Share

KAWIN KONTRAK DENGAN CEO PSIKOPAT
KAWIN KONTRAK DENGAN CEO PSIKOPAT
Author: Quby

1. Hari yang Kacau

"Di mana Jack? sepertinya dia tidak di rumah. Padahal aku ingin mengajaknya pergi." Jennie berjalan menuju kamar Jack.

"Baby ...." 

Jennie menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar. Dia mengerutkan dahinya setelah mendengar sayup-sayup suara dari dalam kamar.

"Apa aku salah dengar? suara wanita?" Jennie menempelkan telinganya di pintu. 

Merasa ada yang tak beres, Jennie langsung membuka pintu kamar itu. 

"Ja-Jack ...."

Jennie diam mematung. Jantungnya langsung berdegup lebih kencang, matanya membelalak lebar melihat apa yang sedang terjadi di depan matanya saat ini. Dia benar-benar terkejut.

Pintu kamar Jack terbuka, menampilkan seorang wanita yang tidak memakai busana sedang bercumbu mesra dengan Jack, kekasih Jennie. 

"Jennie...”

Jack melotot hebat. Dia benar-benar terkejut melihat kedatangan Jennie. Tak pernah sekali pun terlintas dalam benak Jack di tengah-tengah kegiatan panasnya bersama Ella, Jennie datang dan memergokinya. Benar-benar mimpi buruk.

Jennie berjalan menuju tempat tidur, di mana Jack dan Ella berada. "Bajingan!! apa yang kau lakukan dengan wanita ini di sini?!" Jennie memaki Jack.

Melihat kedatangan Jennie, cepat-cepat Jack langsung menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut.

Jack menelan salivanya, jantungan berdegup kencang karena kepergok sedang bercinta dengan wanita lain.

"Jennie, kenapa kau ada di sini?" Tanya Jack dengan suara gemetar.

Jack hampir lupa dengan Ella. Jack melihat Ella, lalu langsung menutupi tubuh Ella tanpa tanpa busana dengan selimut yang Jack pakai juga.

Jennie menghampiri Jack dan Ella. Jennie menampar Jack dengan kuat. "Bajingan!! Kenapa kau selingkuh di belakangku? Kenapa kau selingkuh dengan wanita sialan ini?!" Bentak Jennie yang sudah kehilangan akal.

"Hey! Beraninya kau menampar Jack! Jangan sentuh Jack!" Ella balik membentak Jennie.

Jack tidak menyangka kalau malam panas yang seharusnya ia habiskan bersama Ella harus berakhir seperti ini. Bahkan mereka baru memulainya, tetapi harus terpaksa berhenti karena kedatangan Jennie.

Jennie juga tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Lelaki yang menyandang gelar sebagai kekasihnya itu, malah bermain api di belakang Jennie. Sialnya lagi kekasihnya bermain api dengan wanita yang Jennie benci. Sungguh mimpi buruk dan kesialan yang tiada akhir.

"Apa kau tidak sadar diri juga setelah melihat semua ini?" Ella bertanya pada Jennie.

"Selama ini Jack hanya kasihan padamu. Jack sudah muak denganmu. Jack tidak cinta denganmu, Jennie sialan! Dia hanya kasihan padamu. Kenapa kau tidak sadar juga?" Ella sudah muak berhubungan dengan Jack secara sembunyi-sembunyi. Dia ingin bebas, menjalin kasih dengan Jack layaknya pasangan pada umumnya.

Apa yang dikatakan Ella barusan bagaikan batu besar yang menghantam tepat di jantung Jennie. Rasanya sakit. Sakit dan kecewa.

Jennie melihat ke arah Jack. "Apa yang dikatakan Ella itu benar, Jack?" Tanya Jennie sedikit gemetar. Jika boleh jujur, saat ini Jennie takut mendengar jawaban dari Jack.

Ella berdecih. "Cih! Jack tidak akan menjawab! Sudah kubilang Jack hanya kasihan padamu. Kau wanita miskin yang tak punya apa pun! Jack bersamamu hanya karena kebaikan hatinya. Apa kau tidak mengerti juga?" Tanya Ella sinis.

Tubuh Jennie gemetar, kakinya langsung terasa lemas. Kepalanya pusing saat mengingat bagaimana baiknya Jack padanya selama ini. Ternyata kebaikan itu semua hanya berdasarkan rasa kasihan? Sebegitu menyedihkan kah Jennie di mata Jack?

Jennie berusaha membuka mulutnya, meski sulit dia tetap harus bertanya pada Jack untuk memastikan. "Be-benarkah yang dikatakan Ella, Jack? Apakah kau mencintai Ella?" Jennie perlu mengetahui kebenaran ini meskipun jawabannya akan menyakiti hati.

Jack menundukkan kepalanya. "Ma-maaf, Jen."

Ucapan Jack barusan seperti sambaran petir bagi Jennie. Rasanya dunia Jennie runtuh. Jennie tak punya siapa pun lagi selain Jack, tapi Jack malah mengkhianati Jennie.

Jack mengangkat kepalanya, memberanikan diri menatap Jennie. "Maaf, Jennie. Aku benar-benar minta maaf. Sudah lama aku mencintai Ella. Hanya saja aku tidak tega meninggalkanmu, memutuskan hubungan kita. Aku ingat pesan kedua orang tuamu sebelum meninggal, mereka menginginkan aku untuk menjagamu." Jack menjelaskan kebenarannya pada Jennie.

Jennie tertawa miris. "Bodoh sekali aku selama ini bisa tertipu olehmu." Jennie menatap Jack, matanya berkaca-kaca.

"Aku akan pergi dari kehidupanmu. Dan satu lagi, jangan kasihan padaku. Aku bisa menghidupi diriku sendiri. Terimakasih selama ini sudah ada untukku." Setelah mengatakan itu Jennie langsung keluar dari kamar Jack.

Melihat Jennie pergi, Jack langsung beranjak dari tempat tidurnya. "Jennie! Tunggu, Jennie!" Jack ingin mengejar Jennie. Namun Ella mencegahnya.

"Tidak perlu mengejarnya, Jack. Bukankah ini yang kita mau? Kita bisa hidup bahagia tanpanya." Raut wajah tak suka jelas tergambar di wajah Ella.

Jack menatap Ella sejenak, lalu Jack langsung memeluk Ella dengan erat. Benar, ini yang Jack inginkan sejak lama. Sekarang Jack sudah bebas dari Jennie. Untuk apa lagi Jack mengejar Jennie? Mungkin ini yang dinamakan takdir.

Sementara itu, Jennie pergi menuju kamarnya. Jennie masuk ke dalam kamar, dia mengemas semua barang-barangnya ke dalam koper.

Jennie tidak punya rumah, dia tinggal bersama dengan Jack. Jennie benar-benar bergantung pada Jack untuk menjalankan hidupnya. Namun setelah semua yang terjadi, Jennie memutuskan untuk pergi dari rumah Jack.

"Meskipun aku tidak tau akan pergi kemana, tapi aku harus segera pergi dari sini." Jennie memasukkan semua baju-bajunya ke dalam koper.

Setelah mengemas barang, Jennie langsung pergi meninggalkan rumah Jack.

Jennie keluar dari rumah, jalan kaki. Entah kemana tujuannya, dia tidak punya tujuan. Luntang-lantung di jalanan, tidak punya siapa pun.

"Sial! Rasanya hatiku sakit sekali. Aku mencintai Jack dengan tulus. Namun aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Jack selingkuh dengan wanita jalang itu! Sialan. Rasanya hatiku seperti ditusuk pisau." Jennie memegang dadanya. Dia berjalan menyeret kopernya, entah mau kemana Jennie pergi, dia juga tidak tau.

Jennie mengusap air matanya yang mengalir. "Air mata sialan! Tolong jangan tangisi lelaki bajingan itu!" Jennie marah, dia tidak mau menangisi Jack, tapi apalah daya, air matanya tidak bisa dikontrol.

Jennie merengek seperti bayi sambil menyeret-nyeret kopernya. Tidak peduli orang-orang melihatnya, Jennie tidak punya rasa malu untuk saat ini.

"Oh Tuhan, kenapa kau sangat jahat padaku? Kali ini aku akan pergi kemana? Sungguh aku tidak punya siapa pun selain lelaki sialan itu." Jennie menangisi takdirnya. Dia benar-benar bingung ingin pergi kemana.

"Tuhan, kemana aku harus pergi? Tolong beri aku bantuan. Aku tidak ingin tidur di pinggir jalan." Jennie sudah putus asa, tidak tau mau pergi kemana.

Tangisan Jennie semakin pecah, rasanya ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya. "Hatiku sakit karena dikhianati, otakku juga sakit berpikir ingin pergi kemana aku ini."

Jennie menendang udara dengan keras. "Ella sialan! Wanita jalang itu benar-benar menghancurkan kehidupanku. Awas saja kau Ella! Akan kubalas kau nanti!!"

Jennie berjalan menyusuri jalanan yang sedikit sunyi, kakinya sudah sakit berjalan. Selama bersama Jack, Jennie tidak pernah berjalan kaki, Jack memberinya mobil.

Mata Jennie memicing saat melihat mobil berwarna hitam berhenti di pinggir jalan dengan arah yang tidak jelas. Sepertinya mobil itu menabrak trotoar jalan.

Karena penasaran, Jennie menghampiri mobil itu. Jennie mengetuk pintu mobil, tapi tidak ada yang membuka.

Jennie mencoba membuka pintu mobil. Matanya terbelalak lebar saat pintu mobilnya berhasil ia buka. "Kenapa pintunya tidak dikunci?" Tanya Jennie pada dirinya sendiri.

Jennie melihat ke dalam, dia menemukan seorang pria yang sedang memeluk setir mobil dengan mata yang tertutup.

"Eunghh ..." Lelaki itu mencari posisi yang nyaman.

Jennie terkejut melihat lelaki itu. "Hey! Kenapa kau tidur saat mengemudi? Ini sangat bahaya! Bangunlah! Buka matamu!". Jennie menggoyang-goyangkan tubuh lelaki itu.

"Apa ada rapat? Bilang saja aku tidak mau datang." Lelaki itu meracau tidak jelas.

Jennie memundurkan dirinya sedikit, dia mengerutkan dahinya bingung. "Apakah kau mabuk? Kau bau alkohol." Jennie menduga lelaki itu sedang mabuk.

"Aku akan mencabik-cabik manusia sombong itu dengan kuku tajamku!!" Lelaki itu meracau semakin tidak jelas.

Jennie berdecak. "Ck! Dasar gila! Kau benar-benar mabuk rupanya. Setidaknya kalau mabuk, jangan mengendarai mobil sendiri. Selain membahayakan nyawamu, kau membahayakan nyawa orang lain juga, lelaki gila!" Jennie memarahi lelaki yang sedang mabuk itu.

Jennie diam sejenak. Dia meratapi keadaan lelaki itu tanpa mengatakan apa pun. Namun dari raut wajahnya, bisa dipastikan kalau Jennie sedang berpikir keras.

Jennie tersenyum licik. "Aha! Aku punya ide bagus! Lebih baik aku menumpang padanya, daripada aku harus jalan kaki." Jennie tersenyum lebar, dia bangga dengan otak cerdasnya.

Jennie kembali mendekat lelaki itu. "Baiklah. Karena aku wanita baik hati dan tidak sombong, aku akan mengantarmu pulang ke rumahmu." Ucapnya dengan senyum lebar.

"Tapi kau harus memberi imbalan padaku nanti." Lanjut Jennie dalam hati.

Jennie menarik kopernya, memasukkan kopernya ke bagasi mobil.

Setelah selesai memasukkan kopernya, Jennie langsung membantu lelaki itu keluar dari mobil. Jennie yang akan menyetir. Jennie segera memindahkan lelaki itu ke tempat duduk penumpang.

Jennie mengeluarkan lelaki itu dari mobil. "Kau berat sekali!" Jennie mengomel karena kesusahan memapah lelaki itu untuk pindah ke bangku penumpang.

"Semua ini kulakukan untukku. Awas saja kalau bangun nanti kau tidak balas budi padaku. Aku akan membantumu pulang dengan selamat, dan kau harus memberi imbalan padaku." Jennie berbicara dengan lelaki itu. Tetapi lelaki yang sedang mabuk itu tak mendengarkan Jennie sama sekali.

Setelah selesai memindahkan lelaki itu ke bangku penumpang, Jennie langsung masuk ke dalam mobil.

Setelah duduk di dalam mobil, Jennie diam sejenak. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Jennie melihat ke arah lelaki itu. "Pertanyaannya, di mana aku akan mengantarnya? Aku tidak tau di mana rumahnya."

Jennie merunduk, dia menghela nafasnya kasar. Setelahnya dia menggeram kesal. "Ahh! Kenapa hidupku selalu penuh dengan kesulitan sih?"

Jennie melihat ke arah lelaki itu lagi, lalu dengan cepat Jennie merogoh saku lelaki itu untuk mencari ponselnya.

Setelah mendapatkan ponselnya, Jennie langsung membuka ponsel lelaki itu. "Untung saja ponselnya tidak pakai password." Jennie tersenyum miring.

Jennie melihat panggilan terakhir di ponsel itu. "Edward? Mungkin Edward teman dekatnya? Aku bisa bertanya pada Edward di mana rumah lelaki ini." Jika dalam keadaan kepepet begini, ide Jennie selalu muncul tiba-tiba.

Jennie menelepon Edward. Ini adalah jalan satu-satunya supaya Jennie tau di mana alamat lelaki ini. "Kenapa kau menelponku? Apakah kau sudah mengakui kekalahanmu, lelaki penyuka sesama jenis?"

"Kau bersikeras menentang pernyataan tersebut. Tapi yang terjadi padamu sudah menjadi rahasia umum. Mengaku saja."

Jennie melihat ponsel lelaki itu, lalu dia mengerutkan dahinya. Jennie terkejut mendengar ucapan Edward. Apa-apaan ini?

"Siapa yang kau katakan penyuka sesama jenis?" Jennie bertanya pada Edward.

"Siapa kau?!" Terdengar Edward sangat terkejut.

"Apa kau wanita bayaran yang diperintahkan Edward untuk menyamar menjadi kekasihnya untuk menepis fakta itu?" Edward bertanya pada Jennie.

Jennie diam sejenak. Dia bingung ingin membalas apa.

"Hey! jawab aku! Jangan diam saja! Aku sudah tau kalau Garvin akan melakukan hal ini." Jennie terkejut saat Edward bicara keras, suara dari telepon itu memekakkan telinganya.

"Sepertinya ini adalah jalan yang diberikan Tuhan untukku. Dengan ini aku bisa aman, aku akan meminta imbalannya setelah lelaki ini sadar." Jennie tersenyum licik. Jennie sudah merencanakan sesuatu yang besar.

"Apa katamu? Apa kau tidak tau kalau aku dan kekasihku ini akan segera menikah? Jangan menyebarkan rumor sembarangan." Jennie melawan Edward.

Edward tertawa. "Hahaha ... tidak perlu mengarang cerita. Aku tidak pernah melihat Garvin dengan wanita. Bagaimana bisa tiba-tiba ingin menikah?"

Jennie mengerutkan dahinya, dia berusaha memikirkan jawaban. "Sepertinya lelaki ini sulit untuk ditipu." Ucap Jennie dalam hati.

"Hey! Kalau tidak percaya, datang saja ke rumah kekasihku, kau bisa lihat persiapan pernikahan kami. Rumah kekasihku sudah dihias untuk acara pesta pertunangan kami." Jennie menyuruh Edward datang. Entahlah, ini adalah spontanitas yang muncul di otak Jennie.

"Baiklah! Aku akan datang membawa wartawan. Reputasi Garvin akan hancur ketika dia ketahuan berbohong dan mengarang cerita. Tunggu saja kedatanganku." Edward menantang Jennie.

Jennie melotot lebar. "Wartawan? Matilah aku!!" Jennie mengutuk dirinya sendiri dalam hati.

"Kau yang selalu masuk berita karena pencapaian mu sebagai CEO muda yang sukses, semuanya akan hancur karena kebohonganmu. Aku akan datang sekarang ke rumahmu. Bersiap-siaplah untuk hancur."

"Sampaikan itu pada Garvin!" Edward memerintah Jennie untuk menyampaikan ucapannya tadi pada Garvin. 

"Tunggu dulu!" Jennie mencegah Garvin supaya tidak mematikan panggilannya.

"Apa kau tau alamat rumah kekasihku? Aku yakin dengan kebencianmu pada kekasihku kau tidak akan tau di mana alamat rumahnya." Jennie mencoba cara lain untuk menanyakan alamat lelaki yang sedang mabuk ini, Garvin.

"Tentu saja aku tau!" Jawab Edward ketus.

"Apa kau benar-benar tau? Apa kau pernah datang ke rumah kekasihku? Aku yakin kau tidak tau, atau kau pasti salah alamat." Jennie memancing Edward untuk berbicara soal alamat rumah Garvin.

"Tentu saja aku tau! Jalan Teratai, rumah terbesar yang ada di situ. Kenapa kau meragukanku? Aku selalu mengingat alamat ini, untuk berjaga-jaga suatu saat nanti aku akan datang mengucapkan selamat karena karir Garvin hancur total." Edward menjawab pertanyaan Jennie dengan nada tak suka.

Jennie tersenyum miris, dia menggelengkan kepalanya tak percaya. "Busuk sekali hati lelaki ini. Dasar jelmaan setan." Jennie menggerutu dalam hati.

Jennie mendengus kesal, dia ikut terbawa suasana. "Kau yang akan hancur, bodoh!! Dasar lelaki gila!" Setelah memaki Edward, Jennie langsung mematikan panggilan secara sepihak.

Jennie kembali memasukkan ponsel Garvin ke sukunya. "Aku harus cepat sampai ke rumah lelaki ini." Jennie langsung menginjak gas mobil. Jennie mengendarai mobil itu dengan kecepatan tinggi.

"Aku tau alamat itu. Aku tidak menyangka kalau rumah besar yang seperti tidak berpenghuni itu milik lelaki ini." Jennie berbicara dalam hati.

Sejujurnya Jennie khawatir dengan apa yang terjadi nanti. Tapi nanti hanyalah nanti, sekarang Jennie harus fokus menyetir agar mereka sampai dengan selamat.

"Tidak tau bagaimana dan apa yang akan terjadi nanti. Oh Tuhan, tolong bantu aku. Aku bisa mati dibunuh lelaki ini jika dia sadar nanti. Tolong berikan jalan yang terbaik untukku, Tuhan." Jennie berdoa, semuanya dia serahkan pada Tuhan.

Jennie mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia benar-benar fokus menyetir. Dia juga tidak berhenti berdoa supaya dirinya tidak dibunuh lelaki ini karena sudah mengacaukan hidup lelaki ini dalam waktu beberapa menit saja.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status