Hari yang sangat melelahkan, badanku terasa remuk seperti habis dipukuli orang sekampung. Memijat pundak dan tangan, belum lagi kepala yang terasa berdenyut-denyut.Menyesal aku tidak membeli mesin cuci, dulu saat Nurma merengek meminta mesin cuci aku selalu melarang. Boros listrik dan pengeluaran. Nurma masih muda, sudah seharusnya dia menggunakan tenaga sendiri, toh buat kesehatannya sendiri anggap saja olahraga.Tapi sekarang aku menyesal, kalau tahu dia bakal minggat, aku pasti sudah lama membeli mesin cuci itu.Nafasku tersenggal-senggal membawa satu ember cucian basah kesamping rumah tempat menjemur pakaian. Terik matahari mulai menyengat membuat pandanganku, sedikit gelap akibat melihat pantulan cahaya."Huh ... capeknya!" Seruku kesal sambil menyeka keringat yang membasahi kening. Mengatur nafas, tangan ringkihku meraih pakaian dan memeras lalu melibas-libas dengan kesal.Untung saja aku hanya mencuci pakaianku dan Mas Toso, kalau aku nekat mencuci semua pakaian yang ada didal
"Milaa!!" Aku langsung bangkit dari kursi, berlari menuju Mila."Ya Tuhan, ini anak kenapa lagi," dengkus Andri sambil berjalan mendekat."Ambil minyak kayu putih, Ndri." Titahku sambil menepuk-nepuk pipi Mila. Wajah anak ini terlihat pucat, bibirnya kering dengan suhu tubuh yang lumayan panas."Minyak kayu putih dimana?" Andri kebingungan."Ambil punya Arya, dikamarmu!" titahku kesal. Bukan langsung mencari malah banyak nanya.Andri langsung berjalan kekamarnya, aku masih berusaha menepuk-nepuk pipi Mila."Mila, bangun La." Hati langsung dilanda kecemasan. Pasalnya Mila anak yang bisa dibilang kuat, sakit apa dia sampai bisa lemah dan pingsan seperti ini."Ini, Bu." Andri menyodorkan minyak telon ketanganku. "Ga ada minyak kayu putih, adanya itu doang." sambungnya."Ya ampun, ini sih cuma botolnya aja. Ga ada isinya, mana mempan!" Semprotku."Pakai balsam aja, Bu. Olesin sedikit," saran Andri sambil membuka lemari kaca paling atas berisi persediaan obat-obatan."Nih, oles kehidung s
Meski satu sisi lain hatiku bersuka cita, namun hati kecil masih ada rasa simpati terhadapnya."Bagaimana ini, Dek." Mas Andri meremas rambutnya kuat. Hingga urat-urat tangannya menyembul keluar."Aku tidak bisa hanya berdiam diri saja, Dek. Aku harus mencari Maya, dan menanyakan kebenaran ini!" sungut Mas Andri dengan tatapan menyalang."Perut Maya akan semakin besar, aku takut dia melakukan sesuatu untuk menyakiti bayi itu." sambung Mas Andri.Aku terhenyak, ucapan Mas Andri tentu ada benarnya. Maya perempuan berani dan sangat nekad, jika dia bersedia berpacaran dengan suami orang bukan hal yang mustahil jika dia akan melakukan kekerasan pada janin yang ada didalam perutnya."Mau kemana, Mas?" tanyaku saat melihat Mas Andri bangkit dari duduknya."Aku mau kerumah Bulek Susi, Maya pasti ada disana." jawabnya dengan wajah yang menegang."Tenang, sabar ..." aku menyentuh tangan dan pundaknya."Sekarang, Mas mandi dulu ya. Siapa tahu, fikiran sedikit lebih tenang kalau kepala kena air."
"Ngapain dia disitu?" GumamkuAku terlonjak kaget, saat melihat teman lelakinya melayangkan tangan tepat mengenai pipi Adik iparku.Tak puas hanya disitu, teman lelaki Mila menuding-nuding wajah Mila tanpa perasaan. Bocah tengik itu terlihat sangat kesal dengan Mila.Semua mata yang ada didekat mereka menatap aneh, bahkan ada yang menatap iba pada Mila. Aku segera menyenderkan barang belanjaan disamping grobak bakso, lalu berjalan mendekati mereka."Udah jangan ganggu gua lagi!" teriak bocah tengik itu lalu pergi begitu saja. Mila menangis sesegukan sambil menutup wajahnya."Mil ... Mila," panggilku pelan. Mila langsung mendongkak, terkejut melihat kehadiranku."M-bak Nurma," lirihnya dengan wajah menegang."Kamu kenapa nangis?" Aku semakin mendekat. "Bocah tengil itu siapa, kenapa dia nampar kamu?" cecarku. Mila menundukkan wajah, tanpa aku duga dia langsung menubruk tubuhku dan memeluk erat."Huhu ..." Mila terisak pilu, tubuhnya terguncang dengan hebat."Cup, cup." aku mengusap pun
Repleks aku dan Mila mengurai pelukan, wajah Mila terlihat pucat dan tegang, dan aku yakin wajahku pun tak jauh berbeda dengan Mila."Kamu ngapain disini, Mil?" Jantungku melompat- lompat saat Mas Andri jalan semakin dekat.Padahal aku tidak melakukan kesalahan, mengapa aku yang gugup dan takut. Bagaimana dengan Mila?Ekor mataku melirik pada Mila, yang membeku ditempatnya."Ditanyain kok malah pada bengong gitu sih," Mas Andri menjatuhkan tubuh diatas ranjang, menyapa Arya yang sedang memainkan air liurnya."Ehh, jagoan Ayah." Mas Andri mencium gemas pipi anaknya."Kamu udah lama disini, Mil?" tanya Mas Andri tanpa menoleh.Aku meyikut lengan Mila, karna dia masih saja terdiam."Mm ... ba-ru aja, Mas." jawab Mila pelan, wajahnya menunduk tangannya sibuk menghapus jejak air mata dipipinya."Ka-mu udah lama, Mas?"Aish ... pertanyaan bodoh macam apa ini."Lama apanya?" jawab Mas Andri tanpa menoleh."Mas ..." aku terdiam, bingung mau berkata apa."Mas, tadi denger obrolan aku sama Mila
Pov Ibu.Sudah satu minggu Maya pergi dari rumah, ada rasa sepi yang menyelusup kedalam sanubari. Aku dan Maya begitu kompak, Maya anak penurut dan perhatian kepadaku.Satu minggu berlalu, selama itu pula sikap Mas Toso menjadi dingin padaku. Dia menganggap aku Ibu yang tak becus mengurus anak."Heok ... hoek!" suara Mila terdengar dari kamar mandi. Akhir-akhir ini dia juga terlihat pucat dan cenderung murung."Kita berobat ke bidan ya, Mil. Ibu perhatiin kamu sering muntah-muntah. Pasti kamu telat makan ya, jadi magh nya kambuh," tawarku saat Mila ingin menarik kursi yang ada disampingku.Mila menggeleng lemas, menjatuhkan tubuh diatas kursi menopang wajah dengan kedua tangan."Kamu minum obat magh kalau perut mulai terasa sakit, jangan telat makan. Tuh badan makin kurus aja," ucapku sambil mengamati tubuhnya.Tanpa kata, Mila bangkit dari kursi, berjalan menuju kamarnya.Ck ... dasar bocah. Diajak berobat kok susahnya minta ampun.Suara salam Mas Toso terdengar dari luar rumah, gega
Belum sempat aku memakai baju, pintu kosan sudah terbuka lebar. Jantungku berhenti berdetak, saat melihat beberapa orang masuk kedalam kamar."Astaga!" seru seseorang, saat melihat keadaan aku dan Bang Firman. Untung saja Bang Firman sudah memakai celana kolornya."Ini dia pasangan mesumnya!" tuding laki-laki setengah baya kearahku. Tubuhku mengigil ketakutan, melangkah mundur merapatkan selimut untuk menutupi tubuhku."Ini dia pelaku maksiat dikampung kita, gaes!" seseorang masuk sambil mengarahkan gawai kewajahku dan Bang Firman. Aku langsung menutupi wajah dengan tangan, badan ini bergetar, menggigil ketakutan."Kita viralkan, pasangan mesum ini. Biar kapok!" serunya lantang.Wajah Bang Firman sudah sepucat mayat, keringat dingin membasahi sekujur tubuh.Hawa dingin menyelusup diatas kepala hingga menembus pori-pori, jantungku melompat-lompat ingin keluar dari tempatnya.Mati aku, mati!"Seret mereka keluar!!" titah laki-laki berkumis tebal memakai peci putih. Aku menggeleng kuat,
"Kita mau kemana, Yang?" tanya Bang Firman."Kita kerumah sakit, Bang. Luka Abang harus diobati, setelah sembuh Abang harus kasih pelajaran sama si gendut jelek itu." jawabku dengan gigi bergelutuk.Kurang ajar sekali dia mempermainkan aku."Si gendut dalang dibalik semua ini." sambungku, dengan nafas memburu."Mana mungkin? Dia tidak tahu tempat kosanmu, Yang." sahut Bang Firman.Aku langsung melambatkan laju motor dan berhenti dipinggir jalan. Geram sekali rasanya, Bang Firman masih membela istri gendutnya. Tubuhku bahkan masih menggigil trauma ketakutan akibat kejadian semalam."Ada nomer baru yang mengejek aku tentang aksi grebek itu. Siapa lagi kalau bukan istri Abang," sahutku jengkel.Bang Firman hanya diam, tak menjawab ucapanku. Aku langsung kembali tancap gas, mencari rumah sakit terdekat.Dua puluh menit perjalanan akhirnya kita sampai dirumah sakit, aku segera memarkirkan motor dan melangkah masuk sambil menuntun Bang Firman."Mana kartu berobat, Abang?" tanyaku."Didompet