian dan senyuman Ibu lagi. Perasaan riang dan senang karena sudah lama tak jalan-jalan berubah jadi kengerian. Padahal aku dan Adrian dari malam begitu senang bahkan sampai sulit tidur. Sudah lama sekali Ibu sibuk sendiri. Aku merasa rindu dan sepi. Hari ini berlalu juga. Om Dirga dan Bapak membantu penjaga kolam itu menolongku. Aku sangat berterima kasih pada Om Dirga dan juga, hmm, Bapak. Mereka rela basah-basahan untuk menolongku. Hanya saja, setelah kejadian hari itu. Om Dirga tak pernah lagi berkunjung. Entah kenapa? Apa mungkin dia sebenarnya marah karena aku mengaca
“Ada tamu? Wah, suara mobil? Jangan-jangan Om Dirga?” Entah kenapa tiba-tiba aku merasa bahagia. Lekas aku mempercepat makanku. Aku juga ingin melihat senyum Ibu lagi seperti kemarin-kemarin itu. Aku bersegera menyelesaikan makanku. Kucuci piring bekas tadi lalu kusimpan dalam rak. Setelah itu mengelap tangan pada Pada lap warna biru yang menggantung.Langkah kakikku ringan mengayun. Suara mobil itu berhenti. Orangnya pasti ada di luar. Semoga saja beneran Om Dirga. Senyuman sumringah yang sedang terukir di bibir ini tiba-tiba surut. Dari celah pintu yang terbuka. Aku melihat Bapak. Dia menunjuk-nunjuk wajah Ibu penuh kemarahan. Suaranya tak jelas, hanya bentakkan-bentakkan. Entah apa lagi yang dipermasalahkan Bapak sekarang. Aku memandang nanar. Tanganku berpegangan pada tepian pintu. Kutahan napas. Wajah yang dulu penuh senyuman itu tampak sekali kini gusar. Bapak, sejauh itu hatimu sekarang? Aku tak tahu apa yang mereka pertengkarkan. Bapak tak lama. Dia pergi setelah membanti
Pov SalmahKedatangan Mas Heru yang mengganggu ketenangan kami, bukan satu-satunya alasan. Aku pada akhirnya memutuskan untuk pindah rumah setelah sebuah foto yang dikirimkan Pak Dirga padaku. [Salmah, entah kenapa … saya merasa, akhir-akhir ini kamu menghindar. Apa kamu marah gara-gara insiden Alisha di kolam itu?] [Tidak, Pak. Lagi sibuk saja banyak kerjaan.] [Oh, syukurlah … hanya saja, semenjak kejadian di kolam tempo hari. Saya merasa, kamu menghindari saya.] Aku menghela napas kasar, rupanya begitu kentara kalau aku menghindar. [Tidak, Pak. Itu hanya perasaan Bapak saja.] [Syukurlah … hmmm Salmah, sebetulnya ada yang ingin saya tanyakan … hanya saja, kamu selalu tak ada waktu ketika saya ajak ketemuan. Saya ada menemukan foto mirip kamu dengan gadis ini. Apakah kalian saling mengenal?] Aku tertegun melihat layar gawai. Kerongkonganku mendadak terasa tercekat. Dia mendapatkan foto SMA-ku Fatima dengan aku, entah dari mana. Rupanya ketakutanku kian mendekat. Dari mana bisa
Pov Heru “Apa?! Salmah mau jual rumah?” Aku terkejut bukan main. Reta tengah menyodorkan beberapa informasi yang didapat dari internet. Di sana tertera gamblang sebuah foto rumah dan nomor kontak yang tertera di sana. Jelas itu rumahku dan Salmah dulu. “Ayolah, Mas … kita beli rumah itu. Usaha kita kan sedang naik juga. Aku pengen Salmah yang sok-sokan itu menyesal.” Reta bergelayut manja di lenganku. Minidress warna maroon dengan belahan dada rendah membuatku betah berlama-lama di dekatnya. Reta selalu bisa memberiku sensasi baru setiap bercinta. Karena itu, meski sekarang aku sering kesal. Namun, jujur lagi-lagi aku tak berdaya ketika menghadapi Reta di tempat tidur. Padahal logikaku sudah mulai, jengah. Reta terlalu banyak tuntutan dan terlihat, bodoh. “Kita ‘kan baru saja bayarin rumah ini juga, Reta. Uang Mas harus dibagi-bagi juga buat oprasional perusahaan. Kamu tahu sendiri ‘kan kalau Pak Dirga tak melanjutkan kerja samanya dengan kita.”Aku menghela napas kasar. Padahal
“Kalau begitu, ceraikan Reta!” Kudengar Ibu bicara pada Bapak. Dia selalu tenang dan berwibawa. Aku yang baru membuka pintu kamar, akhirnya mengurungkan niat. Hanya mengintip dari balik pintu dan memperhatikan punggung Ibu. Pintu depan yang terbuka membuat semua yang terjadi terlihat dari sini.“Kamu meminta hal yang sudah jelas tak bisa kulakukan, Salmah! Rendra butuh kehadiranku sebagai seorang ayah.” Bapak bicara dengan bahu melorot ke bawah. Dia menunduk tampak lelah. Apa Bapak menyesal menikahi Tante Reta“Ya, kamu benar Rendra butuh kamu sebagai ayahnya, Alisha sudah terbiasa mandiri sepertiku, tak butuh kamu lagi. Karena semuanya sudah jelas … silakan tinggalkan rumah ini. Gak usah lagi ikut campur dalam urusanku.” Kudengar Ibu bicara lagi. “B--Bukan begitu m--maksudku, S--Salmah ….” Kulihat Bapak mengacak rambutnya. Namun setelah itu, aku tak bisa lagi melihat pemandangan itu. Ibu memutar tubuh lalu menutup pintu depan segera. Aku yang terkejut, ikut menutup pintu kamar juga
Pov Salmah“Salmah … ada yang harus kita bicarakan! Kamu salah paham!” Pak Dirga menatapku ketika anak-anak sedang rebutan menyimpan sepeda. Aku menghela napas kasar dan membuang pandangan. “Mau membicarakan apa, Pak? Salah paham hal apa?” Aku menatap sekilas wajah lelaki yang tampak serius menatapku. “Kamu pasti berpikir yang tidak-tidak tentang saya, sampai-sampai kamu mengundurkan diri. Tolong, bicara dengan saya. Apa yang membuat kamu mengambil keputusan ini? Saya tahu, kamu single parent. Kamu butuh kerjaan ini.” Dia menatapku. Aku menghela napas kasar. Lagi-lagi aku pun bingung harus seperti apa menjelaskan. “Ibuuu! Ommm!” Suara Alisha dan Adrian terdengar memanggil. “Kami harus pergi. Kita bicarakan lagi saja nanti, Pak."“Ya, kamu betul! Kita harus pergi! Mari!” Eh, Aku melongo ketika Pak Adrian malah membuka pintu mobilnya. Lalu, tanpa dikomando, Alisha dan Adrian berhambur masuk dan langsung duduk pada posisinya masing-masing di sana. “Ibu, ayo!” Mereka melambaikan t