Share

KASAM (Pulang Untuk Tenang)
KASAM (Pulang Untuk Tenang)
Penulis: See_Tea

Takut

Apa yang paling menakutkan? Adalah ketika yang sudah terkubur, bangkit kembali.

***

"Mala..., Mama takut."

Itu kalimat terakhir ibunya sebelum telepon ditutup. Diucapkan dengan teramat lirih dan sedikit terbata-bata, hingga Mala harus menempelkan ponselnya rapat ke telinga. Membuat debar jantung Mala berdentum aneh.

Ibunya tidak pernah meminta. Ibunya tidak pernah menangis. Ibunya tidak pernah ketakutan. Ini pertama kalinya dan Mala merasakan banyak emosi yang bergejolak menjadi satu. Tanpa pikir panjang, Mala memutuskan untuk pulang.

Mala menelepon Sonya, sahabat sekaligus rekan bisnisnya di butik. Ia meminta Sonya untuk mempir ke butik karena Mala ingin menitipkan butiknya.

Sembari menanti Sonya, Mala memberikan arahan ke Nindi—asistennya.

"I'm coming, Dear," sapa Sonya yang langsung duduk di salah satu sofa di ruang kerja Mala. Rambut keunguan panjang bergelombang dibiarkannya tergerai ke depan. Sonya selalu tampil seksi. Dress panjangnya memiliki potongan 'V' neck yang lebar, menampilkan dadanya yang putih, lebih terbuka.

Mala masih bicara dengan Nindi, setelah dirasa Nindi sudah memahami semua, ia meminta Nindi ke luar.

"Aku titip butik, ya." Mala membenahi beberapa berkas desain dan memilahnya menjadi beberapa kelompok.

"Gak masalah. Tapi..., kamu gak pa-pa?" Sonya mengkhawatirkan emosi Mala.

Keduanya sudah menjadi sahabat ketika sama-sama masuk Institut Seni Indonesia Denpasar jurusan fashion desain. Hampir sembilan tahun persahabatan terjalin, tak ada yang tersembunyi. Sonya sangat tahu keengganan Mala untuk pulang. Butuh dorongan kuat agar Mala mau pulang dan itu biasanya dari luar, bukan dari permintaan sang ibu di rumah; ini pertama kalinya.

"Entahlah. Mama tidak pernah sebegitunya." Mala duduk di kursi dan memijit keningnya. "Lagi pula, kenapa dengan adiknya? Bukankah harusnya dia senang adiknya pulang."

"Mungkin kaget aja. Bayangin, dua puluh tahun lebih hilang, ujug-ujug datang. Pasti syok, dong."

"Ini bukan syok. Ini seperti...." Mala diam. Ia bingung bagaimana menjabarkan situasi dan perasaan ibunya yang menangis, histeris, menceracau, dan semua hal yang tidak dimengerti Mala. Jelasnya, sang ibu menjelma seperti anak kecil yang terpojok sendirian dan membutuhkan dirinya untuk keluar.

"Mal...."

"Oh..., ya mungkin begitu. Kamu gak kerepotan jaga dua butik, 'kan? Kamu harus bolak-balik dari butik yang di Seminyak dan di sini."

"Aku bisa membagi waktunya. Jomlo macam aku, apalagi yang bisa dilakukan selain memakan jalan."  Istilah yang konyol, tetapi sanggup menciptakan tawa.

Tak banyak lagi yang perlu dibicarakan. Setelah dirasa beres, Mala segera pulang ke apartemennya.

***

Hanya membutuhkan waktu kurang lebih empat jam menuju kota kelahirannya. Cukup terbang dari Denpasar–Banyuwangi , kemudian menyewa mobil di Banyuwangi, tiga jam kemudian ia sudah sampai di kota kecilnya.

Namun, kali ini, Mala memilih jalur darat dari Denpasar. Ia membawa mobilnya sendiri.

Ada banyak alasan, di antaranya, Mala butuh banyak waktu untuk sebuah kesiapan. Siap diri, siap mental, siap semuanya. Konyol memang, karena ia hanya pulang ke rumahnya dan menemui ibunya yang ketakutan tidak jelas. Ada banyak hal yang sudah terjadi, yang melibatkan emosi Mala. Terutama adalah hubungan antara anak dan ibu yang aneh.

Ia juga butuh waktu untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi hingga ibunya bersikap seperti semalam? Ketakutan bagaimana yang ditimbulkan oleh adik perempuan ibunya?

Mala sendiri awalnya tidak tahu jika ibunya punya seorang adik perempuan. Sampai kemudian di usia sepuluh tahun, kakeknya meninggal, dan tanpa sengaja ia menemukan selembar foto seorang ibu-ibu dengan anak perempuannya di bawah bantal almarhum kakek Mala.

Mala kecil menyerahkan foto itu ke ibunya. Mala masih ingat bagaimana dinginnya ekspresi sang ibu saat menerima foto itu.

"Itu siapa, Ma?" tanya Mala kecil, hati-hati.

Lama ibunya diam dan hanya memandangi foto itu. Tangan ibunya bergetar, ada sesuatu dan Mala kecil menjadi ciut hati. "Adik."

Mala melongo, antara terkejut dengan jawaban ibunya yang tiba-tiba dan terkejut ternyata ia punya kerabat yang bisa dipanggilnya 'Tante'.

"Namanya siapa?"

"Ratna."

"Tante Ratna di mana sekarang? Orangnya bagaimana? Cantik ya, Ma? Kok, Tante gak datang...." seketika Mala menutup mulutnya.

Ibunya menatap Mala kecil dengan tatapan tajam mengerikan. Masih dengan menatap Mala, ibunya menyobek foto itu menjadi serpihan paling kecil, dan Mala kecil tak kuasa mencegah walaupun hati ingin.

"Hilang. Mati."

Mala mengerem mobilnya tiba-tiba, tepat di depan jembatan dermaga menuju masuk kapal fery. Bunyik klakson mobil lain di belakannya, membuat Mala segera sadar situasi. Apalagi salah seorang ABK mengetuk kaca jendelanya dan menanyakan keadaannya.

Mala hanya mengangguk dan mengucapkan maaf tanpa membuka kaca jendela, berharap ABK mengerti. Perlahan, mengikuti arahan ABK, mobil Mala masuk dan terpakir mulus di dalam kapal.

Bergegas Mala keluar dari mobil dan melangkah menuju dek penumpang. Ada sesuatu yang bangkit dari ingatannya. Mala membutuhkan ruang yang luas untuk lebih mengingatnya lagi.

Aroma asin laut, cericit burung pantai dan ombak yang terus-menerus menghantam kapal, menjadi penenang khusus untuk Mala. Ia sedang butuh itu, karena jantungnya sedang berpacu. Ada yang salah dari jawaban ibunya di masa lalu.

Hilang dan mati, berbeda dengan hilang mati. Itu seperti sebuah pilihan, antara hilang ataukah mati.

Tantenya mungkin hilang, karenanya kini ia kembali pulang, tetapi kenapa ibunya bersikap seperti itu? Apakah ibunya punya kesalahan di masa lalu dengan tantenya? Hutang piutang? Namun, harusnya itu tidak cukup membuat ibunya histeris ketakutan.

Kakenya adalah tuan tanah, warisannya tidak akan habis sampai Mala punya cicit. Mestinya, dengan menjual sebagian tanah dan ditambah uang Mala, bisa untuk mebayar hutang ibunya sekaligus bunganya.

Menjadi pertanyaan berikutnya adalah, ke mana dan kenapa tantenya menghilang sekian puluh tahun?

Mala memijit keningnya, kepalanya terlalu penuh pertanyaan tak terjawab.

Mati...! Hati Mala berseru lirih.

Gak mungkin mati. Kalau mati, lalu yang datang ke rumah...? Mala membeliak ngeri, mulutnya ditutup rapat agar keterkejutannya tidak keluar dari bibir mungilnya.

"Kamu gak pa-pa?" Seorang pria menepuk lembut pundak Mala.

Sontak Mala menoleh, kali ini rasa terkejutnya berbeda. Ada sesuatu yang menggelitik di hatinya terdalam. Sebuah nama tersebut dengan kerinduan. "Arman...."

"Hai, Mala. Apa kabar?" tanya Arman dengan senyum terkembang lebar.

"Baik." Mala menjawab sebisa mulutnya bersuara. Ada debar tak terkendali dari dalam dirinya dan Mala tidak suka. Butuh waktu lama untuk mematikannya. Selama ini, ia berpikir 'rasanya' sudah mati, ternyata 'rasanya' sudah menipu Mala.

"Kamu gak pa-pa, Mal? Kita duduk di situ, yuk." Santai saja Arman memegang jemari Mala dan mengajaknya duduk di salah satu bangku kosong.

"Balimu di mana, Mal? Aku bolak-balik ke Bali, penasaran nyari kamu. Tapi gak ketemu," cecar Arman antusias.

Mala tak menjawab. Ia justru mengamati Arman dari kepala sampai kaki.

Rambut yang dicukur rapi dengan belahan samping. Alis lurus alami, lebat menaungi mata Arman yang sedikit cekung ke dalam; kombinasi tegas dan sendu. Tubuhnya lebih berisi dari yang Mala ingat saat sekolah, tetapi bukan gemuk. Arman benar-benar sempurna dengan seragam polisi yang dikenakannya.

"Hei." Arman mencolek pipi Mala, membuat si empunya pipi merona.

"Apa sih?" Mala jengah. Sentuhan fisik yang paling sederhana dari Arman, masih membuat Mala salah tingkah.

"Kok, apa sih. Orang nanya, gak dijawab" Arman tertawa geli. "Banyak pikiran, ya?"

Mala melengos, ia tidak suka ditebak. "Jangan sok tahu."

"Aku memang tidak pernah tahu kamu. Sulit menembus bentengmu. Dulu dan sekarang, kamu belum berubah." Arman tersenyum penuh makna pada teman sekolah yang menjelma menjadi wanita mempesona.

"Kata-katamu tinggi sekali," ejek Mala.

"Hahaha..., sinismu belum berkurang ya. Tapi, aku suka."

Hangat menjalar diam-diam di hati keduanya. Arman malu karena kata-katanya begitu picisan untuk Mala yang masih memikatnya dan Mala menjadi salah tingkah dengan kata 'suka' yang bisa menjadi prasangka manis tak berkesudahan baginya.

"Kamu tugas di Bali?" tanya Mala segera untuk mengalihkan semua yang sifatnya mulai romantis.

"Hanya ada urusan di Gilimanuk. Aku sering ke Bali. Makanya aku tanya, kamu di mana Balinya?"

"Ooo...."

Jawaban Mala hanya membuat Arman gemas. Bertahun-tahun ia dibelenggu rindu. Sekalinya bertemu, tidak hanya rindu yang menggelegak, tetapi juga perasaan-perasaan murni yang sekian lama terpendam, yang belum sempat tersampaikan, karena gadisnya menghilang.

Mala yang tomboi dengan rambut yang selalu dipotong pendek, tak acuh dengan sekitar, pendiam, sorot matanya yang selalu tajam dan sinis, kini berubah. Wajah Mala terlihat begitu manis dengan riasan tipis di wajah yang putih bersih. Rambutnya pun dibiarkan memanjang dengan poni yang selalu menggoda kelopak mata Mala. Sorot mata Malalah yang membuat Arman semakin tergila-gila. Masih tajam, tetapi ada kelembutan.

"Kamu gak akan jawab pertanyaanku, 'kan?" Arman tertawa kecil dan mengalihkan pandangannya ke angkasa yang begitu biru.

Mala merasakan kekecewaan Arman. Tidak ada yang bisa menembus benteng yang diciptakan Mala, tetapi di suatu masa yang lalu, hanya Arman yang hampir merobohkan benteng itu. Hampir.

"Sepertinya..., dulu kita begitu dekat," ujar Arman. "Tapi, tiba-tiba kamu hilang seperti buih. Apa ada sesuatu di masa lalu?" Arman menatap lekat wajah Mala. Ia merasa harus mencari kepingan masa lalu yang terus menghantuinya menjadi tanya tanpa jawab.

Namun, Mala tidak punya ekspresi atau mungkin itu ekspresi Mala yang begitu keras hingga mampu menutupi banyak hal termasuk rasa.

"Banyak...." Jawaban Mala begitu lirih hingga mudah dibawa angin jika Arman tak menangkapnya.

"Seberapa banyak?"

Terlalu banyak. Ibuku punya rahasia yang terlalu banyak. Aku harus memulai dari mana? keluh Mala dalam hati. "Eh, sepertinya kapal sudah mau sandar." Mala melihat sekitar, ketika orang-orang mulai berbenah dan sebagian turun ke dek bawah di mana kendaraan diparkir.

Mala merapikan rambutnya yang tidak perlu karena angin tetap akan menganggu ikal dan panjang indah rambut Mala. "Aku duluan, ya."

Arman sigap menangkap tangan Mala yang sudah berdiri. Ia mencabut pena dari saku celana dan menulis angka-angka di telapak tangan Mala. Sebisanya Arman menulis dengan lambat, karena sentuhan tangan ini ingin dinikmatinya.

"Ini nomerku. Aku tunggu kamu. Hati-hati di jalan." Arman tersenyum penuh arti dan melepaskan tangan Mala.

Seketika, angin kehilangan menyelip di hati masing-masing. Mala merasa sendu. Pertemuannya begitu singkat, sedangkan rindunya begitu panjang. Tubuh Mala berontak, kedua tangan Mala begitu ingan meraih tangan Arman dan menggenggamnya erat.

Mala mengepalkan jemarinya. "Aku duluan. Bye." Mala bergegas pergi sebelum ia menjadi gila. Ada banyak hal yang harus dibereskan, ketimbang memikirkan masalah hati.

Sekejap bertemu, sekejap berpisah. Hati terombang-ambing pada lautan lepas dan kisah lama dibawa angin kembali pada sejoli yang terus-menerus diberangus rasa tak terungkap.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Titin Widyawati
Keren dek, aku suka!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status