"Nin, istirahat dulu." Mbok Ti melongok dari pintu, melihat Hanin yang sedang sibuk berkutat di dapur."Sedikit lagi, Bu." Hanin mengelap keringat yang mengucur di dahinya.Dari selepas waktu Isya' tadi wanita itu sudah sibuk di dapur. Sudah hampir lima jam dia menyiapkan bumbu-bumbu dan bahan masakan. Sesekali dia ke kamar, mengecek dan memberi Dipta ASI. Bayi yang belum genap berusia enam bulan itu seperti paham ibunya sedang sibuk. Dia hanya menangis sedikit kalau lapar atau popoknya basah. Setelah diberi ASI dan popoknya diganti, cepat saja bayi laki-laki itu kembali terlelap."Ayamnya dipindahkan ke wadah atau dibiarkan saja di kukusan, Kak?" Saldi yang sedari tadi sibuk memasak ayam ungkep bertanya."Biarkan saja disana di sana, Sal. Tutupnya dibuka, terus kasih alas kain bersih di atas meja itu di tutupnya. Baru kau tutupkan lagi. Jangan terlalu rapat menutupnya."Saldi mengangguk. Segera melakukan perintah kakaknya."Selesai itu tidurlah. Besok kau sekolah. Sudah hampir jam s
Siang itu, satu mobil mewah berhenti tepat di depan warung Hanin. Terlihat seorang wanita cantik dengan pakaian modis keluar dari mobil. Terik matahari membuat wanita itu mengernyitkan kening. Wanita itu berjalan cepat menuju warung sambil melindungi wajahnya dengan tas yang dia bawa."Hanin."Hanin yang sedang sibuk mengisi ulang lauk dan sayuran di meja prasmanan menoleh. Sita. Wanita cantik itu berdiri menatapnya. Mau apa dia kemari? Hanin menghela napas panjang.Bergegas Hanin menemui Sita setelah pekerjaannya selesai."Ya, Ta? Mau makan di sini?" Hanin bertanya sambil menunjuk salah satu meja yang kosong. Tadi dia meminta Mbok Ti menggantikannya sebentar di meja kasir."Lumayan juga ya tempat usahamu ini." Sita mengangguk-angguk sambil melihat sekeliling."Alhamdulillah." Hanin tersenyum."Banyak juga rupanya uang yang diberikan Dimas untuk menebus harga dirimu ya." Sita tersenyum sinis menatap Hanin yang memasang wajah datar."Seharusnya kau berterima kasih pada Dimas, Nin. Kare
"Kau terlalu jumawa, Nin. Tempat usahamu ini baru saja mulai. Wajar jika masih ramai. Karena orang sedang coba-coba. Tunggu saja sebulanan lagi, pasti sudah sepi.""Jodoh, maut, rezeki, itu semua mutlak kuasa Allah, Ta. Siapa dirimu bisa memastikan rezekiku?" Hanin tersenyum menatap Sita."Kalau aku terlalu jumawa, lalu dirimu apa? Seolah yakin kau akan menjadi istri Mas Dimas kembali? Bahkan esok hari masih terlalu lama, untuk setiap detik, bagi takdir yang Allah gariskan untuk kita lalui."Sita membisu."Ngomong-ngomong. Kau masih kerja, Ta? Tidak ambil cuti? Pagi kan akad nikah lanjut resepsi? Tidak ada persiapan khusus kah?" Hanin menatap Sita bingung.Sita menarik napas panjang. Dia sebenarnya mau saja mengajukan cuti, namun keadaan di kantor tidak kondusif. Rumor tentang dia yang menjadi orang ketiga dalam rumah tangga mantan suaminya santer terdengar.Bahkan beberapa hari yang lalu, wanita cantik itu dipanggil oleh atasannya untuk meredam rumor yang beredar. Bukan Sita namanya
"Kau bisa hadir karena aku tidak menjadi orang ketiga dalam rumah tanggamu! Kau sadar posisimu saat ini, Ta? Kau tidak lebih dari seorang pencuri hina yang datang lagi pada korbannya, meminta agar barang curiannya diikhlaskan!""Oh, kau belum ikhlas rupanya?" Sita tertawa meremehkan."Kerudungmu ini hanya hiasan, jika ikhlas tak mampu kau berikan. Cih!" Sontak Hanin menjauh. Menghindari ludah Sita."Jangan bawa-bawa kerudungku! Apa kau pikir ikhlas semudah itu datang? Kami sah bercerai belum genap dua minggu!"Hanin menarik napas panjang. Berusaha meredam emosinya yang tersulut. Hanin memilih duduk. Menenangkan diri.Sementara Sita sibuk mengibas-ngibaskan tangannya.Gerah."Pasang AC di warungmu, Nin! Panas sekali di sini.""Pergilah, Ta. Anggap kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya." Lemah suara Hanin terdengar.Dia benar-benar lelah dengan semua kelakuan Sita. Sebenarnya apa yang ditakutkan wanita ini? Bukankah dia sendiri pun menyadari kalau dirinya lebih segalanya dari Han
Hanin terbangun saat mendengar tangisan Dipta. Ini sudah yang ketiga kalinya malam ini Dipta menangis. Bergegas diraihnya bayi mungil itu. Setelah mendapat apa yang dia butuhkan, Dipta langsung tenang kembali. Hanin memperhatikan lamat-lamat wajah anaknya yang sedang menyusu sambil terpejam. Ah … sungguh, dia sangat mencintai makhluk ini.Wanita itu melihat ke arah jam dinding. Waktu menunjukkan jam dua dini hari. Tidak seperti biasanya, malam ini tidur Dipta seperti gelisah. Sepertinya ikatan mereka sangat kuat. Karena sebenarnya hati Hanin pun sedang gelisah.Wanita bermata teduh itu masih terbawa perasaan tentang kejadian di warung siang tadi."Sita." Suara Hanin terdengar berbisik.Hanin tidak habis pikir, entah apa yang ada di otak wanita itu hingga mendatanginya kembali. Apakah Sita benar-benar berpikir dia akan bersedia datang? Atau sebenarnya wanita itu hanya ingin menunjukkan padanya bahwa besok dia telah sah menyandang gelar sebagai Nyonya Dimas?Setetes air mata Hanin meng
Setiap kali melihat dan memikirkan Dipta, hatinya selalu merasa tercubit. Dia merasa sangat bersalah pada buah hatinya itu.Andai dulu dia menolak lamaran Dimas, mungkin dia tidak akan membuat seorang anak ini lahir dan tumbuh tanpa kehangatan kasih seorang ayah. Andai dia melakukan sedikit aturan ketat tentang jadwal dan tempat Dimas mengunjungi Rindu, mungkin saat ini mereka sedang bercengkrama di kamar, tertawa, bercanda, bergantian menimang Dipta.Andai, andai dan masih banyak andai yang lainnya.Setelah puas berkeluh kesah, Hanin akhirnya membereskan mukena dan meletakkan pada tempatnya. Kemudian wanita itu kembali berbaring sambil membelai wajah anaknya.Pun di sini.Terpisah dua puluh kilometer dari tempat Hanin membuai Dipta. Di sini, Dimas tengah membelai Rindu.Sudah beberapa malam ini Rindu memilih tidur di rumah Dimas. Gadis kecilnya itu begitu bahagia akhirnya bisa menghabiskan banyak waktu dengan ayahnya.Ada yang hangat di hati Dimas saat akhirnya dia bisa membayar tahu
Dimas bergegas keluar dari kamar menuju pintu depan saat mendengar gedoran yang terus menerus dari tadi. Jam setengah lima, dia baru saja selesai menunaikan ibadah shalat Shubuh.Sedikit menggerutu lelaki itu membuka pintu. Siapa pula Shubuh-Shubuh begini bertamu? Ini waktunya beribadah! Selain itu dia sibuk hari ini, harus bersiap-siap untuk akad jam delapan nanti."Sita?!" Sedikit terkejut Dimas mempersilahkan Sita masuk."Kenapa ke sini? Kamu tidak siap-siap dandan untuk acara hari ini?" Dimas langsung memberondong mantan sekaligus calon istrinya itu dengan pertanyaan. "Hanin tidak akan datang." Sita berbicara dengan pandangan lurus ke depan."Hanin?""Kemarin siang aku mendatanginya. Wanita itu bilang dia tidak akan datang."Dimas menarik napas panjang. Setelah itu ikut duduk di samping Sita. Dia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran wanita cantik ini.Sita datang masih menggunakan baju tidurnya. Baju berbahan satin dengan warna merah marun itu terlihat sangat cocok di
"Kita buktikan pada mereka kalau kita tidak sejahat itu! Seiring berjalannya waktu, hati Hanin pasti akan luluh. Sehingga kita bisa membina hubungan baik lagi dengan Hanin. Orang-orang itu akan melihat dengan mata kepala mereka sendiri, Ta. Pada akhirnya citra diri kita akan kembali seperti semula.""Kau masih tetap ingin berhubungan dengan Hanin?!""Lalu aku harus bagaimana?" Dimas mengacak rambutnya frustasi. Sekilas dia melirik jam dinding, sudah hampir jam lima."Telepon Hanin sekarang!""Apa yang harus kukatakan ditelepon?" Dimas akhirnya pasrah, berjalan ke kamar mengambil ponsel.Dimas benar-benar lelah menghadapi keras kepala Sita. Lelaki itu terduduk di pinggir kasur. Tanpa sengaja matanya melirik Rindu yang masih tertidur pulas.Ah … andai bukan karena Rindu, mungkin dia sudah kabur saja saat ini. Mungkin. Sita benar-benar membuatnya kacau. Apa yang harus dia katakan pada Hanin Shubuh-Shubuh begini? Memintanya datang ke pernikahan? G*la!Dimas akhirnya berdiri mengambil p