"Tadi Ibu mimpi, Mila menangis kesakitan Pak, sambil menggendong bayi merah penuh darah. Huhuhu," Ibu menangis sesegukan, membuat hatiku sakit teriris-iris."Astagfirulloh ..." lirih Bapak dengan wajah sedih. Tangannya mengusap wajah dengan kasar."Istigfar, Buk. Jangan nangis gerung-gerung begitu, engga enak didenger tetangga." ucap Bapak sambil mengusap-usap pundak Ibu.Ibu masih terisak-isak, matanya bahkan tak bisa terlihat saking sembabnya."Ibu juga ga ngerti, Pak. Hati Ibu rasanya sakit, sediihhh saja bawaannya. Huhuhu," balas Ibu sambil sesegukan."Panggil Uwak Haji Sain, May. Suruh kesini, biar dibacain doa," titah Bapak. Maya langsung bangkit dari tempatnya, berjalan keluar kamar.Kupijiti kaki, Ibu dengan pelan. Sementara mulutku tak berhenti bergerak membaca ayat suci Alquran yang aku hapal.Aku merasa ada Mila ditengah-tengah kami, hari ini tepat kepergian Mila dua bulan. Mungkin saja, Mila datang kesini untuk melihat keadaan keluarganya."Ya Alloh, Buk. Nyebut, Buk ..."
Pov Andri.Ada rasa takut, saat Nurma mengingatkan masalah Mila dan mengaitkannya dengan Maya. Hatiku bahkan masih berdenyut ngilu, membayangkan hal buruk, jika memang Maya nekat mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalahnya.Sebagai seorang Kakak, aku memang mengakui kurang memberi perhatian pada kedua Adikku. Aku pun tidak ingin terlalu mencapuri masalah pribadi mereka. Aku menganggap semua baik-baik saja, dan menganggap mereka masih anak-anak.Ragu ... aku mengetuk pintu kamar Maya, hati tiba-tiba merasa tercubit saat melihat Maya membuka pintu dengan mata sembab dan memerah. Pipinya bahkan terlihat besar sebelah."Eh, Mas Andri," Maya sedikit tergagap melihat keberadaanku. Dengan cepat dia menundukan wajah dengan tangan meyeka wajah secara kasar."Ada apa, Mas?" tanya Maya, kali ini disertai senyum kecil yang menurutku terlalu dibuat-buat."Mas mau bicara," jawabku lalu berbalik badan melangkah menuju teras rumah.Kuhempaskan tubuh dikursi plastik depan jendela, tak lama M
Selesai mencuci aku langsung membawa ember kesamping rumah, mumpung Arya masih terlelap aku segera menjemur pakaian.Maya meringis saat menghampiriku menjemur, dia mengamati gerakanku dengan tatapan lurus dan senyum simpul."Kenapa, May?" tanyaku. Maya menggeleng sambil tersenyum tipis.Belum selesai menjemur, suara tangis Arya terdengar dari dalam kamar aku langsung meninggalkan cucian beranjak menemui Arya."Aduh, anak Mamah. Baru tidur sebentar sudah bangun aja." gumamku sambil berbaring disamping tubuh mungilnya lalu mengeluarkan asi.Kumainkan gawai sambil menunggu Arya tertidur kembali, namun mata terasa berat hingga aku pun ikut tertidur disampingnya."Dek ..." tepukan hangat membuat mata mengejrap, menyipitkan mata saat samar melihat sosok Mas Andri yang duduk disampingku."Eh, Mas ..." pelan, aku melepas asi dari mulut Arya tangan kanan terasa sakit akibat terlalu lama miring menyusui."Pegal?" tanyanya."Heum," balasku sambil merentangkan tangan."Sholat sana, sudah jam sete
Gawai ditanganku berdering, langsung menaruh ditelinga setelah menggeser tombol hijau."Ada apa, Dek?" tanya Mas Andri disebrang telepon."Bisa pulang sekarang ga, Mas?""Pulang? Ada apa emang?" cecar Mas Andri."Si Maya pulang sekolah wajahnya penuh lebam, katanya dipukulin sama Firman." jelasku sambil melirik kearah Maya yang masih menangis sesegukan."Hah! Apa?" teriaknya."Si Maya dipukulin Firman," jelasku."Huh! Astaga ... ada aja lagi, dah!" geram suamiku sambil memutus sambungan."Lu kenapa bisa dipukulin saja si Firman, May. Lu salah apa?" cicit Ibu dengan wajah cemas."Huhu ... Bang Firman ga mau diputusin, Bu. Dia marah-marah, dan mukulin Maya ..." adu Maya sesegukan."Ya Alloh, tega banget si Firman." Ibu mengelus dada."Sudah biarin, biar si Andri urusannya. Biar dia yang ngajar balik si Firman. Ibu tidak terima kamu diperlakukan seperti ini, kalau perlu kita tempuh jalan hukum!" sungut Ibu berapi-api sambil memegangi wajah Maya.Kusodorkan segelas air dingin kearah Maya,
Aku pandangi wajah lelah suamiku, terpaan sinar matahari pantai membuat wajahnya sedikit kusam. Melihat wajah tenangnya, entah mengapa hati menjadi haru. Sikap Mas Andri yang semula dingin dan tak acuh perlahan mulai mencair."Dek ..." tubuh itu bergeliat, matanya mengejrap melihatku."Kok belum tidur?" Mas Andri beringsut duduk sambil menguap panjang."Iya, Mas. Ini mau tidur kok," jawabku seraya tersenyum."Sini ..." Mas Andri sedikit memberi ruang menepuk bantal disampingnya. Aku menurut, merebahkan tubuh didekatnya."Hujan-hujan gini, paling enak peluk kamu, Nur. Empuk," ucapnya sambil mendekap tubuhku lalu menarik selimut. Untuk sesaat mata kami saling beradu, Mas Andri tersenyum manis lalu memejamkan mata. Sepertinya Mas Andri sangat kelelahan.Adzan subuh berkumandang, gegas aku menuruni ranjang berjalan menuju kamar mandi. Mata menyipit, melihat Ibu yang sibuk didepan kompor."Masak apa, Bu?" tanyaku."Eh, sudah bangun Nur?" senyum Ibu merekah terlihat ringan tanpa beban."Sud
"Pagi, Mbak. Saya Firman, Maya nya ada?"Aku bergeming ditempat, nama Firman seperti familiar dipendengaran."Si-apanya Maya ya?" tanyaku."Temannya," jawabnya seraya tersenyum."Oh ... ya sudah, mari masuk." aku membuka pintu pagar dengan lebar lalu melangkah masuk kedalam rumah."Bu, Ibu ..." mata dan kakiku mengedar mencari keberadaan Ibu."Iya, Nur. Kenapa?" tanyanya."Ibu habis dari mana?" aku balik melempar tanya."Dari kamar Mila," lirihnya. Aku menarik nafas, sambil melengok pintu kamar Mila yang terbuka setengah."Itu ada tamu, namanya Firman. Dia bilang temannya Maya." jelasku."Firman?" Ibu menautkan alis. "Mau apa dia kesini?" tanya Ibu. Aku hanya mengangkat bahu.Dengan wajah cemas Ibu melewatiku berjalan menuju ruang tamu."Bu ..." aku lihat Firman tersenyum ramah, mencium tangan Ibu."Ada apa, Nak? Kenapa kesini, nanti istrimu ngamuk lagi mukulin Maya," tanya Ibu dengan wajah cemas.Oh ... jadi ini yang namanya Firman. Pacar Maya?"Saya mau cari Maya, Bu. Sudah satu min