pov Bayu"Da--darah," ucapku terbata. Aku semakin panik melihat Hanin meringis kesakitan sambil memegangi perutnya. Ya Allah, bagaimana ini? "Sa-sakit, Mas," rintihnya. Aku memungut pakaian dan mengenakan sekenanya. Lalu membantu Hanin memakaikan setelan baju tidur miliknya. Dengan hati-hati kubopong tubuh Hanin. Tak lupa kubawa hijab Hanin yang ada di luar lemari. Rasa bersalah menelusup di dalam sanubari. Jika aku tak meminta hakku malam ini, mungkin Hanin tak akan seperti ini. Kuakui, aku tak pernah mampu menahan gejolak yang tiba-tiba hadir. Aku terlalu egois hingga tak memikirkan bagaimana perasaan istriku. Ini pula yang membuat Hanin memintaku menolak lagi. "Ibu kenapa, Pak?" tanya Bi Leha saat berpapasan denganku di dekat pintu utama. "Titip anak-anak, Bi. Ali sendirian di kamar," ucapku lalu membawa Hanin masuk ke mobil. Kutinggalkan Bi Leha dengan tatapan penuh tanda tanya. Ini bukan saat yang tepat untuk menjelaskan masalah ini. Keselamatan Hanin jauh lebih penting. A
Satu minggu sudah aku tak bisa tidur nyenyak. Berulang kali Hanin memintaku tidur di kamar Nisa. Namun sekali pun tak pernah kulakukan. Aku tak ingin meninggalkan Hanin, meski aku tahu ini salah. Nisa berhak atasku. Tapi aku justru mengabaikan dirinya. Kutatap wanita yang sudah memberiku limpahan kebahagiaan itu. Dia terlelap sambil memeluk Ali. Dia memang sangat menyayangi kami. Itu pula yang membuat Hanin nekat memintaku menikah lagi meski aku tahu ia pun terluka. Suara denting terdengar jelas di tengah malam. Suaranya semakin membuat kepalaku terasa pusing. Aku beranjak lalu melangkah pergi. Duduk di kursi ruang makan sambil memijit kepalaku yang terasa berdenyut. Kuhirup aroma melati dari secangkir teh yang baru saja kubuat. Harumnya menyegarnya, tapi tetap saja tak bisa mengurangi gejolak yang ada di dalam diri. Ya Tuhan... Sampai kapan aku seperti ini? Pelan terdengar suara langkah kaki mendekat hingga akhirnya berhenti. Kutoleh kanan, Nisa berdiri sambil membawa gelas ya
Pov HaninAku terkejut dengan pertanyaan yang Azha ucapkan baru saja.Jadi semalam dia melihat Mas Bayu masuk ke kamar Nisa. Ya Tuhan... apa yang harus aku jawab? Pertanyaan itu saja sudah membuatku terkejut. "Itu mas Azha, semalam kamar Mbak Nisa ada tikusnya. Jadi Ayah mengusir tikus itu," jawab Nisa. "O,jadi begitu,ya,Mbak," ucapnya seolah mengerti. Aku bernapas lega karena alasan yang Nisa berikan cukup masuk akal. Sehingga Azha tak curiga lagi. Aku memang merahasiakan pernikahan Mas Bayu dengan Nisa. Aku tak ingin ketiga anakku terluka. Bukan ... bukan untuk menutupinya di hadapan anak-anak selamanya. Hanya menunggu waktu yang tepat,agar kenyataan yang akan kami sampaikan tak membuat Azha dan Alma membenci Mas Bayu atau pun Nisa atau justru aku.Setelah jawaban Nisa suasana meja makan menjadi hangat kembali. Tak ada pertanyaan yang membuat jantungku seakan berhenti. Anal-anak sekarang memang kritis. Banyak pertanyaan yang membuatku geleng-geleng kepala. Setelah selesai makan
Setelah beberapa hari mencari rumah yang pas untuk Nisa akhirnya Mas Bayu menemukan sebuah rumah dengan lantai dua tak jauh dari tempat tinggalku saat ini. "Semua sudah siap? tidak ada yang lupa,kan, Nis?" tanyaku saat Nisa memasukkan barang-barang ke dalam bagasi mobil. "Sepertinya tidak ada yang tertinggal,Mbak."Mobil yang kami kendarai melaju perlahan menuju rumah Nisa. Hari ini kami akan melakukan syukuran. Tak hanya keluarga kecilku tapi ada Mama, Raffi Natasya, Syahla,Bunda dan Ayah. Hanga keluarga inti kami saja. Bukan apa-apa, kami takut menimbulkan polemik baru. Hanya dua puluh menit kami sampai di rumah baru Nisa. Halaman rumah sudah dipenuhi dengan berbagai macam tanaman hias. Dari luas saja sudah terlihat indah apa lagi dalamnya. "Ayo anak-anak kita masuk," ucap Nisa seraya membuka pintu. Anak-anak segera berlarian mengikuti Nisa. Aku duduk di ruang keluarga, sementara anak-anak berlarian ke sana kemari. Mereka tak ada lelahnya berbeda dengan aku. Azan Isya telah be
Pov Nisa"Kamu kenapa,Hanin?" tanya Mama panik. Aku meletakkan sendok di atas piring lalu menatap wanita yang berada di depanku. Wajahnya yang tadi ceria mendadak berubah menjadi pucat pasi. "Sakit,Ma," ucap Mbak Hanin seraya memegangi dadanya. Ya Allah, apa yang terjadi dengannya? Satu persatu orang berkerumun mendekati kursi Mbak Hanin, termasuk aku. Wanita yang memintaku menjadi istri suaminya itu tampak kesakitan sambil memegangi dadanya. Sebenarnya apa yang terjadi dengannya? Pertanyaan itu kembali hadir. Ingin rasanya mendekat tapi aku takut lancang. "Hanin kenapa,Bayu?" tanya Bunda panik dengan wajah tegang ia mendekat ke arah putrinya."Hanin sesak,Bun. Aku tidak tahu kenapa bisa begini?"ucap Mas Bayu sambil mengelus dahi Mbak Hanin yang sudah dipenuhi keringat. Terlihat jelas ia menahan rasa yang begitu sakit. "Bawa dia ke rumah sakit,Bay! cepat!" teriak Mbak Syahla. Dengan cepat Mas Bayu membopong tubuh Mbak Hanin menuju depan. Satu persatu anggota keluarga mengikutin
Pov NisaPLAAK! PLAAK! Dua tamparan Mbak Syahla hadiahkan padaku. Entah setan apa yang merasuki mereka hingga tiba-tiba datang lalu menampar pipiku. "Ada apa, ya, Mbak? Kenapa saya ditampar?" tanyaku sambil memegangi pipi yang terasa panas dengan gambar tangan terlukis di sana. "Kamu tanya salah kamu di mana? Kamu lupa atau pura-pura lupa?"Aku menggeleng, sama sekali tak mengerti maksud dan arah pembicaraan mereka. Bukankah seharusnya mereka berada di rumah sakit? Tapi kenapa justru dia pulang lalu menamparku? Ada apa ini? "Bagaimana keadaan Mbak Hanin, Mbak? Dia baik-baik saja, kan? Apa Mbak Hanin masih diperjalanan?" PLAAK! Lagi tangan kanan Mbak Syahla melayang mengenai pipi kiriku. Rasa nyeri yang belum sembuh, kini justru kian terasa menyiksa. Entah apa salahku? "Mbak jangan main tampar seenaknya, saya tidak mengerti letak salah saya di mana?"Mbak Syahla tersenyum sinis, matanya bak elang yang siap mencengkeram mangsa. "Aku tak menyangka wanita yang kukira alim justru
Pov HaninMembuka mata perlahan saat sinar matahari yang masuk melalui celah jendela menyilaukanku. Kupindai setiap sudut ruangan yang bernuansa putih. Ternyata aku masih di rumah sakit setelah insiden semalam. Bunda duduk di kursi tepat di samping ranjang yang kutempati. Beliau masih berada di alam mimpi, pasti semalaman tak bisa tidur karena menjagaku. Perlahan kusentuh kepalanya yang berbalut hijab. Seketika ia menggeliat lalu tersenyum kala menatapku. "Kamu sudah sadar,Nin?" tanya Bunda. Wanita yang telah melahirkanku itu membenarkan posisi duduk lalu mengelus tangan kananku. "Aku sudah tidak apa-apa,Bun.""Masih sesak atau gatal, Nin?" Bunda mengelus pucuk kepalaku. "Mau Bunda panggilkan,Dokter?" tanyanya lagi. Bunda begitu mengkhawatirkan diriku."Hanin tidak apa-apa,Bunda." Kuberi seulas senyuman. "Boleh minta ambilkan air putih, Bun? Hanin haus." Bunda mengangguk lalu mengambilkan air putih di atas nakas, tepat di sebelahku. "Mas Bayu mana, Bun?" tanyaku. "Bayu menjempu
Pov HaninSorak gembira terdengar kala kaki melangkah masuk. Sambil berlari Azha dan Alma manggil namaku. Rindu yang sempat menyiksa diri seketika terobati. Kehadiran mereka mengurangi rasa canggung yang sempat mendera. "Kamu...!" ucap Mama kala melihat Nisa. Wajah yang semula ceria mendadak muram. "Sayang main dengan Bi Leha sama tante Natasya dulu, ya," pintaku saat melihat tunangan Raffi keluar dari balik tembok. Seolah mengerti keadaan, Natasya dengan cepat mengajak Azha dan Alma ke ruang keluarga. Satu persatu orang telah duduk di sofa ruang tamu. Mendadak ketegangan muncul. "Mbak Hanin sudah baikan?" tanya Nisa memecah keheningan. "Alhamdulillah seperti yang kamu lihat, Nis. Aku sudah baik-baik saja." Kuberikan seulas senyum, berharap rasa bersalah Nisa menghilang. "Mau apa kamu kemari, Nis? Belum cukup apa yang kamu lakukan kepada Nisa?" tanya Mama dengan sorot mata tajam, mengintimidasi. "Sa-saya i-ingin menjenguk Mbak Hanin, Ma," jawab Nisa terbata. "Mama kecewa denga