"Nin, aku akan rujuk dengan Sita."
Hanin terpana. Ringan saja kalimat itu keluar dari mulut Dimas, suaminya.
"Rujuk? Menikah kembali dengan Sita maksudnya?"
Dimas patah-patah mengangguk. Menyesap teh manis hangat buatan Hanin, untuk menetralisir kegugupannya. Teh beraroma melati itu terasa hangat di tubuhnya, membantunya menjadi lebih relaks.
"Aku memikirkan anak kami, Nin. Tahun depan Rindu masuk SD. Aku ingin mendampinginya dalam proses pertumbuhannya." Dimas menghindari tatapan Hanin dengan mencomot bolu gulung isian teh hijau di depannya.
"Lalu, bagaimana dengan anak kita? Kau tidak ingin mendampinginya?" Hanin mengelus perutnya yang membuncit, tujuh bulan usia kehamilannya.
Dimas menarik napas. Tarikan napas yang terdengar sangat berat.
"Kau masih mencintai Sita, Mas?" Mata Hanin mulai berkaca.
Dimas terdiam. Diletakkannya kembali bolu gulung yang belum sempat digigitnya itu.
"Iya, Mas? Kau masih mencintainya?" Hanin menggigit bibir.
Pelan Dimas mengangguk.
"Lalu, kenapa menikahiku?!" Air mata itu tumpah sudah. Sakit. Hati Hanin sangat sakit.
Sita. Mantan istri suaminya. Mereka bercerai lima tahun yang lalu. Mereka berpisah karena terhalang restu. Tiga tahun bersama, Dimas tetap tidak mampu meluluhkan hati Ayah Sita, mantan Mertuanya. Bahkan kehadiran Rindu, anak Sita dan Dimas, tetap tidak mampu meruntuhkan tingginya dinding restu yang dibangun oleh mantan mertuanya itu.
Tepat tiga tahun pernikahan mereka, sita menggugat cerai. Cinta mereka tak usai.
Bukan tanpa alasan Sita mengajukan cerai. Ayah Sita mengancam akan bunuh diri, jika Sita masih mempertahankan pernikahan mereka. Sita kehabisan langkah. Akhirnya memilih menyerah. Cintanya dan Dimas telah kalah. Mereka resmi berpisah.
Tahun ketiga setelah perceraian mereka, Dimas bertemu Hanin. Gadis sederhana yang selalu tampil bersahaja. Hanin adalah anak dari Mbok Ti, pembantu yang telah bekerja puluhan tahun di rumah Dimas.
Hati Dimas yang hampa seakan menemukan kembali pengisinya. Kesederhanaan Hanin telah memikat hatinya.
Gadis itu biasa saja. Jika dibandingkan dengan Sita, Hanin kalah dalam segalanya. Sita dilahirkan dari keluarga kaya, memiliki wajah yang cantik, berpendidikan tinggi dan mempunyai karir yang menjanjikan. Sementara Hanin mempunyai wajah yang biasa saja, dilahirkan dari keluarga yang sederhana, lulusan SMA dan hanya bekerja sebagai penjaga toko kue.
Pernikahan Dimas dan Hanin sempat ditentang orangtua Dimas. Walaupun selama ini mereka sudah menganggap Mbok Ti seperti keluarga sendiri, mana mungkin mereka akan menjadi besan? Apa kata keluaga yang lain? Bagaimana tanggapan rekan serta teman?
Lambat laun restu itu akhirnya diberikan. Mama Desi dan Papa Roy mulai membuka diri. Kesederhanaan Hanin mampu memikat hati mereka. Gadis dengan tatapan lembut itu bahkan sangat akrab dengan Mama Desi setelah mereka menikah. Mama Desi selalu mengajak Hanin setiap ada acara. Memperkenalkan dengan bangga menantunya. Gadis itu cerdas. Walaupun hanya tamatan SMA, Hanin sangat pintar menempatkan diri.
Saat resepsi pernikahan, Sita datang bersama Rindu, anak mereka. Denting air di mata yang menggunakan soft lens itu terlihat jelas. Sita tidak menyangka Dimas akhirnya menikah, sementara hatinya masih berdarah-darah.
Sita wanita yang pintar, dia mampu menguasai perasaannya. Dengan tegar dia naik ke atas panggung untuk bersalaman dengan pengantin. Mama Desi memeluk erat Sita saat wanita itu bersalaman dengannya, sementara Papa Roy langsung mengangkat Rindu tinggi-tinggi. Anak itu tertawa riang saat Papa Roy mengangkatnya.
Sita tampil memukau menggunakan kebaya brukat berwarna coklat. Rambut digelung ke atas, dengan jepit rambut model bunga melati kecil-kecil terselip di rambut Sita, melengkapi penampilannya.
Berkali-kali Sita membenarkan selendang di bahunya untuk menetralisir dentum di dadanya.
"Ayah." Rindu berlari riang memeluk Dimas.
Dimas tersenyum, segera mengangkat Rindu yang saat itu baru berusia lima tahun. Sementara Sita berjalan anggun. Tangannya gemetar saat bersalaman dengan Dimas. Mata itu berkaca-kaca. Cinta itu masih sangat nyata.
"Selamat, Mas. Semoga bahagia selalu mengiringi rumah tanggamu." Suara Sita bergetar menahan tangis.
Dimas menyambut tangan Sita. Menatap wanita di hadapannya. Mengangguk dalam diam. Hanin yang berdiri di samping Dimas menyimpan nyeri di hati. Dia bisa melihat pancaran cinta dari tatapan lelaki yang baru beberapa jam menjadi suaminya itu. Tatapan yang sangat dalam pada wanita bergelar mantan di hadapannya.
Sita berlalu setelah beberapa saat menunggu, Dimas tetap membisu. Dijabatnya tangan Hanin sekedarnya saja. Senyum tipis yang diberikannya hanya sebagai pemanis.
Hari itu, tiga hati teriris. Mata Sita menyimpan tangis, sementara hati Hanin menyimpan gerimis. Dua hati terluka karena masih saling mencinta, tetapi terpaksa tak bisa lagi bersama. Satu hati terluka karena mendamba cinta, dari lelaki yang hatinya masih tertaut pada cinta yang lainnya.
Hanin mengusap air matanya mengingat kejadian itu. Bahkan di awal pernikahannya dan Dimas, dia sangat mengetahui, cinta Dimas masih utuh untuk Sita. Di pelaminan dua tahun lalu dia bisa melihat dengan jelas, cinta mereka masih saling berbalas.
"Kenapa menikahiku, Mas?" Hanin mengulangi tanya, saat dilihatnya Dimas hanya membisu.
Sabtu kelabu.
Biasanya mereka akan menghabiskan waktu bersama. Setelah memakan cemilan kecil ba'da shubuh seperti ini, mereka akan berjalan santai di sekitar perumahan. Dilanjutkan dengan sarapan bubur ayam Mbok Yun dekat lapangan. Kesukaan mereka. Sepulang dari jalan santai, Hanin akan mengurus bunga-bunganya dan merawat tanaman di halaman, sementara Dimas mengurus kolam ikan Koi di pojok halaman.
Sabtu ini berbeda.
Kegiatan mereka tak lagi sama.
Dimas menunduk mendengar pertanyaan Hanin. Lidahnya kelu. Kenapa dia menikahi Hanin? Entahlah. Dia pun tak tahu.
"Jawab, Mas! Jangan diam saja serupa batu, padahal baru saja lisanmu mengiris hatiku." Hanin menghapus air matanya yang terus mengalir.
Bagaimana tidak, rumah tangga mereka baik-baik saja. Seharusnya ini masa-masa paling bahagia, karena mempersiapkan kehadiran buah hati mereka.
"Aku menyukai kesederhanaanmu, Nin. Dulu aku berharap cinta bisa datang seiring berjalannya waktu, tapi ternyata aku keliru. Maaf." Bibir Dimas bergetar.
Dia harus menyampaikan kenyataan itu pada Hanin. Berat baginya mengatakan kebenaran pada wanita yang hampir dua tahun menjadi istrinya.
"Maksudmu, selama pernikahan kita, kau tidak pernah mencintaiku?" Hanin menggigit bibirnya. Takut dengan jawaban yang akan dia dengar.
Dimas mengangguk. Kepalanya tertunduk, tidak mampu menatap mata teduh Hanin. Entah kenapa hatinya ikut merasa sakit melihat wanita di depannya itu berurai air mata.
"Sedikit pun tidak?" Hanin kembali bertanya.
Dimas menggeleng sambil mengusap muka. Matanya ikut terasa panas mendengar isak kecil Hanin.
Hanin tertawa miris.
"Tidak bisakah kau sedikit berbohong, Mas? Berbohong untuk menyenangkan istri itu diperbolehkan." Air mata Hanin tidak berhenti mengalir.
"Maafkan aku, Nin. Aku takut semakin aku membohongimu, nantinya akan semakin melukaimu." Dimas mengangkat kepala. Menatap mata basah Hanin.
"Memangnya sekarang kau tidak melukaiku?!" Hanin berkata masygul.
Hening.
Lama mereka terdiam.
"Kau menyukai kesederhanaanku, apa sekarang aku sudah berubah, Mas? sudah tidak sesederhana dulu?" Hanin kembali bersuara.
Dimas menggeleng.
"Dulu, aku berharap seiring berjalannya waktu kau bisa menghapus segala bayang Sita, Nin." Lemah suara Dimas menjawab tanya Sita.
"Jadi, maksudmu aku hanya pelarianmu?!" Hanin menggenggam erat ujung bajunya. Tangannya gemetar. Dia sangat takut dengan jawaban yang akan keluar dari mulut suaminya itu.
Dimas patah-patah mengangguk. Entah kenapa hatinya ikut terasa sakit, mengetahui jawabannya sendiri untuk setiap tanya Hanin.
Hanin menengadah. Sayapnya telah patah. Lelaki yang dilayaninya sepenuh jiwa raga, tempatnya melabuhkan perahu cinta, ternyata tidak pernah menganggapnya ada.
Jika dibandingkan dengan Sita, mantan istri suaminya, Hanin memang bukan apa-apa. Dia bukan tandingan Sita. Sudah jelas wanita rupawan itu lebih unggul dalam segalanya. Tetapi tidak bolehkah dia dicinta walau parasnya tak secantik Sita?
Hanin tergugu. Sungguh, dalam mimpi terburuk sekalipun, dia tidak pernah membayangkan akan mendapati kenyataan ini, saat tujuh bulan benih Dimas tumbuh menempati rahimnya, lelaki itu dengan tega menyayatkan luka.
"Jadi, maksudmu aku hanya pelarianmu?!" Hanin menggenggam erat ujung bajunya. Tangannya gemetar. Dia sangat takut dengan jawaban yang akan keluar dari mulut suaminya itu.Dimas patah-patah mengangguk. Entah kenapa hatinya ikut terasa sakit, mengetahui jawabannya sendiri untuk setiap tanya Hanin.Hanin menengadah. Sayapnya telah patah. Lelaki yang dilayaninya sepenuh jiwa raga, tempatnya mel8abuhkan perahu cinta, ternyata tidak pernah menganggapnya ada.Jika dibandingkan dengan Sita, mantan istri suaminya, Hanin memang bukan apa-apa. Dia bukan tandingan Sita. Sudah jelas wanita rupawan itu lebih unggul dalam segalanya. Tetapi tidak bolehkah dia dicinta walau parasnya tak secantik Sita?Hanin tergugu. Sungguh, dalam mimpi terburuk sekalipun, dia tidak pernah membayangkan akan mendapati kenyataan ini, saat tujuh bulan benih Dimas tumbuh menempati rahimnya, lelaki itu dengan tega menyayatkan luka."Sejak kapan pembicaraan kembali bersama itu kalian mulai, Mas?" Hanin mengelap air mata den
"Jadi maksudmu, kau tidak mau mengenal anak kita, Mas?" Cepat Hanin memotong kalimat Dimas. Wanita itu menatap tak percaya wajah tampan suaminya yang masih menunduk."Rindu sempat merasakan kehadiranku sebelum aku dan Sita bercerai, Nin. Akan lebih mudah bagi dedek menjalaninya, jika dia tidak sempat mengenalku." Suara Dimas tercekat di ujung kalimatnya. Sungguh. Hatinya kini sangat bimbang.Hanin terpana. Tidak menyangka lelaki yang selama dua tahun ini menjadi imamnya, ternyata mampu setega itu pada keturunannya.Apakah suaminya itu tidak ada rasa sayang sedikit pun pada buah cinta mereka?Cinta? Ah…Bukankah sudah sangat jelas Dimas mengatakan tidak ada cinta untuknya?Hanin tertawa miris. Menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan suratan takdir, yang digariskan untuknya."Maafkan aku, Nin. Sita tidak ingin berbagi." Dimas mengangkat kepalanya. Menatap Hanin yang bersimbah air mata. Duh. Entah kenapa perasaanya tidak rela melihat wanitanya itu dibalut luka."Aku akan segera mengur
"Hanin?" Sita terkejut saat membuka pintu. Tidak menyangka orang yang baru saja mengetuk pintu rumahnya adalah Hanin. Tergesa Sita menutup keluar dan menutup pintu."Mas Dimas dan Rindu baru saja berangkat. Tadi kata Mas Dimas kau tidak ikut karena kurang enak badan, ternyata kau menyusul. Kenapa tidak mengabari Mas Dimas dulu?" Sita tersenyum ramah. Mempersilahkan Hanin duduk di kursi teras depan rumah."Aku memang menunggu mereka berangkat, Ta." Hanin tersenyum menatap wanita cantik di hadapannya.Kening Sita berkerut mendengar jawaban Hanin. Ada perlu apa istri mantan suaminya ini kemari?"Boleh kita bicara di dalam? Seingatku, setiap hari minggu aku dan Mas Dimas kemari selama hampir dua tahun ini, kau tidak pernah mempersilakan aku masuk." Senyum Hanin masih menghiasi wajah teduh itu."Ada perlu apa kemari, Nin?" Sita mengabaikan perkataan Hanin. Dia mulai tidak nyaman dengan kehadiran wanita berjilbab merah jambu itu."Kalian ada rencana rujuk?" Hanin menangkap rona tidak nyaman
Aroma tumisan bumbu halus ditambah dengan daun salam, lengkuas dan serai memenuhi seisi dapur. Beberapa saat kemudian Hanin memasukkan ayam dan santan. Setelah itu menambahkan garam dan gula pasir, terakhir mencemplungkan nanas ke dalam kuah yang sedang mendidih.Hanin tersenyum setelah mencicipi rasa masakannya. Sempurna. Wanita bercelemek hijau itu memindahkan opor ke dalam mangkok, kemudian menaburkan bawang goreng di atasnya. Opor ayam nanas, kesukaan Dimas. Hanin sengaja masak istimewa. Hari ini tepat dua tahun usia pernikahan mereka.Jika semua memang harus berakhir, biarlah kelak Dimas mengenang semua tentangnya dengan indah. Andai bisa dipertahankan, Hanin akan berjuang semampunya.Pernikahan adalah hal yang sakral baginya. Menikah bukan hanya sekedar perjanjian dua anak manusia. Saat ijab kabul terucap, langitlah yang menjadi saksinya.Karena Perjanjian paling mengikat adalah Akad. Perjanjian tentang pertaruhan kehidupan Akhirat. Bukan hanya antara dua hati, tapi perjanjian d
"Ayaaaaaah." Rindu berteriak riang saat melihat Dimas turun dari mobil. Berlari kencang menyongsong kedatangan ayahnya.Dimas tertawa. Lelaki itu segera berjongkok dan merentangkan tangan. Menyambut putrinya ke dalam pelukan."Tante Hanin." Rindu tersenyum menyadari ada Hanin di dekat mereka. Gadis manis berbando merah itu melepaskan pelukan Dimas, bergegas meraih tangan Hanin. Salim.Hanin tertawa kecil melihat Rindu menggerak-gerakkan kepalanya. Gadis kecil itu terlihat sangat lucu dan menggemaskan.Hanin dekat dengan Rindu, malah pernah mereka sangat dekat, melebihi kedekatan Rindu dan Sita. Beberapa kali Sita sempat menitipkan Rindu pada Hanin saat dia bekerja. Namun semenjak Sita merasa kedekatan mereka semakin intens, Sita membatasinya.Sebagai sesama wanita Hanin menyadari Sita merasa sedikit tidak nyaman Sejak saat itu Hanin sedikit menjaga jarak. Berinteraksi seadanya dengan anak sambungnya itu. Padahal bagi Hanin, anak Dimas adalah anaknya juga. Tetapi karena Sita kurang be
"Buat apa bawa-bawa lauk segala, Nin? Mau pamer kamu pintar masak?" Sita melihat tidak suka pada kantong yang dibawa Hanin.Hanin tersenyum. Mengambil wadah dan segera memindahkan lauk ayam yang dibawanya."Ya wajar sih, kalau kamu pintar masak. Ibumu dulu kan pembantu di sini, pasti bakatnya menurun. Ups." Sita pura-pura menutup mulutnya.Hanin tidak menanggapi omongan Sita. Malas saja dia berdebat dengan mantan istri suaminya itu."Hanin, cobain. Ini kue Sita bawa tadi waktu ke sini." Mama Desi masuk lagi ke dapur sambil mencomot kue di piring."Iya, Ma. Sita tidak pandai masak seperti Hanin. Jadi tadi di jalan beli." Nada suara Sita dibuat sedemikian rupa. Terdengar manja dan renyah di telinga.Mama Desi tertawa. Bergegas pergi lagi, tadi ada barang yang hendak diambilnya."Setiap wanita itu istimewa, Ta. Allah itu Maha Adil. Kau cantik dan mempunyai karir yang sukses, tapi tidak bisa memasak. Aku yang bisa memasak tapi biasa-biasa saja." Cepat Hanin menanggapi perkataan Sita."Kit
"Assalamualaikum." Dimas membuka pintu kamar."Waalaikumussalam, Mas." Hanin yang tengah melipat mukena setelah shalat maghrib menjawab salam Dimas. Keningnya berkerut. Menatap heran lelaki yang sedang berjalan ke arahnya itu."Mas tidak jadi menginap di tempat Mama?" Hanin melempar tanya.Dimas menggeleng. Ikut duduk di sajadah tempat Hanin duduk. Perlahan lelaki itu merebahkan tubuhnya. Tidur dipangkuan Hanin dengan tubuh meringkuk. Sebelah tangannya mengelus perut Hanin."Maaf." Suara Dimas gemetar saat kata itu keluar dari mulutnya. Hanin dapat merasakan air mata suaminya itu membasahi bajunya.Wanita itu menengadah. Menahan agar air matanya tidak ikut tumpah. Kejadian siang tadi di rumah Papa Roy dan Mama Desi kembali berputar di kepalanya."Kau! Berhenti berbangga diri masih menyandang status seorang istri! Andai kuucapkan talak saat ini juga, kau sudah kehilangan status yang kau banggakan itu!""Astaghfirullahaladziim, Dimas!" Papa Roy memegang bahu Dimas. Menariknya ke ruang ta
"Dim, kamu ta ….""Keputusan Dimas sudah bulat, Ma, Pa." Dimas memotong ucapan Mama Desi."Sita, sebagai sesama perempuan, kamu tega pada Hanin?" Mama Vania memegang bahu Sita."Kamu memang pernah menjadi bagian keluarga kami, Ta, dan selamanya akan begitu karena ada Rindu sebagai benang merah di antara kamu dan Dimas." Lembut suara Mama Desi terdengar."Setidak setuju apapun dulu Mama dengan pernikahan Dimas dan Hanin, nyatanya kini Hanin adalah satu-satunya menantu keluarga ini. Saat ini dia sedang mengandung calon cucu kami. Gunakan perasaanmu, Ta." Mama Desi menatap Sita yang membisu."Kalau menggunakan perasaan, Dimas dan Sita masih sangat saling mencintai, Ma. Mama tahu sendiri kami berpisah bukan karena keinginan kami." Dimas menoleh pada Hanin di sampingnya.Perempuan itu membisu. Menatap kosong ke arah meja. Tangannya pelan mengelus kandungannya. Tidak ada isak tangis sedikitpun dari wanitanya itu. Hanin hanya diam. Entah mendengarkan atau tidak semua pembicaraan ini.Dimas m