Share

KAU RUJUK AKU MERAJUK
KAU RUJUK AKU MERAJUK
Penulis: Asda Witah busrin

BAB 1

"Nin, aku akan rujuk dengan Sita."

Hanin terpana. Ringan saja kalimat itu keluar dari mulut Dimas, suaminya.

"Rujuk? Menikah kembali dengan Sita maksudnya?"

Dimas patah-patah mengangguk. Menyesap teh manis hangat buatan Hanin, untuk menetralisir kegugupannya. Teh beraroma melati itu terasa hangat di tubuhnya, membantunya menjadi lebih relaks.

"Aku memikirkan anak kami, Nin. Tahun depan Rindu masuk SD. Aku ingin mendampinginya dalam proses pertumbuhannya." Dimas menghindari tatapan Hanin dengan mencomot bolu gulung isian teh hijau di depannya.

"Lalu, bagaimana dengan anak kita? Kau tidak ingin mendampinginya?" Hanin mengelus perutnya yang membuncit, tujuh bulan usia kehamilannya.

Dimas menarik napas. Tarikan napas yang terdengar sangat berat.

"Kau masih mencintai Sita, Mas?" Mata Hanin mulai berkaca.

Dimas terdiam. Diletakkannya kembali bolu gulung yang belum sempat digigitnya itu.

"Iya, Mas? Kau masih mencintainya?" Hanin menggigit bibir.

Pelan Dimas mengangguk.

"Lalu, kenapa menikahiku?!" Air mata itu tumpah sudah. Sakit. Hati Hanin sangat sakit.

Sita. Mantan istri suaminya. Mereka bercerai lima tahun yang lalu. Mereka berpisah karena terhalang restu. Tiga tahun bersama, Dimas tetap tidak mampu meluluhkan hati Ayah Sita, mantan Mertuanya. Bahkan kehadiran Rindu, anak Sita dan Dimas, tetap tidak mampu meruntuhkan tingginya dinding restu yang dibangun oleh mantan mertuanya itu.

Tepat tiga tahun pernikahan mereka, sita menggugat cerai. Cinta mereka tak usai.

Bukan tanpa alasan Sita mengajukan cerai. Ayah Sita mengancam akan bunuh diri, jika Sita masih mempertahankan pernikahan mereka. Sita kehabisan langkah. Akhirnya memilih menyerah. Cintanya dan Dimas telah kalah. Mereka resmi berpisah.

Tahun ketiga setelah perceraian mereka, Dimas bertemu Hanin. Gadis sederhana yang selalu tampil bersahaja. Hanin adalah anak dari Mbok Ti, pembantu yang telah bekerja puluhan tahun di rumah Dimas.

Hati Dimas yang hampa seakan menemukan kembali pengisinya. Kesederhanaan Hanin telah memikat hatinya. 

Gadis itu biasa saja. Jika dibandingkan dengan Sita, Hanin kalah dalam segalanya. Sita dilahirkan dari keluarga kaya, memiliki wajah yang cantik, berpendidikan tinggi dan mempunyai karir yang menjanjikan. Sementara Hanin mempunyai wajah yang biasa saja, dilahirkan dari keluarga yang sederhana, lulusan SMA dan hanya bekerja sebagai penjaga toko kue.

Pernikahan Dimas dan Hanin sempat ditentang orangtua Dimas. Walaupun selama ini mereka sudah menganggap Mbok Ti seperti keluarga sendiri, mana mungkin mereka akan menjadi besan? Apa kata keluaga yang lain? Bagaimana tanggapan rekan serta teman?

Lambat laun restu itu akhirnya diberikan. Mama Desi dan Papa Roy mulai membuka diri. Kesederhanaan Hanin mampu memikat hati mereka. Gadis dengan tatapan lembut itu bahkan sangat akrab dengan Mama Desi setelah mereka menikah. Mama Desi selalu mengajak Hanin setiap ada acara. Memperkenalkan dengan bangga menantunya. Gadis itu cerdas. Walaupun hanya tamatan SMA, Hanin sangat pintar menempatkan diri.

Saat resepsi pernikahan, Sita datang bersama Rindu, anak mereka. Denting air di mata yang menggunakan soft lens itu terlihat jelas. Sita tidak menyangka Dimas akhirnya menikah, sementara hatinya masih berdarah-darah.

Sita wanita yang pintar, dia mampu menguasai perasaannya. Dengan tegar dia naik ke atas panggung untuk bersalaman dengan pengantin. Mama Desi memeluk erat Sita saat wanita itu bersalaman dengannya, sementara Papa Roy langsung mengangkat Rindu tinggi-tinggi. Anak itu tertawa riang saat Papa Roy mengangkatnya.

Sita tampil memukau menggunakan kebaya brukat berwarna coklat. Rambut digelung ke atas, dengan jepit rambut model bunga melati kecil-kecil terselip di rambut Sita, melengkapi penampilannya.

Berkali-kali Sita membenarkan selendang di bahunya untuk menetralisir dentum di dadanya.

"Ayah." Rindu berlari riang memeluk Dimas.

Dimas tersenyum, segera mengangkat Rindu yang saat itu baru berusia lima tahun. Sementara Sita berjalan anggun. Tangannya gemetar saat bersalaman dengan Dimas. Mata itu berkaca-kaca. Cinta itu masih sangat nyata.

"Selamat, Mas. Semoga bahagia selalu mengiringi rumah tanggamu." Suara Sita bergetar menahan tangis.

Dimas menyambut tangan Sita. Menatap wanita di hadapannya. Mengangguk dalam diam. Hanin yang berdiri di samping Dimas menyimpan nyeri di hati. Dia bisa melihat pancaran cinta dari tatapan lelaki yang baru beberapa jam menjadi suaminya itu. Tatapan yang sangat dalam pada wanita bergelar mantan di hadapannya.

Sita berlalu setelah beberapa saat menunggu, Dimas tetap membisu. Dijabatnya tangan Hanin sekedarnya saja. Senyum tipis yang diberikannya hanya sebagai pemanis.

Hari itu, tiga hati teriris. Mata Sita menyimpan tangis, sementara hati Hanin menyimpan gerimis. Dua hati terluka karena masih saling mencinta, tetapi terpaksa tak bisa lagi bersama. Satu hati terluka karena mendamba cinta, dari lelaki yang hatinya masih tertaut pada cinta yang lainnya.

Hanin mengusap air matanya mengingat kejadian itu. Bahkan di awal pernikahannya dan Dimas, dia sangat mengetahui, cinta Dimas masih utuh untuk Sita. Di pelaminan dua tahun lalu dia bisa melihat dengan jelas, cinta mereka masih saling berbalas.

"Kenapa menikahiku, Mas?" Hanin mengulangi tanya, saat dilihatnya Dimas hanya membisu.

Sabtu kelabu.

Biasanya mereka akan menghabiskan waktu bersama. Setelah memakan cemilan kecil ba'da shubuh seperti ini, mereka akan berjalan santai di sekitar perumahan. Dilanjutkan dengan sarapan bubur ayam Mbok Yun dekat lapangan. Kesukaan mereka. Sepulang dari jalan santai, Hanin akan mengurus bunga-bunganya dan merawat tanaman di halaman, sementara Dimas mengurus kolam ikan Koi di pojok halaman.

Sabtu ini berbeda.

Kegiatan mereka tak lagi sama.

Dimas menunduk mendengar pertanyaan Hanin. Lidahnya kelu. Kenapa dia menikahi Hanin? Entahlah. Dia pun tak tahu.

"Jawab, Mas! Jangan diam saja serupa batu, padahal baru saja lisanmu mengiris hatiku." Hanin menghapus air matanya yang terus mengalir.

Bagaimana tidak, rumah tangga mereka baik-baik saja. Seharusnya ini masa-masa paling bahagia, karena mempersiapkan kehadiran buah hati mereka.

"Aku menyukai kesederhanaanmu, Nin. Dulu aku berharap cinta bisa datang seiring berjalannya waktu, tapi ternyata aku keliru. Maaf." Bibir Dimas bergetar.

Dia harus menyampaikan kenyataan itu pada Hanin. Berat baginya mengatakan kebenaran pada wanita yang hampir dua tahun menjadi istrinya.

"Maksudmu, selama pernikahan kita, kau tidak pernah mencintaiku?" Hanin menggigit bibirnya. Takut dengan jawaban yang akan dia dengar.

Dimas mengangguk. Kepalanya tertunduk, tidak mampu menatap mata teduh Hanin. Entah kenapa hatinya ikut merasa sakit melihat wanita di depannya itu berurai air mata.

"Sedikit pun tidak?" Hanin kembali bertanya.

Dimas menggeleng sambil mengusap muka. Matanya ikut terasa panas mendengar isak kecil Hanin.

Hanin tertawa miris.

"Tidak bisakah kau sedikit berbohong, Mas? Berbohong untuk menyenangkan istri itu diperbolehkan." Air mata Hanin tidak berhenti mengalir.

"Maafkan aku, Nin. Aku takut semakin aku membohongimu, nantinya akan semakin melukaimu." Dimas mengangkat kepala. Menatap mata basah Hanin.

"Memangnya sekarang kau tidak melukaiku?!" Hanin berkata masygul.

Hening.

Lama mereka terdiam.

"Kau menyukai kesederhanaanku, apa sekarang aku sudah berubah, Mas? sudah tidak sesederhana dulu?" Hanin kembali bersuara.

Dimas menggeleng.

"Dulu, aku berharap seiring berjalannya waktu kau bisa menghapus segala bayang Sita, Nin." Lemah suara Dimas menjawab tanya Sita.

"Jadi, maksudmu aku hanya pelarianmu?!" Hanin menggenggam erat ujung bajunya. Tangannya gemetar. Dia sangat takut dengan jawaban yang akan keluar dari mulut suaminya itu.

Dimas patah-patah mengangguk. Entah kenapa hatinya ikut terasa sakit, mengetahui jawabannya sendiri untuk setiap tanya Hanin.

Hanin menengadah. Sayapnya telah patah. Lelaki yang dilayaninya sepenuh jiwa raga, tempatnya melabuhkan perahu cinta, ternyata tidak pernah menganggapnya ada.

Jika dibandingkan dengan Sita, mantan istri suaminya, Hanin memang bukan apa-apa. Dia bukan tandingan Sita. Sudah jelas wanita rupawan itu lebih unggul dalam segalanya. Tetapi tidak bolehkah dia dicinta walau parasnya tak secantik Sita?

Hanin tergugu. Sungguh, dalam mimpi terburuk sekalipun, dia tidak pernah membayangkan akan mendapati kenyataan ini, saat tujuh bulan benih Dimas tumbuh menempati rahimnya, lelaki itu dengan tega menyayatkan luka.

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Isabella
laki" gendeng
goodnovel comment avatar
Devi Rita
sedih baru baca udah bikin air mata keluar
goodnovel comment avatar
Dedek_Tyka
ya Allah aku ikut sedih dan bingung harus menyalahkan siapa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status