Hujan deras yang mengguyur sejak sore masih belum juga reda. Suara petir bersahutan, seolah mencerminkan suasana hati yang tengah kalut di rumah kontrakan kecil itu. Zaki duduk di teras dengan secangkir teh yang sudah mendingin di tangannya, sementara pikirannya berkelana jauh. Ia menatap lurus ke depan, tapi matanya kosong. Di sampingnya, Fatihah duduk diam, memeluk lutut, wajahnya menegang.“Kamu kenapa diam saja?” tanya Zaki pelan, memecah keheningan.Fatihah tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Aku lelah, Zaki. Lelah dengan semua ini. Kenapa aku selalu merasa kita ini berada di bawah bayang-bayang Hasna?”Zaki menoleh, menatap istrinya dengan penuh kelembutan. “Tidak ada bayang-bayang siapa pun, Fatihah. Ini hanya perasaanmu saja. Hasna sudah membantu kita, itu karena dia tulus, bukan karena ingin menunjukkan bahwa dia lebih baik dari kita.”“Tapi aku merasa kalah,” gumam Fatihah lirih. “Kamu tidak pernah membelaku. Setiap kali ada ma
Malam itu, hujan deras mengguyur, menyisakan genangan air di jalan-jalan kecil sekitar rumah kontrakan Zaki dan Fatihah. Suasana mencekam seiring petir yang bersahutan. Zaki pulang dengan langkah tergesa, tubuhnya basah kuyup. Di tangannya tergenggam sebuah payung yang tampak tak mampu melindunginya sepenuhnya.Ketika membuka pintu, ia menemukan Fatihah duduk di ruang tamu dengan wajah masam. Di meja, secangkir teh yang sudah dingin tak tersentuh. Tanpa menunggu Zaki berbicara, Fatihah langsung menyambutnya dengan nada sinis."Kamu dari mana? Malam-malam begini baru pulang, pasti ada urusan yang nggak penting," katanya dengan tatapan tajam.Zaki hanya terdiam, menahan napasnya sebelum akhirnya mengucapkan, "Aku baru saja dari luar mencari jalan keluar.""Jalan keluar apa? Kita baik-baik saja, Zaki. Kamu saja yang terlalu banyak khawatir!" Fatihah bersikeras.Zaki menghela napas panjang. "Fatihah, aku tidak mau masalah ini semakin besar. Sikapmu ke Hasna tadi pagi itu tidak benar. Dia
Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah
Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger
Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu
Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m