Share

Bab 2

Author: Fatimah
last update Huling Na-update: 2024-10-20 18:09:53

“Aku hanya ingin sesuatu yang sulit kamu kabulkan. Aku ingin keturunan.“

Aku menggeleng cepat mendengarnya. Menggigit bibir seraya mendorongnya menjauh. Menatapnya nanar seraya meredam tangis dengan membekap mulut.

“Bukannya kamu sendiri yang bilang, akan menerimaku apa adanya, dengan atau tanpa anak, Mas?“ Aku menarik napas sejenak, “dan kamu sendiri yang bilang kalau anak itu hak prerogatif Allah. Kita hanya perlu berdoa dan ikhtiar sewajarnya? Tapi kenapa ...“ lanjutku yang terhenti karena rasa sesak yang berkelindan di hati.

Keturunan. Seperti lazimnya kebanyakan pasangan, aku pun menginginkannya. Bahkan sangat. Namun, setelah tiga kali menjalani program kehamilan lalu hamil dan berakhir di meja operasi, semua keinginan itu terpaksa kukubur.

Bukan karena keterbatasan dana, tapi karena alasan yang dilontarkan Mas Hangga dan keluarga. Mas Hangga bilang, dia tak tega melihatku kesakitan acapkali menjalani program kehamilan. Dia juga bertekad menerimaku apa adanya, baik dengan ataupun tanpa keturunan.

Sementara alasan keluarga  Mas Hangga berbanding terbalik. Alih-alih membesarkan hatiku, mereka justru membunuh mental ini secara perlahan dengan cara menghina dan mencemooh. Mengatai aku mandul, perempuan penyakitan, menghabiskan harta suami dan masih banyak lagi. Maka sejak saat itu, aku pun hanya melakukan ikhtiar dengan bahan seadanya bukan melalui jalur medis. 

“Maaf, Ra ... Maaf. Aku minta maaf,“ katanya dan aku hanya  pasrah saat dia memeluk tubuh ini. Dalam nestapa yang merundung atma, kutinju pelan dadanya dan kembali menangis selepas-lepasnya.

“Sakit, Mas ... Sakit,“ ujarku di sela tangis yang terus mengguyur.

“Maafkan aku, Ra. Tapi kamu sendiri tahu kan, Ibu sangat mengharapkannya. Ibu mau cucu dariku, dari anak lelaki satu-satunya ini,“ katanya.

“Lagipula benar kata Ibu, aku butuh penerus dan penjamin di masa tua nanti,“ lanjutnya. Aku meringis mendengarnya. Kejutannya bertubi-tubi yang diberikannya membuat hatiku seakan disayat lalu ditaburi garam. Sakit dan perih.

Bodoh! Aku merutuki diri yang selama ini terlalu mempercayai dan mencintainya. Bahkan selama ini janjinya, lebih tepatnya tekad Mas Hangga, selalu kujadikan mantra tiap kali ibu mertua dan para ipar menghajar mental habis-habisan. Andai tahu dia akan menikah lagi, sudah tentu sejak lama kupilih pisah darinya. Bukan sekarang, di saat perasaan untuknya tumbuh lebat dan mengakar.

Aku bergeming sejenak, memikirkan apa kira yang harus kulakukan. Setelah cukup bisa mengontrol diri, aku menguraikan pelukannya. Lalu menatapnya lekat-lekat.

“Ceraikan aku, Mas!“

Matanya langsung membulat sempurna. Disertai deru napas yang memburu, dia balik  menatapku tajam.

“Jangan macam-macam, Naira! Sampai kapanpun aku takkan melepasmu!“ sentaknya dengan suara yang tinggi. Membuat tangisku reda seketika dan tubuh bergetar saat matanya menatap tajam. Entah kenapa, raut wajahnya kini terlihat sangat menyeramkan. 

“Dengar baik-baik, Naira! Sampai kapanpun aku tidak akan melepasmu, bila kamu ngotot ingin pisah dariku ... makan akan kupastikan kamu akan  menderita!“

“Mas!“

Aku memekik keras.

“Kamu egois, Mas! Kamu egois dan tak punya hati. Kenapa mau mempertahankan aku, sementara sudah ada dia sudah jelas mengandung anakmu?“ lanjutku dengan suara bergetar dan air mata yang kembali jatuh.

 Namun Mas Hangga tak sempat menyahut, karena terdengar pintu terbuka, disusul derap langkah mendekat. Ibu mertua masuk diikuti Paman Ismail dan Bibi Tanti juga perempuan yang konon tengah mengandung anak Mas Hangga. Sepertinya Mas Hangga yang menyuruh mereka datang ke rumah kami.

“Kamu sudah sadar, Naira?“ Bibi Tanti mendekat lalu tangannya bergerak hendak menyentuh kening ini, tapi segera.

“Naira ...“ ujarnya tampak kaget.

“Naira, apa mau Bibi panggilkan dokter?“ tanyanya. Aku menggeleng cepat. Mengalihkan pandangan, tak ingin menatap mereka yang kusayangi ternyata telah mengkhianati tanpa ampun.

“Sudahlah, Jeng ... nggak usah dibujuk-bujuk. Naira sudah dewasa, biarkan dia berbuat semaunya,“ sahut ibu dengan santainya. Aku menoleh, menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Jika dia bukan ibu mertuaku dan bukan orangtua, ingin sekali kujejali mulutnya dengan uang. Biar tak bicara seenaknya.

“Naira ...“ panggil Paman Ismail. Mas Hangga yang duduk di sampingku, langsung beranjak menjauh. Membiarkan waliku itu menggantikan posisinya.

“Naira ... Maafkan Paman, Nak,“ ucapnya seraya merengkuh tubuhku.

“Iya, Nak. Maafkan Bibi juga,“ timpal Bibi Tanti.

Tanpa diminta, tangisku kembali pecah. Air mata langsung membasahi kemeja Paman Ismail.

“Maafkan Paman, Naira,“ bisiknya bergetar, tepat di telingaku. 

Aku terdiam, menatapnya bingung saat dia melepas rengkuhannya. Lalu tak lama, Mbal Madina—sepupuku yang entah sejak kapan menjadi maduku—mendekati kami dan mengedarkan pandangannya sesaat. Sementara di belakangnya, Bibi Tanti menatap kami dengan sorot yang sulit dipahami. 

“Maaf, kalau boleh Dina ingin bicara empat mata dengan Naira,“ katanya. 

“Tidak usah, Sayang. Nanti biar Mas saja yang bicara dengan Naira,“ sahut Mas Hangga. Membuat air mata semakin mengalir deras dan degup jantungku seakan berhenti, mendengar panggilan kepada istri barunya itu. Panggilan yang dulu pernah kuinginkan, tapi selalu dia tolak dengan alasan lebay.

“Benar kata Hangga. Lebih baik sekarang kamu pulang dan istirahat, calon cucu Ibu butuh ketenangan,“ timpal Ibu.

“Ta-tapi—“

“Jangan bantah ibu mertuamu, Nak. Manut, ya! Kita pulang sekarang,“ potong Bibi Tanti sambil merangkul bahu putrinya itu. Sedangkan Paman Ismail hanya bergeming, seakan enggan meninggalkanku. Tapi kemudian dia beranjak berdiri saat Bibi Tanti menatapnya cukup lama.

“Ayo, Pak!“

Paman Ismail mengangguk dan menatapku dengan senyuman sangat tipis. Lalu mengusap puncak kepala ini.

“Maafkan paman, Naira. Maaf,“ ucapnya. Aku menggeleng tak mengerti, tapi Paman Ismail lagi-lagi hanya tersenyum tipis.

Kutatap kepergiaan adik kandung ayah itu dengan nanar. Lalu mengusap wajah dengan kasar, saat pintu tertutup. Meninggalkanku berdua saja dengan Mas Hangga.

“Kamu mau kan memaafkan aku dan menerima sepupumu sebagai madumu?“ 

Tiba-tiba Mas Hangga berjongkok di hadapanku sambil meraih tanganku. Air mata yang sempat reda, kini mengalir lagi.

“Sudah, jangan menangis lagi. Mulai detik ini kamu hanya perlu nurut dan aku janji akan berbuat adil padamu dan Medina,“ katanya sambil menyodorkan tempat tisu padaku. 

“Maaf kalau aku menyakitimu. Tapi jujur, aku bingung harus berbuat apa. Karena aku yakin kamu takkan mengizinkan jika bilang dari awal,“ lanjutnya dan aku dapat melihat matanya yang tampak berkaca-kaca. 

“Tolong jangan minta pisah, Naira. Karena sampai kapanpun aku takkan mengabulkannya.“ Dia mengecup jemariku.

“Hangga ... Antar dulu Medina pulang.“ Tiba-tiba Ibu masuk, membuat Mas Hangga segera melepaskan tangannya lalu mengangguk dan mengambil kunci di atas nakas.

“Titip Naira ya, Bu,“ katanya sambil mengusap pundakku. Ibu menatapku dan tersenyum sinis.

“Harusnya Ibu yang bilang begitu padamu, Hangga. Titip Medina, dia sedang hamil anakmu sekaligus cucu Ibu,“ katanya. Aku segera mengalihkan pandangan dan meremas spreai dengan kuat, berharap amarah pergi dengan sendirinya.

“Sudahlah nggak usah mewek terus, Naira. Karena percuma saja. Air matamu itu takkan mampu mengubah nasib burukmu,“ cetusnya sambil duduk di sampingku.

"Satu lagi ... terimalah Medina sepupumu dengan hati terbuka dan berdoalah supaya kelak kamu seberuntung sepupumu itu,“ tambahnya disertai seringai tipis sambil melenggang keluar dari kamar.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (5)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
sakit bgt lah ternyata madu nya adalah sepupuh ny
goodnovel comment avatar
Elma Sukmala
mertua laknat.ibu itu perempuan apa batu ya.sumpahi semoga struk mengot bibirnya ...
goodnovel comment avatar
Abey
KELUARGA BANGSATTT!
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 161

    Naira tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. “Bulan madu kita sudah berakhir, Sayang. Saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya.” Aric langsung mengerucutkan bibir. Lalu melangkah keluar kamar. Sedangkan Naira lantas membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Sebelum membuka pintu, Aric mengintip dari jendela. Tapi sayang, yang bertamu tak terlihat. Aric pun akhirnya langsung membuka pintu untuk tamu yang tak diundangnya itu. “Assalamualaikum, Bu Hajah Naira!“ Aric disambut suara riang ketiga sahabat Naira. Meera, Cantika dan Adila. “Waalaikumussalam,“ jawab Aric, kikuk sambil tersenyum nyengir. “Eh, sorry, Ric. Kirain kita Naira,“ kata Cantika. “Its oke, no problem. Silahkan duduk dan anggap saja rumah sendiri,“ ujar Aric. “Thanks, Ric.“ Meera, Cantika dan Adila menyahut kompak. “Nairanya mana, Ric?“ tanya Meera sambil menatap interior rumah Aric yang benar-benar berkelas. “Nyonya lagi mandi. Kalian tunggu saja, ya. Kalau mau minum, ambil saja di kulkas,“

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 160

    Aric menoleh, menatap istrinya dengan lembut. “Aku juga nggak akan pernah melupakannya, Khai. Semoga perjalanan ini jadi awal yang baik untuk kita.” Naira tersenyum, merasa hatinya penuh dengan cinta dan syukur. Perjalanan itu tidak hanya mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga semakin menguatkan cinta mereka sebagai suami istri. Tiba di rumah Aric, si kembar langsung dijemput Hangga. Lelaki itu akan melamar calon istrinya, dan menginginkan si kembar turut hadir di momen itu. Naira dan Aric tak keberatan. Justru Aric merasa inilah waktunya berduaan dengan Naira. Malam pun tiba. Suasana terasa sepi tanpa kehadiran si kembar. Di dapur, Naira berdiri sibuk memanaskan makanan untuk makan malam. Aric sendiri duduk di ruang makan, matanya sesekali melirik ke arah istrinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Membangunkan sisi kelelakiannya. “Babe,” panggilnya lembut. “Ya, Sayang?” jawab Naira tanpa menoleh, fokus pada pa

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 159

    Aric memperhatikan mereka dari jarak dekat. Dalam diamnya dia merasa bersyukur bisa membawa keluarganya ke Tanah Suci. Bagi Aric, perjalanan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga hadiah yang sengaja dipersembahkan untuk istrinya, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Di dalam pesawat, si kembar tertidur di pangkuan Aric. Naira yang duduk di sebelah mereka, memandangi Aric. Melihat wajah Aric yang terlihat damai, Naira lantas melangitkan doa. Memohon agar perjalanan ini membawa keberkahan bagi mereka sekeluarga. ** Tiba di Mekkah, tubuh Naira terasa membeku. Melihat Masjidil Haram dengan segala kemegahannya, dia merasa seperti berada di dunia lain. Tapi saat melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, air matanya langsung mengalir deras. “Masya Allah… Aric, ini benar-benar indah. Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aric berdiri di sampingnya, mengangguk pelan. “Ini nyata, Khai. Alhamdulillah, kita sampai di sini.” Mereka berjalan me

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 158

    “Ric … ini ….“ Netra Naira berkaca-kaca saat membaca isi surat yang diberikan Aric. Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Naira pun beranjak duduk. Lalu memeluk surat itu erat. “Masya Allah … Alhamdulillah,” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya sedikit bergetar saatmenatap Aric. “Kita … akan umrah?” Aric mengangguk, senyumnya semakin melebar. Lalu memeluk pinggang Naira. “Aku sudah mendaftarkan kita. Kamu, aku, dan si kembar. Semuanya sudah aku atur.” Air mata Naira mengalir perlahan. Hatinya penuh haru dan syukur. Dia kembali mendekap surat itu sambil menatap suaminya dengan pandangan mengabur. “Kenapa kamu selalu tahu cara membuatku bahagia, Ric?” Aric mengusap kepala Naira lembut. “Karena sudah lama aku mencintaimu. Jadi jangan heran kalau aku tahu segalanya. Dan sekarang aku suamimu, Khai. Bahagiamu adalah tugasku.” * “Yang bener Lo, Nai?“ tanya Meera saat Naira mengabari tentang rencana keberangkatan umr

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 157

    “Sudah dulu mesra-mesraannya. Tuh lihat, mereka dari tadi pengen foto bareng kalian,” kata Bu Hania. Naira pun langsung melepaskan tangan Aric dari pinggangnya. Lalu beranjak berdiri. Sementara Aric hanya menghela napas panjang. Lalu ikut berdiri, dan melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan mereka. ** Naira berdiri di depan jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Malam begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang terdengar, bersenandung lembut seperti ingin menenangkan setiap hati yang mendengarnya. Angin malam pun seakan tak mau kalah menebarkan pesonanya, membawa aroma khas laut, bercampur wangi bunga-bunga tropis yang tumbuh di sekitarnya. Gaun merah panjang Naira bergoyang pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesekali bibirnya tersenyum samar, mengingat hari bahagia yang baru saja mereka lalui. “Masih betah menatap laut?” Suara berat nan lembut itu membuat Naira sedikit tersentak. Naira menol

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 156

    “Ya Allah … cantik banget Lo, Nai!” pekik Meera. Dia langsung menghampiri Naira. Menatap penampilan sahabatnya itu dengan takjub. “Iya. Kamu cantik banget, Nai. Nggak heran Aric klepek-klepek sama kamu,“ sahut Adila. “Bener. Mana bodymu oke banget. Enggak kek gue,“ timpal Cantika sambil menatap badannya sendiri. Sejak ikut program KB, tubuhnya memang mengembang tak karuan. “Oh iya, keluarga kamu udah sampai Nai. Mereka pengen ketemu kamu,” kata Bu Anya mengalihkan perhatian Naira dan ketiga sahabatnya. “Keluarga?“ Meera menyahut heran. “Maksudnya Omnya Naira, Bun?“ tanyanya. Bu Anya mengangguk. “Kan dia yang mau jadi walinya Naira. Iya kan, Nai?“ ujarnya. Naira mengangguk. “Kalau gitu, bunda suruh masuk saja ya?“ tanya Bu Anya. “Iya silahkan, Bun.“ Bu Anya pun keluar dari ruang khusus rias itu. Setelah Bu Anya tak ada, Meera langsung menanyai Naira. “Serius Lo undang mereka, Nai?“ tanyanya. “Bukan aku, Meer. Tapi Aric. Kata Aric bagaimanapun, mereka keluarga a

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status