Hari ini Nisa sudah diperbolehkan pulang. Semua administrasi rumah sakit sudah selesai. Kini saatnya kami pulang ke rumah. Mobil yang kulajukan menembus ramainya lalu lintas saat jam pulang kerja. Beberapa sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi. Mereka seolah terburu-buru agar sampai rumah. Anak dan istri pasti sudah menunggu di rumah. Mendadak aku merindukan Hanin dan ketiga anakku. "Kita langsung pulang atau mampir ke mana dulu, Nis?" tanyaku. "Pulang saja, Mas."Kendaraan roda empat kuparkirkan rapi di halaman rumah. Kami segera turun lalu berjalan menuju pintu utama. Tas berisi pakaian kuletakkan di depan pintu. Kurogoh kunci rumah. Sebelum Hanin pergi ia memberikan kunci rumah padaku. "Masuk, Nis. Kamu pasti capek," ucapku seraya mendorong pintu kayu jati itu. Rumah benar-benar sepi, tak ada teriakan Alma dan Azha saat berdebat. Tak ada pula tangis Ali yang meminta susu. Mereka masih menginap di rumah Bunda untuk beberapa hari ke depan. "Kamu mau makan atau istirahat?
Aku duduk di teras depan sembari melihat Azha dan Alma bermain bersama Kakeknya di halaman rumah. Mereka asyik berlari ke sana kemari sambil tertawa. Anak kecil memang hidup tanpa beban,mereka bisa tertawa lepas meski baru saja menangis. Mereka bisa hidup bebas tanpa masalah yang menghantui sepanjang waktu,berbeda dengan orang dewasa. Itu yang membuatku rindu menjadi anak-anak. “Hanin ....” Aku menoleh Bunda sudah berdiri di sampingku sambil menggendong Ali.Bunda menidurkan Ali di stroller kemudian menjatuhkan bobot di kursi, tepat sebelahku. Wanita yang sudah melahirkanku itu menatapku dengan sorot mata penuh tanda tanya.“Bunda ingin bertanya sesuatu?” tanyaku saat melihatnya termenung sambil menatapku. Beliau mengangguk.“Kamu menyesal meminta Bayu menikah lagi?” tanyanya sambil mengunci mata ini.“Apa aku terlihat menyesal,Bun?” Seulas senyum kuberikan padanya.“Jangan pernah coba-coba membohongi ibu kandung kamu sendiri,Nin. Sebagai seorang ibu,Bunda tahu apa yang kamu rasakan
“Sayang ....” Panggilan dan sebuah sentuhan di tangan membuatku terbangun.Perlahan kubuka mata lalu membalikkan tubuh ini ke samping. Aku dibuat terkejut dengan keberadaan Mas Bayu. Aku menggosok mata beberapa kali. Ini bukan mimpi,kenapa Mas Bayu bisa di sini? Bukankah inin waktunya bersama Nisa.“Mas, ini kamu?”Mas Bayu mendekat lalu mengecup pucuk kepalaku. “Ini nyata,Sayang. Aku di sini.”“Nisa mana,Mas?” tanyaku saat melihat Mas Bayu memindahkan Ali hingga berada di dekat tembok.Bukannya menjawab ia justru memeluk tubuhku erat. Kecupan demi kecupan ia berikan kepadaku. “Hanin,aku menginginkannya,” bisiknya.“Ta-tapi,Mas ka ....” belum sempat aku melanjutkan kata-kata,Mas Bayu sudah menempelkan bibirnya di tempat yang sama. Hingga akhirnya kami melakukan hal yang sudah beberapa hari tidak kami lakukan.“Terima kasih,Sayang,’ ucapnya lalu merebahkan tubuh di sampingku.“Nisa mana,Mas?” tanyaku lagi.“Nisa di rumah,Nin. Aku datang untuk menjemput kalian. Mas sudah rindu dengan k
pov Bayu"Da--darah," ucapku terbata. Aku semakin panik melihat Hanin meringis kesakitan sambil memegangi perutnya. Ya Allah, bagaimana ini? "Sa-sakit, Mas," rintihnya. Aku memungut pakaian dan mengenakan sekenanya. Lalu membantu Hanin memakaikan setelan baju tidur miliknya. Dengan hati-hati kubopong tubuh Hanin. Tak lupa kubawa hijab Hanin yang ada di luar lemari. Rasa bersalah menelusup di dalam sanubari. Jika aku tak meminta hakku malam ini, mungkin Hanin tak akan seperti ini. Kuakui, aku tak pernah mampu menahan gejolak yang tiba-tiba hadir. Aku terlalu egois hingga tak memikirkan bagaimana perasaan istriku. Ini pula yang membuat Hanin memintaku menolak lagi. "Ibu kenapa, Pak?" tanya Bi Leha saat berpapasan denganku di dekat pintu utama. "Titip anak-anak, Bi. Ali sendirian di kamar," ucapku lalu membawa Hanin masuk ke mobil. Kutinggalkan Bi Leha dengan tatapan penuh tanda tanya. Ini bukan saat yang tepat untuk menjelaskan masalah ini. Keselamatan Hanin jauh lebih penting. A
Satu minggu sudah aku tak bisa tidur nyenyak. Berulang kali Hanin memintaku tidur di kamar Nisa. Namun sekali pun tak pernah kulakukan. Aku tak ingin meninggalkan Hanin, meski aku tahu ini salah. Nisa berhak atasku. Tapi aku justru mengabaikan dirinya. Kutatap wanita yang sudah memberiku limpahan kebahagiaan itu. Dia terlelap sambil memeluk Ali. Dia memang sangat menyayangi kami. Itu pula yang membuat Hanin nekat memintaku menikah lagi meski aku tahu ia pun terluka. Suara denting terdengar jelas di tengah malam. Suaranya semakin membuat kepalaku terasa pusing. Aku beranjak lalu melangkah pergi. Duduk di kursi ruang makan sambil memijit kepalaku yang terasa berdenyut. Kuhirup aroma melati dari secangkir teh yang baru saja kubuat. Harumnya menyegarnya, tapi tetap saja tak bisa mengurangi gejolak yang ada di dalam diri. Ya Tuhan... Sampai kapan aku seperti ini? Pelan terdengar suara langkah kaki mendekat hingga akhirnya berhenti. Kutoleh kanan, Nisa berdiri sambil membawa gelas ya
Pov HaninAku terkejut dengan pertanyaan yang Azha ucapkan baru saja.Jadi semalam dia melihat Mas Bayu masuk ke kamar Nisa. Ya Tuhan... apa yang harus aku jawab? Pertanyaan itu saja sudah membuatku terkejut. "Itu mas Azha, semalam kamar Mbak Nisa ada tikusnya. Jadi Ayah mengusir tikus itu," jawab Nisa. "O,jadi begitu,ya,Mbak," ucapnya seolah mengerti. Aku bernapas lega karena alasan yang Nisa berikan cukup masuk akal. Sehingga Azha tak curiga lagi. Aku memang merahasiakan pernikahan Mas Bayu dengan Nisa. Aku tak ingin ketiga anakku terluka. Bukan ... bukan untuk menutupinya di hadapan anak-anak selamanya. Hanya menunggu waktu yang tepat,agar kenyataan yang akan kami sampaikan tak membuat Azha dan Alma membenci Mas Bayu atau pun Nisa atau justru aku.Setelah jawaban Nisa suasana meja makan menjadi hangat kembali. Tak ada pertanyaan yang membuat jantungku seakan berhenti. Anal-anak sekarang memang kritis. Banyak pertanyaan yang membuatku geleng-geleng kepala. Setelah selesai makan
Setelah beberapa hari mencari rumah yang pas untuk Nisa akhirnya Mas Bayu menemukan sebuah rumah dengan lantai dua tak jauh dari tempat tinggalku saat ini. "Semua sudah siap? tidak ada yang lupa,kan, Nis?" tanyaku saat Nisa memasukkan barang-barang ke dalam bagasi mobil. "Sepertinya tidak ada yang tertinggal,Mbak."Mobil yang kami kendarai melaju perlahan menuju rumah Nisa. Hari ini kami akan melakukan syukuran. Tak hanya keluarga kecilku tapi ada Mama, Raffi Natasya, Syahla,Bunda dan Ayah. Hanga keluarga inti kami saja. Bukan apa-apa, kami takut menimbulkan polemik baru. Hanya dua puluh menit kami sampai di rumah baru Nisa. Halaman rumah sudah dipenuhi dengan berbagai macam tanaman hias. Dari luas saja sudah terlihat indah apa lagi dalamnya. "Ayo anak-anak kita masuk," ucap Nisa seraya membuka pintu. Anak-anak segera berlarian mengikuti Nisa. Aku duduk di ruang keluarga, sementara anak-anak berlarian ke sana kemari. Mereka tak ada lelahnya berbeda dengan aku. Azan Isya telah be
Pov Nisa"Kamu kenapa,Hanin?" tanya Mama panik. Aku meletakkan sendok di atas piring lalu menatap wanita yang berada di depanku. Wajahnya yang tadi ceria mendadak berubah menjadi pucat pasi. "Sakit,Ma," ucap Mbak Hanin seraya memegangi dadanya. Ya Allah, apa yang terjadi dengannya? Satu persatu orang berkerumun mendekati kursi Mbak Hanin, termasuk aku. Wanita yang memintaku menjadi istri suaminya itu tampak kesakitan sambil memegangi dadanya. Sebenarnya apa yang terjadi dengannya? Pertanyaan itu kembali hadir. Ingin rasanya mendekat tapi aku takut lancang. "Hanin kenapa,Bayu?" tanya Bunda panik dengan wajah tegang ia mendekat ke arah putrinya."Hanin sesak,Bun. Aku tidak tahu kenapa bisa begini?"ucap Mas Bayu sambil mengelus dahi Mbak Hanin yang sudah dipenuhi keringat. Terlihat jelas ia menahan rasa yang begitu sakit. "Bawa dia ke rumah sakit,Bay! cepat!" teriak Mbak Syahla. Dengan cepat Mas Bayu membopong tubuh Mbak Hanin menuju depan. Satu persatu anggota keluarga mengikutin