“Murahan! Pe-la-cur kamu, Naira!“ Mas Hangga berteriak sembari melayangkan tangannya hingga mendarat mulus di pipi ini, setelah kuberitahu sebuah fakta.
Seakan tak puas, Mas mencengkram rahangku lalu kembali menamparku dengan tangan yang lain. “Mas ... Sudah! Sudah, Mas ... Sudah!“ seru Mbak Medina, sembari memeluk punggung Mas Hangga. “Tidak, Sayang. Dia sudah berkhianat, sudah seharusnya Mas beri pelajaran.“ Mas Hangga menjawab dengan suara tertahan. “Jangan, Mas! Dia masih istrimu, nanti dia—“ “Tidak usah pura-pura memihakku, Mbak Medina. Aku tak butuh pembelaanmu. Lebih baik kamu menepi, supaya aku tak menghajarmu,“ potongku datar. Membuat bola mata Mas Hangga seakan mau keluar dari kelopaknya. Sementara Mbak Medina langsung menurut. Beringsut mundur, berdiri cukup jauh dari kami. “Naira, beraninya kamu ...!“ teriak Mas Hangga sambil mengeratkan cengkraman tangannya di rahang ini. “Apa, Mas? Mau menghajarku? Silahkan! Aku sama sekali nggak takut bahkan senang hati. Bila perlu, sekalian saja bunuh aku biar kita bisa bersama di neraka nanti,“ tantangku seraya tersenyum miring. Untuk sesaat Mas Hangga terdiam, kemudian melepaskan cengkramannya di rahang ini. “Kenapa, Mas? Kenapa tak jadi menghajarku? Apa kamu takut anakmu jadi yatim dan istri kesayanganmu itu jadi janda?“ Aku bertanya masih dengan nada datar. “Kurang Ajar kamu!“ Mas Hangga kembali mengayunkan tangannya. Aku tertawa geli, lalu mendekatkan wajah padanya. “Ayo, Mas, tampar lagi! Ayo, Luapkan amarahmu!“ seruku dengan suara meninggi. “Sudah, Mas ... Sudah. Istigfar, Mas. Naira masih istrimu, Mas. Akan sangat berdosa kalau Mas terus menyakitinya.“ Mbak Medina menyahuti. Mas Hangga langsung mengepalkan tangannya yang berada di udara lalu menyentak napas dengan kasar. “Astagfirullah ...“ ucapnya seraya mengusap wajah. “Kenapa, Naira! Kenapa kamu ...?“ lanjutnya tapi kali ini dengan suara yang terdengar frustasi dan mata menatap tajam, dengan sorot kecewa. Aku terkekeh sambil bersidekap lalu melangkah pelan mengitari tubuhnya. “Bagaimana rasanya, Mas?“ tanyaku sambil tersenyum miring, saat kami kembali berhadapan. Membuat Mas Hangga menatap dengan dahi agak berkerut. “Bagaimana rasanya diduakan? Sakit bukan?“ tanyaku dengan suara tinggi. Karena dada yang terasa terbakar mengingat banyak luka yang telah ditorehkannya. “Itu juga yang aku rasakan saat kamu diam-diam menikahinya, Mas!“ Aku menunjuk Medina, “dan saat kamu lebih memilih mengutamakan dia daripada aku, Mas ...“ Aku mengambil napas sejenak, meraba dada, menetralkan rasa sesak yang mengabuti diri. “Aku sakit ... Bahkan lebih sakit dari apa yang kamu rasakan sekarang. Jadi, sekarang kita impas, Mas. Kita sama-sama terluka, kau mendua, aku pun sama!“ lanjutku sambil tersenyum menyeringai dan responnya sungguh di luar dugaan. Alih-alih menghajar atau menamparku lagi, tubuh Mas Hangga justru merosot. Tak lama bahunya berguncang disusul isak tertahan. Reaksi yang jauh berbeda denganku saat dia membawa perempuan lain ke bahtera kami. Awalnya pernikahan kami berjalan normal. Namun semuanya berubah sejak sepuluh bulan lalu. Saat Mas Hangga menguak sebuah fakta. “Naira, ada yang mau aku bicarakan padamu,“ katanya saat kami tengah menikmati makan malam. “Tentang apa itu, Mas?“ tanyaku. Mas Hangga terdiam sesaat, jika tak salah terka, aku melihat keraguan di wajahnya. “Aku akan menikah lagi.“ Aku yang sedang mengunyah sepotong apel langsung tersedak. Mas Hangga buru-buru memberikan air putih dan aku pun menegaknya dengan segera. “Ka-kamu bercanda kan, Mas?“ tanyaku ragu sambil mengusap mulut dengan punggung tangan dan menetralkan degup jantung yang tiba-tiba berpacu cepat. “Tidak, Ra ... Aku tidak bercanda. Hubungan kami sudah sangat dekat dan aku takut tak bisa mengontrol diri,“ jawabnya dengan kepala tertunduk. Aku menatap tak percaya dengan apa yang terlontar dari mulutnya. Mengingat selama ini hubungan kami baik-baik saja dan dia sangat pandai menjaga pandangannya, meski belum kunjung ada buah hati di antara kami. “Coba ulangi, Mas. Aku pasti salah dengar kan?“ Aku masih coba menyangkal, berharap ini hanya sebuah prank atau leluconnya saja. Namun gelengan kepalanya, membuat harapanku sirna seketika. “M-mas ...“ Aku menggigit bibir saat sesak memenuhi rongga dada, membuat air mataku luruh tanpa diminta. “Aku minta maaf, Ra. Tapi dia hamil dan dia mendesak ingin dinikahi—“ “Hamil?“ Aku memekik. Sejurus kemudian, rasa pusing langsung menyerang kepala saat dia mengangguk. Aku memejamkan sejenak seraya memegangi kepala. “Apa kalian berzina?“ tanyaku lirih sambil membuka mata. Mas Hangga menggelengkan kepala. “Lalu? Bagaimana mungkin kamu bilang ingin menikahinya, sementara perempuan itu sudah hamil?“ Aku menatapnya penuh tanya tapi dia tak langsung menjawab. Hanya jakunnya tampak bergerak pelan. “Ra ... Aku minta maaf. Tapi percayalah kami tidak berzina. Kami sudah menikah siri.“ Ucapannya kali ini membuat kepala semakin berdenyut nyeri. “Si-siapa perempuan itu?“ tanyaku yang tiba-tiba dilanda penasaran. Mengingat selama ini, Mas Hangga tak pernah dekat dengan perempuan selain aku, keluarganya dan ... keluargaku. “Pe-perempuan itu ...“ jawabnya menggantung. Dengan keringat yang mulai menetes di dahi. “Siapa, Mas?“ “Maafkan aku, Ra. Perempuan itu—“ Pandanganku perlahan meredup tepat di saat Mas Hangga menyebut nama istri barunya, disusul suaranya yang menggelegar meneriakkan namaku. Lalu setelah itu entah apa yang terjadi karena dunia mendadak kelam. . “Naira ...“ Suara Mas Hangga terdengar jelas saat aku berusaha membuka mata. “Ra, kamu bisa dengar aku kan?“ Sentuhan jemarinya di pipi ini membuat kesadaranku benar-benar pulih. Pelan aku mengerjap, mendapati sosok yang menjadi imam selama 8 tahun ini, duduk di sampingku dengan sorot penuh sesal. Aku menghela napas sejenak. Lalu menegakkan punggung walau kepala masih berdenyut, pun dada masih terasa agak sesak. “Mas ... Kamu ...“ Aku langsung terisak, teringat kembali ucapannya tadi. Mas Hangga sudah menikah lagi dengan perempuan yang tak asing di kehidupan kami. “Maafkan aku, Ra. Jangan menangis lagi. Aku janji, aku akan berlaku adil pada kalian berdua,“ ucapnya dengan tangan hendak menyentuh tapi segera kutepis dengan kasar. “Kenapa, Mas? Kenapa Mas menyakitiku? Apa salahku, Mas?“ Aku berujar dengan suara lemah. “Apa baktiku selama ini masih kurang, Mas? Apa pengorbananku selama ini belum maksimal?“ lanjutku tak sabar dengan suara bergetar. Mas Hangga menggeleng. “Lalu kenapa, Mas? Kenapa kamu tega mengkhianati?“ Tak tahan lagi, aku menutup wajah dengan kedua tangan dan tergugu dalam tangisan. “Ra ... Aku minta maaf. Tapi aku mohon, jangan menangis lagi,“ katanya sambil menarik satu tanganku. Menciuminya berkali-kali, membuat tangisku semakin tak terkendali. “Kenapa, Mas? Beri tahu aku alasannya, kenapa kamu menikah lagi?“ tanyaku parau setelah cukup puas menangis. Mas Hangga langsung tertunduk. “Maafkan aku, Ra. Aku ... “ jawabnya sambil mengeratkan genggamannya di tangan ini. “Aku hanya ingin sesuatu yang sulit kamu kabulkan. Aku ingin keturunan.“Naira tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. “Bulan madu kita sudah berakhir, Sayang. Saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya.” Aric langsung mengerucutkan bibir. Lalu melangkah keluar kamar. Sedangkan Naira lantas membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Sebelum membuka pintu, Aric mengintip dari jendela. Tapi sayang, yang bertamu tak terlihat. Aric pun akhirnya langsung membuka pintu untuk tamu yang tak diundangnya itu. “Assalamualaikum, Bu Hajah Naira!“ Aric disambut suara riang ketiga sahabat Naira. Meera, Cantika dan Adila. “Waalaikumussalam,“ jawab Aric, kikuk sambil tersenyum nyengir. “Eh, sorry, Ric. Kirain kita Naira,“ kata Cantika. “Its oke, no problem. Silahkan duduk dan anggap saja rumah sendiri,“ ujar Aric. “Thanks, Ric.“ Meera, Cantika dan Adila menyahut kompak. “Nairanya mana, Ric?“ tanya Meera sambil menatap interior rumah Aric yang benar-benar berkelas. “Nyonya lagi mandi. Kalian tunggu saja, ya. Kalau mau minum, ambil saja di kulkas,“
Aric menoleh, menatap istrinya dengan lembut. “Aku juga nggak akan pernah melupakannya, Khai. Semoga perjalanan ini jadi awal yang baik untuk kita.” Naira tersenyum, merasa hatinya penuh dengan cinta dan syukur. Perjalanan itu tidak hanya mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga semakin menguatkan cinta mereka sebagai suami istri. Tiba di rumah Aric, si kembar langsung dijemput Hangga. Lelaki itu akan melamar calon istrinya, dan menginginkan si kembar turut hadir di momen itu. Naira dan Aric tak keberatan. Justru Aric merasa inilah waktunya berduaan dengan Naira. Malam pun tiba. Suasana terasa sepi tanpa kehadiran si kembar. Di dapur, Naira berdiri sibuk memanaskan makanan untuk makan malam. Aric sendiri duduk di ruang makan, matanya sesekali melirik ke arah istrinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Membangunkan sisi kelelakiannya. “Babe,” panggilnya lembut. “Ya, Sayang?” jawab Naira tanpa menoleh, fokus pada pa
Aric memperhatikan mereka dari jarak dekat. Dalam diamnya dia merasa bersyukur bisa membawa keluarganya ke Tanah Suci. Bagi Aric, perjalanan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga hadiah yang sengaja dipersembahkan untuk istrinya, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Di dalam pesawat, si kembar tertidur di pangkuan Aric. Naira yang duduk di sebelah mereka, memandangi Aric. Melihat wajah Aric yang terlihat damai, Naira lantas melangitkan doa. Memohon agar perjalanan ini membawa keberkahan bagi mereka sekeluarga. ** Tiba di Mekkah, tubuh Naira terasa membeku. Melihat Masjidil Haram dengan segala kemegahannya, dia merasa seperti berada di dunia lain. Tapi saat melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, air matanya langsung mengalir deras. “Masya Allah… Aric, ini benar-benar indah. Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aric berdiri di sampingnya, mengangguk pelan. “Ini nyata, Khai. Alhamdulillah, kita sampai di sini.” Mereka berjalan me
“Ric … ini ….“ Netra Naira berkaca-kaca saat membaca isi surat yang diberikan Aric. Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Naira pun beranjak duduk. Lalu memeluk surat itu erat. “Masya Allah … Alhamdulillah,” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya sedikit bergetar saatmenatap Aric. “Kita … akan umrah?” Aric mengangguk, senyumnya semakin melebar. Lalu memeluk pinggang Naira. “Aku sudah mendaftarkan kita. Kamu, aku, dan si kembar. Semuanya sudah aku atur.” Air mata Naira mengalir perlahan. Hatinya penuh haru dan syukur. Dia kembali mendekap surat itu sambil menatap suaminya dengan pandangan mengabur. “Kenapa kamu selalu tahu cara membuatku bahagia, Ric?” Aric mengusap kepala Naira lembut. “Karena sudah lama aku mencintaimu. Jadi jangan heran kalau aku tahu segalanya. Dan sekarang aku suamimu, Khai. Bahagiamu adalah tugasku.” * “Yang bener Lo, Nai?“ tanya Meera saat Naira mengabari tentang rencana keberangkatan umr
“Sudah dulu mesra-mesraannya. Tuh lihat, mereka dari tadi pengen foto bareng kalian,” kata Bu Hania. Naira pun langsung melepaskan tangan Aric dari pinggangnya. Lalu beranjak berdiri. Sementara Aric hanya menghela napas panjang. Lalu ikut berdiri, dan melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan mereka. ** Naira berdiri di depan jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Malam begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang terdengar, bersenandung lembut seperti ingin menenangkan setiap hati yang mendengarnya. Angin malam pun seakan tak mau kalah menebarkan pesonanya, membawa aroma khas laut, bercampur wangi bunga-bunga tropis yang tumbuh di sekitarnya. Gaun merah panjang Naira bergoyang pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesekali bibirnya tersenyum samar, mengingat hari bahagia yang baru saja mereka lalui. “Masih betah menatap laut?” Suara berat nan lembut itu membuat Naira sedikit tersentak. Naira menol
“Ya Allah … cantik banget Lo, Nai!” pekik Meera. Dia langsung menghampiri Naira. Menatap penampilan sahabatnya itu dengan takjub. “Iya. Kamu cantik banget, Nai. Nggak heran Aric klepek-klepek sama kamu,“ sahut Adila. “Bener. Mana bodymu oke banget. Enggak kek gue,“ timpal Cantika sambil menatap badannya sendiri. Sejak ikut program KB, tubuhnya memang mengembang tak karuan. “Oh iya, keluarga kamu udah sampai Nai. Mereka pengen ketemu kamu,” kata Bu Anya mengalihkan perhatian Naira dan ketiga sahabatnya. “Keluarga?“ Meera menyahut heran. “Maksudnya Omnya Naira, Bun?“ tanyanya. Bu Anya mengangguk. “Kan dia yang mau jadi walinya Naira. Iya kan, Nai?“ ujarnya. Naira mengangguk. “Kalau gitu, bunda suruh masuk saja ya?“ tanya Bu Anya. “Iya silahkan, Bun.“ Bu Anya pun keluar dari ruang khusus rias itu. Setelah Bu Anya tak ada, Meera langsung menanyai Naira. “Serius Lo undang mereka, Nai?“ tanyanya. “Bukan aku, Meer. Tapi Aric. Kata Aric bagaimanapun, mereka keluarga a