Jadi ini bocah ingusan yang sudah merusak dan membunuh Mila. Aku tidak akan tinggal diam, Mas Andri harus tahu kebenarannya dan menghajar bocah tengik ini.Aku langsung keluar kamar, bermaksud ingin memberikan gawai Mila pada Mas Andri. Namun aku mengurungkan niat, melihat banyaknya keluarga yang berkumpul tengah berduka cita, aku rasa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membongkar masalah pelik ini.Aku kembali masuk kedalam kamar, merapihkan barang yang berserakan. Lalu menaruh gawai Mila didalam laci kecil meja belajarnya."Dek, Emak nelpon." Wajah Mas Andri menyembul dari balik pintu, tangannya menyodorkan gawai kearahku."Iya, Mas." sahutku lalu meraih gawainya."Halo, Mak?""Nur ... lu masih lama?" suara Emak langsung menyapa telinga."Masih kayanya, Mak. Nanti habis pulang dari makam. Nurma langsung pulang," jawabku."Iya, ini si Arya Emak kasih susu botol kaya ogah-ogahan minumnya. Tadi Emak kasih pisang sedikit biar ga rewel," jelas Emak."Ya sudah, Ga apa-apa Mak. Nanti
Aku hanya bisa menghela nafas, menatap nanar daun pintu yang tertutup dengan bantingan kencang."Dikasih tau yang bener malah marah," desisku sebal.Aku mengangkat bahu, meraih keranjang cucian bersih lalu melipatnya satu demi satu."Mau kemana?" tanyaku saat melihat Mas Andri mengambil jaket kulit yang tersangkut dibelakang pintu."Mau kerumah Ibu, Ibu ga nafsu makan. Minta dibeliin nasi padang," jawabnya tanpa melirik kearahku."Oh iya, Mas. Soal tadi ...""Nur, udah deh. Aku capek. Kamu jangan menambah beban fikiran. Pusing!" dengkus Mas Andri.Mas Andri kembali menyebutku dengan panggilan, Nur. Tanpa embel-embel Adek. Itu tandanya dia sedang marah padaku.Sudah kepalang tanggung, aku harus menyelesaikan perkara ini. Terserah dia mau percaya atau tidak. Yang penting aku sudah bicara yang sebenarnya."Ya, aku tahu. Aku engga mau kamu mikir macem-macem sama aku. Maka dari itu, aku minta pas kamu pulang kerumah, kamu cek hape Mila." aku menatap tajam."Buat apa?" Mas Andri mengangkat
{Den, aku hamil.} Mila mengirim pesan.{Hamil?} balas Deni.{Jangan ngada-ngada deh, lu. Kita selalu pake pengaman. Jadi enggak mungkin, bisa hamil.} balas Deni disertai emotion marah.{Tapi waktu itu pernah ga pake,} jelas Mila. Membuat dadaku sesak.{Halah ... udah lu ngaku aja. Pasti lu pernah ML sama yang lain juga kan?}Otakku mendidih, gigi bergelutuk hebat membaca rentetan pesan dari dua bocah ingusan itu.Mila ... ya Alloh, ya Rabbi.Apa salahku, ya Rabb. Mengapa dua Adik perempuan aku tidak ada yang beres satu pun.Pantas, pantas Mila memilih mengakhiri hidupnya ternyata dia punya beban seberat ini.Tubuhku bergetar hebat, mataku memerah, tanpa sadar tangan mengepal melayang memukul kaca yang tergantung diatas dinding.Suara pecahan terdengar nyaring, kaca itu berserak jatuh diatas lantai."Mas!" suara pintu terbuka kasar. Maya mematung melihat wajahku yang diselimuti api kemarahan."Ada apa, Ndri?" Bapak menerobos masuk, dia menatap heran kearahku."Kenapa?" Bapak kembali be
"Iya, sama-sama, Mas." sahut Nina, kepalanya terus menunduk menatap lantai. Aku jadi semakin mencurigainya.Hening ... tiga remaja itu membisu ditempatnya."Nina ..."Aku tersenyum miring melihatnya, dia bahkan terlonjak dengan panggilan suara lembutku."I-ya Mas?" tanyanya gugup."Apa, ada yang mau kamu sampaikan?" aku melempar tanya.Ketiga remaja itu saling berpandangan, salah satu dari mereka menggeleng samar."Tidak ada, Mas." jawab Nina."Kalau tidak ada lagi yang diingin ditanyakan, Nina pamit ya Mas. sudah mau sore, takut Ibu dirumah nyariin," jelas Nina."Oh ... ya sudah." jawabku sambil tersenyum tipis."Permisi, Mas. Assalamuallaikum," pamit tiga remaja itu."Loh kok pada pulang, engga minum dulu?" Maya yang baru datang membawa plastik hitam menatap heran pada teman-teman Mila."Iya, Mbak May. Sudah sore, takut dicariin." jawab Nina."Halahh biasanya juga sampe malem main disini," sahut Maya."Engga ada Mila, ga enak Mbak," balas Nina seraya keluar rumah menyusul dua temann
Pov Maya.{Kapan kita bertemu?}Pesan dari Bang Firman aku baca berulang kali. Aku melirik kearah Ibu, yang sejak tadi hanya melamun memegangi seragam sekolah Mila.{Sabar, Bang. Ibu masih belum bisa ditinggal,} balasku lesu.{Kapan, dong? Abang sudah ga tahan nih.} Balas Bang Firman dengan cepat.Aku menghela nafas membaca pesannya, kembali memandang Ibu yang masih setia memeluk seragam Mila.Sejujurnya aku pun sudah sangat rindu dengan Bang Firman, terlebih dengan uangnya. Kalau mengandalkan uang jajan dari Ibu, hanya cukup untuk beli cilok dan es saja. Berbeda dengan Bang Firman, yang sangat royal padaku."Kalau masih ada, si Mila sudah pulang sekolah ya, May jam segini." Lirih Ibu sambil memandang pakaian Mila. Aku tersenyum kecut, menatap Ibu dengan iba."Sudah, Ibu. Jangan terus-terusan difikirin. Nanti Ibu malah sakit," ucapku mencoba menenangkan fikirannya."Mila kenapa ya, May. Apa dia marah sama Ibu, karna belakangan ini sering Ibu suruh-suruh?" sahut Ibu, mengabaikan ucapan
Tak lama motor yang dikendarai Deni berhenti dirumah kosong terbengkalai. Lalu keduanya masuk kedalam rumah dengan bergandengan tangan.Setelah keduanya masuk, aku segera menuruni motor dan menaruhnya disemak-semak yang terparkir lebih jauh dari rumah kosong itu.Pelan, aku jalan mendekati rumah. Sesekali kepala celingukan memastikan tidak ada yang melihat keberadaanku. Aku mengendap-endap, pintu sudah terkunci dari dalam.Ck! Bocah tengik. Masih kecil sudah berani jadi bajingan!Gigi bergeletuk hebat, aku melangkah mengitar rumah mencari jalan masuk untuk masuk kedalam. Mendorong jendela yang sudah rapuh kayunya, aku menahan nafas saat jendela itu bisa terdorong masuk. Untung saja tidak ada tralis, jadi aku bisa masuk kedalam tanpa mengeluarkan suara."Eh, kamu mau apa Den? Katamu yang lain sudah nunggu disini," samar aku mendengar percakapan mereka."Sabar ... nanti juga yang lain datang," suara Deni terdengar.Aku mengendap pelan, merapatkan tubuh disisi tembok. Perlahan kepalaku m
Tunggulah bocah tengik ... aku akan membuatmu merasakan apa yang Mila rasakan!Setelah membayar kekasir, aku langsung memasukan dua kaleng itu didalam ransel yang biasa aku bawa. Lalu menaruh plastik belanjaan distang motor.Udara malam semakin dingin, aku langsung menaikan kecepatan berkendara untuk mempersingkat waktu."Assalamuallaikum ..." aku berucap saat kaki sudah memasuki pintu rumah. Dari dalam terdengar Emak dan Bapak menyahut salamku."Ini, Mak. Buat ngemil," aku menaruh plastik belanjaan diatas meja."Repot-repot kamu, Ndri." Emak tersenyum lepas menatapku."Engga apa-apa, Mak." aku membalas senyum Emak."Ngopi, Ndri?" Bapak menimpali."Wah mantap tuh, Pak. Tadi Andri beli biskuit buat temen Bapak ngopi," sahutku."Ini, Pak." Emak menyodorkan biskuit kepala kearah Bapak."Wih ... mantap dah. Cocok," Bapak meraihnya antusias."Kedalem dulu, Mak, Pak." aku langsung masuk kedalam kamar setelah kedua mertua mengiyakan ucapanku.Pelan, aku mendorong pintu kamar. Aku lihat Nurma
Bibirku melengkung sempurna melihat status online dihalaman profilnya, tak menunggu waktu lama pesan video yang aku kirim sudah bercentang dua berwarna biru.{Lihat kelakuan bejat anakmu yang masih ingusan itu, Bu Haji. Dia melecehkan, memperkosa bahkan merusak teman wanitanya sendiri.}Pesanku langsung centang dua berwarna biru, aku melepas nafas melalui mulut dengan perasaan puas luar biasa.Tauk rasa kau bocah tengik, berani bermain api denganku? Akan aku bakar kau hidup-hidup!Menaruh gawai diatas meja, aku bangkit dari kursi sebab ada motor yang memasuki halaman kecil bengkel milikku."Mas, ganti oli." ucap laki-laki sekitar umur 30 tahunan, sambil menurunkan bocah perempuan dari atas jok motornya."Oke siap!" sahutku bersemangat sambil memamerkan senyum. Entah mengapa energiku seakan bertambah berkali lipat, saat membayangkan kericuhan yang akan terjadi pada keluarga harmonis itu.Ditengah kesibukan, gawai tak henti mengeluarkan getar dan suara. Aku tersenyum sinis, melihat nome